• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Perkembangan Remaja

Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada umumnya, remaja awal berkisar 10 sampai 13 tahun, kemudian remaja tengah antara 14 sampai 18 tahun, dan remaja akhir antara 19 sampai 22 tahun (Steinberg, 2002). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa usia remaja berada pada rentang usia 10 hingga 22 tahun.

Secara psikologis, remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Fitria, 2013). Dalam aspek fisik, perubahan struktur otak berkaitan dengan emosi, penilaian, organisasi, perilaku dan kontrol diri serta menjadi penjelas kecenderungan remaja

mengalami ledakan emosi dan melakukan perilaku beresiko bahkan kejam (Papalia, Olds dan Feldman, 2009).

Dalam aspek psikososial, remaja berada pada tahap pencarian identitas yang didefinisikan sebagai konsepsi koheren diri, terdiri dari tujuan, nilai dan keyakinan yang dipercayai sepenuhnya oleh orang yang bersangkutan (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dalam aspek kognitif, remaja memasuki tingkat perkembangan kognitif tertinggi yaitu operasional formal, saat di mana mereka mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Remaja dapat berpikir, membayangkan, membentuk dan menguji tentang hal-hal yang mungkin terjadi kelak (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Berdasarkan aspek psikososial dan kognitif di atas, dapat dilihat bahwa kedua aspek tersebut saling bekerja sama dalam proses pembentukan pondasi bagi remaja untuk meneruskan hidupnya.

Dalam perkembangannya, remaja mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus dihadapi dengan melakukan penyesuaian diri yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan dan hambatan-hambatan dalam perkembangan remaja selanjutnya (Huvighurst, 1972, dalam Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015). Yang dimaksud dengan tugas perkembangan yaitu tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dari kehidupan individu. Beberapa tugas perkembangan sosial pada masa remaja: mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang

bertanggungjawab, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, dan memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi (Hurlock, 1980).

Masa remaja yang merupakan tonggak penting dalam pembentukan identitas tentunya sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang yang dicintainya, dalam hal ini yang dibutuhkan ialah dukungan orang tua. Orang tua memiliki peran untuk menanamkan nilai-nilai dasar, menyediakan kasih sayang, dukungan baik berupa moril maupun materiil, dan menjadi role model bagi anaknya.

Menurut Piaget (Ruswahyuningsih & Afiatin, 2015) remaja termotivasi untuk memahami dunianya karena hal tersebut merupakan bentuk adaptasi biologis. Secara aktif remaja mengkonstruksikan dunia kognitifnya sendiri, dengan demikian informasi-informasi dari lingkungan tidak hanya sekedar tertuang dalam pikiran mereka. Agar remaja lebih mampu memahami dunia, remaja mengorganisasikan pengalaman-pengalaman yang mereka peroleh dan kemudian memisahkan gagasan-gagasan yang menurut mereka penting dan tidak penting. Remaja juga akan mengadaptasikan pemikiran-pemikiran mereka yang melibatkan gagasan baru yang kemudian akan menambah pemahaman mereka.

Remaja memiliki cara berfikir kausalitas, yaitu yang menyangkut hubungan sebab dan akibat. Cara berfikir tersebut akan membuat remaja

terlatih menjadi kritis, sehingga segala pikiran atau hal-hal yang berlawanan dengan pikirannya akan dikritisi (Hurlock, 2002). Hal tersebut didukung kondisi emosi remaja yang masih labil. Dikatakan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya dengan perkembangan hormon yang masih terus berjalan (Hurlock, 2002). Ketika remaja mengalami pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan, menakutkan, dan mengkhawatirkan, emosi remaja menjadi dominan menguasai diri mereka daripada pikirian realistis (Hurlock, 2002).

Bentuk-bentuk emosi yang sering tampak dalam masa remaja awal antara lain adalah marah, malu, takut, cemas, cemburu, iri hati, sedih gembira, penuh kasih sayang dan ingin tahu. Dalam hal emosi yang negatif, umumnya remaja belum dapat mengontrolnya dengan baik (Sarwono, 1989).

Masa remaja telah lama dideskripsikan sebagai masa kekacauan emosional (Hall, 1904). Masa remaja awal biasanya ditandai dengan pasang surut emosi yang tidak tentu (Rosenblum & Lewis, 2003). Dalam kondisi tertentu, emosi remaja bisa menjadi sangat tenang, namun dalam waktu seketika bisa berubah menjadi kacau. Dalam banyak kasus, intensitas emosi mereka tampak tidak proporsional dengan peristiwa yang mereka alami (Steinberg, 2011). Dalam keseharian remaja terlalu sering merajuk, karena mereka belum mengerti bagaimana mengungkapkan emosi mereka dengan tepat. Apabila ada anggota keluarga atau teman yang berperilaku tidak menyenangkan, maka emosi mereka akan meledak-ledak seakan ada suatu masalah yang sangat besar terjadi.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa emosi remaja lebih mengerikan dan lebih mudah tersulut dibandingkan dengan emosi orang tua mereka (Larson & Ricards, 1994). Penelitian tersebut semakin menguatkan persepsi bahwa remaja memiliki emosi yang labil dan mudah berubah (Rosenblum & Lewis, 2003). Oleh karena itu, penting bagi orang dewasa untuk menyadari bahwa emosi yang labil atau mudah berubah tersebut merupakan aspek yang normal terjadi pada remaja. Namun perlu diwaspadai juga bahwa munculnya emosi negatif dengan intensitas yang sering dapat mengarah pada suatu permasalahan serius yang sedang mereka alami.

Perubahan hormonal yang signifikan terjadi selama masa pubertas. Fluktuasi emosi yang terjadi pada remaja bisa jadi terkait dengan variabilitas hormon yang sedang berkembang pada periode ini. Ketika remaja beranjak dewasa, suasana hati yang berkaitan dengan emosi mereka menjadi tidak terlalu bergejolak seperti sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena adanya proses adaptasi atas perkembangan hormone yang terjadi dari waktu ke waktu yang menyebabkan matangnya prefontal cortex (Rosenblum & Lewis, 2003)

Para peneliti telah menemukan bahwa masa pubertas berasosiasi dengan peningkatan emosi negatif (Dorn, 2006). Namun, pengaruh hormonal tersebut sebenarnya tidak berdampak besar dan biasanya berhubungan dengan faktor-faktor lain seperti stress, pola makan, aktivitas seksual, dan hubungan sosial (Susman & Dorn, 2013). Hal yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja ialah aktivitas sosial yang terjadi di lingkungan remaja. Faktor sosial mampu memengaruhi seorang remaja untuk menjadi marah dan depresi

2-4 kali lebih banyak dibandingkan faktor hormonal (Brooks & Warren, 1989). Walau demikian, baik perkembangan hormonal ataupun lingkungan sosial, keduanya memiliki peran dalam perubahan emosi pada kemampuan remaja dalam menyadari, mengelola, dan mengontrol gerak emosinya agar dapat terwujud dalam ekspresi yang sesuai.

Remaja pada umumnya belum dapat mengelola regulasi emosi mereka dengan baik (Steinberg, 2014). Tentu saja hal tersebut dapat membuat mereka menjadi rentan terhadap depresi, kemarahan, dan hal negatif lainnya, yang pada akhirnya dapat memicu masalah seperti kesulitan akademik, penyalahgunaan narkotika, dan gangguan makan. Oleh karena itu kompetensi emosional perlu dibangun dan dimiliki agar proses regulasi emosi dapat berjalan dengan baik. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk membangun kompetensi emosional ialah dengan menyadari bentuk ekspresi emosi dalam berelasi, bersikap adaptif, memahami diri bahwa emosi tidak harus selalu ditunjukkan pada orang di sekitar, dan menyadari dan memahami emosi yang dimiliki orang lain.

Hal lain yang menarik dari remaja ialah sisi sosialnya. Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik pada kelompok sebayanya. Dalam perkembangan sosial remaja, dapat dilihat adanya dua macam gerak: yaitu memisahkan diri dari orang tua; dan yang lain adalah menyatukan diri kepada teman-teman sebaya. Hal tersebut menjadi wajar sebab remaja sedang berada dalam proses menentukan identitas dirinya. Oleh karena itu berkumpul dengan teman-teman sebaya adalah hal yang wajar dan intens dilakukan.

Remaja memiliki keinginan yang kuat untuk disukai dan diterima oleh teman-teman sebayanya. Teman sebaya adalah individu yang memiliki umur atau tingkat kedawasaan yang sama. Salah satu fungsi terpenting dari teman sebaya ialah untuk mengetahui hal-hal yang ada di luar selain dari keluarga. Melalui lingkaran teman sebaya, remaja belajar untuk mengenal diri mereka lebih jauh terlebih mengenai kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Selain itu, teman sebaya juga dapat menjadi tempat bagi remaja ketika mereka sedang bersenang-senang maupun dalam situasi sulit sekalipun (Santrock, 2014).

Blos (1962) berpendapat bahwa perkembangan remaja pada hakekatnya adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk secara aktif mengatasi “stress” dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah. Dalam proses penyesuaian diri, ada 3 tahap perkembangan remaja, yaitu remaja awal (early adolescence), remaja madya (middle adolescence), dan remaja akhir (late adolescence). Seorang remaja yang berada pada tahap remaja awal masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan tersebut. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebih ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego” yang menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.

Remaja madya adalah tahap di mana remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan

“narsistik”, yaitu mencintai diri sendiri dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu ia berada dlam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sedniri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis dan sebagainya. Pada remaja pria harus membebaskan diri dari oedipus complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lain jenis (Blos, 1996)

Tahap perkembangan yang terakhir menurut Blos (1996) ialah tahap remaja akhir. Tahap tersebut ialah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal, yaitu: minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrimse (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan yang terakhir ialah tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).