• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II NILAI-NILAI DAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH

H. Kritik

Ini adalah sedikit pertanyaan terhadap klarifikasi nilai-nilai yang dianggap dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap banyak guru, para pelatih guru, dan para pengembang kurikulum, Berbagai konferensi, workshop, artikel dan buku yang berhadapan dengan pendekatan yang dikembangkan. Beberapa dari kegiatan-kegiatan dan teknik-teknik yang dikembangkan oleh para pelaku klarifikasi nilai-nilai adalah menarik dan bermanfaat dalam membantu dan meningkatkan para siswa untuk berpikir tentang tanggung jawab pribadi mereka sendiri. Mereka mudah untuk menguasai dan senang menggunakannya. Menjelaskan respon (clarifying response) dalam hal khusus banyak direkomendasikan sebagai teknik yang digunakan dalam pendidikan nilai-nilai. Itu menghindarkan mengajari, dan menerima gagasan-gagasan siswa, dan meningkatkan para siswa untuk memikirkan tentang alternatif-alternatif. Relativisme menjadi dasar dari klarifikasi nilai-nilai sebagai suatu keseluruhan, namun demikian, ia terbuka untuk kritik yang serius, terhadap beberapa

kegiatan yang dikembangkan untuk mendorong para siswa memilih, menghargai, dan melakukan tindakan. Sebuah pembahasan dari beberapa kelemahan akan dipaparkan berikutnya.

Kritik pertama, banyak pengarang yang menulis tentang klarifikasi nilai- nilai yang menitikberatkan pada “teori nilai” yang menurut dugaan mendasari pendekatan ini. Memang, Raths dan teman-temannya menyatakan bahwa kerangka Nilai-nilai dan Mengajar sebagai pendekatan mereka adalah berlandaskan pada teori nilai. Terhadap pengujian yang terbuka, bagaimanapun, satu temuan kecil mungkin dibenarkan disebut sebuah “teori”. Sebagian besar pengarang klarifikasi nilai-nilai, dalam faktanya, secara sederhana menawarkan sejumlah kegiatan-kegiatan yang para guru dapat gunakan untuk membantu para siswa mengklarifikasi komitmen-komitmen pribadi mereka sendiri. Sebuah teori adalah sekumpulan proposisi yang saling berhubungan yang mengajukan beragam hubungan yang diyakini ada dalam dunia nyata. Sekumpulan proposisi itu dapat didukung atau ditolak melalui jalan dengan bukti yang dapat diamati. Kekuatan dari teori terletak dalam kemampuannya untuk menjelaskan mengapa hal-hal itu terjadi dan untuk memprediksi fenomena. Walaupunpun satu penelitian dilakukan sia-sia, untuk suatu kumpulan proposisi dalam literatur klarifikasi nilai-nilai. Hal terbaik adalah hanya satu temuan, yakni sedikit asumsi- asumsi oleh para pengarang terhadap bagaimana nilai-nilai berkembang. Asumsi-asumsi itu tidak menolong dalam berbagai cara untuk menjelaskan mengapa mereka mengembangkan cara itu, maupun asumsi-asumsi yang memprediksi bagaimana individu-individu dengan nilai-nilai tertentu, kemungkinan besar untuk bertindak dalam situasi tertentu. Mereka tidak menjelaskan apa yang dilakukan ketika terjadi konflik nilai-nilai atau bahkan bagaimana – atau jika – berkaitan dengan nilai tertentu yang mempengaruhi perkembangan nilai-nilai yang lain. Semua pemikiran-pemikiran itu, sesuatu harapan yang mungkin masuk akal terhadap teori nilai-nilai untuk memberikan beberapa gagasan tentangnya.

Kritik kedua adalah bahwa banyak kegiatan-kegiatan “klarifikasi nilai-nilai” cendrung untuk menekankan kesesuaian dari pada pengembangan pribadi terhadap nilai-nilai. Dalam suatu pengertian, meskipun barangkali terlalu tajam, artikel, John S Stewart (1975: 685) menunjuk terhadap kecendrungan itu terhadap penyesuaian sebagai “pemaksaan terhadap arti” dan memberikan contoh berikut.

Satu yang paling sering digunakan dalam strategi-strategi klarifikasi nilai- nilai adalah “Kontinuum Nilai-Nilai” (Values Continuum) yang melibatkan

para siswa untuk menempatkan posisi pada isu yang disampaikan pada satu rangkaian dari satu yang ekstrem kepada satu yang berlawanan. Satu dari hal-hal dalam strategi itu ditanya, “Bagaimana perasaan kamu tentang sex sebelum nikah?” Dua sudut dari rangkaian nilai memuat 1) Virginal Virginia (kadang-kadang disebut Gloves Gladys) dan 2) Mattress Millie. Virginal Virginia “memakai sarung tangan putih pada setiap kencan” dan Mattress Millie “memakai pengikat kasur pada punggungnya”. Sekarang pikirkan setiap gadis pemalu, sensitif dan amat penakut dalam kelas sebagai sampel ekstrim – gadis yang amat perhatian tentang kedudukannya di samping gadis-gadis yang lain, atau laki-laki, atau guru. Andaikata bahwa posisinya terhadap isu itu jelas, bahkan sebagai hasil dari penerapan prinsip- prinsip dari Klarifikasi Nilai-nilai, dan bahwa yakin secara benar terhadap salah satu dari dua posisi ekstrim. Akankah kemungkinan besar ia menyatakan di depan umum posisi itu dalam situasi itu? Saya pikir itu tidak. Resiko yang begitu sederhana akan menjadi besar. Diperkirakan bahwa ia juga tidak mau mengambil resiko yang sedang dinilai bagaimanapun juga agar dilewati (yaitu, dengan mudah mengatakan “saya lewat” ketika diminta memberikan komentar), satu dari pilihan yang dibenarkan dalam latihan-latihan Klarifikasi Nilai-nilai, ia mungkin cendrung para ungkapan posisi di tengah.

Ini adalah apa yang saya maksud dengan pemaksaan terhadap arti, dan saya lihat seperti faktor besar dalam banyak strategi-strategi Klarifikasi Nilai- nilai, khususnya beberapa strategi seperti Rangkaian Kesatuan Nilai-nilai yaitu pada posisi ekstrim merupakan nilai yang spesifik, dan/atau secara emosional dimuati seperti menghalangi mereka untuk membenarkan alternatif-alternatif untuk menyatakan di depan umum bagi banyak orang. Bahkan implikasi-implikasi dari susunan kata (seperti “pendukung moderat”)... (Memikirkan) dinamika dari hubungan-hubungan sosial para remaja, pendekatan Klarifikasi Nilai-nilai dapat menjadi berbahaya, atau paling sedikit dapat... mengarah pada segala hal, tetapi klarifikasi yang benar.

Kritik ketiga, beberapa dari tujuh keharusan yang harus dipenuhi sebelum nilai dapat berhasil (sesuai dengan orang yang mengklarifikasi nilai) nampak diri mereka sendiri terbuka untuk pertanyaan. Sebagai contoh, keharusan bahwa para siswa mesti “menyatakan di depan umum” sesuatu untuk itu membuat nilai menjadi menyesatkan. Jika individu-individu tidak pernah diberikan kesempatan untuk bertindak terhadap nilai – ia tidak pernah ditempatkan untuk menguji, jadi untuk berbicara – apakah kita dibenarkan mengatakan bahwa ia tidak memiliki nilai? Selanjutnya,

apakah kita benar-benar ingin merekomendasikan bahwa orang mesti selalu bersedia untuk menyatakan di depan umum apa yang mereka nilai – bahkan ketika itu adalah tidak bijaksana atau bahkan berbahaya untuk dilakukan? Tidakkah bahwa itu meminta lebih dari sebagian besar yang dapat dihasilkan orang? Dan, sebagai catatan di atas, keharusan untuk menyatakan di depan umum dapat secara mudah lebih mengarah kepada penekanan terhadap kesesuaian, banyak merusak kepada berpikir kritis, asalkan menghargai dan menemukan tujuan pendidikan sesudahnya.

Demikian juga, keharusan bahwa tindakan mesti dilakukan berulang-ulang masih dapat diperdebatkan. Apakah yang dimaksud dengan “berulang-ulang” Dua kali? Lebih dari dua kali? Para pembela klarifikasi nilai-nilai memberikan kita bukan gambaran dalam pandangan itu. Itu akan nampak bahwa dari sejumlah waktu orang menunjukkan perilaku tertentu akan sekali lagi tergantung pada peluang-peluang yang tersedia untuk melakukannya.

Atau, pikiran yang menitikberatkan wewenang para pelaku klarifikasi nilai dengan memilih setelah “berpikir bijaksana terhadap konsekuensi- konsekuensi” dari alternatif-alternatif. Sayang, mereka tidak menjelaskan apa yang dimaksud “berpikir bijaksana”. Apakah itu yang dimaksud dengan “berpikir bijaksana” suatu konsekuensi? Bagaimana hal itu dilakukan? Apakah membuat satu konsekuensi lebih baik atau lebih jelek dari yang lain?

Beberapa evaluasi rasional terhadap konsekuensi-konsekuensi menghendaki beberapa kumpulan kriteria (karakteristik-karakteristik, kualitas-kualitas, dan sebagainya) yang dapat digunakan untuk memban- dingkan. Apa kriteria yang Klarifikasi Nilai-nilai tawarkan? Apakah beberapa kriteria lebih baik dari yang lain? Dapatkah para siswa dibantu untuk mengembangkan kriteria itu? Jika demikian, bagaimana? Dan bagaimana satu kriteria dapat dibenarkan, dan digunakan untuk mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi? Model klarifikasi nilai-nilai memberikan sedikit bantuan kepada para guru yang ingin datang terpikat dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Kritik keempat, dalam seluruh tujuannya, model klarifikasi nilai-nilai secara esensial adalah model pembuktian otentitas pribadi, yaitu yang diarahkan terutama untuk membantu para siswa untuk menjadi lebih sadar terhadap komitmen-komitmen pribadi mereka sendiri. Tetapi itu

mengabaikan fakta bahwa komitmen-komitmen pribadi sering berlawanan. Apa yang seseorang lakukan ketika itu terjadi? Andaikata bahwa individu telah belajar dari masa anak-anak untuk setia dan jujur. Ia telah menghayati dan menjalankan nilai-nilai itu. Andaikan bahwa ia mengamati satu dari teman-temannya mengambil uang dari dompet siswa yang lain dan baru- baru ini ditanya oleh satu dari para gurunya – yang ia hormati dan kagumi – jika ia mengetahui segala hal tentang pencurian? Apakah ia tetap setia terhadap temannya dan tidak mengatakan apapun? Akankah ia tetap jujur dan memberitahu guru, apa yang telah ia lihat? Atau akankah ia mengikuti alternatif yang lain? Bagaimanakah ia memutuskan? Model klarifikasi nilai- nilai memberikan sedikit bantuan terhadap individu-individu yang berhadapan dengan dilema-dilema itu.

Tujuan akhir dari klarifikasi nilai adalah membuat para siswa lebih sadar terhadap nilai-nilai mereka sendiri (dan orang lain). Tetapi itu dalam pengaruh tidak melampauinya, ia mengajar bahwa kesadaran diri berada dan berakhir pada nilai itu sendiri. Tujuan itu, seperti catatan di awal, mengajar bahwa semua nilai-nilai adalah sama, bahwa tidak ada beberapa nilai yang lebih baik dari berbagai nilai yang lain – hanya “berbeda”. Kohlberg (1975: 673) menawarkan penilaian diikuti oleh filosofinya:

Klarifikasi nilai... tidak berupaya untuk melangkah lebih lanjut dari memperoleh kesadaran terhadap nilai-nilai; itu diasumsikan bahwa menjadi lebih sadar diri bahwa suatu nilai adalah berakhir dalam nilai itu sendiri. Secara mendasar, definisi dari akhir pendidikan nilai-nilai seperti kesadaran diri berasal dari keyakinan dalam etika relativitas yang dianut oleh banyak pelaku klarifikasi nilai. Seperti yang dikemukakan oleh Peter Engel, “ Satu yang mesti membedakan klarifikasi nilai dan penanaman nilai. Klarifikasi nilai menyatakan secara tidak langsung prinsip bahwa dalam pemikiran dari nilai-nilai adalah tidak ada satu jawaban yang benar... Para guru adalah untuk menekankan bahwa “nilai-nilai kita adalah berbeda”, tidak ada satu nilai yang lebih memadai dari yang lain-lain. Jika program ini secara sistimatis diikuti, para siswa menyediakan dirinya sendiri menjadi relativis, meyakini tidak ada jawaban moral yang “benar”. Sebagai contoh, siswa ditangkap menyontek mungkin beralasan bahwa ia tidak melakukan hal yang salah, karena hierarki dirinya sendiri terhadap nilai-nilai, yang mungkin berbeda dari apa yang dianut guru, memberikan hak kepadanya untuk menyontek.

Barangkali kelemahan yang amat serius dari klarifikasi nilai dan satu untuk para pendukung yang dapat dikritisi lebih berat adalah

pernyataannya yang menekankan pada proses dari menilai. Penekanan itu sebenarnya meniadakan berbagai kesadaran yang dinyatakan oleh para pendukung dari kebutuhan untuk pengetahuan tentang dan memahami terhadap fakta-fakta yang diharuskan untuk berhadapan secara cerdas dengan isu-isu nilai. Bebeberapa diskusi yang cerdas dari nilai-nilai melibatkan beragam isu-isu sosial, politik, dan moral dengan pemikiran yang rumit. Pikirkan, untuk contoh, isu-isu nilai dikemukakan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut.

• Apakah hukuman mati ditiadakan?

• Apakah penjara dan asrama menekankan hukuman, rehabilitasi atau reformasi

• Apakah individu dibenarkan menolak untuk mematuhi hukum yang ia rasa tidak adil?

• Apakah orang miskin dijamin mendapatkan pendapatan minimum apakah mereka bekerja atau tidak?

• Apakah ilmuwan fisika punya hak untuk mengakhiri kehidupan dari pasien yang sedang sakit karena permintaan pasien?

• Apakah para anggota dari kelompok-kelompok minoritas diberikan pertimbangan khusus dalam aplikasi-aplikasi mereka untuk izin masuk lulusan ke sekolah-sekolah profesional?

• Apakah para perempuan dibayar sama seperti laki-laki untuk pekerjaan yang sama?

Daftar di atas mungkin dapat diperluas hampir tak terbatas. Tetapi marilah kita pikirkan contoh spesifik – pendidikan sex di sekolah- sekolah. Apakah sebaiknya anak diajarkan tentang sex? Sebelum kita dapat memulai untuk mendiskusikan pertanyaan itu secara cerdas, kita butuh untuk mengumpulkan secara luas dan beragam sejumlah informasi. Kita butuh, untuk contoh, fakta-fakta tentang proses reproduksi, tentang kesuburan, tentang kemungkinan besar masa-masa pembuahan, tentang berbagai metode yang tersedia untuk mencegah kehamilan, dan tentang aborsi. Kita butuh fakta-fakta tentang hubungan antara perasaan- perasaan dan seks, tentang pengaruh-pengaruh emosi-emosi terhadap perilaku manusia, tentang berbagai motivasi terhadap perilaku seksual, dan tentang bagaimana seksualitas dapat (dan sering) disimpan dan dinyatakan dalam bentuk perilaku yang lain. Kita butuh fakta-fakta tentang pola-pola yang berbeda dari perilaku seksual yang dipraktikan

dalam kultur-kultur yang berbeda, tentang kebiasaan-kebiasaan dan larangan-larangan seksual, dan tentang bagaimana pola-pola itu dapat mempengaruhi seluruh kompleksitas praktik-praktik yang menjadi pandangan hidup dalam suatu masyarakat. Kita butuh fakta-fakta tentang sikap-sikap terhadap seks dari orang yang berbeda dan budaya yang berbeda dan tentang bagaimana sikap-sikap itu tumbuh dan berubah. Kita butuh fakta-fakta tentang bagaimana seks yang telah diperlakukan di teater dan literatur dan mengapa, dan tentang apakah bentuk-bentuk dari ekspresi yang mengatakan tentang sikap-sikap seksual orang. Kita butuh fakta-fakta tentang posisi-posisi seks dan pendidikan seks yang dianut oleh para filosof, penyair, politisi, dan bahkan para pelacur dan tentang argumen-argumen yang mereka berikan untuk mendukung posisi-posisi itu.

Hal yang terjadi di sini adalah sesuatu yang sangat menyesatkan untuk menyatakan secara tidak langsung bahwa menekankan pada proses sendirian saja dapat membantu para siswa terpikat dengan isu-isu dalam pertanyaan-pertanyaan nilai. Mudah untuk dipahami, biarkan mereka sendirian untuk mencoba menghadapi secara cerdas dengan isu-isu itu, membutuhkan kemahiran untuk mampu memikirkan sejumlah informasi faktual. Kegagalan dari sebagian besar para pelaku klarifikasi nilai untuk mengakuinya dan untuk memberikan kemahiran itu sebagai bagian inte- gral dari pendekatan mereka adalah sebagian besar kelemahan serius dari pendekatan itu.

Kritik kelima, hal yang mesti dicatat bahwa klarifikasi nilai tidak membantu para siswa untuk menghargai secara kritis nilai-nilai mereka sendiri atau siapapun yang lain. Lebih baik, itu mendorong mereka untuk menerima secara tidak kritis nilai dari masyarakat mereka, Dalam kenyataan, diajarkan bahwa satu nilai adalah baik seperti hal-hal yang lain. Seperti banyak penulis sejarah, ketika masyarakat dalam perubahan terus menerus (seperti Amerika Serikat sekarang ini) banyak nilai-nilai berlawanan berhadapan satu sama lain; dan para siswa mendapatkan sejumlah nilai yang saling berlawanan satu sama lain. Di Amerika Serikat, perolehan nilai-nilai yang saling berlawanan tidak dapat dihindarkan. Sekalipun begitu klarifikasi nilai-nilai tidak memberikan para siswa dengan berbagai cara untuk berhadapan dengan konflik internal (dan sering eksternal) dan gelisah menentang nilai-nilai yang dihasilkan. Seperti Hunt dan Metcall (1968: 124) yang mengemukakan, hal itu tidak banyak

menolong dalam memberitahukan seseorang sebaiknya selalu bernilai jujur dan baik ketika berhadapan dengan dua konflik, maupun kalau itu ditambahkan, apakah banyak menolong untuk memberitahukan bahwa nilai-nilai sama-sama baik (hanya “berbeda”), ketika beberapa nilai dalam situasi di mana satu nilai harus dipilih di antara mereka.

Kritik-kritik di atas tidak dimaksudkan untuk mengecilkan hati para guru dari menggunakan klarifikasi nilai-nilai dalam kelas. Memang, mereka cendrung untuk menemukan beberapa keterbatasan-keterbatasan dari pendekatan, jadi para guru dan pengembang kurikulum dapat memulai berpikir tentang apa kebutuhan-kebutuhan lain yang dilakukan guna memberikan apa yang diabaikan klarfikasi nilai-nilai. Beberapa saran terlihat sepanjang tema dalam Bab 5 dan 6.

1. Baca lagi kritik-kritik terhadap klarifikasi nilai. Apakah kamu menemukan kritik mereka yang menyakinkan? Mengapa ya dan mengapa tidak?

2. Klarifikasi nilai-nilai telah memiliki pengaruh kuat yang sekali di antara banyak guru dan telah dipuji oleh banyak penulis kurikulum dan pembelajaran sebagai pendekatan efektif untuk klarifikasi nilai. Bagaimana kamu akan menghargai terhadap popularitasnya? Dalam opini kamu, apakah popularitasnya itu dibenarkan? Mengapa ya dan mengapa tidak?

3. Berdasarkan keseimbangan, akankah kamu mengatakan kekuatan-kekuatan membelakangi kelemahan-kelemahan dari klarifikasi nilai-nilai atau sebaliknya? Mengapa?

I.

Latihan-latihan

1. Uji coba beberapa kegiatan-kegiatan dari klarifikasi nilai yang telah direkomendasikan dalam bab ini. Kesulitan-kesulitan apakah yang kamu jumpai? Saran-saran apakah (jika ada beberapa) yang akan kamu sampaikan untuk membuat perubahan dalam kegiatan-kegiatan itu? Mengapa?

2. Coba untuk merencanakan kegiatan-kegiatan klarifikasi nilai dari kamu sendiri. Pikirkan tentang berbagai aspek pembelajaran di mana kegiatan-kegiatan klarifikasi nilai mungkin diterapkan, Kemudian coba untuk merumuskan satu atau lebih kegiatan-kegiatan untuk digunakan dengan para siswa. Panduan apakah yang akan kamu

tawarkan kepada orang-orang lain yang ingin mengembangkan dan/ atau menggunakan kegiatan-kegiatan klarifikasi nilai di kelas. 3. Coba menggunakan kegiatan-kegiatan klarifikasi nilai-nilai yang sama

dengan para siswa SD dan SMP. Apakah mereka bekerja sama-sama baik? Mengapa ya atau mengapa tidak? Apakah beberapa kegiatan- kegiatan klarifikasi nilai-nilai dapat digunakan dengan anak-anak yang amat muda, tetapi bukan dengan anak-anak yang lebih tua? Apakah sebaiknya tidak? Mengapa ya atau mengapa tidak? Tentang apakah sebaliknya?

KEPUSTAKAAN

Casteel, Doyle., and Stahl, Robert J. (1975). Value Clarification in the Class- room; A Primer. Pasific Palisades, Calif: Goodyear Publishing Co.

Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytic Ap- proach. Englewood Cliffs.N.J: Prentice-Hall

Hunt, Maurice P., and Metcalf, Lawrence E. (1968). Teaching High School Social Studies. New York: Harper & Row.

Kohlberg, Lawrence. (1975). The Cognitive Developmental Approach to Moral Education. Phi Delta Kappan, Juni 1975.

Raths, Louis E., Harmin, Merril., And Simon, Sidney B. (1966). Values and Teaching. Columbus, Ohio: Charles E.Merril Publishing Co. Simon, Sidney B., Howe, Leland W., and Kirschenbaum, Howard. (1972).

Value Clarification: A Handbook of Practical Strategies for Teachers and Students. New York: Hart Publishing Co.

Stewart. John S. (1975). Clarifying Values Clarification: A Critique. Phi Delta Kappan, Juni 1975.

PEN

PENPEN

PENPENALARAN MORALALARAN MORALALARAN MORALALARAN MORALALARAN MORAL

Baru-baru ini, sejumlah pendidik mengusulkan untuk mengem- bangkan penalaran “moral”, yakni pertimbangan tentang isu-isu moral, di ruang-ruang kelas sekolah dasar dan menengah, khususnya dalam mata pelajaran ilmu-ilmu sosial. Esensi dari pendekatan ini terletak pada pelibatan para siswa dalam diskusi tentang “dilema moral” dan menjelaskannya dengan alasan-alasan yang berbeda, yang dikemukakan oleh siswa-siswa yang lain atau oleh guru untuk berbagai pemecahan terhadap dilema-dilema tersebut.

Dilema moral adalah situasi yang menunjukkan seseorang berha- dapan dengan dua atau lebih jalan pilihan untuk bertindak, keduanya atau seluruhnya dari kondisi-kondisi yang memungkinkan dan mudah dikerjakan. Tidak ada satupun jalan untuk bertindak, namun demikian, dapat dilanjutkan tanpa menimbulkan berbagai jenis stres atau konflik fisik atau mental. Berikut adalah contoh dari dilema moral. Petugas polisi berhadapan dengan pilihan di antara membiarkan pembicara yang menggunakan peti sabun sebagai tempat mimbar pidato untuk melaksanakan pidatonya, sebelum kemarahan orang banyak meningkat, atau menyuruh pembicara berhenti. Pilihan pertama, menghargai hak konstitusi pembicara untuk berbicara di depan publik, tetapi mungkin juga membahayakan keamanan dirinya. Pilihan kedua, melindungi pembicara dari kemungkinan kekerasan orang banyak yang marah, tetapi hal demikian bisa juga melanggar hak-hak konstitusional pembicara. Dilema moral dapat ditemukan di antara berbagai sumber termasuk dalam artikel surat-surat kabar, iklan-iklan, buku-buku komik, gamba-gambar kartun, permainan-permainan, dan film-film.

Kini yang memimpin membela perkembangan dari penalaran moral adalah Profesor Lawrence Kohlberg dari Harvard University. Banyak dari pekerjaannya berakar dari pemikiran John Dewey, tetapi juga dan khususnya dari teori tahapan Jean Piaget. Sebelum kita menguraikan dan membahas teori Kohlberg, mari kita lihat beberapa kesimpulan Piaget.

Dalam dokumen Mengajar serta manajemen mengajar Nilai (Halaman 75-85)