• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik terhadap Teori Tahapan Moral Kohlberg

Dalam dokumen Mengajar serta manajemen mengajar Nilai (Halaman 109-115)

BAB II NILAI-NILAI DAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH

E. Kritik terhadap Teori Tahapan Moral Kohlberg

Teori tahapan moral Kohlberg merupakan suatu yang meyakinkan dan menarik untuk guru-guru kelas, khususnya dalam menekankan gerakan melalui tahapan proses alami, guru selanjutnya dapat melaksanakan diskusi dilema- dilema moral. Diskusi kelas yang lama dihargai sebagai teknik yang melibatkan para guru dari semua tingkatan. Bagaimanapun, banyak orang hati-hati terhadap para guru dan pengembang kurikulum meloncat amat cepatnya pada kereta api musik tahapan moral dengan sejumlah alasan. Apakah kehatian-kehatian mereka?

Barangkali keberatan pertama terletak pada argument Kohlberg untuk tahapan-tahapan universalnya. Kohlberg menyatakan bahwa enam tahapan yang ia identifikasi yang mengandung lima kebudayaan yang telah diuji. Bagaimanapun, merupakan sampel cukup kecil untuk mengambil kesimpulan yang meluas, bahwa satu gambaran perkembangan moral untuk semua orang dalam semua kebudayaan telah ditemukan. Juga sampel yang mendukung pengambilan kesimpulan untuk konsep keadilan-fundamental untuk pertimbangan yang melekat pada tahapan yang lebih tinggi (tingkatan 5 dan 6) yang didukung oleh semua budaya. Colin Turbull, sebagai contoh, dalam The Mountain People, menguraikan beberapa perilaku dari orang Ik di Uganda Timur Laut. Orang Ik pada satu masa merupakan masyarakat damai. Mereka bekerjasama berburu mencari makan dan menghormati kematian mereka dengan acara-acara pemakaman. Baru-baru ini, pemerintah Uganda memutuskan untuk suku Ik dipindah ke dalam taman nasional. Itu kemudian merubah orang Ik menjadi baru dan amat ramai tinggal di area lereng gunung yang curam. Sebagai hasil dari perubahan itu, orang Ik kelihatan mengembangkan nilai-nilai yang amat bertentangan dengan nilai keadilan. Sebagai contoh, Turnbull mengamati kelompok dari mereka yang tertawa, ketika anak yang muda mengambil batu bara dari api dan berteriak kesakitan. Anak muda Ik tertawa kesenangan sambil mereka memukul orang Ik yang

lebih tua dengan tongkat dan melempari mereka dengan batu-batu kepadanya sampai ia menangis. Seluruh desa sampai ke pinggiran jurang terakhir, wanita buta dihina dan ditertawakan, sehingga ia menderita. Dua tahun masa kekeringan orang Ik mengalami kehancuran panen dan menderita kelaparan, mengatur kembali penyimpanan makanan dan dijaga oleh satu keluarga dan orang yang lebih tua dari suku yang dihormati dan dipandang sebagai tanda penghormatan. Orang tua yang meninggal dunia, dan acara-acara pemakaman tidak lagi diselenggarakan. Sesudah tinggal dengan orang Ik selama 18 bulan, Turnbull (1972) menyimpulkan pengalamannya dengan kata-kata berikut:

Orang Ik mengajarkan kepada kita bahwa banyak dari nilai-nilai kemanusiaan kita tidak melekat pada umat manusia secara keseluruhan, tetapi berkaitan hanya dengan bentuk terutama sekali dari kelangsungan hidup yang disebut dengan masyarakat, dan semuanya, bahkan dalam masyarakat itu sendiri adalah barang mewah yang dapat dibagi dengannya.

Seperti Peters (1975: 678) sarankan, Kohlberg dan pendukungnya tampak lemah dari keyakinan bahwa moralitas didasarkan pada konsep keadilan yang hanya merupakan jenis moralitas yang dapat dipertahankan. Ia menempatkan Kohlberg dan pendukungnya dalam suatu posisi yang sulit, mereka paksa untuk mempertahankan proposisi bahwa keadilan adalah konsep yang secara universal dipertahankan dan dipuji. Sayangnya, hal demikian cukup amat banyak bukti yang bertentangan dengan hal yang telah diyakini.

Keberatan kedua terletak pada pernyataan yang tegas bahwa penalaran tahapan lebih tinggi tidak hanya berbeda, tetapi secara moral lebih baik dari penalaran tahapan lebih rendah. Perhitungan seperti itu (bahwa “lebih tinggi” berarti “lebih baik”) kelihatannya tidak mungkin untuk dibuktikan. Jika penalaran tahapan lebih tinggi adalah lebih baik itu seharusnya berisi atau memiliki sesuatu yang penalaran tahapan lebih rendah tidak mempunyainya. Dan jika itu benar adalah sulit untuk melihat bagaimana penalaran dari tahapan lebih rendah akan dapat memahami argumen-argumen dari tahapan penalaran yang lebih tinggi. Dan jika tidak dapat memahami argumen- argumen, adalah sukar untuk melihat mengapa tahapan yang lebih rendah akan cendrung untuk menerima penalaran itu sebagai lebih baik dari mereka sendiri sebagai pembenaran untuk berbagai tindakan. Jika “lebih tinggi” adalah bukan “lebih baik” kemudian tidak nampak untuk berbagai pembenaran guna mencoba “meningkatkan hasil” penalaran dari anak-anak dengan

menolong mereka untuk bergerak melalui berbagai tahapan. Michael Scriven (1975: 690) mengemukakan dalam nada serupa:

Membuka atau menutup pertanyaan adalah apakah seseorang berada pada tahapan “menengah” dari perkembangan moral adalah lebih salah (atau kurang benar) atas persoalan-persoalan dari seseorang pada tahapan “lebih tinggi”. Jika subjek tahapan”lebih rendah” tidak dapat dibuktikan salah, kemudian tidak ada pembenaran untuk mencoba merubah mereka, yakni untuk pendidikan moral. Jika mereka dapat dibuktikan salah, kemudian itu harus dibuktikan bahwa mereka salah, yakni terbukti dari meningkatnya secara objektif bentuk dari standar-standar moral; tetapi pembuktian tidak memuaskan dari hal ini telah dihasilkan………. Ini adalah kejadian yang bersifat kebetulan. Jika pembuktian seperti itu, seseorang yang dapat memahaminya dan menemukannya secara meyakinkan. Tiap tahapan lebih rendah dapat (memahaminya), dalam kasus ini, tidakkah tahapan lebih tinggi terbukti …, dan akan diabaikan oleh kebenaran moral orang-orang…atau tahapan lebih rendah tidak dapat memahaminya, dalam kasus mereka tidak mempunyai alasan yang baik untuk bergerak “menaik” dalam kasus kita tidak punya pembenaran yang akan menggerakkan mereka terhadap keinginan mereka (atau pun) berpikir mereka akan digerakkan, karena terbukti …. ternyata hanya tahapan lebih tinggi adalah orang-orang yang berada di tahap yang lebih tinggi…. Problem dengan teori pentahapan, untuk menyimpulkannya adalah pembuktian bahwa lebih tinggi berarti lebih baik, baik menyangkal teori tahapan (jika setiap orang yang cerdas dapat menghargainya) atau menjadi lingkaran setan, itu menolak dirinya sendiri atau melayani diri sendiri.

Keberatan ketiga, karena Kohlberg sendiri menilai bahwa mayoritas orang tidak dapat melewati tahap 4, itu nampak penting untuk menemukan cara- cara untuk membuat setiap orang meningkat dan benar-benar masuk dalam tahap itu. Peters (1975: 678) menulis:

[Karena] sedikit [individu-individu] mungkin sekali muncul melewati tahap 3 dan 4, itu penting bahwa anggota warga negara kita akan mendapatkan tempat yang baik pada satu atau tahapan-tahapan yang lain. Polisi tidak selalu ada pada saat ini, dan jika saya berdusta dalam got setelah dirampok itu adalah sesuatu spekulasi pada tahapan apakah perampok itu. Penyesalan harus sungguh-sungguh paling sedikit memiliki moralitas secara konvensional yang baik tertanam padanya.

Tahapan konvensional (Tahap 3 dan 4) dari penalaran adalah penting untuk alasan yang lain. “Pada tahapan ini anak-anak belajar dari dalam,

seperti apakah ia mengikuti peraturan. Kalau ia telah belajar dengan baik (apakah bermakna), pikiran akan mengikuti peraturan-peraturan telah dimilikinya sendiri pada tahapan otonom adalah tak dapat dipahami”. Sebelum ide tentang mengembangkan dan mengikuti peraturan-peraturan yang dimilikinya sendiri dimulai dengan membuat bermacam pengertian, anak-anak harus memahami dan menghargai pentingnya peraturan-peraturan secara umum baik pribadi maupun masyarakat kehidupan. (Dapatkah kau membayangkan eksistensi masyarakat tanpa peraturan-peraturan sedikit pun).

Anak-anak juga harus harus memahami apa yang dapat terjadi bila peraturan-peraturan diabaikan dan/atau dipandang enteng oleh sejumlah besar orang. Itu pasti penting untuk menyadari bahwa peraturan- peraturan mungkin tidak adil; tetapi pertanyaan dari kapan dan apakah

tidak mematuhi peraturan (atau beberapa) yang tidak adil adalah sesuatu yang penting diselidiki dengan jelas oleh anak-anak, menggunakan berbagai peristiwa dan analogi-analogi. Kita tentu saja tidak ingin mengembangkan kecendrungan dari anak muda membuat peraturan- peraturan amat diabaikan atau, tentu saja, dengan memandang peraturan- peraturan itu, tidak dilanggar dan positip. Ini dapat terhindar hanya dengan menolong mereka dengan menyadari bahwa nilai yang mengikuti peraturan-peraturan ber jalan seirama dengan kecendr ungan- kecendrungan mereka. Memang, elemen kunci dari moralitas, itu nampak bagi saya, terletak dalam pemahaman bahwa “penolakan terhadap godaan” dapat menjadi penghormatan terhadap haknya sendiri. Beberapa strategi khusus untuk mengembangkan pengertian anak-anak terhadap pentingnya peraturan-peraturan (dan lebih penting, realisasi yang diberikan dalam satu kecendrungan sering memberikan baik kebahagiaan maupun kepuasaan) masih belum kelihatan.

Keempat, teori yang menempatkan tuntutan-tuntutan yang agak tidak realistis terhadap guru-guru kela,s sekali mereka mengikutsertakan para siswa dalam diskusi moral. Kohlberg mengemukakan bahwa, “Jika komunikasi moral berjalan efektif, tingkat perkembangan pengungkapan kata-kata (verbalisasi) guru harus berada di atas tingkat anak-anak”. Jika itu benar, syarat yang diberikan paling sedikit mengandung dua prob- lem. Sebab Kohlberg menyatakan bahwa hanya 10% dari jumlah penduduk mencapai tahapan 5 atau 6, hukum-hukum dari peluang mengemukakan bahwa ada sejumlah guru penalaran yang mereka miliki

berada di tahapan lebih bawah. Mereka demikian mungkin melakukan hubungan dengan para siswa yang penalarannya pada tahapan lebih tinggi dari mereka sendiri. Akankah guru demikian dapat memahami, membiarkan seorang diri menolong, para siswa seperti itu? Bagaimana dapat guru yang punya penalaran tahapan 3, sebagai contoh, diharapkan memberikan argument tahapan 5 kepada siswa tahapan 4 (kepada membantu perkembangan pertumbuhan tahapan) jika mereka tidak dapat memahami apa yang diberikannya sebagai argumen?

Selanjutnya pula, bahkan jika cukup tahap 5 para guru dapat mencapainya, mereka masih akan berhadapan sungguh-sungguh dengan sejumlah kesulitan praktis seperti mereka berinteraksi dengan para siswa, tidak ada persoalan apakah tahapan-tahapan para siswa yang mungkin dicapai. Sebab perkembangan intelektual dan kronologis yang tidak selalu sama, sebagian besar guru mungkin sekali membuat anak-anak dalam berbagai tahapan dalam kelas. Itu memungkinkan menjadi sangat luar biasa, dalam faktanya, untuk menemukan dalam kelas dalam mana semua siswa pada tahapan yang sama. Secara teoritis, paling sedikit, semua mengarah kepada yang baik, untuk perbedaan sudut-sudut pandang akan memajukan lebih banyak konflik dan berbagai opini dalam diskusi kelas. Tetapi Kohlberg (1971: 42) mengemukakan bahwa anak-anak harus diungkapkan kepada satu penalaran tingkat lebih tinggi dari pada tahapan mereka sekarang, jika perkembangan adalah dibantu. Untuk melakukan itu, para guru harus mendengar beberapa respon dari setiap siswa dan memikirkan apakah tahapan dari penalaran beberapa respon yang mengusulkan. Guru, baik harus mempunyai bingkai yang tepat tentang satu tahapan lebih tinggi yang merespon selama diskusi kelas, atau mencampur para siswa dengan siswa lain dengan penalaran satu tahapan lebih tinggi, jadi mereka mungkin mendengar.

Tidak semua pendukung Kohlberg nampak setuju bahwa anak-anak membutuhkan pembukaan terhadap penalaran yang lebih tinggi dari diri mereka sendiri. Beyer (1976: 194-202) menulis:” Para guru tidak membutuhkan kemampuan untuk mengidentikasi tahapan-tahapan penalaran para siswa mereka yang digunakan agar dapat memimpin diskusi moral… Para guru yang belajar memajukan para siswa untuk merespon terhadap setiap siswa lain biasanya dapat menggunakannya dalam argumen-argumen pada tahapan-tahapan yang berdekatan. Pernyataan ini agak membingungkan. Bagaimana guru dapat memajukan

para siswa dalam argumen-argumen “pada tahapan-tahapan berdekatan” jika guru tidak dapat mengenal tahapan-tahapan dalam tempat pertama? Jika kita menempatkan pernyataan itu kita hadapkan pada nilai, Beyer kelihatannya mengatakan bahwa, “Jangan cemas, hanya meminta para siswa berdiskusi, dan perkembangan penalaran moral akan terjadi”. Tetapi ia kemudian akan berkata bahwa para guru “dengan pengalaman dan membaca kembali laporan dari penelitian Kohlberg… dapat menjadi lebih terampil mengidentifikasi tahapan-tahapan penalaran para siswa mereka”. Terus terang dia sendiri tidak yakin bagaimana pentingnya itu untuk para guru untuk dapat menempatkan para siswa pada tahapan tertentu. Itu tidak ada cara di antara keduanya. Para guru membutuhkan untuk mengetahui apakah tahapan-tahapan itu, kemampuan mengenalinya ketika mereka mendengarnya, atau mereka tidak melakukannya. Jika mereka tidak melakukan, mereka dapat melupakan tentang teori tahapan dan apakah dengan hati-hati para guru melakukan semua selama, mencoba mengikutsertakan para siswa dalam diskusi mengenai persoalan-persoalan penting tanpa secara khusus mencoba menyingkap pandangan-pandangan setiap individu pada satu tahapan yang lebih ting gi. Pertanyaan yang tersisa adalah: Dapatkah mengidentifikasi tahapan moral yang penting atau tidak?

Kelima, catatan terhadap tahapan-tahapan itu sendiri ditantang oleh kalangan terpelajar. Pakar psikolog Social Learning, seperti Walter dan Mischels (dalam Thomas Likona, 1976) yang mengemukakan bahwa

perubahan-perubahan secara regular lebih dari tempo pertimbangan moral anak- anak mungkin seharusnya sederhana dalam kenyataan bahwa sebagai anak-anak tumbuh lebih tua, sebagian terbesar orang-orang dewasa memberikan reaksi berbeda dari mereka. Karena orang-orang tua dan orang-orang dewasa yang lain berbicara secara berbeda dengan anak-anak muda ketimbang para remaja, itu tidak menjadi kejutan bahwa respon-respon lisan dari siswa- siswa kelas satu dan kelas dua berbeda dengan anak belasan tahun.

Keenam, argumen bahwa semua orang bergerak melalui tahapan- tahapan dalam berbagai rangkaian yang berbeda ditolak oleh Elizabeth Simpson (1974: 81-106), yang mengemukakan bahwa penelitian yang dilakukan Kohlberg telah menunjukkan hal yang menarik hanya pada tahapan 2,3 dan 4. Selanjutnya, dalam berbagai studi disebutkan oleh Kohlberg dan yang lain, banyak siswa memperlihatkan tahapan yang tidak bergerak pada mereka. Dalam studi Kohlberg tahun 1969, sering

dikemukakan sebagai landasan bagi kecendrungan membujur (longitu- dinal) dalam perkembangan-perkembangan tahapan, hanya pada sepertiga (32,6%) dari para siswa yang terlibat memperlihatkan seluruhnya cendrung berubah tahapannya, dan hanya 8 dari jumlah sampel 43 memperlihatkan satu langkah cendrung menuju perubahan. Holstein (1973) menemukan bahwa hanya 17 siswa dari jumlah sampel 52 bergerak mencapai satu tahapan di atas periode tiga tahun, dengan 33 (63,5%) menunjukkan secara umum beberapa cendrung bergerak. Dalam studi-studi di Boston dan Pittsburgh, Kohlberg menguraikan dalam artikel Phi Delta Kappan tahun 1975, ia mengemukakan bahwa hanya “setengah” dari para guru yang terlibat (dua puluh empat) yang dapat mendorong meningkatkan gerakan tahapan. Dan itu hanya dari seperempat dari setengah tahapan.

Dengan klarifikasi nilai, semua catatan itu adalah tidak untuk mengecilkan hati para guru dan pengembang kurikulum dari pemikiran tentang teori dan penelitian tahapan. Banyak dari karya Kohlberg yang secara sangat menarik dan bermanfaat. Tetapi banyak penelitian perkembangan moral masih terbuka untuk pertanyaan atau penafsiran alternatif. Kita tidak akan menutup mata untuk kenyataan bahwa temuan-temuan dalam penelitian Kohlberg sebagian besar masih merupakan hipotesis, mengundang untuk penyelidikan dan memperbaiki, daripada pernyataan-pernyataan yang menunjukkan fakta.

F.

Kritik terhadap Berbagai Anjuran Pendidikan yang

Dalam dokumen Mengajar serta manajemen mengajar Nilai (Halaman 109-115)