• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Remaja Jawa dan Resiliensi

Dilihat dari sudut pandang geografis, orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Kemudian dari sudut pandang linguistik, orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa (Suseno, 1985). Berdasarkan kedua fakta tersebut, bila dipertanyakan apa yang menjadi ciri khas kebudayaan Jawa, jawabannya barangkali dapat berbunyi bahwa ciri khasnya terletak dalam kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan mengembangkan kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan-masukan kultural dari luar.

Orang Jawa memiliki keutamaan hidup yaitu mengedepankan prinsip rukun dan prinsip hormat yang berperan dalam mengatur relasinya dengan orang lain (Suseno, 1985). Perilaku orang Jawa ditentukan oleh penghayatan perasaan-perasaan orang Jawa yang dominan dalam interaksi sosialnya, yaitu tentang perasaan pada orang yang superior, perasaan inferior diri sendiri, perasaan positif dan negatif pada orang lain (Koentjaraningrat, 1984). Nilai-nilai budaya Jawa menekankan bahwa orang Jawa seharusnya memiliki kesadaran yang tinggi akan keberadaan orang lain (Mulder, 1994). Dalam hidupnya seseorang tidak sendirian, orang secara terus menerus berhubungan dengan orang dari lingkungan yang berbeda. Hubungan ini akan berlangsung baik jika dalam setiap kontak berlangsung tanpa friksi dan menyenangkan. Diperlukan sikap sopan dalam setiap interaksi, misalnya dengan memberikan

salam secara menunduk. Sikap sopan dengan memberi salam ini menjadi tuntutan dalam setiap situasi sosial, bahkan terhadap orang yang belum begitu dikenalnya di lingkungan tempat tinggal ataupun lingkungan lainnya.

Berdasarkan informasi di atas, dapat dikatakan bahwa remaja Jawa adalah individu dengan rentang usia 11-22 tahun yang memperoleh pendidikan olah rasa, mengutamakan hidup rukun dan hormat, menjunjung kesopanan dalam berinteraksi sosial, dan memiliki kesadaran yang tinggi akan keberadaan orang lain. Tentunya nilai-nilai tersebut tidak dipandang sebagai nilai yang dimiliki dan berhenti sampai di situ saja, melainkan menjadi nilai yang selalu dihayati dan dikembangkan dalam proses perjalanan hidup.

Secara moral, orang Jawa memiliki banyak sikap yang dihidupinya, beberapa diantaranya adalah sikap sabar, nrima dan iklas (Suseno, 1985). Sabar berarti mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib yang baik pun akan tiba. Seorang pemimpin yang sabar akan melangkah dengan hati-hati dalam mengambil keputusan, dengan tujuan agar hasil yang diperoleh kelak dapat memberikan kebaikan.

Sikap nrima berarti menerima segala apa yang mendatangi kita, tanpa protes dan pemberontakan. Nrima merupakan sikap hidup yang positif. Nrima berarti bahwa orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan pun bereaksi dengan rasional, dengan tidak ambruk, dan juga dengan tidak menentang secara percuma. Nrima menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri dihancurkan olehnya. Sikap nrima

memberi daya tahan untuk juga menanggung nasib yang buruk (Suseno, 1985).

Sikap iklas berarti “bersedia”. Sikap tersebut memuat kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Arah yang sama ditunjuk oleh sikap rila, yaitu kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan dan hasil-hasil pekerjaaan sendiri apabila itulah yang menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib. Iklas dan rila pun harus dipahami sebagai keutamaan positif, bukan sebagai menyerah dalam arti jelek, melainkan sebagai tanda penyerahan otonom, sebagai kemampuan untuk melepaskan dengan penuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif (Suseno, 1985).

Ilmu kawruh jiwa yang lahir dari pengalaman-pengalaman hidup, laku, penelitian, dan hasil bacaan yang luas dari Ki Ageng Suryomentaram merupakan sebuah manifestasi yang berguna untuk menjelaskan kehidupan manusia dan lingkungan, khususnya Jawa (Wusana dkk., 2015). Manusia yang memiliki kemampuan merasakan berbagai macam rasa seperti kegelisahan, kekecewaan, kedukaan, rasa bahagia, rasa sakit, dan respon-respon lainnya atas dinamika sehari-hari berperan sebagai pusat penelitiannya. Proses refleksi selanjutnya dilakukan hingga melahirkan buah bahwa sejatinya manusia menjalani hidup didasari oleh karep atau keinginan. Karep tersebut memiliki daya gerak bagi manusia untuk berdinamika dalam meraih harapan yang diinginkannya.

Karep merupakan hal yang paling banyak membentuk kejiwaan seseorang. Seluruh karep individu berasal dari 2 hasrat/keinginan pokok yakni hasrat untuk melestarikan raga dan hasrat untuk melestarikan jenis (Wusana dkk., 2015). Melestarikan raga berbicara tentang dorongan dalam bertahan hidup, sedangkan melestarikan jenis berkaitan dengan memiliki keturunan. Karep yang terpenuhi akan melahirkan karep-karep lainnya, namun apabila tidak terpenuhi akan menghadirkan perasaan celaka, kecewa, tidak berdaya, dan semacamnya.

Mulur mungkret adalah dinamika karep yang muncul dari proses olah jiwa. Mulur jika keinginan tercapai dan merasa senang. Itu artinya keinginan seseorang selalu meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Mungkret jika merasa susah karena keinginan tak tercapai (Wusana dkk., 2015). Konsep mulur mungkret merupakan realitas yang terjadi dalam diri setiap manusia dalam upaya menggapai setiap keinginannya, entah disadari atau tidak.

Karep perlu dikontrol melalui proses olah rasa yang dapat dilakukan dengan kegiatan nyawang karep, surat imajiner, dan kandha takon. Nyawang karep merupakan sebuah proses melihat kedalam diri sendiri kemudian menguraikan keinginan-keinginan yang ada di dalam diri. Hal-hal yang dirasa berlebihan atau tidak sesuai dengan kondisi diri sebaiknya dieliminasi. Kemudian surat imajiner merupakan proses menulis surat seolah-olah akan dikirimkan kepada orang lain, dan kemudian dibalas sendiri seolah-olah merupakan balasan dari yang dituju di awal tadi. Kandha takon tidak berbeda

jauh dari nyawang karep karena intinya juga merujuk pada proses komunikasi intrapersonal yang dipandu dengan pertanyaan/pernyataan tertentu.

Sikap sabar, nrima, iklas, konsep mulur mungkret serta berbagai langkah teknisnya merupakan gerak positif yang dapat mendorong atau menggerakkan remaja Jawa mewujudkan resiliensi dalam menghadapi permasalahan. Hal tersebut didukung pula oleh keutamaan sikap hidup orang Jawa yang menjunjung sikap rukun dan hormat. Artinya, dalam segala situasi yang sulit sekalipun sikap rukun dan hormat sebaiknya tetap diupayakan. Selain itu, nilai-nilai dan kepribadian Jawa juga menggerakkan individu untuk menjadi adaptif dalam segala hal. Bahkan ada ungkapan Jawa ngene yo gelem, ngono yo gelem (begini mau, begitu juga mau), yang artinya mengisyaratkan bahwa manusia Jawa itu bisa menerima segala hal sebagai pengalaman yang mendewasakan dalam hidup (Wusana dkk., 2015).

Melihat pada kerangka besar resiliensi, sikap dan nilai Jawa tersebut masuk dalam aspek pendukung resiliensi bagian lingkungan. Selain itu, sikap dan nilai tersebut dapat mengasah faktor-faktor pendukung resiliensi seperti emotion regulation, impulse control, optimism, self-efficacy dan sebagainya. Artinya, melalui masyarakat di sekitar, remaja Jawa akan selalu diajak untuk mampu mengupayakan dan menghayati sikap dan nilai Jawa dalam mendukung perwujudan resiliensi. Tentunya dengan bekal nilai-nilai Jawa yang sangat mendukung dalam perwujudan keseimbangan hidup, remaja Jawa bisa lebih terbantu untuk memiliki kualitas diri yang resilien ketika menghadapi situasi yang menekan. Pengalaman sulit dapat dimaknai sebagai

sebuah pengalaman yang mendidik hingga kemudian menghasilkan kekuatan untuk bangkit dan meneruskan kehidupan.