• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA RESILIENSI REMAJA JAWA PASCA KEMATIAN ORANG TUA SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA RESILIENSI REMAJA JAWA PASCA KEMATIAN ORANG TUA SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi"

Copied!
225
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA RESILIENSI REMAJA JAWA PASCA KEMATIAN ORANG TUA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Michael Adhi Nugraha Tri Putranta 149114194

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)

iv

Dum Spiro Spero

(3)

v

Teruntuk mereka yang mengalami kehilangan orang tua pada masa muda, semesta tak pernah lelah menguji manusia.

Dengan caranya, ia memberikan asa pada setiap luka, menghendaki pertumbuhan dalam suka maupun duka.

Kelak kita akan menyeka air mata menjadi tawa, mengubah derita menjadi canda bahagia.

Walau lelah selalu ada, sebaiknya percaya bahwa pada waktunya akan sirna. Bersama Sang Ada, manusia menuai cinta.

(4)

vii

DINAMIKA RESILIENSI REMAJA JAWA PASCA KEMATIAN ORANG TUA Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Michael Adhi Nugraha Tri Putranta

ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana dinamika resiliensi remaja Jawa pasca kematian orang tua. Kematian orang tua melahirkan berbagai macam dampak bagi remaja Jawa yang ditinggalkan. Untuk memenuhi tujuan tersebut, peneliti melakukan wawancara semi-terstruktur terhadap tiga orang remaja Jawa yang orang tuanya sudah meninggal, kemudian melakukan analisis dengan menggunakan pendekatan IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). Hasil penelitian menunjukkan alur dinamika resiliensi remaja Jawa pasca kematian orang tua sebagai berikut: (1) sikap dalam merespon kematian, (2) munculnya permasalahan – kematian melahirkan mungkret, (3) dampak pasca kematian orang tua, (4) proses reintegrasi, (5) hasil reintegrasi. Reintegrasi atau olah rasa dalam mewujudkan resiliensi didorong oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Dinamika dialog dan diskusi (kandha-takon) dapat membangun pemahaman-pemahaman baru, melahirkan kemampuan menyadari raga (raos ning raga), menyadari pikiran (raos ning karep), dan menyadari rasa itu sendiri (raos ning raos). Melalui reintegrasi, dua orang informan mampu berada dalam kondisi mulur atau resilien, sedangkan satu informan masih berproses mengolah permasalahan yang muncul

(5)

viii

THE DYNAMICS OF JAVANESE ADOLESCENT’ RESILIENCE AFTER THEIR PARENTS PASSED AWAY

Department of Psychology Faculty of Psychology Sanata Dharma University

Michael Adhi Nugraha Tri Putranta

ABSTRACT

This study aims to find out the dynamics of Javanese adolescent’ resilience after their parents passed away. Parents’ death gives various impacts to Javanese teenagers who were left behind. The researcher conducted semi-structured interviews with three Javanese adolescents whose parents have passed away followed by analysis using the Interpretative Phenomenological Analysis. It reveals the dynamics flow of Javanese adolescent’ resilience after the death of their parents as followed: (1) The attitude in responding death; (2) the raise of the problems; (3) The post-death impact of the parents, (4) reintegration process, (5) reintegration results. Reintegration in realizing resilience is driven by two factors; external factors and internal factors. The dynamics of dialogue and discussion (kandha-takon) is able to construct new thoughts, creating of body awareness (raos ning raga) and mind awareness (raos ning karep), and also to be aware of the feeling (raos ning raos). Through reintegration, two informants are in a resilient condition, while one informant is still in the process of coping the problems.

Keywords: Interpretative Phenomenological Analysis; parent’s death; Javanese teenager; resilience

(6)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SKEMA ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Pertanyaan Penelitian ... 12 C. Tujuan Penelitian... 12 D. Manfaat Penelitian... 12 1. Manfaat Teoretis ... 12 2. Manfaat Praktis ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Resiliensi ... 13

1. Pengertian Resiliensi ... 13

2. Faktor-faktor Resiliensi ... 15

3. Aspek-aspek yang Mendukung Resiliensi ... 16

4. Karakteristik Individu Resilien ... 19

5. Proses Pembentukan Resiliensi ... 20

(7)

xiv

C. Remaja Jawa dan Resiliensi ... 31

D. Kematian Orang tua ... 36

E. Kematian Orang tua Bagi Remaja Jawa ... 42

BAB III METODE PENELITIAN... 47

A. Pendekatan Penelitian ... 47

B. Fokus Penelitian ... 48

C. Informan Penelitian ... 48

D. Instrumen Penelitian ... 49

E. Prosedur Pengumpulan Data ... 49

F. Metode Analisis Data ... 50

G. Kualitas Penelitian ... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

A. Pelaksanaan Penelitian ... 55

B. Profil Informan ... 56

1. Demografi Informan ... 56

2. Latar Belakang Informan ... 57

C. Hasil Penelitian ... 59

1. Informan TAD ... 59

2. Informan PBP ... 66

3. Informan BS ... 76

D. Analisis Data ... 85

1. Sikap dalam merespon kematian ... 85

2. Muncul permasalahan – Kematian melahirkan mungkret .... 88

3. Dampak pasca kematian orang tua ... 91

4. Proses Reintegrasi ngudari reribet / Olah Rasa ... 95

5. Terbangunnya kesadaran baru ... 102

6. Kondisi berbeda / reintegrasi dengan kehilangan ... 105

7. Titik resilien / Menjadi mulur ... 106

E. Pembahasan ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 137

(8)

xv

B. Keterbatasan Penelitian ... 138

C. Saran ... 139

1. Bagi individu yang yang sedang berduka atas kematian orang tuanya ... 139

2. Bagi Praktisi ... 140

3. Bagi penelitian selanjutnya ... 141

DAFTAR PUSTAKA ... 143

(9)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pelaksanaan Penelitian ... 55 Tabel 2. Demografi Informan ... 56

(10)

xvii

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Skema Pembentukan Resiliensi menurut Richardson (2002) ... 20 Skema 2. Skema Hasil Penelitian Dinamika Resiliensi Remaja Jawa

(11)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 149

Lampiran 2. Analisis data informan TAD... 152

Lampiran 3. Analisis data informan PBP ... 167

Lampiran 4. Analisis data informan BS ... 188

Lampiran 5. Clustering 3 informan ... 207

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menemui ajal atau mati merupakan fenomena esensial dan universal dalam kehidupan manusia. Setiap orang pada suatu saat mengalami tanpa sanggup meniadakannya, kecuali menundanya. Kendati demikian, kematian tidak serta merta dipandang dan bisa diterima setiap orang dengan reaksi atau ekspresi yang sama. Kita memiliki tafsir, khayalan, kepercayaan dan perasaan sendiri mengenai kematian, hingga ada orang yang begitu pasrah, ikhlas atau sebaliknya takut dan memberi jarak sejauh mungkin manakala menghadapinya (Subagya, 2005).

Berbagai kebudayaan memiliki konstruksi berlainan dalam memaknai kematian. Kecemasan, ketakutan atau kebahagiaan orang dalam menghadapinya, kesedihan atau kegembiraan yang ditunjukkan orang-orang yang ditinggalkan serta ritual-ritual kematian dihasilkan oleh pandangan mengenai cara dan arah hidup manusia dalam konteks sosial dan budaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa gagasan tentang kematian terkonstruksikan secara sosial. Meski kematian menjadi batas akhir keberadaan seseorang di dalam interaksi sosial, berbagai kebudayaan memandang fenomena itu bukan sebagai titik lenyap kehidupan (Subagya, 2005).

Sebagai orang Jawa yang hidup di tengah masyarakat Jawa, yang sejujurnya peneliti juga belum memahami seutuhnya (definisi) ke-Jawa-an itu

(13)

sendiri, ada sebuah ketertarikan untuk melihat lebih jauh sikap atau cara hidup orang Jawa dalam menghadapi kematian. Berawal dari pengalaman melayat tetangga, saudara, dan kerabat, ada persamaan yang hampir selalu dijumpai yaitu adanya ajakan bagi keluarga yang ditinggalkan untuk bersabar dan mengikhlaskan almarhum/ah. Walaupun ajakan tersebut disambut dengan “meng-iya”, namun tidak bisa dipungkiri bahwa raut wajah yang lesu serta air mata yang mengalir menunjukkan sebuah rasa yang sesungguhnya sedang dialami, kehilangan. Peneliti kemudian berpikir: mengapa “meng-iya” bisa diungkapkan begitu saja dalam kondisi mereka yang sedemikian rupa? apa yang sebenarnya terjadi dalam diri mereka? apakah seruan untuk bersabar dan mengikhlaskan adalah sebuah kalimat yang mampu mendorong orang agar tidak berlarut-larut dalam duka?

Dalam ilmu kawruh jiwa yang dipelopori oleh Ki Ageng Suryomentaram (anak dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII), terdapat salah satu bagian yang mengajarkan tentang konsep mulur-mungkret dalam kehidupan. Manusia yang menjalani hidup didasari dengan karep atau keinginan tentu akan mengalami fase-fase bahagia atau susah. Hal-hal yang berkaitan dengan tercapainya keinginan akan melahirkan rasa senang (mulur), namun ketika tidak tercapai akan dirundung rasa kecewa, susah, dan semacamnya (mungkret) (Wusana, dll., 2015). Ketika sedang berada dalam situasi duka atas kematian keluarga atau kerabat, maka kondisi jiwa bisa dikatakan sedang mungkret, karena karep yang diinginkan, misal: masih membutuhkan kehadirannya atau ingin berkarya bersama, yang tidak dapat terwujud.

(14)

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan (Clifford Gertz, 1989, dalam Subagya, 2005), peneliti menunjukkan ke-terkesanannya dengan suasana kematian di Jawa yang begitu datar, tenang, tanpa ada jerit tangis histeris, tidak demonstratif dan lesu, yang konon merupakan upaya untuk mewujudkan sikap iklas yang diusahakan bersama. Namun dalam suatu pengalaman lain dalam melayat, dijumpai hal lain di mana anak gadis sulung almarhumah datang dari Semarang lalu menangis meraung-raung saat masuk halaman rumah dan menjumpai jenazah ibunya (Subagya, 2005). Kedua pengalaman tersebut menunjukkan bahwa dalam Jawa ada yang menyikapi kematian dengan tenang namun ada juga yang histeris. Dalam pengalaman pribadi peneliti, suasana kematian orang Jawa secara dominan yang pernah dijumpai justru adanya ekspresi histeris dari keluarga yang ditinggalkan. Isak tangis dan (sesekali) jeritan histeris dari keluarga yang ditinggalkan seakan-akan lepas begitu saja, menjadi warna hingga pemakaman selesai.

Secara konseptual orang Jawa memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang mati (Layungkuning, 2013). Mereka akan diangkat lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang masih hidup. Segala status yang disandang semasa hidup ditelanjangi digantikan dengan citra kehidupan luhur. Dalam hal ini makna kematian di kalangan orang Jawa mengacu pada pengertian kembali ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi). Bahwasanya keberadaan manusia dan alam semesta merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Usai melakukan peziarahan hidup, kelak manusia dan segala ciptaanNya akan kembali lagi

(15)

padaNya. Oleh karena itu dalam melepas kematian seseorang sebaiknya dilandasi rasa ikhlas Lillahita’ala, bahwa semua yang tercipta ini akan diambil oleh Sang Pencipta.

Dalam ritual pemakaman orang Jawa, orang tidak diperkenankan menangis di hadapan jenazah. Jerit tangis histeris (muwun) atau duka cita yang mencekam sedapat mungkin dihindarkan walaupun saat upacara pemakaman luapan tangis sering tidak terbendung. Konon, kesedihan dapat membuat keragu-raguan dan menciptakan mendung bagi almarhum dalam mengawali perjalanannya ke alam kelanggengan. Sementara itu, reaksi/respon menghadapi kematian sebagai orang Jawa tidak selalu berjalan searah dengan wacana konseptual Jawa. Dalam praktiknya, menangis, marah, bersedih, bingung adalah ungkapan spontan dan emosional manakala orang dihadapkan pada kematian. Tepat disinilah kemudian terjadi tegangan, bahwasanya wacana konseptual orang Jawa seolah-olah berusaha menekan respon psikologis secepat mungkin dalam menyikapi kematian. Tujuannya jelas, agar tidak berlarut-larut dalam keterpurukan atau kedukaan, namun praktiknya belum tentu dapat diimplementasikan begitu saja. Bukankah memberikan ruang bagi diri untuk merasakan dan mengalami duka itu adalah hal yang wajar dan sehat secara mental? Hal tersebut membawa peneliti bertanya lebih jauh: bagaimana seharusnya orang Jawa menyikapi kematian?

Kematian di Jawa yang begitu datar, tenang, tanpa ada jerit tangis histeris dan sebagainya, yang merupakan upaya untuk mewujudkan sikap ikhlas rasanya tidak dapat terjadi begitu saja. Informan BS (21 tahun) mengutarakan

(16)

bahwa ia mencoba terlihat tegar dengan tidak menangis di hadapan para pelayat, namun ketika berjumpa dengan sahabatnya ia meluapkan tangisannya sejadi-jadinya. Kemudian informan TAD (22 tahun) mengutarakan bahwa pasca kematian orang tuanya, ia menjadi pribadi yang mudah marah dengan siapapun. TAD (22 tahun) merasa kehilangan sosok yang sepaham dengan dirinya, sehingga hal tersebut melatarbelakangi perubahan pribadinya yang menjadi mudah marah. Hal tersebut menunjukkan bahwa sikap ikhlas belum dapat diwujudkan dengan cepat. Kehilangan yang dialami justru melahirkan dampak psikologis yang beraneka ragam.

Anak-anak yang kehilangan orang tuanya atau seseorang yang begitu dekat dengannya mungkin menunjukkan gejala seperti denial (pengingkaran), bodily distress (sakit fisik), kemarahan, reaksi bermusuhan kepada yang meninggal dan orang lain, rasa bersalah atau self-blame, depresi, kecemasan, bahkan kepanikan (Astuti, 2005). Respon tersebut muncul bukan hanya sebatas kehilangan secara fisik dan ketidaksiapan, melainkan juga karena adanya kekhawatiran akan masa depan seperti yang diutarakan informan BS (21 tahun) bahwa ia tidak tahu bagaimana nasib pendidikannya kelak. Kekhawatiran-kekhawatiran lain yang muncul tentu akan mempengaruhi aspek psikologis pada individu yang mengalaminya.

Ketidaksiapan manusia dalam menghadapi kematian seseorang dapat berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental. Secara fisik dapat mewujud dalam bentuk rusaknya sistem kekebalan tubuh, mengalami sakit kepala, gangguan pencernaan, atau nyeri dada, kehilangan nafsu makan, kesulitan

(17)

berkonsentrasi, mempertinggi resiko kecemasan, depresi, insomnia, dan disfungsi sosial. Hal tersebut dirasakan oleh informan PBP (21 tahun) yang mengalami pingsan dengan intensitas sering. Dalam sehari dirinya bisa pingsan sebanyak 5-10 kali. Ketika diperiksa secara medis, ternyata ada salah satu syarafnya yang lemah pasca kematian orang tuanya.

Secara mental, pasca menghadapi peristiwa kematian dapat menimbulkan efek stress seperti selalu tampak sedih, mengkritik diri sendiri, memiliki pandangan hidup yang pesimis, kurang memperhatikan perawatan diri, menarik diri dari pergaulan, berbicara lambat dengan nada suara lemah, dan lebih banyak menunduk dan merenung sendiri dalam kesehariannya. Hal tersebut dialami oleh informan TAD (22 tahun) yang mengalami perubahan kepribadian menjadi mudah marah kepada siapapun. Tidak adanya sosok yang mampu menjadi panutannya diakui menjadi latar belakang dirinya menjadi mudah marah.

Diperkirakan sebesar 10%-20% orang yang berduka karena ditinggalkan mati oleh orang yang dicintainya mengalami penanganan yang sulit karena mengalami kesedihan akut yang berkepanjangan (Horowitz, dkk., 1997). Orang yang mengalami kesedihan terus menerus biasanya mengalami rasa tak percaya tentang kematian. Dalam kehidupan Jawa hal tersebut belum menunjukkan sikap nrimo lan iklas. Sebaliknya, perasaan yang dirasakan adalah marah, kepahitan, dan perlawanan terhadap kenyataan yang memilukan. Orang belum bisa menerima (nrimo) kenyataan yang dihadapi bahwa yang meninggal sudah pergi dan tak lagi dapat dijumpai secara fisik.

(18)

Begitu pula sikap mengikhlaskan (iklas) momentum kebersamaan yang belum dimiliki, yang menjadi rindu bahkan semakin membuat rasa menjadi pilu. Terkadang dalam kondisi demikian, minat dan keterlibatan dalam proses keberlangsungan hidup menjadi menurun atau bahkan tiada.

Berduka atau tidak berduka atas kematian orang yang dicintai merupakan pilihan, tapi bentuk kehilangan secara fisik adalah realita yang tidak bisa dipungkiri. Seorang informan berinisial PBP sempat mengalami kesedihan berlarut dan kerinduan mendalam terhadap almarhum ayahnya ketika ia teringat akan aktivitas yang pernah dilakukan bersama. Ketika dirinya mengingat masa tersebut, tak ada hal yang bisa diubah dirinya hanya bisa meneteskan air mata, dan kemudian mencoba menenangkan dirinya. Dari pengalaman tersebut tampak bahwa rasa duka masih menyelimuti dalam bayang-bayang aktivitas yang dilakukan.

Keluarga adalah salah satu elemen inti yang paling berpengaruh dalam kehidupan remaja (Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015). Dalam hal ini orang tua memiliki peran yang penting dalam mengayomi, membimbing, dan mengarahkan remaja dalam proses menuju ke tahap dewasa. Dengan demikian remaja memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keluarga (Lestari, 2012). Secara lebih spesifik, sikap ketergantungan remaja dalam keluarga lahir dari dinamika yang terjadi antara orang tua dan anak.

Orang tua adalah lingkaran pertama di mana seorang anak memiliki kedekatan dan ikatan emosional. Remaja pada umumnya sangat tegar dalam menghadapi situasi yang menyedihkan, tapi berhadapan dengan kematian

(19)

orang tua bisa menjadi suatu tragedi untuk seorang anak (Astuti, 2005). Hal tersebut disebabkan karena usia mereka belum cukup matang untuk memahami dan menerima kenyataan yang memilukan. Bila bertolok pada angka harapan hidup, manusia pada umumnya memiliki kemampuan hidup sampai umur 71,2 tahun (Badan Pusat Statistik, 2019). Artinya mereka yang meninggal pada umur 70 tahun atau lebih akan meninggalkan anak yang sudah berusia dewasa. Bagaimana mungkin seorang remaja yang masih sangat membutuhkan bimbingan orang tuanya untuk memasuki masa perkembangan selanjutnya bisa menerima begitu saja kematian orang tuanya tanpa ada suatu dampak yang mengikuti? Barangkali peristiwa tersebut dirasakan sebagai sebuah titik di mana sebagian hidupnya terampas, menjadi lesu dan tidak berdaya dalam melanjutkan kehidupan.

Ketiadaan orang tua karena kematian adalah perubahan hidup yang menimbulkan stress bagi anak dan menuntut individu melakukan penyesuaian diri (Weiten, 1997, dalam Yuliawati, 2007). Hal tersebut disebabkan karena orang tua merupakan orang pertama yang mampu memberikan dan memenuhi kebutuhan dasar anak seperti kebutuhan fisiologis, rasa aman, dan cinta kasih. Dalam keluarga Jawa, remaja laki-laki akan menjadikan bapak sebagai tokoh identifikasi perilaku dalam hal apapun. Begitu pula remaja perempuan akan menjadikan ibu sebagai tokoh identifikasi perilaku dalam hal apapun. Pola interaksi yang terjadi di dalam keluarga akan menyebabkan antar anggota keluarga saling memiliki ikatan satu sama lain. Ketika pola interaksi ini dipisahkan secara mendadak oleh kematian, artinya anak akan kehilangan

(20)

tokoh identifikasinya untuk berperilaku. Tentunya hal tersebut akan berpotensi menimbulkan hambatan atau bahkan kekacauan dalam kehidupan anak selanjutnya.

Pada awal masa hidup, seorang anak yang kehilangan ibu memiliki dampak yang jauh lebih merusak daripada kehilangan ayah (Santrock, 2004). Hal tersebut disebabkan karena pengasuhan anak kecil harus dialihkan kepada pengasuh lain yang tentunya menggunakan cara mendidik berbeda dengan yang dilakukan oleh ibu. Sedangkan dengan bertambahnya usia, kehilangan bapak sering lebih serius daripada kehilangan ibu, terutama bagi anak laki-laki (Santrock, 2004). Hal tersebut membuat anak laki-laki menjadi tidak mempunyai sumber identifikasi kepemimpinan atau pembuat otoritas, dan mereka tidak senang tunduk pada wanita di rumah sebagaimana halnya di sekolah. Mereka mungkin berkeberatan untuk menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah meninggal. Bagaimanapun, mereka harus menyusun kembali hidup mereka dan belajar untuk hidup tanpa bantuan dan kehadiran orang tuanya yang telah meninggal (Astuti, 2005).

Bentuk kehilangan orang tua yang dialami remaja Jawa memungkinkan dirinya rentan terhadap gangguan seperti yang telah tertulis di atas, oleh karena itu remaja memerlukan suatu kemampuan untuk bertahan dan menghadapinya. Kemampuan untuk bangkit kembali setelah mengalami kesulitan, untuk melanjutkan kehidupan dengan harapan akan menjadi lebih baik dinamakan resiliensi (Rutter, 2006).

(21)

Resiliensi merupakan kemampuan seorang individu untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya untuk membantu kesuksesan proses beradaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya, walau berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal atau internal (Niaz, dkk., 2006, dalam Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015). Sejumlah ilmuwan, peneliti, dan praktisi di bidang sosial dan perilaku, memandang perlu untuk membangun resiliensi dalam rangka menghadapi situasi yang menekan agar dampak-dampak yang tidak menyenangkan bisa diminimalisir. Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis seseorang. Bahkan resiliensi diakui sangat menentukan gaya berpikir dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya (Desmita, 2005). Hal tersebut menunjukkan bahwa resiliensi berperan penting dalam menghindarkan individu dari hal-hal yang berpotensi mewujudkan deteriorasi (penurunan mutu, kemunduran mental).

Resiliensi pada individu dapat bersumber dari dalam maupun luar dirinya. Nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki oleh individu dapat menjadi sumber resiliensi yang berasal dari dalam dirinya. Sementara dukungan dari keluarga, lingkungan pertemanan, keberadaan komunitas atau organisasi yang diikuti oleh individu dapat menjadi sumber dukungan terhadap resiliensi yang berasal dari luar diri individu (Fergus & Zimmerman, 2005). Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya berperan untuk membentuk pemaknaan terhadap kehidupan pada individu, di mana pemaknaan terhadap kehidupan juga

(22)

merupakan komponen penting dari resiliensi (Wagnild & Young, 1993). Pada titik ini, dapat dikatakan bahwa resiliensi terbentuk tidak hanya dari satu oasis saja, melainkan dari berbagai macam oasis. Oleh karena itu dalam pembentukannya bisa jadi sangat dinamis karena melibatkan berbagai macam lini.

Individu yang memiliki kemampuan resilien adalah: (a) Individu mampu untuk menentukan apa yang dikehendaki dan tidak terseret dalam lingkaran ketidakberdayaan; (b) Individu mampu meregulasi berbagai perasaan terutama perasaan negatif yang timbul akibat pengalaman traumatik; dan (c) Individu mempunyai pandangan atau kemampuan melihat masa depan dengan lebih baik (Yu & Zhang, 2007). Berdasarkan pengertian beberapa ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan dan melalui situasi traumatik guna meneruskan masa depan dengan lebih baik.

Berdasarkan fenomena yang dijumpai peneliti serta teori yang telah dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa resiliensi merupakan hal yang penting dimiliki oleh remaja Jawa pasca kematian orang tuanya. Nilai konseptual Jawa dalam hal ini (seharusnya) mendukung informan dalam upaya mewujudkan resiliensi, memiliki daya ubah bagi informan. Pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah bagaimana daya ubah tersebut diwujudkan? Serta bagaimana resiliensi diwujudkan pasca kematian orang tua? Pertanyaan tersebut kemudian mendorong peneliti untuk melihat dinamika resiliensi yang berlangsung pada remaja Jawa.

(23)

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu :

Bagaimana dinamika resiliensi remaja Jawa pasca kematian orang tua?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika resiliensi remaja Jawa pasca kematian orang tuanya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu: 1) Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi serta diharapkan juga memperkaya teori yang berkaitan dengan teori resiliensi, khususnya resiliensi remaja Jawa pasca kematian orang tua.

2) Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi literatur dalam membantu para remaja Jawa untuk bangkit dari masa berduka karena orang tuanya meninggal. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan gambaran dengan lebih luas dan spesifik bagi para praktisi terkait intervensi terhadap klien yang mengalami peristiwa serupa.

(24)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Resiliensi merupakan kemampuan seorang individu untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya untuk membantu kesuksesan proses beradaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh kemampuannya, walau berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal atau internal (Niaz, dkk., 2006, dalam Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015). Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional seseorang. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, rasionalitas, dan pengetahuan yang mendalam. Bahkan gaya berpikir seseorang juga ditentukan oleh resiliensinya, serta resiliensi juga menentukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya (Desmita, 2009).

Resiliensi muncul sebagai bidang penyelidikan yang menarik yang mengeksplorasi bakat dan kekuatan pribadi serta antarpribadi, yang dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan (Richardson, 2002). Penyelidikan resiliensi tidak muncul dari landasan akademis dalam teori, melainkan melalui identifikasi fenomenologis karakteristik survivor, kebanyakan orang muda, yang hidup dalam situasi berisiko tinggi. Dikatakan juga

(25)

bahwa para peneliti terdahulu mendefinisikan resiliensi sebagai paradigma yang berubah dari melihat faktor-faktor resiko yang mengarah ke masalah psikososial menjadi identifikasi kekuatan individu. Dalam hal ini, resiliensi tidak berfokus pada masalah yang terjadi melainkan pada dinamika individu yang memiliki intervensi dari keluarga, lingkungan pergaulan, budaya ataupun nilai-nilai yang dianut.

Penelitian mengenai resiliensi dibagi menjadi tiga gelombang (Richardson, 2002, dalam Ladiba, 2017). Gelombang pertama menjelaskan tentang deskripsi fenomenologis kualitas resiliensi dan sistem pendukungnya yang memprediksi keberhasilan individu dan sosialnya. Gelombang kedua menjelaskan tentang resiliensi sebagai proses untuk mengatasi stress, kesulitan, perubahan, atau peluang dengan cara yang menghasilkan identifikasi, fortifikasi, dan pengayaan faktor protektif. Artinya, teori resiliensi tidak memandang kemampuan individu dalam menghadapi masalah hanya dari aspek disposisi individu tersebut, tetapi juga dari aspek lain di luar dirinya seperti hubungan dengan orang lain, budaya, ekonomi, dan neurobiologis.

Gelombang ketiga menjelaskan tentang identifikasi kekuatan motivasional post-modern di dalam individu dan kelompok, serta penciptaan pengalaman yang mendorong aktivasi dan pemanfaatan kekuatan. Prinsip tersebut tidak hanya mencakup bagaimana seseorang bertahan dalam keadaan sulit, namun juga berkembang dalam menghadapi hal tersebut. Adanya tantangan yang dilewati adalah penting untuk

(26)

menunjukkan resiliensi, karena tantangan dapat menumbuhkan kekuatan dan adaptasi positif individu.

Berdasarkan pengertian beberapa ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, belajar, beradaptasi dan melewati situasi traumatik guna meneruskan kehidupan dengan lebih resilien. Dengan mampu membangun sikap resilien, pengalaman traumatik yang dialami diharapkan mampu dikelola kemudian dimaknai sebagai suatu proses pembelajaran dalam meraih kualitas hidup yang lebih baik.

2. Faktor-faktor Resiliensi

Faktor-faktor resiliensi untuk mengatasi rintangan, dibentuk melalui tiga sumber resiliensi yaitu I Have (saya memiliki), I Am (diri saya), dan I Can (saya mampu) (Grotberg, 1995).

I Have (saya memiliki), merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan individu terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga ataupun dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan.

I am (diri saya), merupakan submer resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki oleh remaja, yang terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang

(27)

mempengaruhi I am ini adalah mencintai, empati, bangga dengan dirinya sendiri, bertanggungjawab terhadap diri sendiri, optimistik dan penuh pengharapan.

I can (saya mampu), merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal. Individu dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada di sekitar mereka. Individu juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.

Adapun aspek pendukung resiliensi yaitu individu, keluarga, dan lingkungan (Reivich & Shatte, 2002). Secara individu, resiliensi akan terbentuk apabila individu memiliki harga diri, empati, rasa humor, intelegensi yang baik, dan mampu mengontrol diri. Di sisi lain, keluarga juga memiliki peran penting dalam memberikan dukungan bagi individu guna membangun resiliensi. Individu tidak akan terlepas dari lingkungan yang mendorong pengembangan diri ke arah positif serta memberi penghargaan terhadap tugas-tugas sosial.

3. Aspek-aspek yang Mendukung Resiliensi

Aspek-aspek yang mendukung resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002), yaitu emotion regulation (regulasi emosi), impulse control (pengendalian impuls), optimism (optimisme), causal analysis (analisis

(28)

kausal), emphaty (empati), self-efficacy (efikasi diri), dan reaching out (pencapaian). Emotion Regulation (regulasi emosi) merupakan kemampuan untuk tetap tenang saat menghadapi kondisi yang menekan. Orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi akan mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan menjadi seorang pemarah.

Impulse Control (pengendalian impuls) merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan dan tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain.

Optimism (optimisme) merupakan kemampuan melihat bahwa masa depan cemerlang, dan individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Terdapat keyakinan bahwa masa depan akan menjadi lebih baik. Jika dibandingkan dengan orang yang

(29)

pesimis, optimis secara fisik lebih sehat, lebih sedikit mengalami depresi, dan lebih menghasilkan prestasi.

Causal Analysis (analisis kausal) merupakan kemampuan mengidentifikasi secara akurat permasalahan yang dihadapi. Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasi semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka.

Emphaty (empati) merupakan kemampuan bagaimana individu dapat membaca tanda-tanda dari kondisi psikologis dan emosional orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.

Self-Efficacy (efikasi diri) merupakan keyakinan bahwa kita mampu untuk menyelesaikan masalah dan menggunakan kemampuan diri untuk sukses. Reivich & Shatte (2002) juga mengatakan bahwa self-efficacy adalah perasaan yang dimiliki individu bahwa ia efektif dalam dunia.

Reaching Out (pencapaian) merupakan kemampuan individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Banyak individu telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Oleh

(30)

karenanya, tidak sedikit individu yang tidak mampu melakukan reaching out. Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya.

4. Karakteristik Individu Resilien

Individu yang memiliki kemampuan resilien adalah: (a) Individu mampu untuk menentukan apa yang dikehendaki dan tidak terseret dalam lingkaran ketidakberdayaan. Kesadaran yang telah terbangun atas pemaknaan peristiwa yang dialami akan melahirkan sebuah kekuatan bagi individu. Kekuatan itulah yang akhirnya memampukan individu untuk menghindari atau bahkan menerjang hal-hal yang berpotensi membuatnya tidak berdaya (Yu & Zhang, 2007).

Selanjutnya (b) Individu mampu meregulasi berbagai perasaan terutama perasaan negatif yang timbul akibat pengalaman traumatik. Dengan kemampuan tersebut individu tidak akan mudah terjerembab dalam keterpurukan atas peristiwa beresiko yang sedang dihadapi. Selain itu, pilihan untuk berfokus pada solusi serta menghidari dampak negatif akan lebih mudah diupayakan (Yu & Zhang, 2007).

Karakteristik individu resilien yang ketiga ialah (c) Individu mempunyai pandangan atau kemampuan melihat masa depan dengan lebih baik. Artinya peristiwa menekan atau beresiko yang sedang dihadapi

(31)

mampu dipandang sebagai peristiwa yang pasti bisa dilalui. Optimisme akan terbangun pada diri individu, dan harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik akan mudah untuk diwujudkan (Yu & Zhang, 2007).

5. Proses Pembentukan Resiliensi

Skema 1.

Skema Pembentukan Resiliensi menurut Richardson (2002).

Dalam gambar di atas, Richardson (2002) ingin menjelaskan proses terbentuknya resiliensi Biopsychospiritual homeostasis adalah suatu titik keseimbangan di mana manusia telah beradaptasi secara fisik, mental, dan spiritual dalam kehidupannya yang melahirkan zona nyaman. Resiliensi terbentuk melalui beberapa tahapan berikut:

Protectiv e Factors Bio- psychospiritual homeostasis Disruption Reintegration Resilient Reintegration Reintegration Back to homeostasis Stressors Adversity Life Events Reintegration with loss Dysfungsional Reintegration

(32)

a. Kondisi homeostasis biopsikospiritual terganggu

Suatu kondisi di mana homeostasis biopsikospiritual atau zona nyaman individu terganggu atas sebuah permasalahan. Individu yang kekurangan sumber daya untuk mengatasi masalah akan mengalamai tahap selanjutnya yaitu proses reintegrasi.

b. Mengalami reintegrasi

Reintegrasi adalah proses penyesuaian individu antara faktor protektif yang dimiliki dengan gangguan yang dihadapi. Proses reintegrasi ini dibagi menjadi beberapa hasil sesuai dengan kemampuan individu dalam mengatasi masalah. Hasil reintegrasi tersebut adalah:

1) Reintegrasi resilien

Kondisi di mana insight didapatkan oleh individu pasca mengalami permasalahan. Individu yang mengalami reintegrasi resilien mampu lebih memahami diri, mampu mengidentifikasi atau memperkuat karakteristik resilien dalam diri setelah mampu melampaui masalah.

Ketika mengalami permasalahan, individu ini akan mencari sumber daya tambahan atau faktor protektif yang belum ia miliki. Faktor protektif tambahan tersebut dapat membantu individu dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Sejalan dengan bertambahnya sumber daya dan faktor protektif tambahan, maka tingkat homeostasis dari individu akan meningkat.

(33)

2) Reintegrasi homeostasis

Kondisi di mana individu mengatasi masalah hanya tetap berada di zona nyaman. Usaha yang dilakukan individu dalam menghadapi masalah hanya sekedar untuk melewati masalah dan tidak meningkatkan keadaan homeostasisnya.

3) Reintegrasi dengan kehilangan

Gangguan yang dialami individu menyebabkan individu kehilangan faktor protektif. Hal tersebut dapat mengurangi tingkat homeostasis, yang mana tidak menyelesaikan masalah individu melainkan justru menimbulkan gangguan pada diri individu. 4) Reintegrasi disfungsional

Individu yang tidak mampu menyelesaikan masalah dan justru menimbulkan masalah baru dikatakan sebagai individu yang mengalami reintegrasi disfungsional. Masalah baru yang dapat dialami individu dapat berupa perilaku destruktif, seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan alkohol.

Secara keseluruhan, resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, melewati situasi traumatik, dan menghindarkan diri dari dampak negatif yang berpotensi merusak diri. Resiliensi perlu dimiliki agar individu tidak semakin terpuruk atas pengalaman beresikonya dan dapat meneruskan kehidupan dengan lebih resilien. Pembentukan resiliensi sendiri dimulai ketika kondisi homeostasis biopsikospiritual

(34)

seseorang terganggu. Faktor dan aspek yang mendukung terwujudnya resiliensi dapat diperoleh melalui lingkungan sosial, keluarga, nilai budaya, agama, serta pemaknaan diri sendiri. Optimisme serta harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik akan menjadi kekuatan yang juga membantu individu dalam mengolah permasalahan yang dihadapi. Tentunya niat yang tinggi dalam mengupayakan kehidupan yang lebih baik akan menjadikan individu resilien, yang berarti optimis, mampu meregulasi perasaan negatif, memiliki tujuan yang jelas, dan mampu menyelesaikan permasalahan dengan bijak.

B. Perkembangan Remaja

Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada umumnya, remaja awal berkisar 10 sampai 13 tahun, kemudian remaja tengah antara 14 sampai 18 tahun, dan remaja akhir antara 19 sampai 22 tahun (Steinberg, 2002). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa usia remaja berada pada rentang usia 10 hingga 22 tahun.

Secara psikologis, remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Fitria, 2013). Dalam aspek fisik, perubahan struktur otak berkaitan dengan emosi, penilaian, organisasi, perilaku dan kontrol diri serta menjadi penjelas kecenderungan remaja

(35)

mengalami ledakan emosi dan melakukan perilaku beresiko bahkan kejam (Papalia, Olds dan Feldman, 2009).

Dalam aspek psikososial, remaja berada pada tahap pencarian identitas yang didefinisikan sebagai konsepsi koheren diri, terdiri dari tujuan, nilai dan keyakinan yang dipercayai sepenuhnya oleh orang yang bersangkutan (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dalam aspek kognitif, remaja memasuki tingkat perkembangan kognitif tertinggi yaitu operasional formal, saat di mana mereka mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Remaja dapat berpikir, membayangkan, membentuk dan menguji tentang hal-hal yang mungkin terjadi kelak (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Berdasarkan aspek psikososial dan kognitif di atas, dapat dilihat bahwa kedua aspek tersebut saling bekerja sama dalam proses pembentukan pondasi bagi remaja untuk meneruskan hidupnya.

Dalam perkembangannya, remaja mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus dihadapi dengan melakukan penyesuaian diri yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan dan hambatan-hambatan dalam perkembangan remaja selanjutnya (Huvighurst, 1972, dalam Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015). Yang dimaksud dengan tugas perkembangan yaitu tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dari kehidupan individu. Beberapa tugas perkembangan sosial pada masa remaja: mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang

(36)

bertanggungjawab, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, dan memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi (Hurlock, 1980).

Masa remaja yang merupakan tonggak penting dalam pembentukan identitas tentunya sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang yang dicintainya, dalam hal ini yang dibutuhkan ialah dukungan orang tua. Orang tua memiliki peran untuk menanamkan nilai-nilai dasar, menyediakan kasih sayang, dukungan baik berupa moril maupun materiil, dan menjadi role model bagi anaknya.

Menurut Piaget (Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015) remaja termotivasi untuk memahami dunianya karena hal tersebut merupakan bentuk adaptasi biologis. Secara aktif remaja mengkonstruksikan dunia kognitifnya sendiri, dengan demikian informasi-informasi dari lingkungan tidak hanya sekedar tertuang dalam pikiran mereka. Agar remaja lebih mampu memahami dunia, remaja mengorganisasikan pengalaman-pengalaman yang mereka peroleh dan kemudian memisahkan gagasan-gagasan yang menurut mereka penting dan tidak penting. Remaja juga akan mengadaptasikan pemikiran-pemikiran mereka yang melibatkan gagasan baru yang kemudian akan menambah pemahaman mereka.

Remaja memiliki cara berfikir kausalitas, yaitu yang menyangkut hubungan sebab dan akibat. Cara berfikir tersebut akan membuat remaja

(37)

terlatih menjadi kritis, sehingga segala pikiran atau hal-hal yang berlawanan dengan pikirannya akan dikritisi (Hurlock, 2002). Hal tersebut didukung kondisi emosi remaja yang masih labil. Dikatakan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya dengan perkembangan hormon yang masih terus berjalan (Hurlock, 2002). Ketika remaja mengalami pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, menakutkan, dan mengkhawatirkan, emosi remaja menjadi dominan menguasai diri mereka daripada pikirian realistis (Hurlock, 2002).

Bentuk-bentuk emosi yang sering tampak dalam masa remaja awal antara lain adalah marah, malu, takut, cemas, cemburu, iri hati, sedih gembira, penuh kasih sayang dan ingin tahu. Dalam hal emosi yang negatif, umumnya remaja belum dapat mengontrolnya dengan baik (Sarwono, 1989).

Masa remaja telah lama dideskripsikan sebagai masa kekacauan emosional (Hall, 1904). Masa remaja awal biasanya ditandai dengan pasang surut emosi yang tidak tentu (Rosenblum & Lewis, 2003). Dalam kondisi tertentu, emosi remaja bisa menjadi sangat tenang, namun dalam waktu seketika bisa berubah menjadi kacau. Dalam banyak kasus, intensitas emosi mereka tampak tidak proporsional dengan peristiwa yang mereka alami (Steinberg, 2011). Dalam keseharian remaja terlalu sering merajuk, karena mereka belum mengerti bagaimana mengungkapkan emosi mereka dengan tepat. Apabila ada anggota keluarga atau teman yang berperilaku tidak menyenangkan, maka emosi mereka akan meledak-ledak seakan ada suatu masalah yang sangat besar terjadi.

(38)

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa emosi remaja lebih mengerikan dan lebih mudah tersulut dibandingkan dengan emosi orang tua mereka (Larson & Ricards, 1994). Penelitian tersebut semakin menguatkan persepsi bahwa remaja memiliki emosi yang labil dan mudah berubah (Rosenblum & Lewis, 2003). Oleh karena itu, penting bagi orang dewasa untuk menyadari bahwa emosi yang labil atau mudah berubah tersebut merupakan aspek yang normal terjadi pada remaja. Namun perlu diwaspadai juga bahwa munculnya emosi negatif dengan intensitas yang sering dapat mengarah pada suatu permasalahan serius yang sedang mereka alami.

Perubahan hormonal yang signifikan terjadi selama masa pubertas. Fluktuasi emosi yang terjadi pada remaja bisa jadi terkait dengan variabilitas hormon yang sedang berkembang pada periode ini. Ketika remaja beranjak dewasa, suasana hati yang berkaitan dengan emosi mereka menjadi tidak terlalu bergejolak seperti sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena adanya proses adaptasi atas perkembangan hormone yang terjadi dari waktu ke waktu yang menyebabkan matangnya prefontal cortex (Rosenblum & Lewis, 2003)

Para peneliti telah menemukan bahwa masa pubertas berasosiasi dengan peningkatan emosi negatif (Dorn, 2006). Namun, pengaruh hormonal tersebut sebenarnya tidak berdampak besar dan biasanya berhubungan dengan faktor-faktor lain seperti stress, pola makan, aktivitas seksual, dan hubungan sosial (Susman & Dorn, 2013). Hal yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja ialah aktivitas sosial yang terjadi di lingkungan remaja. Faktor sosial mampu memengaruhi seorang remaja untuk menjadi marah dan depresi

(39)

2-4 kali lebih banyak dibandingkan faktor hormonal (Brooks & Warren, 1989). Walau demikian, baik perkembangan hormonal ataupun lingkungan sosial, keduanya memiliki peran dalam perubahan emosi pada kemampuan remaja dalam menyadari, mengelola, dan mengontrol gerak emosinya agar dapat terwujud dalam ekspresi yang sesuai.

Remaja pada umumnya belum dapat mengelola regulasi emosi mereka dengan baik (Steinberg, 2014). Tentu saja hal tersebut dapat membuat mereka menjadi rentan terhadap depresi, kemarahan, dan hal negatif lainnya, yang pada akhirnya dapat memicu masalah seperti kesulitan akademik, penyalahgunaan narkotika, dan gangguan makan. Oleh karena itu kompetensi emosional perlu dibangun dan dimiliki agar proses regulasi emosi dapat berjalan dengan baik. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk membangun kompetensi emosional ialah dengan menyadari bentuk ekspresi emosi dalam berelasi, bersikap adaptif, memahami diri bahwa emosi tidak harus selalu ditunjukkan pada orang di sekitar, dan menyadari dan memahami emosi yang dimiliki orang lain.

Hal lain yang menarik dari remaja ialah sisi sosialnya. Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik pada kelompok sebayanya. Dalam perkembangan sosial remaja, dapat dilihat adanya dua macam gerak: yaitu memisahkan diri dari orang tua; dan yang lain adalah menyatukan diri kepada teman-teman sebaya. Hal tersebut menjadi wajar sebab remaja sedang berada dalam proses menentukan identitas dirinya. Oleh karena itu berkumpul dengan teman-teman sebaya adalah hal yang wajar dan intens dilakukan.

(40)

Remaja memiliki keinginan yang kuat untuk disukai dan diterima oleh teman-teman sebayanya. Teman sebaya adalah individu yang memiliki umur atau tingkat kedawasaan yang sama. Salah satu fungsi terpenting dari teman sebaya ialah untuk mengetahui hal-hal yang ada di luar selain dari keluarga. Melalui lingkaran teman sebaya, remaja belajar untuk mengenal diri mereka lebih jauh terlebih mengenai kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Selain itu, teman sebaya juga dapat menjadi tempat bagi remaja ketika mereka sedang bersenang-senang maupun dalam situasi sulit sekalipun (Santrock, 2014).

Blos (1962) berpendapat bahwa perkembangan remaja pada hakekatnya adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk secara aktif mengatasi “stress” dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah. Dalam proses penyesuaian diri, ada 3 tahap perkembangan remaja, yaitu remaja awal (early adolescence), remaja madya (middle adolescence), dan remaja akhir (late adolescence). Seorang remaja yang berada pada tahap remaja awal masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan tersebut. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebih ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego” yang menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.

Remaja madya adalah tahap di mana remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan

(41)

“narsistik”, yaitu mencintai diri sendiri dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dlam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sedniri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis dan sebagainya. Pada remaja pria harus membebaskan diri dari oedipus complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lain jenis (Blos, 1996)

Tahap perkembangan yang terakhir menurut Blos (1996) ialah tahap remaja akhir. Tahap tersebut ialah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu: minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrimse (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan yang terakhir ialah tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).

(42)

C. Remaja Jawa dan Resiliensi

Dilihat dari sudut pandang geografis, orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Kemudian dari sudut pandang linguistik, orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa (Suseno, 1985). Berdasarkan kedua fakta tersebut, bila dipertanyakan apa yang menjadi ciri khas kebudayaan Jawa, jawabannya barangkali dapat berbunyi bahwa ciri khasnya terletak dalam kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan mengembangkan kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan-masukan kultural dari luar.

Orang Jawa memiliki keutamaan hidup yaitu mengedepankan prinsip rukun dan prinsip hormat yang berperan dalam mengatur relasinya dengan orang lain (Suseno, 1985). Perilaku orang Jawa ditentukan oleh penghayatan perasaan-perasaan orang Jawa yang dominan dalam interaksi sosialnya, yaitu tentang perasaan pada orang yang superior, perasaan inferior diri sendiri, perasaan positif dan negatif pada orang lain (Koentjaraningrat, 1984). Nilai-nilai budaya Jawa menekankan bahwa orang Jawa seharusnya memiliki kesadaran yang tinggi akan keberadaan orang lain (Mulder, 1994). Dalam hidupnya seseorang tidak sendirian, orang secara terus menerus berhubungan dengan orang dari lingkungan yang berbeda. Hubungan ini akan berlangsung baik jika dalam setiap kontak berlangsung tanpa friksi dan menyenangkan. Diperlukan sikap sopan dalam setiap interaksi, misalnya dengan memberikan

(43)

salam secara menunduk. Sikap sopan dengan memberi salam ini menjadi tuntutan dalam setiap situasi sosial, bahkan terhadap orang yang belum begitu dikenalnya di lingkungan tempat tinggal ataupun lingkungan lainnya.

Berdasarkan informasi di atas, dapat dikatakan bahwa remaja Jawa adalah individu dengan rentang usia 11-22 tahun yang memperoleh pendidikan olah rasa, mengutamakan hidup rukun dan hormat, menjunjung kesopanan dalam berinteraksi sosial, dan memiliki kesadaran yang tinggi akan keberadaan orang lain. Tentunya nilai-nilai tersebut tidak dipandang sebagai nilai yang dimiliki dan berhenti sampai di situ saja, melainkan menjadi nilai yang selalu dihayati dan dikembangkan dalam proses perjalanan hidup.

Secara moral, orang Jawa memiliki banyak sikap yang dihidupinya, beberapa diantaranya adalah sikap sabar, nrima dan iklas (Suseno, 1985). Sabar berarti mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib yang baik pun akan tiba. Seorang pemimpin yang sabar akan melangkah dengan hati-hati dalam mengambil keputusan, dengan tujuan agar hasil yang diperoleh kelak dapat memberikan kebaikan.

Sikap nrima berarti menerima segala apa yang mendatangi kita, tanpa protes dan pemberontakan. Nrima merupakan sikap hidup yang positif. Nrima berarti bahwa orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan pun bereaksi dengan rasional, dengan tidak ambruk, dan juga dengan tidak menentang secara percuma. Nrima menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap nrima

(44)

memberi daya tahan untuk juga menanggung nasib yang buruk (Suseno, 1985).

Sikap iklas berarti “bersedia”. Sikap tersebut memuat kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Arah yang sama ditunjuk oleh sikap rila, yaitu kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan dan hasil-hasil pekerjaaan sendiri apabila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib. Iklas dan rila pun harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan dengan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Suseno, 1985).

Ilmu kawruh jiwa yang lahir dari pengalaman-pengalaman hidup, laku, penelitian, dan hasil bacaan yang luas dari Ki Ageng Suryomentaram merupakan sebuah manifestasi yang berguna untuk menjelaskan kehidupan manusia dan lingkungan, khususnya Jawa (Wusana dkk., 2015). Manusia yang memiliki kemampuan merasakan berbagai macam rasa seperti kegelisahan, kekecewaan, kedukaan, rasa bahagia, rasa sakit, dan respon-respon lainnya atas dinamika sehari-hari berperan sebagai pusat penelitiannya. Proses refleksi selanjutnya dilakukan hingga melahirkan buah bahwa sejatinya manusia menjalani hidup didasari oleh karep atau keinginan. Karep tersebut memiliki daya gerak bagi manusia untuk berdinamika dalam meraih harapan yang diinginkannya.

(45)

Karep merupakan hal yang paling banyak membentuk kejiwaan seseorang. Seluruh karep individu berasal dari 2 hasrat/keinginan pokok yakni hasrat untuk melestarikan raga dan hasrat untuk melestarikan jenis (Wusana dkk., 2015). Melestarikan raga berbicara tentang dorongan dalam bertahan hidup, sedangkan melestarikan jenis berkaitan dengan memiliki keturunan. Karep yang terpenuhi akan melahirkan karep-karep lainnya, namun apabila tidak terpenuhi akan menghadirkan perasaan celaka, kecewa, tidak berdaya, dan semacamnya.

Mulur mungkret adalah dinamika karep yang muncul dari proses olah jiwa. Mulur jika keinginan tercapai dan merasa senang. Itu artinya keinginan seseorang selalu meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Mungkret jika merasa susah karena keinginan tak tercapai (Wusana dkk., 2015). Konsep mulur mungkret merupakan realitas yang terjadi dalam diri setiap manusia dalam upaya menggapai setiap keinginannya, entah disadari atau tidak.

Karep perlu dikontrol melalui proses olah rasa yang dapat dilakukan dengan kegiatan nyawang karep, surat imajiner, dan kandha takon. Nyawang karep merupakan sebuah proses melihat kedalam diri sendiri kemudian menguraikan keinginan-keinginan yang ada di dalam diri. Hal-hal yang dirasa berlebihan atau tidak sesuai dengan kondisi diri sebaiknya dieliminasi. Kemudian surat imajiner merupakan proses menulis surat seolah-olah akan dikirimkan kepada orang lain, dan kemudian dibalas sendiri seolah-olah merupakan balasan dari yang dituju di awal tadi. Kandha takon tidak berbeda

(46)

jauh dari nyawang karep karena intinya juga merujuk pada proses komunikasi intrapersonal yang dipandu dengan pertanyaan/pernyataan tertentu.

Sikap sabar, nrima, iklas, konsep mulur mungkret serta berbagai langkah teknisnya merupakan gerak positif yang dapat mendorong atau menggerakkan remaja Jawa mewujudkan resiliensi dalam menghadapi permasalahan. Hal tersebut didukung pula oleh keutamaan sikap hidup orang Jawa yang menjunjung sikap rukun dan hormat. Artinya, dalam segala situasi yang sulit sekalipun sikap rukun dan hormat sebaiknya tetap diupayakan. Selain itu, nilai-nilai dan kepribadian Jawa juga menggerakkan individu untuk menjadi adaptif dalam segala hal. Bahkan ada ungkapan Jawa ngene yo gelem, ngono yo gelem (begini mau, begitu juga mau), yang artinya mengisyaratkan bahwa manusia Jawa itu bisa menerima segala hal sebagai pengalaman yang mendewasakan dalam hidup (Wusana dkk., 2015).

Melihat pada kerangka besar resiliensi, sikap dan nilai Jawa tersebut masuk dalam aspek pendukung resiliensi bagian lingkungan. Selain itu, sikap dan nilai tersebut dapat mengasah faktor-faktor pendukung resiliensi seperti emotion regulation, impulse control, optimism, self-efficacy dan sebagainya. Artinya, melalui masyarakat di sekitar, remaja Jawa akan selalu diajak untuk mampu mengupayakan dan menghayati sikap dan nilai Jawa dalam mendukung perwujudan resiliensi. Tentunya dengan bekal nilai-nilai Jawa yang sangat mendukung dalam perwujudan keseimbangan hidup, remaja Jawa bisa lebih terbantu untuk memiliki kualitas diri yang resilien ketika menghadapi situasi yang menekan. Pengalaman sulit dapat dimaknai sebagai

(47)

sebuah pengalaman yang mendidik hingga kemudian menghasilkan kekuatan untuk bangkit dan meneruskan kehidupan.

D. Kematian Orang tua

Kematian orang tua dapat memberi dampak yang besar karena remaja telah menghabiskan banyak waktu dengan keluarga (Fitria, 2013). Kematian orang tua secara mendadak akan menimbulkan konsekuensi terbesar terhadap perkembangan kesehatan anak-anak yang ditinggalkannya, karena mereka belum siap ditinggalkan orang tua secara tiba-tiba. Hal tersebut dapat beresiko menjadi stress bahkan depresi bagi remaja yang ditinggalkan. Secara lebih spesifik, gambaran duka cita yang dialami remaja pasca kematian orang tua dapat dilihat melalui ekspresi fisik hilangnya selera makan, sulit tidur dan sakit; ekspresi kognitif kebingungan, ketidakpercayaan, dan ketergantungan pada kenangan mengenai almarhum; dan melalui ekspresi tingkah laku menarik diri dari lingkungan (Fitria, 2013).

Kehilangan orang tua di usia remaja menimbulkan perasaan duka yang mendalam, sebab pada umumnya seseorang akan kehilangan orang tua mereka pada usia dewasa. Peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai titik balik yang mungkin akan mengubah hidup mereka. Orang tua memegang peranan yang sangat penting di dalam kehidupan seorang remaja. Selama masa remaja orang tua atau keluarga berubah fungsi dari pengasuhan, perlindungan, dan sosialisasi menjadi pemberi dukungan, bimbingan serta pengarahan (Steinberg, 2002).

(48)

Hubungan seseorang dengan orang yang meninggal sangat mempengaruhi aspek emosional individu terhadap kematian. Jika individu yang ditinggalkan memiliki hubungan positif dengan orang yang meninggal, maka individu tersebut akan mengalami rasa berduka yang lebih intens dibandingkan individu yang hubungannya tidak terlalu positif dengan orang yang meninggal (Astuti & Gusniarti, 2009). Kelekatan hubungan antara remaja dengan orang tua merupakan konsep penting dalam perkembangan sosioemosional remaja. Kematian yang mendadak dapat menyebabkan orang yang ditinggalkan tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan yang belum selesai dengan orang yang meninggal.

Pada umumnya, kematian akan melahirkan dukacita bagi yang ditinggalkan. Terdapat 5 tahapan dalam berduka, yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance (Kubler & David, 2014). Denial atau penolakan merupakan fase yang biasa muncul dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak diharapkan. Dalam hal kematian, realita yang terjadi belum mampu diterima karena situasi diri sedang tergoncang. Penolakan sering datang dalam bentuk mempertanyakan realitas: apakah itu benar? Benarkah itu terjadi? Apakah mereka benar-benar pergi? Pada tahap ini, segala hal yang ada di sekitar kita menjadi tidak berarti dan tidak masuk akal. Pilihan untuk meneruskan kehidupan terkadang seperti berada di persimpangan. Namun, di sisi lain, penolakan merupakan sikap yang dapat membantu individu untuk tetap meneruskan kelangsungan hidupnya. Penolakan juga membantu individu

(49)

untuk mengatur perasaan sedihnya agar tidak meluap begitu saja (Kubler & David, 2014).

Anger atau kemarahan muncul ketika individu mencapai kesadaran bahwa ada kehilangan yang tidak dapat dimiliki kembali. Setelah perasaan panik, sedih, sakit hati, dan kesepian menghantam dengan kuat sebelumnya, maka setelah itu kemarahan akan mendominasi di garis depan. Di bawah rasa marah adalah rasa sakit, rasa sakit karena telah ditinggalkan (Kubler & David, 2014). Perasaan marah dapat juga muncul karena diri merasa tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan kematian. Individu hanya memiliki angan untuk menghentikan kematian, namun itu bukanlah kekuatan untuk menghentikannya. Seseorang pernah berbagi: “saya marah karena saya harus tetap hidup di dunia di mana saya tidak dapat menemukannya, memanggilnya, atau melihatnya. Saya tidak dapat menemukan orang yang saya cintai atau butuhkan di mana saja. Saya tersesat dan penuh amarah”. Perasaan marah tersebut mungkin akan dapat dirasakan oleh orang-orang di sekitar sebab individu mulai berfungsi pada tingkat dasar lagi (Kubler & David, 2014).

Kemarahan adalah tahap penting dari proses penyembuhan. Ketika merasa marah, tampaknya itu seperti perasaan yang tanpa akhir. Semakin benar-benar dirasakan, semakin ia akan mulai menghilang dan semakin cepat proses pemulihan terjadi. Kemarahan adalah emosi yang paling langsung, tetapi saat individu menghadapinya, ia akan menemukan perasaan-perasaan lain yang tersembunyi. Ada banyak emosi lain di bawah amarah, tetapi amarah adalah emosi yang paling sering dikelola. Individu sering memilih untuk menghindari

(50)

perasaan di bawahnya sampai siap menghadapinya, dan itulah bagian dari manajemen emosional (Kubler & David, 2014).

Sebagian besar individu akan menemukan rasa sakit atas peristiwa kehilangan. Kekuatan kemarahan yang menyeruak ke permukaan mungkin sebanding dengan rasa cinta yang telah ditinggalkan. Mungkin kemarahan akan dipandang sebagai suatu fase yang tidak akan pernah selesai. Namun tidak demikian adanya, kemarahan akan mereda, dan perasaan kehilangan akan berubah bentuk menjadi lebih bisa untuk diterima (Kubler & David, 2014).

Bargaining atau tawar-menawar muncul beriringan dengan rasa bersalah yang dirasakan atas kepergian almarhum. Tawar-menawar bisa mengisi kekosongan yang mendominasi emosi yang kuat, yang sering membuat penderitaan (Kubler & David, 2014).

Depression atau depresi adalah tahap yang seolah-olah akan terasa berlangsung selamanya. Depresi ingin menunjuk masa kini, di mana perasaan kosong muncul dengan sendirinya, dan kesedihan memasuki hidup pada tingkat yang lebih dalam. Ini bukanlah tanda penyakit mental. Ini adalah fase menarik diri dari kehidupan, membiarkan diri berada dalam kabut kesedihan yang intens, dan bertanya-tanya: apakah harus terus melanjutkan kehidupan? Jika individu menemukan cara untuk menjalani aktivitas sehari-hari, sepertinya itu akan berjalan dengan kosong dan tidak ada gunanya seperti sebelumnya.

(51)

Kehilangan orang yang dicintai adalah situasi yang sangat menyedihkan. Namun kesedihan itu sebaiknya diterima sebagai tahap kehilangan yang wajar agar depresi tidak mendominasi semakin dalam serta merusak kualitas hidup. Lebih jauh lagi, kesedihan perlu diterima agar individu dapat membangun diri dengan lebih kokoh untuk melanjutkan kehidupan.

Acceptance atau penerimaan sering dikacaukan dengan gagasan tentang “baik-baik saja” dengan apa yang telah terjadi. Kebanyakan orang tidak pernah merasa baik-baik saja tentang kehilangan orang yang dicintai. Tahap ini adalah tentang menerima kenyataan bahwa orang yang kita cintai secara fisik sudah tiada dan mengakui bahwa realitas baru ini adalah realitas permanen. Ini adalah norma baru yang harus dihidupi. Disinilah penyembuhan dan penyesuaian akhir individu dapat bertahan (Kubler & David, 2014).

Pada awalnya menghidupi norma baru tentu tidak akan mudah, sebab masih ada keinginan untuk mempertahankan kehidupan seperti sebelum orang yang dicintai meninggal. Namun, pada saatnya, melalui serpihan-serpihan penerimaan, individu dapat melihat bahwa tidaklah dapat mempertahankan masa lalu yang utuh. Hal tersebut telah selamanya berubah dan individu harus menyesuaikan kembali. Individu harus belajar mengatur kembali peran, melimpahkannya pada orang lain atau mengambilnya untuk diri sendiri.

Apa yang telah hilang tidak dapat digantikan kembali, tapi individu dapat membuat koneksi baru, hubungan yang bermakna, dan saling ketergantungan baru. Saat itulah individu dapat memulai dan menikmati hidup dalam

Gambar

Tabel 1.    Pelaksanaan Penelitian ...................................................................

Referensi

Dokumen terkait

Terlepas dari sumbangannya dalam mengakhiri kekerasan September 1999, negara-negara besar anggota masyarakat internasional ikut mengemban tanggungjawab atas kejahatan yang

“ Praktek Pembagian Harta Warisan Di Desa Simpur Kecamatan Simpur Kabupaten HSS (Studi Kasus Terhadap Tiga Problem Kewarisan Ashabah) ”.

Pada Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kota Malang terdapat 2 (dua) eselon yaitu Eselon III.a dan Eselon IV.a sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 5 Tahun 2012

Kinerja Sasaran Strategi 2.1 Meningkatka n penyediaan sarana dan prasarana dasar dengan kapasitas dan kualitas yang setara dengan standar dunia Berkembangnya

1) Kebutuhan dasar yang seperti makan, minum, pakain dan tempat tinggal. 2) Kebutuhan sosial seperti komunikasi, kebersamaan, dan perhatian. 3) Kebutuhan individu

GUNAKAN DETEKTOR IONISASI KEPING SEJAJAR. Detektor ionisasi keping sejajar direko- mendasikan untuk pengukuran dosis serap berkas elektron energi rendah dati pesawat

Tujuan kegiatan ini adalah: (1) Membantu BPTP DI Yogyakarta, Sulut dan NTB dalam pelaksanaan Prima Tani, khususnya dalam hal menyempurnakan hasil identifikasi

Translasi Ribosom membentuk polipeptida Codons tRNA molecules mRNA Growing polypeptide Large subunit Small subunit mRNA mRNA binding site P site A site P A Growing polypeptide