• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Kematian Orang tua

Kematian orang tua dapat memberi dampak yang besar karena remaja telah menghabiskan banyak waktu dengan keluarga (Fitria, 2013). Kematian orang tua secara mendadak akan menimbulkan konsekuensi terbesar terhadap perkembangan kesehatan anak-anak yang ditinggalkannya, karena mereka belum siap ditinggalkan orang tua secara tiba-tiba. Hal tersebut dapat beresiko menjadi stress bahkan depresi bagi remaja yang ditinggalkan. Secara lebih spesifik, gambaran duka cita yang dialami remaja pasca kematian orang tua dapat dilihat melalui ekspresi fisik hilangnya selera makan, sulit tidur dan sakit; ekspresi kognitif kebingungan, ketidakpercayaan, dan ketergantungan pada kenangan mengenai almarhum; dan melalui ekspresi tingkah laku menarik diri dari lingkungan (Fitria, 2013).

Kehilangan orang tua di usia remaja menimbulkan perasaan duka yang mendalam, sebab pada umumnya seseorang akan kehilangan orang tua mereka pada usia dewasa. Peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai titik balik yang mungkin akan mengubah hidup mereka. Orang tua memegang peranan yang sangat penting di dalam kehidupan seorang remaja. Selama masa remaja orang tua atau keluarga berubah fungsi dari pengasuhan, perlindungan, dan sosialisasi menjadi pemberi dukungan, bimbingan serta pengarahan (Steinberg, 2002).

Hubungan seseorang dengan orang yang meninggal sangat mempengaruhi aspek emosional individu terhadap kematian. Jika individu yang ditinggalkan memiliki hubungan positif dengan orang yang meninggal, maka individu tersebut akan mengalami rasa berduka yang lebih intens dibandingkan individu yang hubungannya tidak terlalu positif dengan orang yang meninggal (Astuti & Gusniarti, 2009). Kelekatan hubungan antara remaja dengan orang tua merupakan konsep penting dalam perkembangan sosioemosional remaja. Kematian yang mendadak dapat menyebabkan orang yang ditinggalkan tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan yang belum selesai dengan orang yang meninggal.

Pada umumnya, kematian akan melahirkan dukacita bagi yang ditinggalkan. Terdapat 5 tahapan dalam berduka, yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance (Kubler & David, 2014). Denial atau penolakan merupakan fase yang biasa muncul dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak diharapkan. Dalam hal kematian, realita yang terjadi belum mampu diterima karena situasi diri sedang tergoncang. Penolakan sering datang dalam bentuk mempertanyakan realitas: apakah itu benar? Benarkah itu terjadi? Apakah mereka benar-benar pergi? Pada tahap ini, segala hal yang ada di sekitar kita menjadi tidak berarti dan tidak masuk akal. Pilihan untuk meneruskan kehidupan terkadang seperti berada di persimpangan. Namun, di sisi lain, penolakan merupakan sikap yang dapat membantu individu untuk tetap meneruskan kelangsungan hidupnya. Penolakan juga membantu individu

untuk mengatur perasaan sedihnya agar tidak meluap begitu saja (Kubler & David, 2014).

Anger atau kemarahan muncul ketika individu mencapai kesadaran bahwa ada kehilangan yang tidak dapat dimiliki kembali. Setelah perasaan panik, sedih, sakit hati, dan kesepian menghantam dengan kuat sebelumnya, maka setelah itu kemarahan akan mendominasi di garis depan. Di bawah rasa marah adalah rasa sakit, rasa sakit karena telah ditinggalkan (Kubler & David, 2014). Perasaan marah dapat juga muncul karena diri merasa tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan kematian. Individu hanya memiliki angan untuk menghentikan kematian, namun itu bukanlah kekuatan untuk menghentikannya. Seseorang pernah berbagi: “saya marah karena saya harus tetap hidup di dunia di mana saya tidak dapat menemukannya, memanggilnya, atau melihatnya. Saya tidak dapat menemukan orang yang saya cintai atau butuhkan di mana saja. Saya tersesat dan penuh amarah”. Perasaan marah tersebut mungkin akan dapat dirasakan oleh orang-orang di sekitar sebab individu mulai berfungsi pada tingkat dasar lagi (Kubler & David, 2014).

Kemarahan adalah tahap penting dari proses penyembuhan. Ketika merasa marah, tampaknya itu seperti perasaan yang tanpa akhir. Semakin benar-benar dirasakan, semakin ia akan mulai menghilang dan semakin cepat proses pemulihan terjadi. Kemarahan adalah emosi yang paling langsung, tetapi saat individu menghadapinya, ia akan menemukan perasaan-perasaan lain yang tersembunyi. Ada banyak emosi lain di bawah amarah, tetapi amarah adalah emosi yang paling sering dikelola. Individu sering memilih untuk menghindari

perasaan di bawahnya sampai siap menghadapinya, dan itulah bagian dari manajemen emosional (Kubler & David, 2014).

Sebagian besar individu akan menemukan rasa sakit atas peristiwa kehilangan. Kekuatan kemarahan yang menyeruak ke permukaan mungkin sebanding dengan rasa cinta yang telah ditinggalkan. Mungkin kemarahan akan dipandang sebagai suatu fase yang tidak akan pernah selesai. Namun tidak demikian adanya, kemarahan akan mereda, dan perasaan kehilangan akan berubah bentuk menjadi lebih bisa untuk diterima (Kubler & David, 2014).

Bargaining atau tawar-menawar muncul beriringan dengan rasa bersalah yang dirasakan atas kepergian almarhum. Tawar-menawar bisa mengisi kekosongan yang mendominasi emosi yang kuat, yang sering membuat penderitaan (Kubler & David, 2014).

Depression atau depresi adalah tahap yang seolah-olah akan terasa berlangsung selamanya. Depresi ingin menunjuk masa kini, di mana perasaan kosong muncul dengan sendirinya, dan kesedihan memasuki hidup pada tingkat yang lebih dalam. Ini bukanlah tanda penyakit mental. Ini adalah fase menarik diri dari kehidupan, membiarkan diri berada dalam kabut kesedihan yang intens, dan bertanya-tanya: apakah harus terus melanjutkan kehidupan? Jika individu menemukan cara untuk menjalani aktivitas sehari-hari, sepertinya itu akan berjalan dengan kosong dan tidak ada gunanya seperti sebelumnya.

Kehilangan orang yang dicintai adalah situasi yang sangat menyedihkan. Namun kesedihan itu sebaiknya diterima sebagai tahap kehilangan yang wajar agar depresi tidak mendominasi semakin dalam serta merusak kualitas hidup. Lebih jauh lagi, kesedihan perlu diterima agar individu dapat membangun diri dengan lebih kokoh untuk melanjutkan kehidupan.

Acceptance atau penerimaan sering dikacaukan dengan gagasan tentang “baik-baik saja” dengan apa yang telah terjadi. Kebanyakan orang tidak pernah merasa baik-baik saja tentang kehilangan orang yang dicintai. Tahap ini adalah tentang menerima kenyataan bahwa orang yang kita cintai secara fisik sudah tiada dan mengakui bahwa realitas baru ini adalah realitas permanen. Ini adalah norma baru yang harus dihidupi. Disinilah penyembuhan dan penyesuaian akhir individu dapat bertahan (Kubler & David, 2014).

Pada awalnya menghidupi norma baru tentu tidak akan mudah, sebab masih ada keinginan untuk mempertahankan kehidupan seperti sebelum orang yang dicintai meninggal. Namun, pada saatnya, melalui serpihan-serpihan penerimaan, individu dapat melihat bahwa tidaklah dapat mempertahankan masa lalu yang utuh. Hal tersebut telah selamanya berubah dan individu harus menyesuaikan kembali. Individu harus belajar mengatur kembali peran, melimpahkannya pada orang lain atau mengambilnya untuk diri sendiri.

Apa yang telah hilang tidak dapat digantikan kembali, tapi individu dapat membuat koneksi baru, hubungan yang bermakna, dan saling ketergantungan baru. Saat itulah individu dapat memulai dan menikmati hidup dalam

kebaharuan, bergerak, berubah, bertumbuh, berkembang, dan berinvestasi pada relasi-relasi antar individu.

Kavanaugh mengidentifikasi tujuh perilaku dan perasaan individu sebagai bagian dari proses penanggulangan duka cita yaitu: shock dan penolakan, kekacauan, reaksi yang mudah berubah, rasa bersalah, kehilangan dan kesepian, kelegaan, dan hidup kembali (Astuti & Gusniarti, 2009). Penolakan tidak hanya merupakan pengalaman yang biasa terjadi diantara orang yang baru berduka, tetapi juga memberikan fungsi positif dalam proses adaptasi. Fungsi utama melakukan penolakan adalah untuk memberikan tempat sementara yang aman bagi mereka yang berduka karena kehilangan dari kenyataan buruk dari dunia sosial yang hanya menawarkan kesepian dan rasa sakit (Kubler & David, 2014).

Kekacauan adalah suatu tingkatan dalam proses berduka cita di mana seseorang mungkin benar-benar merasa tidak sesuai dengan kenyataan hidup sehari-hari. Kapanpun seseorang mengalami duka cita maka ia akan merasa marah, frustasi, tidak berdaya dan atau sakit hati. Reaksi yang berubah-ubah terhadap kebencian, penguraian baru dan kecemburuan sering dialami sebagai manifestasi emosi dari perasaan tersebut (Kubler & David, 2014).

Rasa bersalah adalah kemarahan dan kebencian pada diri seseorang dan seringkali membuat orang menyalahkan dirinya sendiri dan depresi. Rasa bersalah adalah bagian yang normal dalam proses duka cita.

Kehilangan dan kesepian adalah sisi lain dari penolakan. Mereka yang lari dari pengalaman ini akan berubah menjadi penolakan dalam usaha untuk

menolak perasaan kehilangan atau berusaha untuk menemukan pengganti teman baru. Lari dari kenyataan tidak akan terjadi selamanya, tetapi karena merasa kehilangan dan kesepian merupakan bagian penting dari pengalaman yang menyedihkan. Menurut Kavanaugh tujuan pokok melawan kesedihan adalah membangun kebebasan baru atau untuk menemukan kebebasan baru dan hubungan yang aktif. Hal tersebut selanjutnya akan menimbulkan perasaan lega. Walaupun perasaan lega dapat meningkatkan perasaan bersalah, rasa bersalah juga menjadi tempat yang aman dari rasa sakit, kehilangan, dan kesepian yang ditahan ketika seseorang merasa sedih.