• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Pasien 2

Dalam dokumen 01 INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT (Halaman 125-129)

Seorang pria 45 tahun dengan AIDS memberitahukan keadaan daruratnya ke UGD dengan keluhan demam, mual, muntah-muntah, sakit perut, dan diare tidak berdarah selama 2 hari.

Dia melaporkan bahwa diare nya membaik, namun ia demam dan menggigil beberapa jam sebelum ia datang ke kamar Unit Gawat Darurat. Pada Pemeriksaan fisiknya positif demam dan sakit perut menyebar. USG abdomen tidak menunjukkan adanya kelainan. Dia mengaku mengirim dua set kultur darah ke rumah sakit.

Apa GI patogen (s) yang Anda menduga pada pasien ini?

Kultur darah-Nya kembali positif nontyphoidal Salmonella.

 Pengobatan Apa yang anda rekomendasikan? Melakukan tes lebih lanjut Apa yang perlu dilakukan sebelum Anda dapat memutuskan, apa Rekomendasi pengobatan anda? Apakah ada pertimbangan khusus karena infeksi HIV ini pasien?

HASIL EVALUASI

Pasien dengan infeksi GI harus dievaluasi untuk pemecahan atau penanganan gejala GI, serta tanda-tanda sistemik dan gejala yang terkait. Jika terapi

antimikroba digunakan, penyelesaian kursus terapi harus dinilai. Izin didokumentasikan dari mikroorganisme menyinggung tidak diperlukan.

SINGKATAN-SINGKATAN

AAD : Antibiotic-Associated Diarrhea A/E : Attaching-Effacing

AMP : Adenosine Monophosphate ART : Antiretroviral Therapy

CDC :Centers for Disease Control and Prevention CDAD :Clostridium difficile–associated diarrhea CFU : Colony-Forming Units

EHEC : Enterohemorrhagic Escherichia coli ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay FDA : Food and Drug Administration

GI : Gastrointestinal

GBS : Guillain-Barré Syndrome

HIV/AIDS: Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency Syndrome

HUS : Hemolytic-Uremic Syndrome ORT : Oral Rehydration Therapy PCR : Polymerase Chain Reaction STEC : Shiga Toxin–Producing E. coli Stx : Shiga Toxin

VRE : Vancomycin-Resistant Enterococcus WHO : World Health Organization

Daftar referensi pertanyaan dan jawaban tersedia di www.ChisholmPharmacotherapy.com

Masuk ke situs web:

www.pharmacoteraphyprinciples.com untuk memperoleh informasi dalam melanjutkan pembelajaran bab ini.

REFERENSI UTAMA DAN BACAAN

Bartlett JG. Antibiotic associated diarrhea. New Engl J Med 2002; 346:334–339.

Chen XM, Keithly JS, Paya CV, LaRusso NF. Cryptosporidiosis. New Engl J Med 2002;346:1723–1731.

Clark B,McKendrick M. A review of viral gastroenteritis. Curr Opin Infect Dis 2004;17:461– 469.

DuPont H. Shigella species (bacillary dysentery). In: Mandell GL, Bennett JE, and Dolin R, eds. Principles and Practice of

Infectious Diseases. 6th ed. New York: Churchill Livingstone; 2004. p. 2655.

Hohmann EL. Nontyphoidal salmonellosis. Clin Infect Dis 2001; 32:263–269.

Gardner TB, Hill DR. Treatment of giardiasis. Clin Microbiol Rev 2001;14:114–128.

Miller SI, Pegues DA, Ohl ME. Salmonella species. In: Mandell GL, Bennett JE, and Dolin R, eds. Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th ed. New York: Churchill Livingstone; 2004. p. 2637.

Okhuysen PC. Current concepts in travelers’ diarrhea: Epidemiology, antimicrobial resistance and treatment. Curr Opin Infect Dis 2005;18:522–526. Sack DA, Sack RB, Nair GB, Siddique AK. Cholera.

Lancet 2004; 363:223–233.

Stoddart B, Wilcox MH. Clostridium difficile. Curr Opin Infect Dis 2002;15:513–5

08 INFEKSI INTRAABDOMINAL

Joseph T. DIPIro and Thomas R. Howdieshell

OBJEK PEMBELAJARAN

SETELAH MEMPELAJARI BAB INI, PEMBACA AKAN MAMPU UNTUK:

1. Mengidentifikasi alasan umum mengapa beberapa parasit memiliki prevalensi yang lebih tinggi di Amerika Serikat.

2. Membedakan definisi antara infeksi intraabdominal primer dan sekunder.

3. Menjelaskan mikrobiologi dari intraabdominal primer dan infeksi sekunder.

4. Menjelaskan presentasi klinis dari infeksi intraabdominal primer dan sekunder.

5. Menjelaskan peran budaya dan kerentanan informasi untuk diagnosis dan pengobatan infeksi intraabdominal.

6. Mengenalkan obat yang paling tepat dan langkah-langkah pengobatan tanpa obat untuk mengobati infeksi intraabdominal.

7. Merekomendasikan rejimen antimikroba yang tepat untuk pengobatan infeksi intraabdominal primer dan sekunder.

8. Menjelaskan proses peningkatan keadaan pasien selama pengobatan infeksi intraabdominal

KONSEP UTAMA

❶ Kebanyakan infeksi intraabdominal sekunder disebabkan oleh kerusakan pada saluran pencernaan yang harus diobati dengan surgical drainage atau perbaikan.

❷ Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh organisme tunggal Staphylococcus aureus pada pasien yang menjalani Continuous Ambualtory Peritoneal Dialysis (CAPD) terus menerus.

❸ Infeksi intraabdominal sekunder biasanya disebabkan oleh campuran bakteri basil gram negatif dan bakteri anaerob. Campuran dari organisme ini mempertinggi potensi patogen dari bakteri.

❹ Untuk peritonitis, peringatan pertama adalah ketika menyerang ke dalam cairan pembuluh darah.

❺ Kultur dari letak infeksi intraabdominal sekunder umumnya tidak digunakan untuk terapi antimikroba. ❻ Cara hidup antimikroba untuk infeksi intraabdominal sekunder harus mencakup basil enterik gram negatif dan basil anaerob. Agen antimikroba yang dapat digunakan untuk infeksi pengobatan intraabdominal sekunder : (1) kombinasi β-lactam_β-lactamase-inhibitor (2) Carbapenem (3) quinolone dan clindamicin (metronidazole).

❼ Untuk infeksi intraabdominal yang parah durasi pengobatan antimikroba total yaitu 5 sampai 7 hari.

Infeksi intraabdominal terdapat dalam rongga peritoneum dan ruang retroperitoneal. Rongga peritoneum memanjang dari permukaan bawah diafragma ke bawah panggul dan isi perut: usus kecil, usus besar, hati, kandung empedu dan limfa.

Sedangkan yang terdapat dalam retroperitoneum yaitu: Duadenum, pankreas, ginjal, kelenjar adrenal, pembuluh darah besar (aorta dan vena cava) dan struktur mesentrik vaskular. Infeksi intraabdominal dapat berupa lokal dan umum. Mungkin terdapat dalam stuktur visceral seperti hati, kandung empedu, limpa, pankreas, ginjal atau organ reproduksi wanita. Dua jenis umum dari infeksi intraabdominal dibahas dalam bab ini: peritonitis dan bengkak.

Peritonitits didefinisikan inflamasi akut pada selaput peritoneal sebagai respon dari adanya mikroorganisme, bahan kimia, radang atau cedera benda asing. Pada bab ini hanya membahas peritonitis dengan sumber penyakit menular.

Studi Kasus Pasien

Lelaki tua berusia 67 tahun datang ke ruangan gawat darurat dengan penyakit distress akut dengan nyeri perut, mual dan muntah. Keadaan kesehatan pasien cukup baik hingga kemarin malam ketika ia mengalami sakit perut tiba-tiba. Selama malam hari, dia mengalami muntah dan sakit tidak berkurang. Pasien tersebut menggunakan gyburide untuk diabetes melitus yang tidak bergantung pada insulin, serta penyakit peptic ulcer yang telah diobati dengan ranitidine dan omeprazol, ia memiliki alergi terhadap debu tetapi tidak ada laporan mengenai alergi obat. Ia menyebutkan bahwa pernah mengkonsumsi alkohol dan merokok dua bungkus sehari.

Informasi apa yang akan anda tanyakan pada pasien ini ?

Cairan-cairan purulen dipisahkan dari jaringan melalui dinding yang terdiri dari sel-sel inflamasi dan organ yang berdekatan di sekitarnya. Biasanya mengandung debris nekrotik, bakteri, dan sel inflamasi. Peritonitis dan bengkak berbeda dalam presentasi dan pendekatan dalam pengobatan.

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

Peritonitis mungkin bisa diklasifikasikan menjadi peritonitis primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer juga disebut peritonitis bakterial spontan, merupakan infeksi pada rongga peritoneal tanpa sumber bakteri yang jelas dari perut. Pada peritonitis sekunder, fokus penyakit jelas terjadi dalam perut. Peritoneal sekunder mungkin melibatkan perforasi dari saluran pencernaan, (mungkin terjadi karena ulcerasi, iskemia, atau adanya gangguan). Pasca operasi peritonitis, atau pasca trauma peritonitis (ketumpulan atau trauma penetrasi). Peritonitis tersier, terjadi pada pasien kritis dan infeksinya keras serta berulang paling lambat sekitar 48 jam setelah bentuknya menyerupai penanganan pada peritonitis primer atau sekunder.

Peritonitis primer, berkembang pada 25 % pasien yang mempunyai sirosis alkohol. Pasien ini melakukan rawat jalan terus menerus setiap 2 tahun. Peritonitis sekunder mungkin disebabkan oleh perforasi dari peptic ulcer, perforasi traumatik perut, usus besar dan usus kecil, uterus, atau saluran urin; radang usus buntu; pancreatitis; diverculitis; infark usus; inflamasi usus; kolesisitis; kontaminasi operatif dari peritoneum; atau penyakit saluran kelamin pada wanita seperti aborsii, pasca operasi infeksi uterin, endometritis, atau salpingitis. Radang usus buntu adalah salah satu penyakit yang terkenal disebabkan oleh infeksi didalam perut. Pada tahun 1998, 278.000 pemeriksaan usus buntu dilakukan pada suspek penderita radang usus buntu di United States

Peritonitis primer pada orang dewasa, umumnya terjadi pada orang-orang yang memiliki sirosis alkohol, terutama yang berada pada tahap akhir, atau dengan ascites yang disebabkan oleh sirosis postnecrosis, hepatitis kronik aktif, hepatitis viral akut, gagal jantung kongestif, keganasan, lupus erithematosus sistemik, dan sindrom nefrotik. Hal ini juga merupakan hasil dari penggunaan peritonial catheter untuk dialisis dengan gagal ginjal atau CNS ventriculoperitoneal yang mendorong terjadinya hidrosefalus.

Adanya abses (bengkak) adalah efek dari inflamasi kronik dan mungkin ada tanpa peritonitis awal pada umumnya, mungkin berada dalam rongga

peritoneum atau organ dalam dan mungkin berbeda dalam hal ukuran, membutuhkan beberapa minggu hingga tahunan untuk terbentuk.

Penyebab dari abses intraabdominal meliputi mereka yang mengalamai peritonitis dan faktanya, mungkin abses ini muncul berurutan atau secara serentak. Radang usus buntu merupakan penyakit yang sering diakibatkan oleh adanya abses.

PATOFISIOLOGI

Infeksi intraabdominal diakibatkan dari bakteri yang masuk ke peritoneum atau ruang retroperitoneum atau penumpukkan bakteri di sekitar organ intraabdominal. Pada peritonitis umumnya, bakteri dapat memasuki abdomen melalui aliran darah atau sistem limfe dengan transmigrasi melewati dinding bowel, lewat kateter dialisis yang masuk ke dalam peritoneum, atau lewat tuba falopii pada wanita. Bakteri dalam darah menyebar (melalui aliran darah) lebih banyak terjadi pada peritonitis tubercolosis atau peritonitis terkait asites sirosis. Jika peritonitis diakibatkan dialisis peritoneum, mikroba pada permukaan kulit akan masuk melalui kateter ke dalam peritoneum. Pada peritonitis lanjut, bakteri lebih sering memasuki peritonium atau retroperitonium sebagai akibat dari pelubangan gastrointestinal atau daerah genital wanita disebabkan oleh penyakit atau luka traumatis.

Jika bakteri yang memasuki abdomen tidak ditangani oleh mekanisme pertahanan selular atau humoral, penyebaran bakteri dapat terjadi pada seluruh rongga peritoneal, mengakibatkan peritonitis. Ini biasanya dibantu dengan adanya benda asing, hematoma, jaringan nekrosis, inokulum bakteri yang banyak, kontaminasi bakteri yang terus menerus, dan kontaminasi yang melibatkan campuran organisme yang saling sinergis.

Perubahan cairan dan protein pada abdomen (disebut peruangan ketiga) dapat terjadi sangat hebat hingga volume aliran darah berkurang, yang menyebabkan keluaran jantung berkurang dan terjadinya hypovolemic shock. Adanya demam, muntah, atau diare dapat memperparah ketidakseimbangan cairan. Respons refleks simpatis, ditandai dengan berkeringat, tachycardia, dan

vasokonstriksi akan nampak. Pada peritonium yang mengalami peradangan, bakteri dan endotoksin diserap dengan mudah melalui aliran darah (translokasi), dan hal ini dapat menyebabkan septic shock. Bahan asing lain yang ada pada rongga peritoneum berpotensi peritonitis, seperti feses, jaringan mati, barium, mukus, bile, dan darah.

Banyak kejadian infeksi intraabdominal, seperti peritonitis, disebabkan oleh aktivitas sitokin. Peradangan sitokin diakibatkan oleh makrofag dan neutrofil sebagai reaksi terhadap bakteri dan produk bakteri atau terhadap luka jaringan akibat dari sayatan bedah. Sitokin tersebut menghasilkan efek yang luas pada endotelium organ, seperti hati, paru-paru, ginjal, dan jantung. Dengan aktivitas mediator yang tidak terkendali, akan menyebabkan sepsis. Peritonitis dapat menyebabkan kematian karena pengaruhnya pada sistem organ utama.

Abses terjadi jika kontaminasinya setempat tetapi penyembuhannya tidak tuntas. Lokasi abses sering berhubungan dengan tempat penyakit utama. Sebagai contoh, abses yang terjadi akibat apendisitis cenderung muncul di kuadran kanan bawah atau pelvis, yang terjadi akibat diverticulitis cenderung muncul di kuadran kiri bawah atau pelvis. Abses dewasa dapat menumbuhkan kapsul fibril yang mengisolasi bakteri dan cairan intinya dari pertahanan anti mikroba dan sistem imun.

Dalam dokumen 01 INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT (Halaman 125-129)