• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Analisis Data

7. Titik resilien / Menjadi mulur

Penerimaan kepergian almarhum membutuhkan waktu yang tidak singkat. Titik monumental yang dialami informan TAD adalah ketika ia mengetahui dan menghadiri langsung upacara kematian orang tua teman sebayanya. Terdapat beberapa momen seperti itu yang dialami TAD, yang membuat TAD berpikir bahwa nasib teman-temannya sama seperti dirinya. Hal tersebut kemudian melahirkan pemikiran bahwa kematian memang akan datang pada setiap orang, oleh karena itu menjadi hal yang

biasa dan sewajarnya. Mulai dari titik itulah kemudian TAD perlahan bisa menerima dan mengikhlaskan kepergian ayahnya.

Apa yang kamu rasakan ketika kehilangan sifat keras bapakmu? “Nah untuk merasa atau bener-bener menerima

kalau bapakku udah gak ada itu butuh waktu cukup lama sih, 3 tahun.” (TAD (22), 99-100)

Ketika tadi anda mengatakan bahwa butuh 3 tahun untuk menerima kepergian bapak, sebenernya titik apa sih yang membuat anda benar-benar bisa menerimanya? “Bisa

dikatakan ada beberapa titik sih. Aku sering mendengar sama sering dateng ketika orang tua dari teman meninggal. Aku sering mikir juga ‘yo nasib e sama’. Ini bakalan, di umurku yang saat itu atau saat ini bakal sering ketemu kejadian atau peristiwa yang kayak gitu juga, tentang orang tua meninggal. Trus aku mikir iki menjadi hal yang biasa dan sewajarnya. Dan mulai dari itu sih mulai mikir yowis diterima aja sih kepergian bapakku, harus iklas dan legowo.” (TAD (22), 368-375)

TAD menambahkan bahwa menerima kepergian almarhum bukan berarti pikiran serta kenangan bersama almarhum hilang begitu saja, kenangan itu akan tetap selalu ada, terpikirkan almarhum juga akan selalu ada. Namun ada hal yang menjadi beda, yaitu intensitas serta perasaan yang muncul sudah tidak terpuruk seperti dulu.

Titik di mana kamu tidak dibayang-bayangi dengan perasaan sedih itu saat apa? “Mungkin, ketika acara pecinta

alam aku jadi pendampingnya, di Kalimantan selama 3 minggu, disana aku malah gak kepikiran sama sekali kalau bapak udah gak ada. Kalau ditanya sampai sekarang gak kepikiran lagi, ya bohong juga, masih kepikiran, jelas. tapi intensitasnya udah gak kayak yang dulu, perasaan-perasaanku juga udah gapapa, tapi ya kadang masih kepikiran gitu aja.” (TAD (22), 381-387)

Informan PBP mengutarakan bahwa titik monumentalnya mengikhlaskan kepergian almarhum ayahnya adalah saat kelas 3 SMA.

Saat itu momennya adalah ketika PBP akan menjalani kuliah di luar kota yang mengharuskannya mencari kos-kosan serta mengurus segala keperluannya seorang diri. Saat itu ia menyadari bahwa itulah jalan hidup yang harus ia tempuh, tidak perlu terus bersedih, tapi harus tetap menjalani hidup. Merasa sendiri itu memang tidak mudah dihadapi, namun dari situ PBP belajar untuk menjadi lebih kuat, tegar, dan mampu memupus perasaan dukanya. PBP memiliki niatan untuk membuat almarhum ayahnya bangga, oleh karena itu ia ingin menunjukkan bahwa ia mampu melewati situasi sulit yang dihadapinya.

Titik di mana kamu bener-bener bisa ikhlas atas kepergian papa itu kapan? “SMA kelas 3 pas aku meh kuliah. Saat kui

ki aku sing iso bener-bener ikhlas, koe ki memang kudu ngene ki, koe ki memang kudu urip ngene ki, koyo luwih nrima ngono lho” (PBP (21), 371-374)

Momennya apa ketika kamu bisa mengatakan “kudu ngene ki”? “Kadang yo sedih kok dewe to aku ngono kui yo

sedih. Ya njuk terus yo kui, kembali lagi, ya uwislah yo papa wis meninggal. Sebenere juga koe kudu sing luwih kuat brati nggo ngadepi iki, koe ki meh kuliah, koe ki wis ning jenjang sing lebih serius lagi, nek koe meh nyenengke meh muaske papa yo uwis koe kudu iso ngono kui. Dadi saiki yo nek misale aku nglokro ngono aku kelingan papaku njuk aku ngadeg meneh. Dadi koyo ngono kui sing tak dadekke..opo ngono kui..motivasi, penyemangatku.” ; Ketika tadi kamu

mengatakan tidak punya pegangan, tidak ada yang naleni, tidak ada yang ngingetin, ya intinya tidak ada sosok dan peran ayah seperti teman-temanmu, apakah hingga saat ini kamu masih sering merasa sedih atas hal itu ataukah kamu punya pemahaman baru? “Punya pemahaman baru sih. Saat

ini aku yo..yo uwis, koe kudu..kui dipupus, koe ayo maju.” (PBP (21), 380-388, 485-486)

Titik resilien lain yang dialami oleh informan untuk maju dan memupus kesedihan adalah adanya tanggung jawab yang harus dikerjakan,

serta adanya keinginan untuk tidak mengecewakan orang tua. Seperti yang diutarakan informan TAD bahwa ia menerima beban tanggung jawab dari almarhum ayahnya yang harus diselesaikan. Kemudian informan PBP menyadari apabila dirinya terus terkungkung dalam ketidakberdayaan, maka ia akan semakin kesulitan menentukan masa depannya. Ia juga tidak mau seandainya mamanya meninggal, ia belum bisa memberikan baktinya pada ibu.

Adakah kesulitan lain yang anda alami dalam mengolah perasaan duka? “Umm tanggung jawab membenahi diri,

dalam artian membenahi kedisiplinan diriku sendiri, cara berkomunikasi kepada orang tua, ibu, terlebih kepada kakak dan ke keluarga besar, gimana tanggung jawabku menjadi seorang anak ketika bapak udah gak ada, dan ketika kakakku juga gak bisa bantu banyak otomatis tanggung jawabnya tu turun ke aku semua gitu lho.” (TAD (22), 293-299)

Titik atau pengalaman apa yang membuatmu harus bisa memupus itu dan melangkah maju? “Nek aku akan terus

kayak gak trima gini, yo ‘koe meh entuk opo bel koyo ngono lho. Koe meh nggawe mama ki koyo papa biyen, koe ra ngekeki opo-opo?’.” ; coba dong dicritain pengalamanmu

sama papa itu gimana aja. “Trus bar ngono papaku ki akhire

ngomong ngene ‘sing iki elek..barbiene sing iki elek. Iki wae po?’ ning nawani boneka liyane, boneka panda kae. Trus njuk bar ngono..aku paham, aku paham papaku ngomong ngono kui, karna pas kui aku ngerti rego to maksude. Trus njuk bar ngono, aku gelem sing kui, sing boneka panda kui ‘yowes rapopo pa, sing kui wae’ ngono kui, njuk uwis.” (PBP (21), 495-496, 519-525)