• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Penelitian

1. Informan TAD

TAD (22) adalah seorang anak bungsu dari dua bersaudara. Ia dilahirkan dan besar di Kota Solo, namun kini ia sedang menempuh pendidikan S1 di sebuah Universitas swasta di kota Yogyakarta. TAD (22) merupakan orang Jawa tulen yang lahir dari pasangan Jawa dan dididik dalam lingkungan Jawa. Pada saat TAD (22) duduk di bangku kelas 2 SMA, ayahnya meninggal dunia, sejak saat itu TAD (22) dan kakaknya menjadi anak yatim dan hidup bersama ibunya.

TAD (22) adalah orang pertama yang mendapati bahwa ayahnya tergeletak di lantai. Saat itu TAD (22) baru saja kembali dari pergi bersama teman-temannya. Sesampainya di rumah ia menjumpai ayahnya sudah tergeletak di lantai dengan puntung rokok yang sudah mati masih terselip di jemari tangannya. Abu rokok yang mengering cukup panjang, TAD (22) mengartikan bahwa ayahnya tergeletak di lantai sudah cukup lama. TAD (22) sempat memegang tangan bapaknya yang terasa masih hangat dan lemas. Melihat ayahnya berada dalam kondisi demikian, TAD (22) langsung memanggil saudaranya yang bertempat tinggal di sebelah rumahnya. Ibu dan kakaknya yang tidak berada di rumah pun segera dikabarinya, lalu mereka bergegas untuk kembali ke rumah. Bantuan CPR sempat diberikan, namun rasanya sudah tidak berhasil. TAD (22) pun meminta bantuan tetangganya untuk membawa bapak ke rumah sakit.

Perasaan yang dirasakan TAD (22) saat itu sangatlah sedih, ia menangis melihat ayahnya sudah tak bernyawa. Dalam kondisi demikian, TAD (22) diminta oleh kakaknya untuk berdoa saja memohon keselamatan daripada menangis, namun ia merasa bahwa berdoa sudah tidak berguna sebab ia yakin ayahnya sudah meninggal. Logika yang dimiliki TAD (22) mengutarakan bahwa bapaknya sudah tergelatak di lantai cukup lama, artinya kemungkinan untuk selamat sudah sangat kecil, dan TAD (22) meyakini bahwa ayahnya memang sudah meninggal. Realita tersebut membawanya pada sikap menolak anjuran kakaknya untuk berdoa memohon keselamatan bagi ayahnya.

Perasaan sedih sangat kental dirasakan oleh TAD (22) pasca kepergian ayah. Hal tersebut disebabkan karena TAD (22) kehilangan sosok, poros, serta tulang punggung keluarga dalam kehidupannya. Ketika ayah meninggal, artinya tidak ada lagi yang berperan untuk mengatur keluarga, untuk menyelesaikan masalah keluarga yang belum selesai. Bagi TAD (22) ayah adalah sosok yang mengayomi keluarga dan dirinya. Ada berbagai macam pengalaman yang menunjukkan bahwa ayah tidak sering memberikan nasehat pada TAD (22), namun ketika dirinya berbuat salah maka ayah langsung memberikan nasehat. TAD (22) mengartikan bahwa meski ayah terlihat tidak banyak bicara terhadapnya, ayah adalah sosok yang selalu memperhatikan. Sikap keras yang dimiliki ayah juga dirindukan oleh TAD (22), sebab ia merasa bahwa dirinya perlu dididik

dengan cara yang keras agar tidak terlalu nyantai dan bisa lebih bertanggung jawab.

Pasca kepergian almarhum, TAD (22) merasa sangat kesepian dan seperti ada yang kurang serta tidak lengkap dalam hidupnya. Suasana hati yang dirasakan pada saat itu adalah suwung atau sepi. TAD (22) mengatakan bahwa dirinya benar-benar bisa menerima kepergian ayahnya setelah 3 tahun berlalu. Selama 3 tahun berjalan, TAD (22) banyak mengikuti kegiatan di komunitas pecinta alam di sekolahnya, lalu ia juga terlibat dalam kegiatan organisasi. Pilihannya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut supaya dirinya bisa tetap produktif dan tidak hanya di rumah saja. Keberadaannya yang terlalu lama di rumah membuat dirinya resah sebab ia sering berselisih pendapat dengan ibu dan kakaknya. TAD (22) menyadari bahwa dirinya cenderung lebih sepaham dan setipe dengan pribadi ayahnya, oleh karena itu ia sering berselisih pendapat apabila terlalu sering di rumah. Namun di sisi lain, dorongan untuk menjadi pribadi mandiri pun muncul. TAD (22) belajar untuk mengurus kewajibannya sendiri seperti membuat SIM dan KTP, lalu juga membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam keluarga. Dorongan tersebut muncul sebab tidak ada lagi yang bisa diandalkan untuk melakukan hal-hal tersebut, jadi mau tidak mau dirinyalah yang harus melakukan.

Kepergian ayah membuat TAD (22) merasa tidak lagi memiliki sosok yang sepaham dan setipe dengannya. Ketika berada di rumah, dirinya

kerap kali berselisih pendapat dengan ibu dan kakaknya. Cara berpikir yang dimiliki oleh ibu dan kakaknya tak pernah bisa ditolerir atau diikuti, sehingga perseteruan pun kadang tak bisa dihindarkan. Sikap TAD (22) yang keras tersebut ternyata terbawa dalam pergaulannya di lingkup keluarga besar dan lingkungan pertemanan. Ia menyadari bahwa dirinya menjadi lebih keras dan ketus terhadap siapapun hingga saat ini. Ketika berada dalam forum keluarga besar, TAD (22) pun bisa bersikap ketus terhadap saudara-saudaranya dalam menyikapi permasalahan yang terjadi. Hal tersebut dilakukannya karena ia ingin meneruskan kendali yang dahulu pernah dijalankan oleh ayahnya.

Kepergian ayah meninggalkan perasaan duka bagi TAD (22). Hal yang dilakukannya dalam mengatasi rasa duka tersebut adalah sering berjumpa dengan teman-teman. Perjumpaan dengan teman-teman, khususnya teman-teman pecinta alam, membuat TAD (22) mampu mereduksi perasaan dukanya secara perlahan. Segala percakapan dan bentuk humor yang dilontarkan dalam pergaulan teman-teman pecinta alam mampu membuat TAD (22) beranjak dari rasa duka yang dirasakannya. TAD (22) menyadari bahwa dirinya tidak membutuhkan untaian kalimat belasungkawa untuk menenangkannya, namun ia lebih membutuhkan kehadiran atau perjumpaan secara langsung agar rasa duka yang dirasakannya dapat ternetralisir dengan sendirinya. TAD (22) mengatakan bahwa masa di mana ia sering berjumpa dengan teman-teman pecinta alam dapat disebut sebagai pelarian, namun ia lebih memaknai

sebagai fase untuk menghadapi realita, beradaptasi dalam situasi duka. Teman-teman telah dianggap sebagai support system dikala perasaan duka merundung atas peristiwa kepergian ayah. Situasi batin yang dirasakan TAD (22) selanjutnya ialah menjadi lebih tenang pasca berjumpa dengan teman-teman pecinta alam. Ketenangan tersebut muncul karena pikirannya mulai terbuka pada banyak hal, tidak hanya berfokus pada rasa sedih yang dialaminya.

Terdapat suatu titik di mana TAD (22) mengutarakan bahwa kehidupan harus terus berjalan. Ungkapan tersebut muncul atas ketidakkuatannya, kejenuhan, dan kebosanannya dikala terus menerus terkungkung dalam perasaan sedih. TAD (22) merasa lelah dalam pikiran dan mental yang mewujud dalam bentuk sesak pada bagian dada ketika terus bersedih dan memikirkan almarhum ayahnya. Oleh karena itu, sampailah TAD (22) pada keputusan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman yang dirasakannya itu dengan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, secara khusus dan intens kepada teman-teman di pecinta alamnya.

Hal-hal yang mendukung TAD (22) bangkit dari kesedihan yang utama adalah dari diri sendiri. Adanya titik jenuh yang melahirkan keinginan untuk beranjak dari situasi jenuh itulah yang pertama-tama membuat TAD (22) mampu bangkit. Kemudian TAD (22) juga dihadapkan pada realitas di mana kewajiban yang dahulu biasa dilakukan ayahnya harus bergulir padanya. Selain itu, proses berdinamika dengan

teman-teman pecinta alam yang memiliki banyak anggota mulai dari yang masih aktif bersekolah hingga alumni yang sudah berkeluarga dirasakan sangat membantu TAD (22) dalam mereduksi perasaan sedih yang dominan dirasakan saat itu. Interaksi yang terbangun antara TAD (22) dan teman-teman pecinta alam mampu memberikan semangat bagi TAD (22) untuk melanjutkan kehidupan. Wejangan-wejangan yang diberikan oleh teman-temannya yang sudah berkeluarga juga dapat diserap oleh TAD (22) dalam membangunkan niat untuk melanjutkan kehidupan. Kendati lingkungan tersebut memberikan dukungan yang baik, namun tetap saja TAD (22) mengalami kesulitan dalam menjalaninya karena masih terbayang-bayang sosok ayahnya dan terkadang masih tidak percaya bahwa ayahnya sudah tiada. TAD (22) pun merasa bahwa masih ada suatu tanggung jawab yang lebih besar yang harus ia lalui, tanggung jawab untuk membenahi diri atas sikap-sikapnya terhadap orang lain. Namun, ada pengalaman lain yang menguatkan TAD (22) adalah ketika ia menjumpai ada orang tua dari teman-temannya yang juga meninggal. Peristiwa tersebut melahirkan sebuah pikiran “senasib” bagi TAD (22), ada sebuah kesadaran bahwa di umurnya akan sering bertemu dengan peristiwa serupa yang akan dialami oleh teman-temannya. Mulai dari situ kemudian muncul dorongan bagi TAD (22) untuk menerima kepergian ayahnya. Kerendahan hati untuk legowo dan mengikhlaskan mulai terbentuk. Masih teringat atau mengingat pribadi atau masa hidup

almarhum adalah hal yang tidak dipungkiri TAD (22), hanya saja intensitas dan perasaan yang dirasakan sudah tidak seperti yang dulu.

Dalam peringatan-peringatan yang dilakukan untuk mengenang almarhum dalam bentuk perayaan keagamaan (ekaristi), TAD (22) memilih untuk tidak mengikuti perayaan ekaristi tersebut. TAD (22) lebih memilih berada di luar rumah dan berbincang-bincang dengan saudara dan rekan-rekannya yang tidak merayakan ekaristi. Hal tersebut dilakukan karena TAD (22) merasa bahwa dalam ekaristi komunikasi hanya terjadi satu arah antara Pastor ke umat, sedangkan yang dibutuhkan oleh TAD (22) adalah komunikasi dua arah yang bisa membuatnya lebih tenang dalam kaitannya mengenang almarhum. Perasaan sedih hingga terkadang menangis masih dialami TAD (22) pada saat ada peringatan-peringatan mengenang almarhum. Oleh karena itu TAD (22) lebih memilih untuk berbincang di luar karena sifat komunikasinya dua arah dan TAD (22) merasa lebih nyaman dengan caranya tersebut.

Relasi yang terbangun antara TAD (22) dengan almarhum ialah realasi yang maskulin. TAD (22) menjelaskan bahwa relasi maskulin yang dimaksud ialah relasi di mana kasih sayang tidak selalu ditunjukkan melalui ungkapan verbal, namun ditunjukkan melalui perbuatan tertentu. Dalam beberapa hal hubungan mereka mungkin bisa dibilang kaku, sebab almarhum adalah orang Jawa yang tidak banyak berbicara yang tidak penting. Ayah juga disebutkan sebagai sosok pengawas dan pembimbing bagi TAD (22). Beberapa bentuk kasih sayang yang pernah ditunjukkan

seperti ketika almarhum membelikan TAD (22) sepeda motor walaupun tidak pernah meminta dan belum bisa mengendarainya. Kemudian pada peristiwa lain ketika TAD (22) dijemput dari sekolah tidak langsung diajak pulang ke rumah melainkan diajak jajan terlebih dahulu di suatu tempat makan. Kendati terlihat akrab, TAD (22) tetap pernah mendapat teguran dan dimarahi oleh almarhum ketika ia membolos sekolah yang mengakibatkan nilai-nilainya menjadi turun. Dalam waktu-waktu tertentu di mana hanya ada mereka berdua, almarhum pasti akan memberikan nasehat kepada TAD (22). Nasehat yang diberikan tentu ketika TAD (22) sudah melebihi batas wajar ketika berbuat sesuatu. Apabila TAD (22) melakukan perbuatan menyimpang yang masih wajar maka almarhum tidak akan menasehati. Hal tersebut membuat TAD (22) jauh lebih menghargai ayah daripada ibu karena sikapnya. Pernah suatu ketika TAD (22) dan almarhum berkunjung ke salah satu Gua Maria. Ketika berjalan lebih dulu daripada ayah, TAD (22) digonggongi oleh anjing yang cukup banyak. Karena takut maka TAD (22) berlari ke arah ayahnya dan dilindungi oleh ayah dari anjing-anjing tersebut. Pengalaman tersebut sangat sederhana tapi begitu berkesan bagi TAD (22) karena dirinya merasa dilindungi oleh ayahnya.