• Tidak ada hasil yang ditemukan

01 INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "01 INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT"

Copied!
299
0
0

Teks penuh

(1)

01 INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT

S. Diane Goodwin and Charles E. Hartis

OBJEK PEMBELAJARAN

SETELAH MEMPELAJARI BAB INI, PEMBACA AKAN MAMPU UNTUK:

1. Menjelaskan tanda, gejala dan presentasi klinis dari infeksi sistem saraf pusat (SSP).

2. Mendiskusikan patofisiologi infeksi SSP dan dampak pengobatan rejimen antimikroba (seperti dosis dan penetrasi SSP).

3. Mendata daftar pathogen yang paling umum yang menyebabkan infeksi SSP, dan mengidentifikasi faktor resiko infeksi dengan masing-masing patogen.

4. Menyatakan tujuan terapi untuk infeksi SSP.

5. Mendesain secara empiris rejimen antimikroba untuk pasien yang diduga menderita infeksi SSP yang disebabkan oleh masing-masing patogen berikut (dengan mempertimbangkan usia, sejarah vaksin, dan informasi lain kepada pasien tertentu), dan menganalisis dampak resistensi antimikroba pada kedua terapi empiris dan definitif: meningitis oleh Neisseria meningitidis,meningitis oleh Streptococcus pneumoniae, meningitis oleh Haemophilus influenzae, meningitis oleh Listeria monocytogenes,meningitis oleh kelompok B

Streptococcus meningitis, meningitis oleh Gram Negatif Basil Meningitis, Infeksi Paska Operasi, Infeksi Shunt SSP, Herpes Simpleks Ensefalitis.

6. Memodifikasi rejimen antimikroba empiris berdasarkan data laboratorium dan kriteria diagnostik lainnya.

7. Mendiskusikan pengelolaan kontak dekat dengan pasien yang didiagnosis mengidap infeksi SSP.

8. Membahas peran vaksin dan terapi profilaksis lainnya dalam pencegahan infeksi SSP. 9. Menggambarkan peran agen ajuvan (seperti deksametason) dalam pengelolaan infeksi SSP. 10. Menjelaskan komponen dari rencana pemantauan untuk menilai efikasi dan efek samping

dari terapi untuk infeksi SSP.

KONSEP UTAMA

Meningitis adalah keadaan darurat neurologis yang membutuhkan penanganan, diagnosis, dan

manajemen yang cepat untuk mencegah kematian dan cacat sisa neurologis. Pasien dengan demam, sakit kepala, dan leher kaku harus dievaluasi untuk meningitis.

Idealnya, dilakukan pembocoran lumbal (bagian belakang dari pinggang) untuk mendapatkan cairan cerebrospinal (CSF) untuk pemeriksaan langsung dan

analisis laboratorium, serta kultur darah dan kultur lain yang relevan harus diperoleh sebelum memulai terapi antimikroba. Namun, inisiasi terapi antimikroba tidak harus ditunda jika pre-treatment pembocoran lumbal tidak dapat dilakukan.

Tujuan pengobatan untuk infeksi SSP adalah untuk mencegah kematian dan sisa defisit neurologis, memberantas atau mengontrol mikroorganisme penyebab, memperbaiki tanda klinis dan gejala, dan mengidentifikasi langkah-langkah (seperti vaksinasi

(2)

dan terapi penekan) untuk mencegah infeksi di masa depan.

Inisiasi yang tepat dari terapi antimikroba dosis tinggi secara intravena diarahkan pada patogen yang paling mungkin karena penting berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas tinggi dari infeksi SSP; terapi parenteral (intravena) diberikan untuk rangkaian terapi lengkap infeksi SSP dan untuk memastikan cairan serebrospinal cukup bagi seluruh rangkaian pengobatan.

Terapi empiris harus diarahkan pada kemungkinan patogen untuk pasien tertentu, dengan mempertimbangkan usia, risiko faktor infeksi (termasuk penyakit yang mendasari dan kekebalan disfungsi, sejarah vaksin, dan paparan baru-baru ini), hasil noda cairan serebrospinal, penetrasi antibiotik cairan serebrospinal, dan pola resistensi lokal antimikroba.

Terapi antimikroba empiris harus diubah berdasarkan pada data laboratorium dan respon klinis.

Kontak dekat dengan pasien dengan infeksi SSP harus dievaluasi untuk kemungkinan profilaksis antimikroba.

Agen ajuvan deksametason telah terbukti meningkatkan hasil pengobatan pada jumlah pasien meningitis terpilih.

Komponen dari rencana pemantauan untuk menilai efikasi dan keamanan terapi antimikroba infeksi SSP termasuk tanda klinis dan gejala dan data laboratorium (seperti Temuan cairan serebrospinal, kultur, dan data sensitivitas).

Istilah dari infeksi sistem saraf pusat menggambarkan berbagai infeksi yang melibatkan otak dan sumsum tulang belakang dan jaringan terkait, cairan, dan membran, termasuk meningitis, ensefalitis, abses otak, infeksi shunt, dan infeksi pasca operasi.

Infeksi SSP, seperti meningitis, dianggap keadaan neurologis darurat yang membutuhkan pengenalan cepat dan tepat, diagnosis, dan manajemen untuk mencegah kematian dan sisa defisit neurologi.

Penanganan yang salah, membuat infeksi SSP meningkat tingkat morbiditas dan mortilitasnya. Meskipun terjadi kemajuan dalam perawatan, kematian keseluruhan bakteri meningitis tetap lebih besar dari 20%, dan setidaknya 10% sampai 30% korban

menderita dengan gangguan neurologis, termasuk gangguan pendengaran, hemiparesis, dan disabilitas dalam belajar.1-3 Terapi antimikroba dan pencegahan vaksin telah mengalami revolusi dalam pengelolaan dan menghasilkan hasil yang lebih baik dari bakteri meningitis dan infeksi SSP lainnya secara dramatis.

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

Tidak seperti infeksi pada umumnya, jika dibandingkan dengan infeksi jenis lain, infeksi SSP dari 4 sampai 6 kasus meningitis dilaporkan menyerang 100.000 orang dewasa pertahun. Namun, tingkat keparahan ini menuntut campur tangan dan pengobatan yang tepat secara medis. Infeksi SSP dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, mycobacteria, virus, dan spirochetes.

Bakteri meningitis adalah penyebab paling umum dari infeksi SSP. Kajian epidemiologi bakteri meningitis pada tahun 1995 mengungkapkan bahwa

Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) itu patogen yang paling umum (47%), diikuti oleh

Neisseria meningitidis (meningococcus, 25%), kelompok B Streptococcus (12%), Listeria monocytogenes (8%), dan Haemophilus influenza (Hib) (7%). Lima vaksin yang ditujukan terhadap bakteri yang menyebabkan meningitis dan infeksi terkait (seperti pneumonia dan infeksi telinga) telah mengurangi risiko infeksi karena S. pneumoniae, N. meningitidis, dan H. influenzae tipe B secara dramatis. Sebelum ketersediaan vaksin Hib konjugasi, Hib meningitis atau penyakit invasif lainnya didokumentasikan 1 dari 200 anak-anak pada usia 5 tahun.5 Meluasnya penggunaan dari Vaksin Hib telah mengurangi 99% kejadian penyakit Hib invasif dan distribusi usia bakteri meningitis telah bergeser ke kelompok usia yang lebih tua (dari 15 bulan pada tahun 1986 untuk 25 tahun pada tahun 1995). Data terbaru menunjukkan bahwa penggunaan rutin dari 7-valent vaksin pneumokokus konjugasi pada anak-anak tidak hanya mengurangi kejadian penyakit pneumokokus invasif di anak-anak tetapi juga telah mengurangi 28% penyakit pneumokokus invasif di orang dewasa 50 tahun dan lebih tua.7

Prosedur bedah saraf dapat menempatkan pasien pada risiko meningitis karena bakteri (seperti

Staphylococcus aureus, koagulase-negatif

staphylococci, dan basil gram negatif) yang diperoleh pada saat operasi atau pada periode pasca operasi. Selain bakteri, patogen lainnya dapat menyebabkan meningitis pada pasien beresiko. Pasien dengan imunitas yang lemah, seperti pasien transplantasi organ dan pasien yang hidup dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV), beresiko untuk

(3)

meningitis karena jamur Cryptococcus neoformans. TB dapat menyebar dari situs paru hingga menyebabkan penyakit klinis pada SSP. Ancaman virus ensefalitis dan meningitis dapat terjadi sebaliknya pada kedaan sehat, individu muda, serta pada pasien dengan imunitas yang lemah oleh usia atau faktor lainnya. Karena perawatan untuk berbagai jenis infeksi SSP seringkali sangat berbeda, penting untuk memperhatikan risiko pasien faktor ketika memilih terapi antimikroba empiris. Pasien dengan usia yg ekstrim, mereka yang tinggal pada kontak dekat dengan orang lain, dan orang-orang dengan kekebalan tubuh lemah adalah yang paling rentan meningitis. Faktor risiko untuk infeksi SSP dapat diklasifikasikan berdasarkan :

• Paparan lingkungan baru ---- (seperti kontak dekat dengan pasien meningitis atau infeksi saluran pernapasan, terkontaminasi lewat makanan),

paparan aktif atau pasif asap rokok, dekat lingkungan yang ditumbuhi virus tersebut.

Infeksi terbaru pada pasien ---- seperti infeksi saluran pernafasan, otitis media, sinusitis, mastoiditis. • Imunosupresi---anatomi atau asplenia fungsional,

penyakit sel sabit, alkoholisme, sirosis, imunoglobulin atau komplemen defisiensi, kanker, HIV/AIDS, keadaan kesehatan yang lemah.

Bedah, trauma-bedah saraf, trauma kepala, CSF shunt, implan koklea.

Penyebab non infeksi meningitis meliputimalignansi (keganasan), obat-obatan, penyakit autoimun (seperti lupus), dan trauma. Patogen yang paling umum pada bakteri meningitis ialah berdasarkan kelompok usia dan faktor risiko lainnya, ditemukan pada Tabel 67-1.

TABEL 67-1. Kemungkinan Patogen Penyebab dan Terapi Empiris yang direkomendasikan, yang disebabkan oleh Faktor Risiko untuk Bakteri Meningitis.

Faktor Predisposisi Kemungkinan Patogen Terapi Antibiotik yang direkomendasikan Umur

Dibawah 3 bulan Grup B Streptococcus Escherichia coli Klebsiella pneumoniae Listeria monocytogenes

Ampisilin + cefotaksim/ aminoglikosida

3 bulan hingga dibawah umur 18 tahun

Neisseria meningitidis Streptococcus pneumoniae Hemophilus influenzae

Cefotaksim/ceftriakson + vankomisin

18 tahun hingga dibawah umur 60 tahun

Neisseria meningitides Streptococcus pneumoniae

Cefotaksim/ ceftriakson + vankomisin 60 tahun keatas Streptococcus pneumoniae

Gram-negatIVe bacilli Listeria monocytogenes

Cefotaksim/ ceftriakson + ampisilin + vankomisin

Immunocompromised (kekebalan) Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis

Basil gram negatif (termasuk

Pseudomonas aeruginosa)

Cefotaksim/ ceftriakson + vankomisin + ampisilin (kombinasi antibiotik untuk pasien dengan dugaan oleh Listeria monocytogenes

dan Pseudomonas) Operasi, Trauma

Infeksi Paska Operasi Staphylococcus aureus (termasuk MRSA)

Koagulasi-negatif Staphylococcus

(termasuk MRSE)

Basil gram negatif (termasuk

Pseudomonas aeruginosa)

Vankomisin/ linezolid + ceftazidim/ cefepi/ metropenem

Penetrasi trauma kepala Staphylococcus aureus (termasuk MRSA)

Koagulasi-negatif Staphylococcus

Basil gram negatif (termasuk

Pseudomonas aeruginosa)

Vankomisin/ linezolid + ceftazidim/ cefepim/ meropenem (kombinasi antibiotik jika dugaan penyebabnya Pseudomonas)

(4)

CSF shunt Koagulasi-negatif Staphylococcus

(termasuk MRSE)

Staphylococcus aureus (termasuk MRSA)

Basil gram negatif (termasuk

Pseudomonas aeruginosa)

Vankomisin/ linezolid + ceftazidim/ cefepim/ meropenem (kombinasi antibiotik jika dugaan penyebabnya Pseudomonas)

MRSA : Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus

MRSE : Methicilin-Resistant Staphylococcus epidermis

PATOFISIOLOGI

Meningitis adalah peradangan pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (meninges) dan cairan serebrospinal (CSF) yang kontak dengan membran tersebut, sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak. CSF mengalir melalui ruang subarachnoid dan melindungi jaringan halus SSP. CSF diproduksi dalam ventrikel otak dan mengalir ke bawah melalui tulang belakang, menyiapkan terus menerus mekanisme pembilasan untuk SSP.

Selama dua dekade terakhir, telah banyak yang mempelajari tentang patofisiologi dari bakteri meningitis dan infeksi SSP lainnya. Penghalang pembawa darah-otak dan sawar darah-CSF terbuat dari jaringan kapiler khusus yang mengisolasi otak dari zat yang beredar dalam aliran darah atau menginfeksi jaringan di dekatnya. Untuk memulai infeksi SSP, patogen harus masuk ke dalam SSP dengan penyebaran yang berdekatan, pembibitan hematogen, inokulasi langsung, atau reaktIVasi infeksi laten. Penyebaran bersebelahan terjadi ketika infeksi pada struktur yang berdekatan (seperti rongga sinus atau tengah telinga) menyerang secara langsung melalui penghalang darah-otak (seperti Hib). Penyemaian hematogen terjadi ketika infeksi disebabkan oleh benih dari CSF (seperti pneumokokus pneumonia). ReaktIVasi infeksi laten hasil dari aktif virus, jamur, atau patogen mikobakteri di tulang belakang, otak, atau saluran saraf. Inokulasi langsung dari bakteri ke dalam SSP adalah hasilnya trauma, cacat bawaan, atau komplikasi bedah saraf.

Setelah melalui penghalang darah-otak, patogen berkembang dan mereplikasi karena pertahanan tuan rumah terbatas dalam SSP. Gambar 67-1 menggambarkan perubahan patofisiologi terkait dengan meningitis. Kerusakan jaringan neurologis adalah hasil dari reaksi imun host untuk komponen seluler bakteri (seperti lipopolisakarida, asam teikoik, dan peptidoglikan) yang memicu produksi sitokin, terutama tumor necrosis Faktor α (TNF-α) dan interleukin 1 (IL-1), serta mediator inflamasi lainnya. Bakteriolisis yang dihasilkan dari terapi antibiotik selanjutnya berkontribusi pada proses inflamasi.

Sitokin meningkatkan permeabilitas penghalang pada darah-otak, yang memungkinkan masuknya neutrofil dan pertahanan sel tuan rumah lainnya yang berkontribusi terhadap perkembangan edema serebral dan peningkatan karakteristik tekanan intrakranial dari meningitis. Peningkatan tekanan intrakranial bertanggung jawab atas tanda dan gejala asli dari meningitis klinis: sakit kepala, leher kaku, diubah status mental, fotofobia, dan kejang. Perubahan patofisiologi mungkin mengakibatkan iskemia otak dan kematian.

Respon SSP terhadap infeksi terbukti dengan dibuktikan perubahan cairan serebrospinal. Idealnya, penusukan lumbal dilakukan untuk mendapatkan cairan serebrospinal untuk pemeriksaan langsung dan analisis laboratorium, serta kultur darah dan kultur lain yang relevan, harus diperoleh sebelum memulai terapi antimikroba. Namun, inisiasi terapi antimikroba tidak boleh ditunda jika pre-treatment sebuah penusukan lumbal tidak dapat dilakukan. Cairan serebrospinal normal memiliki komposisi karakteristik dalam hal protein dan kadar glukosa, serta jumlah sel. Daftar temuan CSF dapat diamati pada tabel 67.2 pada pasien dengan infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan meningitis TB.

PRESENTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Sebuah kecurigaan yang tinggi harus diperhatikan untuk pasien risiko untuk infeksi CNS. Pengenalan yang cepat dan diagnosis sangat penting sehingga terapi antimikroba dapat dimulai secepatnya. Sejarah medis (termasuk faktor risiko untuk infeksi dan sejarah mungkin hari terdekat) dan pemeriksaan fisik menghasilkan informasi yang penting untuk membantu panduan diagnosis dan pengobatan meningitis.

(5)

TABEL67-2. Respon Sistem Saraf Pusat untuk Infeksi (Temuan Cairan Serebrospinal)

CSF Normal Infeksi Bakteri Infeksi Viral Infeksi Jamur Tuberculosis WBC (m /L) Kurang

dari5(kurang dari 0,005)

1000lebih besar dari5000(1,0-lebih besar dari 5.0) 100–1000 (0.1–1) 100–400 (0.1–0.4) 50–500 (0.05–0.5) DiferensialWBC(%, jenis seldominan) 85% lebih besar darimonosit 80% paling sedikit dari PMNs 50% limfosit (PMN awal)

50% lebih besar dari limfosit

80% lebih besar dari limfosit (PMN awal)

Protein (mg/dL, mg/L)

20–45 (200– 450)

Lebih besar dari 100 (lebih besar dari 1000) 50–100 (500–1000) 100–200 (1000–2000) 40–150 (400–1500) Perbandingan Glukosa (mg/dL, mmol/L); dengan CSF: serum glukosa 45–80 (2.5– 4.44) paling sedikit 0,6 serum glukosa 5–40 (0.28– 2.22) kurang dari 0.4 serum glukosa 30–70 (1.67–3.89) 0.6 serum glukosa Kurang dari 30–70 (kurang dari 1.67– 3.89) kurang dari 0.4 serum glukosa Kurang dari 30–70 (kurang dari 1.67– 3.89) kurang dari 0.4 serum glukosa

CSFnoda Negatif Positif Gram zat warna (60%– 90%)

Negatif Positif zat warna india (Cryptococcus)

Positif bacilli tahan asam zat warna

PMNs : Poly Morpho Nuclear neutrophils

GAMBAR 67-1. Patofisiologi dari bakteri meningitis.

(6)

Presentasi Klinis dan Diagnosis Infeksi

SSP

Umum

Mengevaluasi faktor risiko pasien dan eksposur baru-baru ini.

Mengevaluasi kemungkinan penyebab lain: penempatan ruang-lesi(yang mungkin atau tidak mungkin menjadi ganas), penyakit yang menginduksi SSP, penyakit autoimun, dan trauma.

Tanda Dan Gejala-Gejala

1. 95% dari pasien dengan meningitis bakteri mengalami dua dari empathal berikut: sakit kepala, demam, leher kaku, dan perubahan status mental.

2. Sakit kepala (87%)

3. Kaku kuduk (leher kaku) (83%) 4. Demam (77%)

5. Mual (74%)

6. Perubahan status mental (yaitu, kebingungan, kelesuan, dan obtundation) (69%)

7. Cacat neurologis fokal (termasuk positif Brudzinski tanda dan tanda Kernig) (33%)

8. Kejang

9. Malaise, gelisah 10.Fotofobia 11.Lesi kulit

12.Tanda dan gejala pada neonatus, bayi, dan anak-anak: pola makan dan tidur diubah, muntah, iritabilitas, letargi, menggembung ubun-ubun, kejang, gangguan pernapasan.

13.Hasil prediktor yang tidak menguntungkan: kejang, neurologis fokal, perubahan status jiwa, papilledema, hipotensi, syok septik, dan pneumokokus meningitis.

Laboratorium Tes :

1. Pemeriksaan CSF melalui fungsi lumbal (LP, spinal tap); kontraindikasi pada pasien dengan kompromi kardiorespirasi, peningkatan tekanan intrakranial dan apilledema, focaltanda-tanda neurologis, kejang, gangguan perdarahan, yang abnormal.

2. Tingkat kesadaran, dan kemungkinan herniasi otak (pemindaian tomografi (CT) harus dilakukan, untuk menghindari potensi herniasi otak) (Tabel 67-2 untuk temuan CSF spesifik): CSF berawan

Penurunan glukosa Peningkatan protein

Peningkatan jumlah WBC (memberikan petunjuk untuk diferensial menyinggung patogen)

Pewarnaan gram (cukup untuk diagnosis di 60% sampai 90% dari pasien dengan meningitis bakteri)

Budaya dan sensitIVitas (positif dalam 70% sampai 85% tanpa terapi antibiotik sebelumnya, positif dalam waktu kurang dari 20% yang memiliki terapi sebelumnya)

Jika CSF gram noda dan/atau budaya negatif, cepat diagnostik tes (seperti lateks aglutinasi) mungkin berguna; tes ini positif bahkan jika bakteri mati.

Polymerase Chain Reaction (PCR; amplifikasi DNA dari yang paling umum patogen meningitis bakteri) mungkin berguna untuk membantu menyingkirkan bakteri meningitis. Peningkatan CSF laktat dan protein C-reaktif

3. Kultur darah (setidaknya dua budaya, salah satu "set"; positif dalam 66%)

4. Scraping dari lesi kulit (seperti ruam) untuk mikroskopis langsung dari pemeriksaan dan budaya

5. Budaya lain harus diperoleh sebagai indikasi klinis (seperti dahak).

6. Hitung WBC dengan diferensial

7. Jamur meningitis: biakan CSF, CSF dan serum kriptokokus titer antigen, pemeriksaan mikroskopis dari spesimen CSF

8. Tuberkulosis meningitis: biakan CSF, evaluasi PCR (disukai), dan bakteri tahan asam

(7)

PENGOBATAN

Tujuan dari Terapi

Pengenalan terapi antibiotik dan vaksin telah mengurangikematian yang terkait dengan meningitis. Sebelum kemajuan ini, bakteri meningitis hampir universal fatal, dan dari beberapa diantara mereka ada pasien yang selamat tapi sering menderita pelemahan defisit neurologis, seperti gangguan pendengaran permanen. Meskipun ada perbaikan signifikan yang telah dibuat, tingkat kematian dari pneumokokus ini diatas 20%, hal ini mungkin disebabkan karena kejadiaannya terjadi pada populasi pasien yang lemah.

❸ Tujuan pengobatan untuk infeksi SSP ini merupakan pencegahan kematian dan defisit sisa neurologis, membasmi atau mengontrol mikroorganisme secara kausatif, memperbaiki tanda-tanda dan gejala klinis, dan mengidentifikasi langkah-langkah untuk mencegah infeksi di masa depan (seperti vaksinasi dan terapi penekan). Tujuan ini harus dicapai dengan meminimalkan efek samping dan interaksi reaksi obat yang merugikan. Pembedahan harus dilakukan, jika sesuai (seperti pada infeksi postneurosurgical dan abses otak). Perawatan suportif terdiri dari hidrasi, penggantian elektrolit,antipiretik, antiemetik, analgesik, obat antiepilepsi, danperawatan luka(luka bedah), dimana perawatan suportif atau perawatan dukungan ini pentinguntuktambahan terapi antimikroba, terutamadi awalpengobatan.

Prinsip Perawatan

Kecepatan inisiasi antimikroba dengan dosis tinggi secara intavena diarahkan pada terapi pathogen yang memiliki morbiditas dan morbilitas tinggi yang terkait dengan infeksi SSP. Meskipun tidak ada studi prospektif yang berhubungan dengan pemberian antibiotik untuk hasil klinis dalam meningitis, waktu pemberian antibiotic untuk hasil klinis dalam bakteri meningitis memiliki durasi pengobatan yang lebih lama sebelum inisiasi lebih lanjut pada gejala dan penyakit yang akan meningkatkan resiko yang buruk. Studi kedua retrospektif melaporkan bahwa inisiasi terapi antibiotik sesegera mungkin dilakukan setelah dicurigai adanya bakteri meningitis bahkan sebelum opname untuk mengurangi kematian dan gejala sisa

neurologis, pada skala coma Glasgow, antibiotik mulai diberikan sebelum skor 10 tercapai. Sterilisasi CSF sangat penting, bila sterilisasi CSF ditunda selama 24 jam akan meningkatkan resiko pada terapi antibiotik berupa gejala neurologis, termasuk kehilangan pendengaran. Jika harus menggunakan deksametason, harus dilakukan sebelum atau pada saat yang sama sebagai dosis pertama dari terapi antibiotik.

Farmakokinetik dan farmakodinamik dari antimikroba harus dipertimbangkan ketika merancang pengobatan untuk infeksi SSP. Kemampuan antibiotik untuk mencapai konsentrasi yang efektif pada infeksi adalah kunci keberhasilan dari pengobatan. Dalam model eksperimental meningitis, aktIVitas bakterisida maksimum akan tercapai bila konsentrasi CSF melebihi Kadar Bunuh Minimum (KBM) dari patogen menularkan 10 sampai 30 kali lipat. Pada umumnya, berat molekul lipofilik yang rendah tidak terionisasi secara fisiologis, dan pH sangat tidak terikat pada protein baik ke CSF maupun jaringan tubuh. Selain karakteristik obat, integritas penghalang darah ke otak menentukan penetrasi antibiotik ke dalam CSF. Penetrasi CSF sebagian besar, akan tetapi tidak semua antibiotik ditingkatkan oleh adanya infeksi dan inflamasi. Sulfonamida, trimetoprim, kloramfenikol, rifampisin dan antituberkular adalah obat yang paling mencapai tingkat teurapeutik CSF bahkan tanpa meninggalkan inflamasi. Kebanyakan antibiotic β – lactams yang terkait (carbapenem dan monobactam), vankomisin, quinolones, asiklovir, linezolid, dan colostin mencapai tingkat CSF teurapetik dalam kehadirannya menimbulkan meningeal inflamasi. Amino glikosida, sefalosporin generasi pertama, generasi kedua (kecuali cefuroxime), klindamisin, dan amfoterisin tidak mencapai tingkat teurapeutik CSF bahkan dengan inflamasi, tetapi klindamisin mencapai ke jaringan otak.

Durasi terapi yang memadai diperlukan untuk mengobati meningitis (tabel 67-3). ❹ Terapi (intravena) diberikan penuh untuk terapi pada infeksi SSP, untuk memastikan penetrasi CSF yang memadai sepanjang pengobatan. Pengobatan antibiotik (deksametason, bila digunakan sebagai perawatan) untuk mengurangi inflamasi terkait meningitis, yang pada gilirannya mengurangi penetrasi beberapa

(8)

antibiotic ke CSF. Untuk memastikan konsentrasi antibiotik yang memadai sepanjang pengobatan, untuk perawatan penuh dilanjutkan dengan pemberian parenteral. Pasien dipilih dengan hati-hati setelah mendapatkan pemantauan medis dan sebagian dari mereka mampu menerima perawatan secara parenteral dengan rawat jalan. Manajemen algoritma untuk orang dewasa yang dicurigai terkena bakteri meningitis, seperti yang direkomendasiakan oleh infeksi penyakit masyarakat amerika, yang diringkas dalam IDSA (ada pada gambar 67.2).

Terapi Empiris Antimikroba

Setelah pemeriksaan secara cepat (yaitu evaluasi faktor resiko, tanda–tanda klinis, gejala, dan data laboratorium) dan ketepatan dan terapi agresif antimikrobial telah dimulai, pengobatan empiris yang tepat sangat penting bagi pasien dengan dugaan infeksi SSP. Pada kebanyakan pasien, diagnosa fungsi lumbal akan dilakukan sebelum memulai pemberian antibiotik, tapi tidak harus menunda inisiasi pemberian antimikroba. ❺ Terapi empiris harus diarahkan pada patogen yang paling spesifik pada pasien, dengan mempertimbangkan usia, faktor resiko untuk infeksi (termasuk yang mendasari disfungsi penyakit dan kekebalan tubuh, sejarah vaksin, dan eksposur terbaru), hasil noda gram CSF, penetrasi antibiotik CSF, dan pola resistensi antimikroba lokal.

Hasil noda CSF dapat digunakan untuk membantu terapi empiris untuk bakteri meningitis. Dengan tidak adanya pewarnaan gram positif, terapi empiris harus dilanjutkan setidaknya selama 48–72 jam, dalam kebanyakan kasus meningitis dapat dikesampingkan oleh gram CSF serta konsistensinya dengan bakteri meningitis, kebanyakan CSF negatif dan yang bersifat evaluasi PCR. Fungsi lumbal mungkin berguna dalam ketiadaannya dalam penemuan yang lain. Penjelasan

terapi empiric antibiotik untuk bakteri meningitis dari pathogen dan faktor resiko pada pasien ada pada tabel 67.1.

Dampak Resistensi Antimikroba Pada Perlakuan

Rejimen untuk Meningitis

Pengembangan resistensi terhadap antibiotik beta - laktam, termasuk penisilin dan sefalosporin, secara signifikan telah berdampak pada pengobatan meningitis bakteri. Sekitar 17 % dari Amerika Serikat, ada isolat CSF pneumokokus yang resisten terhadap penisilin, dan 3,5 % dari isolat CSF tahan terhadap sefalosforin. CLSI telah menetapkan ceftriakson memiliki kerentanan yang lebih rendah dan juga breakpoint untuk isolat CSF pneumokokus (1 mg/L) dibandingkan isolat dari area non–CNS (2 mg/L). Peningkatan resistensi pneumokokus terhadap penisilin G telah diubah dengan pengobatan empiris dengan rejimen kombinasi dari sefalosforin generasi ketiga dengan vankomisin. Telah diketahui bahwa resistensi sangat tinggi terhadap N. meningitidis di laboratorium, serta kegagalan pengobatan klinis, sehingga menyebabkan penggunaan sefalosporin generasi ketiga untuk terapi empiris meningitis semakin meningkat. Sebelumnya, terapi meningokokus menggunakan ampisilin sebagai dasar pengobatan untuk meningitisoleh H. influenzae. Tetapi sekarang, pengobatannya lebih berhasil menggunakan beta – laktamase dan sefalosporin generasi ketiga untuk Hib meningitis. Dengan meningkatkan kadar methicillin, resistansi terhadap S. aureus (sekitar sepertiga dari isolat CSF staphylococcal) dan koagulase-negatif staphylococcus memerlukan penggunaan vankomisin untuk terapi empiris ketika patogen terjangkit. Pola resistensi global dan lokal harus diperhitungkan saat merancang rejimen pengobatan empiris untuk bakteri meningitis.

TABEL 67-3. Perawatan Definitif Berbasis Patogen untuk Infeksi Sistem Saraf Pusat Patogen Rekomendasi dan Alternatif

Terapi Antimikroba

Efek samping/ Pemantauan

Keamanan Durasi (hari)

Neisseria meningitidis Penisilin KHM 0,1 mg/L

Terapi Standar

Penisilin G 4juta Unit setiap 4 jam Ampisilin 2 g IV setiap 4 jam Terapi Alternatif

Ceftriakson 2 g IV setiap 12 jam atau

Cefotaksim 2 g IV setiap 4 jam

HipersensitIVitas (ruam, anafilaksis) diare HipersensitIVitas (ruam, anafilaksis) diare

Hanya ceftriakson : peningkatan LFT, pseudokoletiasis

7

Penisilin KHM 0,1-1 mg/L Terapi Standar

(9)

Terapi Alternatif

Moxifloksacin 400 mg IV setiap 24jam

Meropenem 2 g IV setiap 8 jam atau

Kloramfenikol 1-1.5 g IV setiap 6 jam

Mual/muntah/diare, pusing, sakit kepala, prolongasi QT

Ruam, hipersensitif, diare Ruam, diare, kejang, anemia, gray baby syndrome, hipersensitif, neurotoksisitas (pilihan terakhir dari toksisitas) Streptococcus pneumoniae Penisilin KHM 0,1 mg/L Terapi Standar Penisilin G/ ampisilin Terapi Alternatif Ceftriakson/ cefotaksim/ kloramfenikol 10-14 Penisilin KHM 0,1-1 mg/L (Ceftriakson/ cefotaksim/ sensitif strain) Terapi Standar Ceftriakson/ cefotaksim Terapi Alternatif

Cepefim 2 g IV setiap 8 jam atau Meropenem

Penisilin KHM 2 mg/L atau lebih besar

Terapi Standar

Vankomisin 15 mg/kg IV setiap 8-12 jam (dengan dosis pada level serum) tambah ceftriakson/ cefotaksim

Terapi Alternatif Mocifloxacin

Vankomisin : ruam, red man’s syndrome (jika diinfus terlalu cepat), nefrotoksik, neutropenia, trombositopenia Cefotaksim/ ceftriakson KHM paling akhir 1 mg/L Terapi Standar Vankomisin + ceftriakson/ cefotaksim Terapi Alternatif Moxifloxacin Haemophilus influenzae β-Laktamase-negatif Terapi Standar Ampisilin Terapi Alternatif Ceftriakson/ cefotaksim/ cefepim/ moxifloxacin/ kloramfenikol 7

β-Laktamase-positif Terapi Standar

Ceftriakson/ cefotaksim Terapi Alternatif Cepefim/ moxifloxacin/ kloramfenikol Listeria monocytogenes Terapi Standar Ampisilin/ Penisilin G + gentamisin (5mg/kg perhari, dosis berdasarkan pada tingkat serum)

Terapi Alternatif

Trimetoprim-Sulfametoksazol (TMP-SMX) 10-20mg/kg TMP IV perhari dalam dosisterbagi setiap 6-8 Jam atau meropenem.

Gentamisin : Nefrotoksisitas, Ototoxicity

TMP-SMX : ruam, sindrom stevens-johnson, penekanan sumsum tulang, mual/muntah, hepatotoksisitas Kurang lebih 26 Streptococcus Agalactiae (Kelompok B Streptococcus) Terapi Standar

Ampisilin atau penisilin G Terapi Alternatif

Ceftriaksonatau cefotaksim

14-21

(10)

Ceftriakson atau cefotaksim Terapi Alternatif

Aztreonam 2 gIV setiap 6-8 jam moksifloksasin atau meropenem atau TMP-SMX atau ampisilin

Flebbitis, demam, ruam, sakit kepala, kebingungan, kejang

diperlukan untuk neonatus)

Pseudomonas Aeruginosa

Terapi Standar

Cefepime atau ceftazidime 2g IV setiap 8 jam atau meropenem (penambahan aminoglikosida seharusnya dipertimbangkan) Terapi Alternatif

Aztreonam atau ciprofloxacin 400mg IV setiap 8-12 jam (penambahan aminoglikosida harus dipertimbangkan)

HipersensitIVitas, ruam, anemia, neutropenia, eosinofilia, lft elevasi

Mual/muntah/diare, pusing, sakit kepala, ruam, kebingunganm kejang

Kurang lebih 21 hari

Staphylococcus Aureus Methicillin- Rentan

Terapi Standar

Nafsillin/ oksasilin 1.5-3g setiap 4 jam

Terapi Alternatif

Vankomisin/ meropenem

Ruam, maul/muntah/diare, interstitial akut, nefritis

Hepatotoksisitas, perubahan warna merah-orange pada cairan tubuh, ruam kulit, induksi enzim hati

3-4 minggu (4-6 minggu jika shunt yang terlibat)

Methiciillin-Resistant Terapi Standar

Vancomisin ditambah rifampisin 600mg PO atau IV setiap hari jika shunt terlibat

Terapi Alternatif

Linezolid 600mg IV setiap 12 jam atau TMP-SMX Trombositopenia, neutropenia, mual/muntah/diare, peningkatan LFT Staphylococcus epidermidis Terapi Standar Vancomycin ditambah rifampisisn 600mg PO atau IV setiap hari jika shunt terlibat Terapi Alternatif

Linezolid

3-4 minggu (4-6 minggu jika shunt yang terlibat)

Virus Herpes Simpleks Terapi Standar

Acyclovir 10mg/kg IV setiap 8 jam (dewasa), acyclovir 20mg/kgIV setiap 8 jam (neonatus) Terapi Alternatif

Foskarnet 120-200mg/kg IV perhari dalam dosis terbagi setiap 8-12 jam Nefrotoksik, kristaluria, mual/muntah, neurotoksisitas, flebitis Nefrotoksik, ketidak seimbangan elektrolit, mual/muntah, sakit kepala, ulserasi penis, tromboflebitis, kejang

14-21 (21 Untuk Neonatus)

LFT : Liver Function Test; KHM, Konsentrasi Hambat Minimum, Diadaptasi dengan perizinan

(11)

TABEL 67-3 Perawatan Definitif berbasis Patogen untuk Infeksi Sistem Saraf Pusat (lanjutan)

Dosis Anak Dari Agen Pilihan Untuk Digunakan Dalam Pengobatan Bakteri Meningitis Neonatus 0-7 Hari Neonatus 8-28 Hari Bayi Dan Anak Ampisillin 150mg/kg IV perhari terbagi

dalam dosis setiap 8jam

200mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 6-8 jam

300mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 6jam

Cefepime - - 150 mg/kg perhari terbagi dalam

dosis setiap 8jam Cefotaksime

100-150mg/kg IV per hari terbagi dalam dosis setiap 8-12jam

150-200mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 6-8 jam

225-300mg/kg perhari terbagi dalam dosis setiap 6-8 jam

Ceftriaksone - - 80-100mg/kg IV perhari terbagi

dalam dosis setiap 12 jam

Gentamisin

5mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 12jam (dengan dosis berdasarkan tingkat serum)

7.5mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 8jam ( dengan dosis berdasarkan tingkat serum)

7.5mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 8jam ( dengan dosis berdasarkan tingkat serum)

Meropenem - - 120 mg/kg IV perhari terbagi

dalam dosis setiap 8jam

Nafcillin/Oxacillin 75 mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 8-12jam

Nafcillin: 100-150mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 6-8 jam

Oxacillin: 150-200mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 6-8 jam

200mg/kg IV per hari terbagi dalam dosis maksimum setiap 6 jam, 2mg pediatri greater dari usia 3 bulan

Penisillin G

0.150000 unit/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 8-12jam

0.2 juta unit/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 6-8 jam

0.3 juta unit/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 4-6jam Vancomysin

20-30mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 8-12jam

30-45mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 6-8jam

60mg/kg IV perhari terbagi dalam dosis setiap 6 jam

LFT, liver function test; KHM, Konsentrasi Hambat Minimum. Diadaptasi dengan perizinan

GAMBAR 67-2 Manajemen algoritma untuk dewasa yang disangka terkena bakteri meningitis. a

aManajemen algoritma ini

serupa dengan bayi atau anak dengan dugaan terkena bakteri meningitis.

bLihat pada tabel 67-1 untuk

rekomendasi pengobatan secara empiris.

cLihat teks untuk

rekomendasi spesifik untuk penggunaan adjivan deksametason pada dewasa dengan dugaan bakteri meningitis.

dLihat tabel 67-3 untuk

rekomendasi pengobatan penyakit berbasis patogen. (Diadaptasi dengan perizinan)

(12)

Terapi Mikroba Patogen yang Diarahkan

Terapi antimikroba secara empiris harus diubah berdasarkan pada data laboratorium dan respon klinis. Jika budaya atau diagnostik lain, seperti gram noda pada CSF atau antigen atau tes antibodi menunjukkan patogen tertentu, terapi harus disesuaikan dengan cepat seperti yang diperlukan untuk memastikan cakupan yang memadai untuk pathogen yang bersalah. Pada tabel 67-3 garis-garis yang direkomendasikan definitif diarahkan pada patogen regimen, direkomendasikan lamanya pengobatan, dan efek merugikan merupakan kunci yang harus dimonitor selama terapi antibiotik untuk meningitis. Pertimbangan pengobatan untuk patogen yang dipilih menyebabkan infeksi SSP adalah sebagai berikut

Meningitis oleh Neisseria meningiditis

N. meningitidis paling sering menyebabkan infeksi SSP pada anak-anak dan dewasa muda. Diperkirakan 1.400-2.800 kasus meningitis meningkat setiap tahun di AmerikaSerikat, dengan kematian sekitar 10%. Dari 11% sampai 19% dari korban pengalaman meningitis terjadi peningkatan gejala jangka panjang, termasuk gangguan pendengaran, kehilangan anggota badan, dan defisit neurologis. Hampir semua penyakit meningitis disebabkan oleh serogrup lima: A, B, C, Y, dan W-135. Di Amerika Serikat, serotipe B, C, dan Y masing-masing bertanggung jawab untuk sekitar 30% dari kasus.

Meningitis meningkat diamati paling sering di orang yang tinggal dalam jarak dekat (seperti mahasiswa dan personil militer). Meskipun bayi dengan umur dibawah 1 tahun berada pada risiko tertinggi, hampir 60% kasus ini terjadi pada pasien dengan umur lebih dari 11 tahun. N. meningitis

berkolonisasi faring dan biasanya ditularkan melalui inhalasi pernapasan dari pasien atau pembawa simtomatik. Sebuah bakteremi subklinis biasanya terjadi kemudian, lalu adanya penyemaian meningitis. Penyakit meningitis sering (~ 50%) terkait dengan ruam petekiedifus, dan pasien mungkin mengalami perubahan perilaku. Pasien mungkin mengembangkan fulminan sepsis meningitis, ditandai dengan shock, disseminated intravascular coagulation (DIC), dan kegagalan multiorgan sepsis. Meningococcal memiliki prognosis buruk dan membawa tingkat kematian hingga 80%. Pasien yang dicurigai infeksi meningitis harus disimpan pada isolasi pernapasan untuk pertama 24 jam.

Secara tradisional, dosis tinggi penisilin G adalah perawatan yang standar untuk penyakit meningitis. Namun, meningkatnya resistensi penisilin

mensyaratkan bahwa sefalosporin generasi ketiga sekarang menjadi digunakan untuk pengobatan empiris sampai in vitro kerentanan yang di ketahui. Pasien dengan riwayat alergi penisilin tipe I atau sefalosporin alergi dapat diobati dengan vankomisin. Pengobatan harus dilanjutkan selama 7 hari, setelah itu tidak ada lagi pengobatan yang diperlukan.

Pencegahan penyakit meningitis dengan vaksinasi adalah kunci untuk mengurangi kejadian meningitis. Perguruan tinggi: mahasiswa yang tinggal di asrama, perekrutan militer, pasien yang menjalani splenektomi, dan pasien dengan defisiensi komplemen harus menerima vaksin meningitis. Baik dari vaksin polisakarida lama meningitis dan vaksin konjugat baru meningitis melindungi terhadap empat dari lima serotipe yang menyebabkan penyakit invasif (A, C, Y, dan W-135).Vaksin meningitis tidak melindungi terhadap serotipe B, yang menyebabkan lebih dari 50% dari kasus meningitis pada anak-anak yang kurang dari 2 tahun. Salah satu dari dua vaksin meningitis yang tersedia dapat digunakan dalam situasi wabah, dengan antibody pelindung terukur dalam waktu 7 sampai 10 hari. Merupakan sebuah kemungkinan keuntungan dari vaksin konjugat baru adalah bahwa yakini untuk memberikan durasi yang lebih lama kekebalan dari vaksin polisakarida yang lebih tua, meskipun studi klinis untuk memvalidasi durasi perlindungan belum selesai. CDC/ Komite Penasehat Imunisasi praktek dan American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa semua remaja 11 sampai 12 tahun menerima dosis vaksin konjugasi baru (saat ini disetujui oleh Food and Drug Administration untuk pasien 11-55 tahun). Sampai indikasi yang lebih luas untuk vaksin konjugasi berlisensi, Vaksin polisakarida yang tersedia untuk pasien 2-10 tahun usia, serta pasien lebih dari 55 tahun.

Kontak dekat dari pasien dengan infeksi meningokokus, baiknya di evaluasi untuk tujuan profilaksis antimikroba. Kontak dekat termasuk dengan anggota rumah tangga yang sama, individu yang berbagi tempat tidur, tempat penitipan, dan individu yang terpapar sekresi oral pasien meningitis. Setelah konsultasi dengan pihak kesehatan setempat, proses kontak dekat harus menerima profilaksis antibiotik untuk membasmi pembawa nasofaring dari organisme. Kontak dalam rumah tangga dari pasien dengan meningitis memiliki 400 sampai 800 kali lipat peningkatan risiko pengembangan antibiotik untuk meningitis. Profilaksis harus dimulai sesegera mungkin, sebaiknya dalam waktu 24 jam dari eksposur (dan dalam 14 hari, setelah itu manfaat berkurang secara signifikan). Direkomendasikan, dimana semuanya 90% sampai 95% efektif, untuk orang

(13)

dewasa termasuk rifampisin 600 mg oral setiap 12 jam untuk 2 hari, ciprofloksasin 500 mg oral untuk satu dosis, atau ceftriakson 250 mg intramus cylarly untuk satu dosis. Regimen anak-anak termasuk rifampisin 5 mg / kg oral setiap 12 jam selama 2 hari (kurang dari usia 1 bulan), rifampisin 10 mg / kg oral setiap 12 jam selama 2 hari (lebih dari usi 1 bulan), atau ceftriakson 125 mg secara intra muskuler selama satu dosis (kurang dari usia 12 tahun). Hal ini tidak diketahui apakah kontak dekat yang telah divaksinasi akan mendapatkan keuntungan dari profilaksis atau tidak. Pasien dengan meningitis yang diobati dengan antibiotik selain dengan antibiotik sefalosforin generasi ketiga juga harus dipertimbangkan untuk profilaksis guna memberantas pembawa keadaan nasofaring.

Meningitis oleh Streptococcus pneumoniae

S. pneumonia adalah penyebab paling umum dari meningitis di orang dewasa dan pada anak-anak-anak kurang dari 2 tahun. Pneumococcus dikaitkan dengan kematian tertinggi diamati dengan meningitis bakteri pada orang dewasa (20% sampai 30%), dan kejang lebih sering terjadi pada pneumokokus pasien meningitis. Pasien yang berisiko tinggi untuk terkena meningitis pneumokokus termasuk orang tua, pecandu alkohol, pasien yang telah mengalami splenektomi, pasien dengan penyakit sel sabit, dan pasien dengan koklea implan. Setidaknya 50% dari kasus meningitis pneumokokus adalah karena infeksi primer dari telinga, sinus, atau paru-paru.

Dosis tinggi penisilin G tradisional telah menjadi obat pilihan untuk pengobatan meningitis pneumokokus. Namun, karena peningkatan resistensi terhadap pneumokokus, pengobatan empiris yang disukai sekarang yaitu dengan sefalosporin generasi ketiga dalam kombinasinya dengan vancomisin. Semua isolat CSF harus diuji untuk penisilin dan sefalosporin resistensi dengan metode disahkan oleh CLSI. Setelah hasil sensitIVitas in vitro diketahui, terapi dapat disesuaikan (Tabel 67-3).Pasien dengan riwayat alergitipe I penisilin atau alergi juga terhadap sefalosforin dapat diobati dengan vankomisin. Pengobatan harus dilanjutkan selama 10 sampai 14 hari, setelah itu ada terapi pemeliharaan lebih lanjut yang diperlukan. Profilaksis antimikroba tidak di indikasikan untuk kontak dekat.

Pemberian vaksin untuk individu yang berisiko tinggi adalah kunci strategi untuk mengurangi risiko penyakit pneumokokus invasif. 23-valent pneumococcal target vaksin serotipe yang memperhitungkan untuk lebih dari 90% penyakit invasif di pasien-pasien. Beberapa berisiko tinggi,

vaksin 23-valent tidak menghasilkan kekebalan terpercaya respon pada anak-anak muda dari 2 tahun atau juga tidak mengurangi pembawa pneumokokus. 7-valent pneumococcal vaksin konjugasi protein-polisakarida diperkenalkan padatahun 2000 dengan menargetkan 7 serotipe yang paling umum pada anak-anak dan menyediakan perlindungan (pengurangan 94%) terhadap penyakit pneumonia invasif (seperti sepsis dan meningitis) pada anak-anak muda dari umur 5 tahun umur 30 tersebar luas dari konjugat 7-valent vaksin, untuk anak-anak juga telah memberikan kontribusi terhadap penurunan 28% penyakit pneumonia invasif dewasa. Berbeda dengan 23-valent vaksin, vaksin 7-valent mengurangi transmisi.

Meningitis oleh Haemophilus influenzae Sebelum pengenalan vaksin konjugasi Hib, H. influenzae tipe B adalah penyebab penyakit paling umum di amerika yang diakibatkan oleh bakteri meningitis. Pengecekan rutin pasien anak yg terserang Hib sejak tahun 1991 telah mengurangi kejadian penyakit Hib invasif (yaitu, meningitis dan sepsis) pada anak-anak kurang dari 5 tahun dengan presentasi 99 %, dengan kematian dari Hib meningitis berkurang dari 5 %. Vaksin Hib juga dianjurkan untuk pasien yang menjalani splenektomi. Hib penyakit meningeal sering dikaitkan dengan fokus parameningeal seperti sinus atau infeksi telinga tengah. Peningkatan resistensi beta – laktamase mediasi telah mengubah pengobatan empiris pilihan dari ampisilin ke sefalosporin generasi ketiga (misalnya, ceftriakson dan cefotaksim). Pengobatan harus dilanjutkan selama 7 hari, setelah itu tidak ada terapi pemeliharaan dan diperlukan lebih lanjut.

Kontak dekat dengan pasien meningitis oleh virus H. influenzaetipe B harus dievaluasi untuk menguji profilaksis antimikroba. Risiko Hib meningitis jika kontak dekat mungkin sampai 200-1000 kali lipat lebih tinggi daripada populasinya. Penyakit umum Hib infasif, termasuk meningitis, harus dilaporkan ke pihak kesehatan setempat dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Profilaksis untuk menghilangkan gejalan pada hidung dan pembawa orofaringeal dari Hib pada individu yang terpapar harus dimulai setelah berkonsultasi dengan para tenaga kesehatan setempat. Rifampisin (600 mg/hari untuk orang dewasa; 20 mg/kg per hari untuk anak-anak, maksimum 600 mg/hari) diberikan selama 4 hari. Profilaksis rifampin tidak diperlukan bagi individu yang telah menerima vaksin Hib seri penuh. Terutama, anak-anak yang tidak divaksinasi antara usia 12 dan 48 bulan harus menerima satu kali dosis vaksin, dan anak-anak yang tidak divaksinasi usia 2-11 bulan harus

(14)

menerima tiga kali dosis vaksin, serta profilaksis rifampin. Karena kekurangan vaksin sebelumnya, tidak dapat diasumsikan bahwa semua anak telah divaksinasi. Selanjutnya, beberapa anak belum menerima semua vaksin anak karena kekhawatiran orangtua tentang keamanan vaksin.

Meningitis oleh Listeria monocytogenes L. monocytogenes merupakan basil gram positif intraseluler yang telah dilaporkan mengkontaminasi makanan tertentu, seperti keju lunak, susu yang tidak dipasteurisasi, daging dan ikan mentah, daging olahan, dan sayuran mentah. Bakteri dari makanan yang terkontaminasi akan merusak saluran pencernaan, masuk ke aliran darah, dan membatasi respon imun seluler alami untuk menyebabkan infeksi L. monocytogenessehingga teradi meningitis, biasanya ada pada pasien lanjut usia dan pada pasien immunocompromised dengan depresi imunitas seluler (termasuk pasien dengan leukemia, transplantasi organ, dan HIV/AIDS), sehingga memiliki tingkat kematian yang tinggi hingga 30%. Hanya sejumlah antibiotik yang menunjukkan aktIVitas bakterisida terhadap Listeria. Kombinasi ampisilin dosis tinggi atau penisilin G dan aminoglikosida menghasilkan efek yang sinergis dan bakterisida terhadap Listeria. Pada penelitian total diperlukan minimal 3 minggu peminuman obat. Karena kekhawatiran tentang risiko nefrotoksisitas dengan pemakaian pengobatan aminoglikosida yang panjang, pasien diobati dengan terapi kombinasi selama 10 hari dan dapat menyelesaikan sisa pengobatan mereka dengan ampisilin atau penisilin secara mandiri. Pada pasien alergi terhadap penisilin, kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol adalah agen pilihan karena memiliki efek aktIVitas bakterisida in vitro terhadap Listeria, serta baik untuk penetrasi SSP. Vankomisin dan sefalosporin merupakan pengobatan yang tidak efektif untuk Listeria meningitis. Profilaksis tidak diperlukan untuk kontak dekat, juga tidak menunjukkan terapi penekan. Pasien dengan depresi berat dan imunitas seluler disarankan untuk menghindari makanan yang mungkin terkontaminasi dengan Listeria.

Meningitis oleh Grup B Streptococcus Infeksi oleh grup B Streptococcus (seperti S. agalactiae) adalah penyebab paling umum dari sepsis neonatal dan meningitis. Satu dari setiap 4 sampai 5 wanita hamil merupakan pembawa kelompok B Streptococcus yang berasal dari vagina atau dubur. Grup B streptokokus dapat diperoleh saat melahirkan setelah terpapar sekresi sehingga akan terinfeksi dari

jalan lahir ibu atau rektum. Bayi yang lahir dari ibu yang merupakan pembawa, beresiko sangat tinggi (1 dari setiap 100-200 bayi) mengembangkan kelompok invasif B penyakit streptokokus, termasuk sepsis dan meningitis. Neonatal dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Pengobatan sinergis dengan penisilin atau ampisilin, ditambah gentamisin, selama 14 sampai 21 hari dianjurkan untuk pengobatan kelompok B streptokokus meningitis. Untuk mengurangi risiko kelompok klinis B penyakit streptokokus pada neonatus, wanita hamil harus dipantau pada usia 35 hingga 37 minggu kehamilan, untuk menentukan apakah mereka adalah pembawa kelompok B streptococci. Intrapartum antibiotik (misalnya penisilin atau ampisilin) yang direkomendasikan untuk wanita hamil dengan karakteristik sebagai berikut: kelompok B carrier streptokokus terdeteksi pada skrining, sejarah kelompok B streptokokus bakteriuria setiap waktu selama kehamilan, dan sejarah pengiriman bayi dengan kelompok invasif B penyakit streptokokus.

Meningitis oleh Basil Gram Negatif

Meningitis yang disebabkan oleh basil gram negatif ini salah satu dari kasus meningitis yang penting karena morbiditas (mudah kena sakit) dan mortalitas (kemungkinan kematian) pada populasi yang beresiko, termasuk mereka yang terkena diabetes, keganasan, sirosis, imunosupresi, lanjut usia, infeksi parameningeal, dan/atau sebuah cacat yang memungkinkan interaksi dari kulit ke CNS (seperti bedah sarap, cacat bawaan, atau trauma kranial).

Pengobatan optimal untuk meningitis bakteri basil gram negatif tidak didefinisikan dengan baik. Pengenalan cefalosporin spektrum luas telah meningkat dengan hasil pengobatan dari pasien secara signifikan. Sementara cefalosporin generasi ketiga ceftriakson dan cefotaksim menyediakan

cakupan yang baik untuk

sebagianenterobacteriaceae,antibiotik ini tidak efektif terhadap P.aeruginosa. Ceftazidime, cefepime, dan carbapenem telah terbukti efektif terhadap pseudomonal meningitis. Penambahan aminoglikosida dapat meningkatkan hasil pengobatan. Namun, penetrasi CNS dari aminoglikosida sangat tidak baik, bahkan dalam pengaturan meninges yang meradang. Intratekal atau intraventrikular pemberian aminoglikosida mungkin berguna, tetapi antibiotik intraventrikular telah dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada neonatus. Terapi intratekal dilakukan dengan pemberian antibiotik ke dalam CSF melalui fungsi lumbal, sedangkan terapi intraventrikular biasanya

(15)

diberikan kedalam reservoir ditanamkan dalam ventrikel otak.

Terapi awal dari yang diduga pseudomonal meningitis harus mencakup spectrum luas golongan β-lactam (e.g., ceftazidime, cefepime, atau meropenem) ditambah aminoglikosid (lebih baik tobramycin atau amikacin). Meskipun carbapenem imipenem-cilastatin memiliki aktIVitas mirip dengan golongan β-lactam, penggunaannya tidak dianjurkan pada meningitis karna dapat berisiko kejang-kejang. Aztreonam, ciprofloxacin dosis tinggi, dan colistin adalah alternatif pengobatan untuk pseudomonal meningitis. Terapi lokal (yaitu, terapi intratekal atau intraventrikular) mungkin diindikasikan pada pasien dengan bakteri meningitis basil gram negatif (terutama infeksi yang disebabkan oleh resistensi P. Aeruginosa) atau pada pasien yang gagal untuk memodifikasi antibiotik intravena saja. Mengingat perbedaan pola resistensi rumah sakit setempat, pengobatan pemberian patogen langsung sangat penting setelah hasil mikrobiology tersedia. Pengobatan untuk bakteri meningitis basil gram negatif harus dilanjutkan selama minimal 21 hari.

Infeksi Pasca Operasi pada Pasien Bedah Saraf

dan Infeksi Shunt

Para pasien yang menjalani prosedur bedah saraf atau memiliki invasif atau yang ditanamkan perangkat asing (seperti CSF shunt, pompa intraspinal, kateter, atau kateter epidural) mereka berisiko untuk infeksi CNS. Patogen yang penting dalam infeksi pasca operasi bedah saraf termasuk koagulasi-negatif staphylococci, S. Aureus, streptococci, propionobacteria, dan basil gram negatif, termasuk P. Aeruginosa. Tanda dan gejala klinis mungkin mirip dengan CNS infeksi lainnya, tanda dan gejala tersebut dapat menjadi bukti kerusakan implan atau tanda-tanda infeksi luka pasca oprasi.

Pengobatan empiris untuk infeksi pasca operasi pada pasien bedah saraf (termasuk pasien dengan CSF shunt) harus diobati dengan cakupan vankomisin dalam kombinasi dengan salah satu diantaranya cefepime, ceftazidime, atau meropenem. Linezolid telah dilaporkan untuk mencapai konsentrasi CSF yang memadai dan menyelesaikan kasus menginitis refrakter terhadap vankomisin. Namun, data dengan linezolid terbatas. Penambahan rifampin harus dipertimbangkan untuk pengobatan infeksi shunt. Ketika data biakan dan sensitIVitas tersedia, pengobatan antibiotik pengarah patogen harus langsung diberikan. Penghapusan alat yang terinfeksi yang diinginkan berupa terapi antibiotik yang agresif (termasuk terapi antibiotik intravena

dengan dosis tinggi ditambah intraventrikular vancomicin dan/atau tobramicin) mungkin efektif untuk pasien yang tidak mungkin menghapus perangkat asingnya.

Abses otak adalah koleksi lokal nanah dalam tempurung kepala. Infeksi ini sulit di obati karna adanya infeksi walled-off dalam jaringan otak yang sulit untuk beberapa antibiotik untuk mencapainya. Pada penambahan pengobatan antimikroba yang sesuai (sebuah diskusi yang berada diluar lingkup bab ini), surgical debridement sering digunakan sebagai langkah ajuvan. Pembedahan debridement juga mungkin digunakan dalam mengatur infeksi pasca operasi bedah saraf.

Viral Ensefalitis dan Meningitis

Viral ensefalitis dan meningitis mungkin sama dengan meningitis bakteri pada presentasi klinisnya, tetapi sering dapat dibedakan adalah dari hasil temuanCSF. Patogen virus yang paling umum adalah enterovirus, yang menyebabkan sekitar 85% kasus virus infeksi CNS. Virus lain yang dapat menyebabkan SSP infeksi termasuk arbovirus, virus herpes simpleks, cytomegalovirus, virus varicella zoster, rotavirus, corona virus, influenza virus A dan B, virus West Nile, dan virus Epstein-Barr. Infeksi SSP virus yang diperoleh melalui hematogen atau penyebaran neuronal. Sebagian besar kasus meningitis enterovirus atau ensefalitis membatasi diri dengan dukungan dari pengobatan. Namun, arbovirus, virus West Nile, dan virus Eastern berhubungan dengan prognosis yang kurang menguntungkan.

Berbeda dengan encephalitides virus lainnya, herpes simpleks virus (HSV) tipe 1 dan 2 ensefalitis dapat diobati. Meskipun langka (1 kasus per 250.000 penduduk per tahun di Amerika Serikat), HSV ensefalitis adalah infeksi yang mengancam jiwa yang serius. Lebih dari 90% HSV ensefalitis pada orang dewasa disebabkan HSV tipe 1, sedangkan HSV tipe 2 mendominasi di HSV neonatal ensefalitis (lebih besar dari 70%). HSV ensefalitis hasilnya adalah reaktIVasi dari infeksi laten (dua-pertiga dari kasus) atau kasus yang parah infeksi primer (sepertiga). Tanpa pengobatan yang efektif, angka kematian dapat mencapai 85%, dan pasien yang selamat biasanya memiliki sisa-sisa defisit neurologis yang signifikan. Dosis tinggi dari asiklovir secara intravena adalah obat

pilihan, diberikan untuk

2 sampai 3 minggu dengan dosis 10 mg / kg secara intravena setiap 8 jam pada orang dewasa dan selama 3 minggu dengan dosis 20 mg / kg secara intravena setiap 8 jam di masa neonatus. Foscarnet 120-200 mg / kg per hari dibagi setiap 8 sampai 12 jam selama 2

(16)

sampai 3 minggu adalah pengobatan pilihan untuk asiklovir tahan isolat HSV.

Terapi adjuvan Deksametason

Deksametason telah terbukti meningkatkan hasil pengobatan yang baik untuk pasien yang menderita meningitis. Deksametason menghambat pelepasan proinflamasi sitokin dan membatasi respon inflamasi CNS yang dirangsang oleh infeksi dan terapi antibiotik. Manfaat klinis dengan mengurangi defisit neurologis (terutama oleh mengurangi gangguan pendengaran) telah diamati pada bayi dan anak-anak dengan meningitis H. influenzae, serta patogen lain yang menyebabkan meningitis, jika deksametason dimulai sebelum terapi antibiotik. The American Academy of Pediatrics merekomendasikan deksametason (0,15 mg/kg intravena setiap 6 jam untuk 2 sampai 4 hari) untuk bayi dan anak-anak setidaknya 6 minggu dengan Hib meningitis dan pertimbangan penggunaan deksametason di pneumokokus. Dexamethasone harus dimulai 10 sampai 20 menit sebelum atau paling lambat saat inisiasi dari terapi antibiotik; tidak dianjurkan untuk bayi dan anak-anak yang telah menerima terapi antibiotik karena mungkin akan mmberikan hasil yang tidak diinginkan dari pengobatan ini. Ada data yang cukup untuk membuat rekomendasi mengenai penggunaan terapi deksametason tambahan pada meningitis neonatal.

Pada orang dewasa, manfaat yang signifikan diamati dari deksametason dengan plasebo berlebih dalam caranya mengurangi komplikasi meningitis, termasuk kematian, terutama pada pasien dengan pneumokokus meningitis. The IDSA merekomendasikan deksametason 0,15mg/kg intravena setiap 6 jam selama 2 sampai 4 hari (dengan catatandosis pertama diberikan 10 sampai 20 menit sebelum atau dengan dosis pertama dari antibiotik) pada orang dewasa yang dicurigai atau terbukti meningitis pneumonokokus. Deksametason tidak dianjurkan untuk orang dewasa yang telah menerima terapi antibiotik. Beberapa dokter akan memberikan deksametason untuk semua orang dewasa dengan meningitis hasil tes laboratorium tertunda.

Ada kekhawatiran tentang pemberian deksametason untuk pasien dengan meningitis pneumokokus yang disebabkan oleh penisilin atau resisten terhadap sefalosforin, diamana vankomisin aan diperlukan. Model ekperimental hewan mengindikasikan penggunaan steroid yang bersamaan akan mengurangi penetrasi vankomisin dalam CSF dari 42% menjadi 77% dan penundaan sterilisasi CSF yang seharusnya mengurangi respon

inflamasi. Kegagalan pengobatan telah dilaporkan dari orang dewasa dengan resistensi terhadap pneumonokokus meningistis yang telah diobati dengan deksametason, tetapi manfaat risiko dari penggunaan deksametason dari pasien tidak bisa didefinisikan saat ini. Model-model hewan ini mengindikasikan manfaat dari penambahan rifampin dari pasien dengan resistensi terhadap pneumonokokus meningitis setiapkali deksametason digunakan.

HASIL EVALUASI

Memantau pasien yang terkena infeksi SSP terus-menerus sepanjang waktu dengan perawatan yang benar untuk mengevaluasi kemajuan kondisi mereka menuju pencapaian tujuan pengobatan, termasuk menghilangkan gejala, pemberantasan infeksi, dan pengurangan peradangan untuk mencegah kematian dan pengembangan defisit neurologis. Tujuan pengobatan yang terbaik dicapai dengan antimikroba parenteral yang sesuai dengan terapi, termasuk terapi empiris untuk menutupi sebagian besar kemungkinan patogen, diikuti dengan terapi yang diarahkan setelah kultur dan hasil sensitivitas diketahui. ❿ Fungsi komponen rencana monitoring adalah untuk menilai efikasi dan keamanan terapi antimikroba dari infeksi SSP termasuk tanda-tanda klinis dan gejala dan laboratorium data (seperti temuan SSP, budaya, dan data sensitivitas).

Selama alur pengobatan pasien, dilakukan monitor tanda-tanda klinis dan gejala setidaknya tiga kali sehari. Arah gejala lebih penting daripada penilaian satu waktu. Demam, sakit kepala, mual dan muntah, dan malaise diharapkan mulai membaik dalam 24 sampai 48 jam setelah inisiasi terapi antimikroba dan perawatan pendukung lain. Kemudian mengevaluasi pasien untuk resolusi neurologis tanda dan gejala, seperti perubahan status mental dan kekakuan daerah tengkuk, seperti halnya infeksi diberantas dan peradangan dikurangi dalam SSP. Perbaikan diharapkan dan selanjutnya resolusi tanda dan gejala sebagai tujuan pengobatan secara berkelanjutan. Pada saat pulang dari rumah sakit, mengatur pasien untuk melakukan tindak lanjut selama beberapa minggu atau bulan tergantung pada patogen penyebab, tujuan pengobatan klinis, dan pasien berdasarkan komorbiditas. Terutama mengevaluasi pasien untuk adanya defisit neurologis residual.

Pemantauan tes laboratorium penting pada pasien yang menerima pengobatan untuk infeksi SSP.Monitor CSF dan kultur darah sehingga terapi antimikroba dapat disesuaikan dengan etiologi

(17)

organisme. Tindak lanjut pada kultur dapat dilakukan untuk membuktikan pemberantasan organisme atau kegagalan pengobatan. Meskipun pada umumnya tidak dilakukan pengulangan LP, pertimbangkan pengulangan LP untuk pasien yang tidak merespon secara klinis setelah 48 jam sesuai terapi antimikroba, terutama mereka yang resisten terhadap pneumococcus dan menerima dexamethasone. Kandidat lain untuk pengulangan LP meliputi: orang-orang dengan infeksi basil gram negatif, demam berkepanjangan, dan meningitis berulang. Pengulangan LP pada neonatus untuk menentukan durasi terapi. Pengulangan LP juga dapat dilakukan untuk meringankan intrakranial yang meningkatkan tekanan. Diharapkan pengulangan kultur darah menjadi negatif dengan cepat selama terapi dan jumlah serum WBC untuk meningkatkan dan menormalkan dengan terapi antimikroba yang tepat.

Evaluasi dosis regimen antimikroba untuk menjamin efikasi dari regimen perawatan. Vankomisin dengan konsentrasi 15 sampai 20 mg/L, direkomendasikan untuk perawatan infeksi sistem saraf pusat. Pemantauan pasien denga efek samping obat, alergi obat, dan interaksi obat. Rencana pemantauan keamanan obat yang spesifik, akan diandalkan dari penggunaan antibiotik yang bisa dilihat pada tabel 67-3. Dilakukan pendekatan perhatian untuk pasien yang pengobatannya bersamaan dengan rifampin untuk perawatan dan profilaksis. Rifampin adalah zat penginduksi poten dari metabolisme hati dan mungkin menurunkan efikasi dari metabolisme obat lain dari sitokrom P-450 3A.

Studi Kasus Pasien

JD adalah murid SMA berusia 17 tahun yang mengunjungi kakaknya di asrama kuliah selama 1 minggu sebelum kakaknya meninggalkan asrama untuk liburan musim dingin. JD sekarang berada di unit gawat darurat dengan sejarah 2 hari sakit kepala dan demam. Temuan fisik dan nilai-nilai laboratorium meliputi suhu 38.3ºC (101ºF) dan jumlah WBC dari 14.400 / mm3 (14,4 × 109 / L), dengan 90% PMN. Pemeriksaan mengungkapkan kaku kuduk dan ruam peteki trunkal. JD dilaporkan mengalami sensitivitas cahaya dan mual dengan muntah. Dia telah mencoba dosis analgesik berlebih dan antipiretik tapi tidak mengurangi sakit kepala atau demamnya.

• Apa tanda-tanda dan gejala yang konsisten dari meningitis yang ada pada JD?

• Apa petunjuk untuk patogen penyebab penyakit pada JD?

• Apa regimen empiris pilihan untuk JD?

• Bagaimana data laboratorium (termasuk kultur & sensitivitas data) digunakan untuk memperbaiki rejimen antibiotik empiris?

• Obat yang direkomendasikan untuk profilaksis dari kontak dekat dengan pasien dengan meningitis?

Perawatan Pasien dan Pemantauan

1. Kaji tanda-tanda, gejala, dan faktor risiko pasien untuk meningitis. Apakah petunjuk ini merujuk pada petunjuk patogen?

2. Tentukan apakah pasien dapat menjalani LP langsung atau jika LP harus ditunda sampai lesi massa SSP bisa dikesampingkan. Jika LP tertunda, kultur darah harus ditarik dan terapi antimikroba empiris yang tepat dimulai segera.

3. Berdasarkan data-pasien tertentu, pola resistensi lokal, dan data lain yang relevan, desain yang sesuai empiris rejimen antimikroba diarahkan pada kemungkinan patogen; rejimen empiris harus terdiri dari dosis tinggi terapi intravena.

4. Tentukan apakah terapi ajuvan deksametason ditujukan; jika demikian, mulai terapi steroid 15 sampai 20 menit sebelum dosis pertama terapi antimikroba.

5. Memberikan perawatan pendukung untuk pasien dengan infeksi SSP, termasuk hidrasi, penggantian elektrolit, antipiretik, analgesik, dan obat antiepilepsi.

6. Pantau kultur dan data sensitivitas dari laboratorium mikrobiologi untuk menentukan perbaikan apa yang dibutuhkan dalam rejimen pengobatan pasien. Desain rencana terapi untuk menyelesaikan pasien dari tujuan terapi untuk meningitis akut.

7. Pantau respons pasien terhadap terapi (yaitu, tanda-tanda klinis / gejala dan data laboratorium), serta pengembangan komplikasi, termasuk kejang dan gangguan pendengaran. Terapi deksametason dapat mengurangi penetrasi

(18)

antibiotik, sehingga dosis obat antimikroba mungkin harus ditingkatkan (terutama vankomisin) untuk mencapai tingkat CSF yang memadai. Kadar serum vankomisin harus diukur dan dosis dititrasi untuk memastikan konsentrasi CNS memadai. Mengevaluasi apakah intraventrikular atau intratekal antibiotic ditunjukkan.

8.

9. Lakukan pengawasan berkelanjutan untuk reaksi obat yang merugikan, alergi obat, dan interaksi obat.

10.Tentukan apakah profilaksis diindikasikan untuk kontak dekat pasien dengan infeksi SSP.Kontak dekat harus ditempatkan untuk pasien yang diduga meningokokus atau Meningitis Hib. Setelah berkonsultasi dengan pihak kesehatan setempat, profilaksis antibiotik harus diberikan segera untuk orang-orang untuk menghindari penyakit sekunder.

11.Mengevaluasi apakah pasien adalah kandidat untuk menyelesaikan pengobatan parenteral pada pasien rawat jalan dasar. Jika demikian, pentingnya tindak lanjut medis dekat dan kepatuhan pengobatan harus ditekankan kepada pasien dan keluarganya.

12.Pertimbangkan bagaimana untuk meminimalkan risiko pasien tertular saat ini (dan lainnya) infeksi SSP di masa depan; mengelola vaksin yang tepat setelah sembuh dari infeksi akut.

13.Aturlah tindak lanjut setelah pasien keluar dari rumah sakit. Terus lakukan pemantauan untuk gejala sisa neurologis untuk beberapa bulan setelah menyelesaikan pengobatan, dan mendidik pasien dan keluarga dalam hal ini. Komplikasi serius yang mungkin terjadi antara lainkelainan pendengaran, hemiparesis, quadriparesis, hypertonia otot, ataksia, gangguan kejang, keterbelakangan mental, pembelajaran cacat, dan hidrosefalus obstruktif.

SINGKATAN- SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome (Sindrom Defisiensi Imun)

CDC : Centers For Disease Control And Prevention (Pusat Pengendalian Dan Pencegahan Penyakit) CLSI : Clinical And Laboratory Standards Institute (Clinical And Laboratory Standards Institute)

CNS : Central Nervous System (Sistem Saraf Pusat)

CSF : Cerebrospinal Fluid (Cairan Serebrospinal) CT : Computed Tomography

DIC : Disseminated Intravascular Coagulation FDA : Food And Drug Administration

Hib : Haemophilus Influenzae Type B HIV : Human Immunodeficiency Virus HSV : Herpes Simplex Virus

IDSA : Infectious Diseases Society Of America IL-2 : Interleukin 2

LP : Lumbar Puncture

MBC : Minimum Bactericidal Concentration (Konsentrasi Bakterisida Minimum)

MIC : Minimum Inhibitory Concentration (Konsentrasi Hambat Minimum)

MRI : Magnetic Resonance Imaging

MRSA : Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus MRSE : Methicillin Staphylococcus Epidermidis PCR : Polymerase Chain Reaction

PMN : Polymorphonuclear Cell TNF-Α : Tumor Necrosis Factor Α

WBC : White Blood Cell (Sel Darah Putih)

Daftar referensi pertanyaan dan jawaban tersedia di www.ChisholmPharmacotherapy.com

Masuk ke situs web:

www.pharmacoteraphyprinciples.com untuk memperoleh informasi dalam melanjutkan pembelajaran bab ini.

REFERENSI UTAMA DAN BACAAN

Centers for Disease Control and Prevention. Prevention of perinatal Group B streptococcal disease. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) 2002;51(RR11): 1–22.

Centers for Disease Control and Prevention. Progress toward elimination of Haemophilus influenzae type b invasive disease among infants and children—United States, 1998–2000. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) 2002;51(RR11):234–237.

Centers for Disease Control and Prevention. Prevention and control of meningococcal disease. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) 2005;54(RR07):1–21.

(19)

Centers for Disease Control and Prevention. Direct and indirect effects of routine vaccination of children with 7-valent pneumococcal conjugate vaccine on incidence of invasive pneumococcal disease—United States, 1998–2003. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) 2005;54(36): 893–897.

Sinner SW, Tunkel AR. Antimicrobial agents in the treatment of bacterial meningitis. Infect Dis Clin North Am 2004;18:581–602.

Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL, et al. Practice guidelines for the management of bacterial meningitis. Clin Infect Dis 2004; 39:1267–1284.

Tyler KL. Herpes simplex virus infections of the central nervous system: Encephalitis and meningitis, including Mollaret’s. Herpes 2004; 11(suppl 2):57A–64A.

van de Beek D, de Gans J, McIntyre P, Prasad K. Corticosteroids for acute bacterial meningitis. Cochrane Database Syst Rev 2003; 3:CD004405. van de Beek D, de Gans J, Spanjaard L, et al. Clinical features and prognostic factors in adults with bacterial meningitis. N Engl J Med 2004;351(18):1849– 1859.

van de Beek D, de Gans J, Tunkel AR, Wijdicks EFM. Communityacquired bacterial meningitis in adults. N Engl J Med 2006; 354:44–53.

Gambar

TABEL 67-1.  Kemungkinan  Patogen  Penyebab dan  Terapi  Empiris yang  direkomendasikan, yang  disebabkan oleh  Faktor Risiko untuk Bakteri Meningitis
TABEL 67-3 Perawatan Definitif berbasis Patogen untuk Infeksi Sistem Saraf Pusat (lanjutan)
TABEL 68-1. Beberapa bakteri penyebab pneumonia  Jenis-jenis
TABLE 68-2 Persentasi Perlawanan berbagai  Antimikroba terhadap S. Pnemonia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 5.16 Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Stres Pengasuhan pada Ibu dengan Anak Usia Prasekolah ..... xvii Lampiran 1 Lembar Persetujuan Responden Lampiran 2

Hal ini dikarenakan pada kecepatan potong yang tinggi pahat frais mendapat beban yang sangat besar pada saat pemotongan sehingga pahat mengalami laju keausan

: Pelaksanaan PPM berupa Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah bagi Guru Sekolah Dasar Se Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. I SDN Sumberagung I Jetis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengelolaan pembelajaran melalui bermain pasir dan air pada sentra bahan alam PAUD Insan Kamil Bangkinang Kampar sama

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan maka dapat di simpulkan bahwa Lapisan I mempunyai kedalaman 0-20 cm dengan batasan lapisan berbaur,

Skripsi yang berjudul Suksesi Kepemimpinan dalam Serat Babad Sunan Prabu (Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra), merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Untuk dapat diterima pasar desain harus memenuhi beberapa persyaratan pasar yang berkaitan dengan: jenis barang, harga, mutu barang, sistem distribusi, dan sasaran

Pada kerangka pemikiran sebelumnya disebutkan, bahwa diduga kapasitas vital paru-paru dan dayatahan kekuatan otot tungkai masing-masing berkontribusi terhadap