• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Analisis Data

3. Dampak pasca kematian orang tua

Bagaimana perasaan linglung, lemas, dan sedih banget itu bisa muncul? “aku kan kepikiran to nek ming ning omah, nek

bali sekolah mulih njuk ming ning omah ngono kan kepikiran papa terus wong aku biasane nek ngopo-ngopo ning omah yo karo papa.” ; “Yo soale kan aku ngroso keluargaku sibuk kabeh to, dadi kadang aku yo sing koyo sedih juga, kesepian ngono kui aku merasakan kui.” (PBP (21), 237-240, 378-380)

Adakah rasa lain yang kamu rasakan ketika benar-benar menyadari bahwa bapakmu sudah meninggal? “yaa

sepi..ya di rumah jadi sepi gitu, kan biasanya dia yang jahilin aku misalnya aku bangunnya siang hari Minggu.” ; Perasaan

dominan yang kamu rasakan setelah bapak dimakamkan apa? “Yaa..sepi, tapi aku selalu ini sih ke aku, maksudnya

setelah bapak pergi, setelah dimakamin, ya aku kayak punya janji sama diriku sendiri tu janji ehmm..gak bakal nangis di depan mamaku sama mbakku.” (BS (21), 196-198, 262-265)

3. Dampak pasca kematian orang tua

Sejumlah permasalahan tersebut ternyata membawa dampak lanjutan terhadap diri para informan. Pengalaman kedukaan sepeninggal orang

tuanya turut menghadirkan permasalahan mental yang tidak diharapkan. Informan TAD mengutarakan bahwa kepribadiannya berubah menjadi mudah marah kepada ibu dan kakaknya. Hal tersebut disebabkan karena dirinya tidak mudah untuk sepaham dengan mereka. Ketika almarhum ayahnya masih hidup, ia sangat sepaham dan setipe dengan ayahnya. Hal tersebut yang kemudian kerap memicu terjadinya perselisihan di dalam keluarga. Sedangkan pada informan BS, kematian ayahnya menguak satu kenyataan bahwa almarhum bapaknya ternyata memiliki anak dari wanita lain. Hal tersebut membuatnya marah.

Bagaimana munculnya kesadaran untuk bertindak seperti itu? “kalo untuk pribadi, jujur aku ngroso luwih atos, lebih

ketus kepada orang lain. Lebih pendiem juga, lebih banyak pikiran negative kalo lagi ngobrol sama orang, entah itu lagi ngobrol serius ato ngobrol bercanda pasti ada pikiran negative ke orang. Gak tau juga kok bisa gitu kenapa. Intinya aku jadi waspada sama orang lain, sampe sekarang. Bahkan ketika ngobrol sama teman dekat pun juga masih merasa waspada gitu, sama siapapun lah.” (TAD (22), 143-150)

Apa motivasimu melakukan kegiatan-kegiatan itu? “Ya

karena ketemu sama orang, ibuku sama masku, yang tidak setipe tidak sepemahaman. Ketika bahas sesuatu sama kakakku sama ibuku itu seringnya aku bertabrakan sama mereka, berbeda pendapat terus sama mereka, kadang sampe marahan juga.”

Jadi kalau diutarakan secara singkat, penyebabnya apa? “Ya karena aku kehilangan sosok yang sepaham dengan aku, yaitu bapakku, aku jadi gak betah di rumah, suka tidak sepaham dengan kakak dan ibuku yang kadang sampe marahan, dan itu kebawa sampe aku keluar ee..maksude ketika aku berada sama temen-temenku gitu. Karena ketika bapak masih ada, yang langsung berurusan sama keluarga ini sama keluarga besar kan ya bapak to, nha ketika bapak udah gak ada ya otomatis turun ke aku sama kakakku, tapi kakakku tu cenderung apatis sih, jadi ya aku yang sering ngobrol permasalahan yang ada. Bisa dibilang aku yang berani

ngobrol ketus-ketusan sih sama keluarga yang lain, sama keluarga dari bapakku.” (TAD (22), 124-128, 166-177)

Apakah ada hal-hal atau perasaan yang membuatmu tertekan setelah itu? “Jadi mama tu ngasih tau kalo bapak tu

punya anak diluar kamu sama Mbak Asti, tapi kan emang ngasih taunya baik-baik gitu lho, tap aku yang kepancing ‘kok bisaaaaa’ kan aku gak ngerti kok bisa kek gitu ya.” (BS (21), 325-327)

“Jadi tu aku baru tau kalau emm..bapakku tu punya istri lagi. Jadi dia juga udah punya anak, mungkin nikah siri atau apa itu.” ; “ kan patokanku adalah bapakku, maksudnya dari cara dia kerja, dari cara dia memberikan afeksi, dari cara dia memikirkan keluarga gitu tu aku patokanku adalah bapakku tu lho. Nah ketika mamaku cerita tentang bapakku yang kek gitu tu aku gak bisa yang nerima tu lho jadi.” (BS (21), 292-293, 330-334)

Realita tersebut tidak hanya membuat informan BS marah, ia juga menjadi sulit percaya dengan laki-laki.

Apakah ada hal-hal atau perasaan yang membuatmu tertekan setelah itu? “aku gatau ini aku tertekan apa gimana,

tapi tu kayak emang kan aku sempet pacaran beberapa kali tapi aku tu tidak..tidak apa yaa..posisinya tidak enak gitu lho, ya entah posisinya diselingkuhin, ya diputusin, ya kayak gitu gitu tu lho. Awalnya dari situ, trus aku gak mau men-generalisir kalau cowok tu sama aja, tapi ketika orang terdekatku tu kayak gitu, maksudnya kayak aku memposisikan jadi mama, dia selingkuh sama cewek lain sampai punya anak, anaknya seumuran sama kayak aku. Itu tu aku kayak mistrust gitu lho sama cowok jadinya.” ; “Jadinya kalau mau deket sama cowok agak susah, ya kita berteman tapi kalau mau sampai pada hubungan yang romantis tu agak susah tu lho. Dan sampai sekarang pun aku masih ingin berdamai dengan itu.” (BS (21), 295-304, 304-307)

Informan juga mengalami stres akibat menahan beban kehilangan orang tuanya. Relasi sosial informan TAD dengan orang-orang di

sekitarnya menjadi buruk. Bahkan informan PBP dan TAD mengalami gangguan kesehatan karena selalu memikirkan kepergian orang tuanya.

Ada apa kalau di rumah terus? “Yaa gak produktif, kayak

ada yang menahan..menahan e ki..gini, ya kan jalan pikirku sama bapakku kan sama to, nha otomatis ketika bapaku udah gak ada aku akan lebih sering berhadapan dengan ibuk sama kakak, sedangkan jalan pikiran kami berbeda-beda gitu lho. Nha kalau di rumah terus jatuhnya malah stres aku.” ; “Pelampiasan yang kulakukan saat itu ya makan terus, makan terus sampe gemuk.” (TAD (22), 118-123; 246-247)

Bagaiamana kamu mengatasi perasaan sedih itu?” yo

mungkin bar 7 hari yo, aku ki SMP mulai semaputan. Terus aku sempet sehari tu bisa pingsan 5-10 kali.” ; “aku ki nek ditakoni mikir opo ngono yo aku ra mikir, tapi ki fisikku sendiri yang gak kuat.” ; “Lha aku ra ngerti, aku ki ditakoni yo ra ngerti opo-opo, aku ra mikir opo-opo. Bahkan aku bar ngguyu ngekek ngono aku iso semaput jarene, dijak makan ning ndi ngono njuk semaput padal bar makan ngono.” ; “Ternyata ada salah satu syarafku ki sing lemah ketika aku banyak pikiran.” ; Tidak bisa berucap atau memang tidak

bisa berbagi? “Raiso berbagi karo uwong, dadi koyo tak

rasake dewe. Nah mungkin itu terlalu banyak njuk kependhem-kependhem to trus aku mungkin fisik e sing ra kuat.” (PBP (21), 199-200, 203-206, 218-219, 223-225)

Kondisi psikosomatis yang dalami PBP sampai membuatnya takut untuk berbaur. Hal itu diperparah dengan kepribadiannya yang tertutup dan tidak mudah bercerita kepada orang lain:

Apa yang kamu rasakan? Prosesnya gimana itu? “biyen

kan aku nek mau bergabung dengan kegiatan gitu kan kaya minder karena aku wis males sik ngono ki lho karena wis tau dijudge “alah koe ki ming gayane, ming golek welas” karo uwong makane njuk koe semaputan., koyo wis kepikiran kui kae lho aku, dadi koyo males.” ; “aku dudu tipe wong sing iso crito, dadi biyen aku adalah wong sing raiso crito, opo sing tak rasake yo tak rasake dewe, nek kon crito ngono kui rasane yo raiso ngono lho.” ; “Iyaa, dan aku juga gak crita sama mama to waktu itu dadine aku yo mletik dewe ngono kui, kan aku yo dudu cah sing sok dolan karo konco-konco ning

kampung ora, aku ki cah omahan.” (PBP (21), 282-286, 220-222, 273-275)