• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

C. Saran

3. Bagi penelitian selanjutnya

Informan dalam penelitian ini secara kebetulan adalah anak yatim semua atau anak yang ayahnya sudah meninggal. Penelitian selanjutnya sebaiknya bisa memilih informan dengan lebih beragam, tidak hanya anak yatim saja melainkan juga anak piatu. Semakin beragam diharapkan data yang diperoleh bisa semakin berwarna. Selain itu, diharapkan untuk memilih informan yang benar-benar tepat, memiliki pemahaman dan implementasi nilai-nilai kehidupan Jawa sehingga dapat terlihat secara spesifik dinamika yang dimilikinya.

Peneliti selanjutnya sebaiknya juga menggali lebih dalam pada fase-fase awal dalam menghadapi kematian orang tua. Fase-fase-fase tersebut masih sangat kaya akan pengalaman yang belum dijangkau dalam penelitian ini.

Proses menggali informasi tersebut mungkin akan memakan waktu yang lebih lama, namun akan menghasilkan temuan-temuan baru dalam penelitian serupa.

Daftar Pustaka

Ahmadi, R. (2014). Metodologi penelitian kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Astuti, P., & Gusniarti, U. (2009). Dampak kematian ibu terhadap kondisi psikologis remaja putri. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Astuti, Y. D. (2005). Kematian akibat bencana dan pengaruhnya pada kondisi psikologis survivor: Tinjauan tentang arti penting death education.

humanitas: Indonesian Psychological Journal, Vol.2, No.1.

Badan Pusat Statistik. (2019). Indeks pembangunan manusia 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Breakwell, G. M. (2004). Doing social psychology research. The British Psychological Society and Blackwell Publishing Ltd.

Cresswell, J. W. (2015). Penelitian kualitatif & desain riset, memilih di antara lima pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Desmita. (2005). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Fergus, S., & Zimmerman, M.A. (2005). Adolescent resilience: A framework of

understanding Healthy develompment in the face of risk. Annual Review of Public Health.

Fitria, A.S. (2013). Grief pada remaja akibat kematian orang tua secara mendadak. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Germer, C. K., & Neff, K. D. (2013). Self-compassion in clinical practice. Journal of clinical psychology. In session, Vol. 69(8), 856-867. Grotberg, Edith. (1995). A guide to promoting resilience in children:

Strengthening the human spirit. The International Resilience Project. Horowitz, M.J., Siegel, B., Holen, A., Bonanno, G. A., Milbrath, C, & Stinson,

C..H. (1997). Diagnostic criteria for complicated grief disorder. American Journal of Psychiatry, 154.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Kalesaran, T. (2016). Gambaran resiliensi remaja putri pasca kematian ibu. Banten: Universitas Pembangunan Jaya.

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kubler-Ross, E. & Kessler, David. (2014). On grief & grieving: Finding the meaning of Ggief through the five stages of loss. New York: Sribner. Kusumaningtyas, N.G. (2016). Gambaran sumber-sumber resiliensi pada

mahasiswa yang bekerja part time. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Ladiba, G. C. (2018). Resiliensi single working mother pasca suami meninggal. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Lampropoulos, Georgios K., Nicholas, Donald R. (2001). An Expressive-Cognitive Approach to the Resolution of Unfinished Business. Journal of Mental Health Counseling, 23, 4, Research Library.

Layungkuning, Bendung. (2013). Sangkan paraning dumadi; Orang Jawa & rahasia kematian. Yogyakarta: Narasi.

Lestari, S.. (2012). Psikologi keluarga: Penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mawarpury, Marty dan Mirza. (2017). Resiliensi dalam keluarga: Perspektif psikologi. Journal Psikoislamedia, Vol.2, No.1.

Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif edisi revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulder, N. (1994). Individual and society in Java: A cultural analysis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurhidayati, L., C. (2014). Makna kematian orang tua bagi remaja (Studi fenomenologi pada remaja pasca kematian orang tua). Journal Psikologi, Vol.10, No.1.

Patricia. (2016). Resiliensi remaja yang orang tuanya bercerai. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Papalia, W.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2001). Human development (8th edition). Boston: McGraw-Hill.

Putro, K. Z. (2017). Memahami ciri dan tugas perkembangan masa remaja. APLIKASIA: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. 17, No. 1.

Purba, R. (2011). Gambaran resiliensi pada mahasiswa universitas sumatera utara dalam hal penyalahgunaan zat. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.

Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skills to overcoming life’s inevitable obstacles. New York: Random House Inc. Richardson, Glenn E., (2002). The metatheory of resilience and resiliency.

Journal of Clinical Psychology, Vol. 58(3), 307–321.

Rotter, J.C. (2009). Family grief and mourning. The family Journal, Vol.8, No.3.

Ruswahyuningsih, M.C., & Afiatin, T. (2015). Resiliensi pada remaja Jawa. Journal of Psychology, Vol.1, No.2.

Rutter, M. (2006). Implications of resilience concepts for scientific understanding. Annals New York Academy of Science, 1094, 1-12.

Salim, Julian F.C.P. (2013). Proses berduka akibat kematian orang yang dicintai yang dialami oleh lansia di kabupaten Ngada. Jakarta: STIK Sint Carolus.

Santrock, J.W. (2004). Child development 10th edition. New York: McGraw-Hill.

Santrock, J. (2012). Life-span development (edisi ketigabelas). Jakarta: Erlangga.

Sarwono, S. W. (1989). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Shear, K., & Shari, H. (2005). Attachment, loss, and complicated grief. Research Review Article in Developmental Psychobiology.

Smith, J. A., Flowers, P., Larkin, M. (2009). Interpretative phenomenological analysis theory, method and research. London: Sage Publication Ltd. Smith, J. A., Osborn, M. (2008). Interpretative phenomenological analysis.

Dalam J. A. Smith, Qualitative psychology: A practical guide to research methods. London: Sage

Suseno, F. M. (1985). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.

Subagya, Y. T. (2005). Menemui ajal: Etnografi Jawa tentang kematian. Yogyakarta: Kepel Press.

Wahid, S. “Kematian dalam pandangan hidup orang Jawa”. Mei 2010,

Diunduh pada Minggu, 8 Oktober 2017, dari

http://stevenwahid.blogspot.co.id/2010/05/kematian-dalam-pandangan-hidup-orang.html

Wagnild, G., Young, H.M. (1990). Resilience among older women. IMAGE: Journal of Nursing Scholarship, 22 (4). 252-255.

Wusana, S.W., Sugiarto, R., Admosutdjo, P., Zubair, A.C., Raja, G., Waringah, S., Wijaya, P.C., Budiarto, S., Sartana, Margareta, S., Danurusanto, W. (2015). Ilmu kawruh jiwa suryomentaram, riwayat, dan

jalan menuju bahagia. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.

Tanjung, S. (2013). Konsepsi kematian a la Jawa. Journal Komunikasi, Vol.8, No.1.

Wulandari. (2009). Hubungan antara nilai Jawa dengan strategi menghadapi masalah pada usia lanjut. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Yardley, L. (2017). Demonstrating the validity of qualitative research. The

Journal of Positive Psychology, 12:3, 295-296, DOI:

10.1080/17439760.2016.1262624

Yu, X., & Zhang, J.. (2007). Factor analysis and psychometric evaluation of connor davidson resilience scale (CD-RISC) with chinese people. Social Behaviour Personality: An International Journal, 35(1), 19-30.

Yuliawati, L., Setiawan, J.L., & Mulia, T.W.. (2007). Perubahan pada remaja tanpa ayah. Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol.12, No. 1.

Yuwono, E., S. (2017). Kejawaan dan kekristenan: Negosiasi orang kristen Jawa soal tradisi ziarah kubur. Jurnal Ilmu Humaniora, Vol.5, No.1.

Yuwono, E. S. (2020). Memaknai nilai kearifan lokal di tengah pandemi: Produk nalar lokal sebagai resiliensi. Dipresentasikan dalam acara webinar psikologi dan darurat covid-19 series #6 yang diselenggarakan oleh gugus tugas layanan psikologi HIMPSI Jawa Tengah dan gugus tugas covid-19 HIMPSI Jawa Tengah cabang Salatiga, 13 mei 2020.

LAMPIRAN

Inisial : TAD Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 22 tahun

No Verbatim Komentar Tema

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. A 11. A 12. A 13. A 14. A 15. A 16. A 17. A 18. A 19. A 20. A

Halo Mas. Oke, sebelumnya orangtua yang sudah meninggal siapa mas? Bapak saya. Bagaiamana kronologi meninggalnya bapak pada saat itu mas? Bisa diceritakan? Aku adalah orang pertama yang

mengetahui bapak udah gak ada, bener-bener orang pertama yang mengetahui bapak tergeletak di depan kamar. Posisinya aku baru aja main dari luar, yaa gak main jauh sih cuma nongkrong diluar aja, trus pas balik ee tau-tau udah liat bapak..ee bapak udah tergeletak di lantai gitu aja. Aku pegang tangannya masih anget tapi lemes banget tak pegang, udah gak sadarkan diri juga tak panggil. Gitu sih. Melihat

bapak tergeletak di lantai, apa yang anda lakukan saat itu? Saat itu

aku langsung manggil omku, kan rumahnya dia di sebelah rumahku pas. Trus aku manggil, om itu bapak pingsan, aku bilangnya pingsan dulu. Trus minta tolong suruh nganterin ke rumah sakit pake mobilnya dia. Trus sama minta tolong namanya Mas Aris, tetanggaku, mas tulung iki bapakku pingsan, aku gak tau meh ngopo, mesti pie, trus langsung dibantu, dibawa ke rumah sakit. Dipriksa di rumah sakit udah gak ada. Sebelum dibawa ke rumah sakit pun aku dah tau kalo itu udah gak ada. Nha itu aku masih melakukan tindakan. Trus ketika ada sodaraku, dateng, diberi CPR tapi gak berhasil. Nha itu aku mulai nangis, mulai sedih, karena ee aku kan

Informan mendapati bapaknya tergeletak di depan kamar saat ia pulang dari nongkrong.

Informan meminta bantuan saudara dan tetangganya untuk menolong bapak.

Informan tahu kalau bapaknya sudah meninggal tapi tetap

Respon awal (4-10) Harapan (12-15) Harapan (20-21)

21. A 22. A 23. A 24. A 25. A 26. A 27. A 28. A 29. A 30. A 31. A 32. A 33. A 34. A 35. A 36. A 37. A 38. A 39. A 40. A 41. A 42. A 43. A 44. A 45. A 46. A 47. A

yang tau pertama bapakku tergeletak itu tadi. Bagaimana perasaan

yang anda rasakan saat itu? Sedih pasti, nangis iya. Aku dah tau kalo

itu udah meninggal, tapi masku njuk ngomong mbok gausah nangis mending berdoa biar diselamatkan, tapi pikirku itu jelas-jelas udah meninggal kok ngapain berdoa, itu gak guna kok. Berdoa gak bisa, wong katanya kalo itu emang udah jalannya Tuhan yo yaudah, tapi kan sebagai manusia tetep merasa sedih to. Yowis ngopo koe ndonga, wong nek koe ndonga permintaanmu ra dikabulke, rencanane sing ning Dhuwur yo koyo ngono yowis to. Bagaimana

pikiran itu bisa muncul? Terkait dengan berdoa tidak dikabulkan itu tadi. Karena gini, kalau melihat kondisi itu ya..ee..apa..kejadiannya

ya. Ee itu maksude kan yang pertama kali tau kalo bapak tergeletak di lantai kan aku, aku yang pertama. Ee..kalau aku yang pertama nemuin bapakku udah tergeletak di lantai, brati kan udah ada selang setengah jam atau satu jam mungkin udah disitu. Aku taunya dengan puntung rokok yang udah mati, jadi mungkin udah lima belas menit lebih lah. Setelah itu aku kan nyari orang, minta bantuan ee tetangga bla bla bla trus aku telpon ibuku sama masku to di tempatnya simbahku, ketika mereka datang kan waktunya juga udah agak lama juga. Trus mereka tau bapak udah tergeletak, trus aku pas nangis ee kakakku bilang “ngapain nangis, berdoa biar terselamatkan”. Itu udah nggak ada, sanggahku. Itu kan kakakku dateng ke tempat kejadian kan udah setengah jam lebih brati kan kan udah terlewat beberapa waktu, itu gagal jantung meskipun masih bisa diselamatkan tapi itu kan udah terlambat. Gak secepat ketika langsung mendapatkan pertolongan itu mungkin bisa, tapi kan itu udah setengah jam lebih. Artinya kamu sudah yakin kalau bapak

berupaya diberi CPR walau tidak berhasil.

Informan sedih dan menangis.

Informan menolak anjuran kakaknya untuk mendoakan bapak agar bisa selamat.

Informan meyakini kalau memang sudah jalan Tuhan ya sudah tidak bisa apa-apa, tidak akan dikabulkan.

Informan meyakini bahwa sudah ada waktu yang terlewat cukup lama sejak diketahuinya bapak tergeletak di lantai, sehingga pertolongan sudah telat diberikan.

Bagi informan berdoa sudah tidak bisa menolong lagi, karena saat itu bapaknya memang sudah meninggal. Ketidakberdayaan (22-23) Pemberontakan kepada kakak. (25-28) Pasrah (28-32)

Logika atas peristiwa kematian.

(35-40)

Logika atas peristiwa kematian.

48. A 49. A 50. A 51. A 52. A 53. A 54. A 55. A 56. A 57. A 58. A 59. A 60. A 61. A 62. A 63. A 64. A 65. A 66. A 67. A 68. A 69. A 70. A 71. A 72. A 73. A 74. A

meninggal? Uhmm iya. Kalau misalkan pas yang pertama aku ngliat

sendiri itu sebenernya masih setengah-setengah aku mikirnya. Tapi ketika aku udah manggil omku, aku nyoba ngasih pertolongan dengan menekan dada itu, owh ini udah gak ada. Udah 80% aku yakin ini udah gak ada. Udah gak mikir apa-apa lagi, langsung nyari tetangga minta tolong tetangga. Artinya munculnya pikiran bahwa

berdoa itu tadi sudah tidak berguna karena kamu dihadapkan pada realitas bahwa bapak sudah tidak ada? Huum karena itu, karena

terlampau beberapa waktu to saat aku menemukan. Sebagai seorang manusia cuma bisa sedih sama nangis pada saat itu.

Bagaimana perasaan sedih itu bisa muncul? Yaa..ini, karena

kehilangan sosok bapak itu udah jelas, kehilangan poros kepala keluarga yang mengatur keluarga dan sebagai tulang punggung, sedangkan ketika pas bapakku masih hidup pun itu ada beberapa masalah yang belum selesai ngono lho, terlebih ke masalah keluarga besar sih. Ketika bapak udah gak ada, itu brati otomatis turun ke aku masalahnya itu. Eee..yaa kehilangan sosok kepala keluarga lah sebagai yang ngatur dan mengurus keluarga. Artinya kesedihan itu

muncul karena kamu merasa ada sosok yang hilang gitu ya? Iya

sosok yang hilang. Jelas. Ini ada cerita lagi ya. Ketika bapakku udah meninggal, katakanlah setelah setahunnya, eh tiga tahun setelahnya, aku bener merasakan kehilangan sosok ayah, maksude bener-bener mengetahui tu lho, aku ketika ketemuan sama orang lain yang lebih tua, itu malah aku bisa menemukan sosok bapak disitu. Ketika misalkan ya di tempat kerjaku sama Om Thomas yang punya, aku menemukan sosok bapak disitu, aku merasa kayak biyen bapakku yo ngene. Trus sama siapa lagi oowh bapakku biyen yo ngene. Jadi aku

Informan bersedih dan menangis menjumpai bapaknya meninggal.

Informan merasa sedih karena kehilangan sosok bapak, kehilangan poros keluarga. Kematian bapak membuat informan harus mewarisi permasalahan keluarga yang belum selesai.

3 tahun pasca bapak meninggal, informan benar-benar Kerapuhan (60-63) Rasa kehilangan (63-66) Kecemasan (67-71) Rasa kehilangan (74-76)

75. A 76. A 77. A 78. A 79. A 80. A 81. A 82. A 83. A 84. A 85. A 86. A 87. A 88. A 89. A 90. A 91. A 92. A 93. A 94. A 95. A 96. A 97. A 98. A 99. A 100. A 101. A

kayak menemukan sosok bapak di orang lain yang lebih tua.

Sebenernya, selain sebagai sosok kepala keluarga, sosok apa sih yang kamu rasakan hilang? Mengayomi. Contoh perilaku yang

mengayomi misalkan bapakku gak pernah ngomong sama aku tapi pas aku buat kesalahan bapak langsung bilang dan nasehati aku, otomatis dia selalu memperhatikan aku walaupun dia jarang ngomong sama aku. Trus sosoknya yang juga sebagai pekerja keras, bijaksana juga, terkadang keras, itu yang membuatku merasa kehilangan. Apakah sikap keras itu negative? Atau positif buatmu? Bisa dua-duanya sih. Misalkan pas bapakku mau memarahi kakakku ya, kadang-kadang terlalu kelewatan dengan nada sing membentak trus kadang pake fisik. Yaa yang sering dimarahin kakakku sih bukan aku, tapi aku juga sering dikerasi. Apa yang kamu rasakan ketika

kehilangan sifat keras bapakmu? Ya sedih tentunya, karena aku

model orangnya harus..ee kalau aku gak terlalu dikerasi aku orangnya malah jadi terlalu nyantai, terlalu lembut, terlalu gak mikirin apa-apa. Nah untuk merasa atau bener-bener menerima kalau bapakku udah gak ada itu butuh waktu cukup lama sih, 3 tahun. Soale setelah 3 bulan pertama bener-bener ngimpiin ketemu sama bapak terus. Saat kui aku merasa cukup sibuk untuk menyiapkan pemakaman bapak, bantu ini itu. Tapi setelah dimakamkan, semua acara selesai, ya yaudah njuk sepi banget rasane gak ada apa-apa, emm maksude kayak ada yang kurang, gak lengkap gitu lho. Perasaan itu terus tak rasain setiap hari, suwung lah kiro-kiro nek boso jowo ki, bukan suwung karena gak ada orang, tapi suwung atine. Apa yang

anda rasakan dan lakukan selama 3 tahun itu? Banyak-banyak

berkegiatan. Kan tahun itu ya, jadi taun pertama aku sering pergi

merasakan kehilangan sosok bapak.

Informan merasa menemukan sosok bapak pada pribadi orang lain yang lebih tua.

Informan merasa kehilangan sosok yang mengayomi, pekerja keras, bijaksana, dan keras dari seorang bapak, bapak yang memberikan perhatian dengan cara yang unik.

Informan terkadang mendapat perlakuan yang keras dari bapaknya, namun ketika perlakuan itu hilang ia justru sedih karena dirinya menjadi kurang bertanggung jawab. Informan membutuhkan waktu 2 tahun untuk menerima kematian bapak.

Bayang-bayang sosok bapak pada orang lain

(78-82) Rasa kehilangan (84-90) Ketidakberdayaan (96-99) Koping penerimaan (99-100)

102. A 103. A 104. A 105. A 106. A 107. A 108. A 109. A 110. A 111. A 112. A 113. A 114. A 115. A 116. A 117. A 118. A 119. A 120. A 121. A 122. A 123. A 124. A 125. A 126. A 127. A 128. A

sana sini naik gunung, ngikuti acara pecinta alam gitu. Bahkan kadang seringnya malah minum-minum malahan sama temen-temen pecinta alam. Trus taun kedua aku masuk kuliah langsung ikut organisasi kemahasiswaan yang ada. Apa motivasimu melakukan

kegiatan-kegiatan itu? Bisa dibilang secara tidak sengaja sih, soalnya

daripada gak ada kerjaan cuma gak ngapa-ngapain, yaudahlah terus ikut kegiatan ini itu, daripada juga cuma di rumah terus. Ada apa

kalau di rumah terus? Yaa gak produktif, kayak ada yang

menahan..menahan e ki..gini, ya kan jalan pikirku sama bapakku kan sama to, nha otomatis ketika bapaku udah gak ada aku akan lebih sering berhadapan dengan ibuk sama kakak, sedangkan jalan pikiran kami berbeda-beda gitu lho. Nha kalau di rumah terus jatuhnya malah stress aku ketemu gituan, sampe sekarang. Artinya stress itu

gimana? Ya karena ketemu sama orang, ibuku sama masku, yang

tidak setipe tidak sepemahaman. Ketika bahas sesuatu sama kakakku sama ibuku itu seringnya aku bertabrakan sama mereka, berbeda pendapat terus sama mereka, kadang sampe marahan juga. Daripada aku disitu marah-marah terus ya mending aku keluar dari rumah gitu lho. Ya itu salah satu alasan aku kuliah di Jogja juga. Trus selama 2 tahun itu yang aku rasakan ee..yaa..disisi lain sih aku sudah eee..jadi mulai belajar bayar pajak sendiri, pajak motor, ngurus SIM sendiri, ngurus KTP sendiri, dan itu udah mulai murni bergerak sendiri. Beberapa tanggung jawab yang kudune dilakukan bapakku semenjak itu ya jadi tanggung jawabku yang harus tak lakukan, udah gak ada orang lain lagi. Bagaimana munculnya kesadaran untuk

bertindak seperti itu? Ya karena udah gak ada orang lain yang bisa

diandalkan lagi, udah gak ada orang yang untuk ngurusi itu. Bahkan

Informan merasa kesepian pasca kematian bapak, ada yang tidak lengkap rasanya, merasa sepi hatinya.

Dalam situasi hati yang sepi pasca kematian bapak, informan banyak mengikuti kegiatan pecinta alam dan organisasi. Informan mengikuti banyak kegiatan karena tidak ada kerjaan dan hanya di rumah saja. Informan merasa stress apabila hanya di rumah berhadapan dengan kakak dan ibu yang memiliki pola pikir berbeda. Perbedaan pola pikir yang berkelanjutan membuat informan menjadi stress, dan terkadang marah-marah.

Informan memilih untuk pergi dari rumah agar tidak selalu berseteru. Rasa kesepian (103-108) Strategi coping (109-114) Strategi coping (116-118)

Stress dan tertekan

(118-123)

Agresi (124-128)

129. A 130. A 131. A 132. A 133. A 134. A 135. A 136. A 137. A 138. A 139. A 140. A 141. A 142. A 143. A 144. A 145. A 146. A 147. A 148. A 149. A 150. A 151. A 152. A 153. A 154. A 155. A

sampe sekarang pun kalo pulang ke Solo ee kadang yang ngurusi hasil warisan, tanah, malah aku bukan masku. Jadi tak sewain trus bagi hasil gitu-gitu. Malah jarang masku yang ngurusin tu malah jarang. Trus kalo untuk pribadi, jujur aku ngroso luwih atos, lebih ketus kepada orang lain. Lebih pendiem juga, lebih banyak pikiran negative kalo lagi ngobrol sama orang, entah itu lagi ngobrol serius ato ngobrol bercanda pasti ada pikiran negative ke orang. Gak tau juga kok bisa gitu kenapa. Intinya aku jadi waspada sama orang lain, sampe sekarang. Bahkan ketika ngobrol sama teman dekat pun juga masih merasa waspada gitu, sama siapapun lah. Kira-kira hal apa

yang menyebabkan anda bisa demikian, menjadi lebih atos, ketus, pendiam, banyak pikiran negatif? Atau bagaimana anda bisa menjadi seperti saat ini? Ee..mungkin karena di rumah udah gak ada

yang sepemahaman ee..tiap hari ketemunya gitu-gitu terus, lama-lama pola pikirku udah kebentuk kalau ya alur komunikasi bakal gitu-gitu aja, kayak gitu-gitu sih. Jadi mulai dari rumah. Nha ketika keluar dari keluarga itu, sikap ketusku itu kebawa sampe sekarang. Belum lagi ketika ditambah ada permasalah dalam keluarga besar ada juga yang mendorong aku untuk berpikiran ini pasti gini, alasannya gini, jadi aku kayak udah bisa membaca pola atau alur pikirnya mereka gitu. Itu yang bikin aku gak betah. Mungkin itu yang mendasari sih. Ini jujur wae, soalnya masalah yang diangkat di keluarga besarku sampe sekarang sih masalah warisan. Warisan sawah yang gak selesai selesai..itu baru sawah lo ya, belum warisan yang rumah. Jadi kalau

diutarakan secara singkat, penyebabnya apa? Ya karena aku

kehilangan sosok yang sepaham dengan aku, yaitu bapakku, aku jadi gak betah di rumah, suka tidak sepaham dengan kakak dan ibuku

Informan mampu melakukan hal-hal yang dahulu dilakukan oleh bapaknya dengan kesadarannya sendiri.

Informan mengungkapkan bahwa sudah tidak ada lagi yang mengurusi hal-hal yang sebelumnya dilakukan oleh bapak.

Informan merasa dirinya berubah menjadi keras, ketus, pendiam, dan sering berpikiran negative kepada orang.

Informan merasakan bahwa kondisi di rumah dan keluarga

besarnya membuat

kepribadiannya berubah. Hal tersebut terbawa dalam relasinya dengan lingkungan sosial.

Koping stress

(129-131)

Dorongan untuk mandiri (132-136)

Kesadaran untuk mandiri

(138-142)

Perubahan kepribadian (143-150)

Persoalan relasi sosial (153-158)

156. A 157. A 158. A 159. A 160. A 161. A 162. A 163. A 164. A 165. A 166. A 167. A 168. A 169. A 170. A 171. A 172. A 173. A 174. A 175. A 176. A 177. A 178. A 179. A 180. A 181. A 182. A

yang kadang sampe marahan, dan itu kebawa sampe aku keluar ee..maksude ketika aku berada sama temen-temenku gitu. Karena ketika bapak masih ada, yang langsung berurusan sama keluarga ini sama keluarga besar kan ya bapak to, nha ketika bapak udah gak ada ya otomatis turun ke aku sama kakakku, tapi kakakku tu cenderung apatis sih, jadi ya aku yang sering ngobrol permasalahan yang ada. Bisa dibilang aku yang berani ngobrol ketus-ketusan sih sama keluarga yang lain, sama keluarga dari bapakku. Apasih yang ingin

kamu perjuangkan sebenernya dengan bersikap seperti itu? Ini,