• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Penelitian

2. Informan PBP

PBP (21) adalah seorang anak perempuan bungsu dari 4 bersaudara. Ayahnya telah meninggal sejak PBP (21) duduk di bangku kelas 2 SMP.

Kronologi meninggalnya almarhum dikatakan PBP (21) sangat mendadak. Sore itu, almarhum dalam kondisi sehat masih mengantarkan PBP (21) untuk mengikuti kegiatan kepramukaan di sekolah. Tak lama kemudian saat PBP (21) sedang mengikuti kegiatan kepramukaan, ia mendapatkan pesan singkat dari teman kakaknya yang menanyakan lokasi rumah sakit ayahnya. PBP (21) bingung kenapa ada pesan tersebut, karena baru saja ayahnya mengantarkannya ke sekolah. Sejak mengetahui pesan tersebut, PBP (21) menjadi terdiam dan badmood hingga ia pulang ke rumah. Ketika sampai di rumah ia langsung diajak oleh sepupunya untuk menemui ayahnya yang dirawat di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit ternyata ayahnya sudah berada di ICU. Hasil check laboratorium menunjukkan adanya komplikasi pada tubuh ayah.

Ketika hari sudah malam, PBP (21) dianjurkan untuk pulang ke rumah agar istirahat karena keesokan harinya akan ada kegiatan tryout di sekolahnya. Sesampainya di rumah, PBP (21) langsung tidur. Di dalam mimpinya, ia bertemu dengan ayahnya yang mengenakan pakaian serba putih. Dalam mimpi tersebut PBP memegang tangan papa yang terasa sangat dingin. PBP (21) ingat betul bahwa di dalam mimpi ayahnya mengajaknya untuk pergi bersama namun PBP (21) menolak, kemudian PBP (21) terbangun dari tidurnya. Perasaan tidak percaya muncul dalam diri PBP (21) atas mimpi yang baru saja dialaminya. Kemudian PBP (21) menenangkan diri dengan minum air putih dan berdoa. Ketika berdoa itulah selanjutnya ada telpon dari kakaknya yang di rumah sakit, yang

menyuruh PBP (21) dan kakaknya yang di rumah untuk segera ke rumah sakit saat itu juga. Sesampainya di rumah sakit, ternyata ayah sudah meninggal sesaat sebelum PBP (21) hadir.

Mengetahui bahwa ayahnya sudah meninggal, respon PBP (21) adalah menangis. Ia tidak menyangka bahwa ayahnya akan pergi secepat itu, terakhir dia berbincang dengan ayahnya adalah ketika sore hari ia diantarkan ke sekolah untuk mengikuti kegiatan pramuka. Perbincangan itu pun masih seperti biasanya, ada lelucon yang dilontarkan papa pada PBP (21). Rasa tidak percaya menaungi PBP (21) saat mengetahui ayahnya sudah meninggal. Ia pun merasa linglung “apakah benar papaku sudah meninggal?”. Kemudian ia dipeluk oleh teman-teman dari almarhum dan diberi pengertian serta penguatan karena ia adalah anak yang masih kecil saat itu. PBP (21) merasa sebagai anak yang paling dekat dengan ayahnya saat itu karena kakak-kakaknya sudah berada di luar kota semua, hanya tinggal dia yang masih diasuh secara langsung oleh ayah.

Dihadapkan pada situasi meninggalnya ayah, PBP (21) hanya bisa menangis dan menggandeng erat mamanya. PBP (21) tidak bisa berujar kata apapun pada saat itu. Ia hanya bisa mengingat bahwa ayah adalah sosok yang selalu ada buatnya, mulai dari mengantar sekolah hingga bermain di rumah tetap bersama ayah karena mama kerja di Jogja. Perasaan tidak menyangka bahwa ayah akan pergi secepat itu masih menaungi PBP (21), padahal sorenya baru saja mengantarkannya ke sekolah. Ketika sampai rumah bersama almarhum ayah, PBP (21) menjadi

sangat lemas dan tidak nafsu makan. PBP (21) menyisiri rambut ayahnya setelah dimandikan dan menunggu di samping jenazah ayahnya.

Keesokan harinya, ketika almarhum akan dimakamkan, ada ritual Jawa di mana keluarga inti mengitari di bawah peti almarhum. Dalam ritual tersebut, PBP (21) menangis sambil merasa sangat sedih lantaran dirinya tidak bisa dibimbing oleh ayahnya sampai besar tapi ayah sudah meninggal. Ia juga merasa bahwa dirinya belum bisa memberikan apa-apa untuk ayah. Ia menyesal bahwa dahulu ketika ayah sering minta tolong, PBP (21) justru menggerutu karena sering disuru-suru. Kemudian ketika peti jenazah akan dimasukkan ke mobil ambulan, PBP (21) merasa sangat lemas lalu pingsan. Ia dianjurkan untuk tidak ikut ke pemakaman namun tetap bersikukuh untuk ikut. Ketika di makam, saat peti diturunkan perlahan kedalam liang kubur, PBP (21) baru benar-benar menyadari dan percaya bahwa ayahnya sudah meninggal. Sebelumnya PBP (21) merasa tidak percaya kalau ayahnya sudah meninggal karena tidak ada tanda-tanda sakit atau keluhan apapun, kondisinya sangat sehat. Saat itu dan kedepannya PBP (21) merasakan sangat terpuruk dan masih sulit untuk mengikhlaskan. Hal-hal yang biasanya dilakukan ayah menjadi tidak ada yang melakukannya. PBP (21) beserta mama dan kakak-kakaknya merasa sangat kewalahan, namun mau tidak mau akhirnya mereka berbagi tugas untuk melakukan kewajiban yang dahulu dilakukan papa.

Kepergian ayah membuat PBP (21) merasa sangat lemas, linglung, dan sedih. Perasaan tidak percaya terkadang masih membayangi.

Ketakutan akan masa depan PBP (21) tanpa kehadiran ayah pun selalu terlintas dalam pikirannya. Situasi keluarga yang sudah berpencar membuat PBP (21) juga bingung akan menghabiskan waktu luangnya di rumah bersama siapa. Ia merasa bahwa ayah adalah pegangan dalam hidupnya, dan kini sudah meninggal. Kondisi tersebut ternyata sampai membuat PBP (21) menjadi sangat mudah untuk pingsan, bahkan sehari ia bisa pingsan 5-10 kali. Ketika di sekolah PBP (21) juga sering mengalami pingsan secara tiba-tiba tanpa tanda-tanda yang jelas. Teman-temannya sampai membullynya dengan alasan hanya ingin dikasihani. Ketika diperiksakan ke dokter ternyata ada salah satu syaraf PBP (21) yang menjadi sangat lemah ketika ia terlalu banyak berpikir. Hal itulah yang membuat PBP menjadi sangat mudah pingsan.

PBP (21) adalah orang yang tertutup pada saat itu. Ia sulit bercerita kepada orang lain tentang apa yang ia rasakan dan pikirkan. Banyaknya pikiran yang ia pendam sendiri kemudian berimplikasi pada fisiknya yang menjadi tidak kuat. Kondisi demikian membuatnya harus meminum obat yang diberikan dokter selama kurun waktu 2 tahun. Ibunya pun mulai memberi nasehat bahwa PBP (21) harus mampu untuk menceritakan perasaan atau pikirannya pada orang lain, entah itu kakak atau mama atau teman pun boleh. PBP (21) juga diharapkan untuk selalu tegar dan kuat atas situasi dirinya. Namun karena situasi di rumah jarang ada orang yang bisa untuk diajak bercerita maka PBP (21) mulai mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah untuk menyibukkan diri. Kegiatan yang diikuti PBP

(21) antara lain pramuka, paduan suara, dan menari salsa. PBP (21) memaksakan dirinya untuk lelah secara fisik agar dirinya tidak kepikiran ayah disaat sendiri. Ketika dia hanya di rumah sendiri, berdiam diri, lalu mudah teringat almarhum ayahnya, karena sebelumnya selalu melakukan aktivitas bersama seperti menonton televisi dan makan bersama.

Banyaknya kegiatan yang diikuti ternyata berhasil mengalihkan pikirannya dari kematian ayahnya. PBP (21) berpikiran bahwa ia tidak boleh selamanya merasa terpuruk, ia harus bangkit, kasian ibu yang masih membiayai hidupnya dan ayah yang melihat disana. Kesadaran yang murni muncul dari dalam diri tersebut kemudian mendorong PBP (21) untuk mengikuti berbagai macam kegiatan agar dirinya tidak terus terpuruk. Alhasil setelah mengikuti beberapa kegiatan PBP (21) menjadi tidak terlalu sering memikirkan almarhum ayahnya karena setelah selesai beraktivitas ia lelah lalu istirahat. Perasaan sedih yang sebelumnya kerap dirasakan menjadi tereduksi. Selain itu, PBP (21) juga mulai berani untuk berbagi atau bercerita dengan orang lain. Semula PBP (21) sangatlah malu untuk mengenal orang baru apalagi bercerita kepada orang. Namun karena tekadnya yang tidak ingin terus bersedih, maka ia pun mulai berani mengenal orang lain dengan mengikuti banyak kegiatan. PBP (21) pun mendapat dukungan dari temannya agar mau berbagi cerita dengan orang lain. Temannya mengatakan bahwa dengan berbagi cerita maka akan ada banyak opsi yang dimiliki ketika diri sendiri sedang bimbang. Sejak saat

itulah PBP (21) menjadi orang yang mudah mengenal orang baru dan mampu berbagi cerita.

PBP (21) menyadari bahwa ia harus bisa melakukan segala sesuatu yang ia butuhkan secara mandiri. Dahulu memang ada ayah yang membantu namun pasca kepergian almarhum maka PBP (21) harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Misalnya seperti pergi ke sekolah atau pergi ke rumah temannya, dahulu selalu diantar oleh ayah namun setelah itu ia harus naik angkutan umum sendiri. Pernah suatu ketika ia berkumpul dengan kakak-kakaknya lalu diberi semangat bahwa sebagai wanita harus tetap kuat, jangan mudah mengeluh walau cobaan menghadang.

PBP (21) masih merasa sedih pada saat menjalani peringatan-peringatan dalam rangka mengenang kepergian almarhum ayah. Bahkan sampai saat ini kalau ia menjumpai momen-momen sentimental yang berhubungan dengan orang tua ia lalu teringat akan almarhum ayah dan terkadang sampai meneteskan air mata. Mendengarkan lagu-lagu tertentu terkadang juga membangkitkan kenangan PBP (21) dengan almarhum yang kemudian membuatnya mbrebes mili dengan sendirinya tanpa direncanakan. Perasaan sedih ketika tiba-tiba teringat akan almarhum tetap dirasakan PBP (21) hingga saat ini. Dahulu PBP (21) sering sekali didatangi almarhum ayah dalam mimpi hingga 40 hari pasca kepergiannya. Hal tersebut dirasakannya karena memang ia merasa sangat dekat dengan ayah. Menghadapi perasaan tersebut PBP (21) menguatkan

dirinya dengan menyadari bahwa ayah memang sudah tidak ada, tidak perlu disesalkan.

Titik di mana PBP (21) merasa benar-benar bisa mengikhlaskan kepergian almarhum adalah ketika ia akan melanjutkan pendidikannya di Jogja. Momen yang terjadi saat itu ialah PBP (21) hendak kuliah di Jogja, ia harus mencari kos untuk tinggal dan akan melakukan segala sesuatu seorang diri. Ia lalu sadar bahwa harus menjadi lebih mandiri. PBP (21) sempat merasa sedih dengan kondisinya itu, teringat akan almarhum papa kembali, namun ia akhirnya bisa menguatkan diri kembali. Semangat yang dibangun PBP (21) ialah ingin membuat almarhum ayahnya bangga, oleh karena itu ia harus kuat dan bisa menjalani kehidupannya di Jogja. Ayah menjadi sumber semangat bagi PBP (21). Ia juga tidak ingin mamanya meninggal dalam kondisi PBP (21) masih belum mampu memberikan baktinya. Kesadaran untuk mengikhlaskan tersebut muncul dengan sendirinya. PBP (21) merasa beruntung karena dalam kondisinya yang rapuh pasca kepergian ayah, ia tidak terjerumus dalam lingkungan yang negatif. PBP (21) memang merasa bahwa dahulu ia adalah orang yang rapuh, mudah pingsan, mudah menangis ketika di-bully, dan tidak berani membela diri. Namun ketika kelas 3 SMA dan akan melanjutkan kuliah di Jogja, PBP (21) mulai berani membela diri. Ia sadar bahwa tidak mau berada dalam kondisi ditekan terus.

Dengan memilih untuk tinggal di kos, PBP (21) menjadi harus mengatur waktunya sendiri untuk berkegiatan karena tidak ada yang

mengingatkan. Terkadang ia bisa main sampai larut malam tanpa ada yang mengingatkan harus pulang. Ada beberapa temannya yang iri dengannya karena ketika waktu sudah melebihi jam 21.00, mereka pasti sudah ditelpon orang tuanya untuk segera pulang ke rumah. Atas situasi demikian, PBP (21) justru menginginkan situasi seperti teman-temannya. Ia ingin ada sosok yang selalu mengingatkan seperti itu. Dahulu yang selalu melakukan itu adalah papa, namun kini tidak ada lagi yang melakukan hal tersebut, bahkan mama pun tidak melakukan hal itu. Oleh karena itu PBP merindukan sosok ayah yang bisa mengontrol dan membimbing dirinya. Kerinduan tersebut muncul karena PBP (21) pernah diatur oleh ayah dan selalu diingatkan terkait ketepatan waktu. Pasca kepergian ayah, PBP (21) memang merasa seperti tidak mempunyai pegangan, tidak ada yang memegang kendali atas dirinya, tidak ada yang ia takuti, dan tidak ada yang menuntutnya dalam hidup. Sosok mama tidaklah seperti ayah yang mampu memberi batasan-batasan, mama jauh lebih terbuka dan cenderung memberi kebebasan.

Saat ini PBP (21) sudah memiliki tekad untuk memupus perasaan sedihnya dan ingin maju meneruskan kehidupan. Titik lahirnya tekad tersebut ialah saat ia dengan sadar melihat dan memikirkan bahwa bila ia terus mengeluh, iri dengan temannya, tidak semangat, hal tersebut justru terkesan bahwa PBP (21) selalu menyalahkan kematian mereka. Ia tidak ingin seperti itu. Melihat situasi keluarga di mana semua kakaknya sudah berumah tangga juga semakin menampar PBP bila selalu bersikap

terpuruk akan menjadi apa kelak. Adanya realita tersebut kemudian membuat PBP (21) bangkit dan bertekad memupus kesedihannya untuk melanjutkan kehidupan. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa perasaan sedih dan sepi kadang menghampiri, namun dengan membagikan perasaan tersebut kepada kakak-kakaknya, ia pun mendapat dukungan kembali untuk melangkah. Bentuk dukungan seperti itu yang kemudian selalu membuat PBP (21) berpikiran maju dan ingin segera membanggakan ibu dan almarhum ayah walau sudah tidak bersama lagi.

Terdapat beberapa pengalaman yang berkesan antara PBP (21) dan almarhum ayah. Ketika akan berulang tahun umur ke 5, ia menginginkan kado boneka barbie dari mereka. Saat itu ia diajak ke swalayan gardena untuk membeli boneka tersebut. Namun ketika sampai disana, ayahnya menganjurkan untuk membeli boneka yang lain, boneka panda, dengan alasan bahwa boneka barbienya jelek. PBP (21) paham sebenarnya bahwa boneka barbie tersebut harganya mahal, namun ayahnya mengatakan bahwa boneka itu jelek. Oleh karena itu ia mengiyakan anjuran ayahnya untuk membeli boneka yang lain karena PBP (21) memahami kondisi ekonomi ayahnya saat itu. Pengalaman selanjutnya adalah disaat PBP (21) sering diajak ayahnya bekerja di bengkel. Melihat ayahnya selalu membuka mur menggunakan obeng, membuat PBP (21) meniru perilaku tersebut. Ketika sampai di rumah ia membuka semua mur pada alat-alat elektronik yang ada di rumah. PBP (21) juga selalu diajarkan permainan-permaian lama seperti bentik. Lalu pengalaman yang menegangkan adalah

ketika ada angin puting beliung melanda rumah mereka. Saat itu ayah sedang berada di ruang tv, sedangkan PBP dan kakaknya berada di kamar. Angin yang melewati rumah membuat semua jendela rumah membuka dan menutup dengan sendirinya. Ketika mereka sangat ketakutan, ayah langsung mendekap dan melindungi mereka supaya tidak tertimpa benda-benda yang beterbangan. Kemudian PBP (21) juga teringat bahwa ayah sering mengajarkan tentang kebenaran. Apabila terkena masalah dengan orang lain, kalau kita salah maka harus minta maaf, tapi kalau tidak salah maka jangan takut untuk memperjuangkan kebenaran kita. Dari pengalaman-pengalaman tersebut, PBP (21) menilai bahwa almarhum ayah adalah sosok yang tidak banyak bicara dalam mengajarkan nilai-nilai hidup padanya. PBP (21) merasakan bahwa almarhum ayah mengajarkan banyak nilai hidup melalui contoh perbuatan langsung. Di sisi lain, PBP (21) sebenarnya merasa tidak dekat dengan almarhum ayahnya, hanya saja banyak perilaku baik yang dapat dipelajari dari sosok beliau.