• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diare pada Wisatawan

Dalam dokumen 01 INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT (Halaman 119-122)

Epidemiologi

Diare pada wisatawan terjadi umumnya ketika pengunjung datang dari negara maju ke negara-negara berkembang. Lebih dari 50 juta orang beresiko untuk menderita diare ini setiap tahun. Diare ini dapat terjadi setelah konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan bakteri, virus, atau parasit.

Bakteri seperti shigella, salmonella, campylobacter, dan E.coli bertanggung jawab untuk 60% sampai 85% dari kasus diare. Norovirus sudah diakui semakin signifikan sebagai penyebab diare ini.

Makanan yang menjadi faktor resiko diantaranya seperti air keran, makanan mentah, makanan laut, buah, dan sayuran, dan makanan yang disimpan tidak baik, terutama gaya prasmanan makanan. Selain itu, konsumsi alkohol lebih dari lima kali per hari telah terbukti menjadi faktor risiko, terutama pada laki-laki. Pendidikan tentang jenis makanan yang harus dihindari selama perjalanan dapat menjadi metode yang efektif.

Patogenesis

Lihat bagian mikroorganisme tertentu bab ini untuk informasi patogenesis.

Pengobatan dan Pemantauan

Tujuan pengobatan adalah menjaga hidrasi dan status fungsional untuk mencegah dari suatu gangguan. Untuk wisatawan dengan kasus diare ringan , ORT sering diperlukan. Namun, antibiotik sangat efektif dalam mengurangi durasi penyakit. Penggunaan trimethoprim - sulfametoksazol jarang dipilih penggunaannya karena perkembangan resistensi di berbagai daerah. Pada umumnya, fluoroquinolon, khususnya levofloxacin (500mg sehari sekali) dan ciprofloxacin (500mg sehari dua kali), merupakan obat pilihan untuk diare. Dapat digunakan kecuali

wisatawan memiliki sakit demam atau tinja berdarah, dalam hal ini diperlukan 3 hari . Alternatif untuk fluoroquinolones harus digunakan di Asia, dimana resistensi tinggi di antara campylobacter. Azitromicyn, sebagai dosis 1000mg tunggal, merupakan alternatif untuk kelas fluorokuinolon. Selain itu, FDA (Food and Durg Administrision) baru-baru ini menyetujui rifaximin untuk pengobatan diare pada wisatawan dengan dosis 200mg sehari tiga kali selama 3 hari. Rifaximin tidak efektif terhadap C. jejuni, dan efikasi belum didokumentasikan terhadap salmonella atau shigella.

Presentasi Klinis dan Diagnosis

Sering mencret

Berhubungan dengan mual dan muntah Sakit perut

Fecal urgency Disentri

Tanda dan gejala yang berkaitan dengan patogen penyebabnya spesifik

Meskipun agen antimotilitas efektif untuk memperpendek durasi penyakit, mereka tidak membasmi mikroorganisme dan tidak boleh digunakan di kasus sedang sampai berat dengan gejala sistemik kecuali dalam kombinasi dengan antibiotik. Kombinasi agen antimotilitas dan antibiotik dapat mengurangi durasi penyakit untuk beberapa jam.

Pendidikan seseorang tentang makanan berisiko tinggi adalah kunci untuk pencegahan diare. Slogan-slogan seperti, merebus makanan atau memasaknya dapat membantu untuk mengingatkan seseorang dari makanan yang mungkin terkontaminasi. Pencegahan diare seseorang dengan antibiotik efektif tetapi harus dibatasi untuk individu yang memiliki sejarah diare berulang, seseorang tidak mampu untuk membuat perubahan perjalanan, memiliki faktor predisposisi untuk diare, seperti achlorhydria, gastrektomi,atau penyakit usus imflammatory atau imunosupresi.

Penggunaan antibiotik untuk pencegahan tidak banyak direkomendasikan karena dapat menyebabkan pengembangan resistensi, dan efek buruk pada flora normal saluran pencernaan. Fluoroquinolones dapat digunakan ketika pencegahan. Namun, rifaximin dapat mewakili pilihan ideal untuk pencegahan diare. Dengan hampir tidak ada penyerapan sistemik dan profil keamanan yang baik, meskipun tidak disetujui oleh FDA dalam indikasi ini. Bismuth subsalicylate 525mg 1-4 kali sehari juga efektif untuk pencegahan diare. Tidak ada vaksin yang efektif ada untuk diare.

Diare Yang Diakibatkan Oleh Clostridium Difficile Atau CDAD (Clostridium Difficile Associated Diarrhea)

Epidemiologi

C. difficile merupakan penyabab utama infeksi nosokomial enterik. Racun dari C. Difficile dapat ditemukan dalam feces dari 15% sampai 25% dari pasien yang menggunakan antibiotik associated diarrhea (AAD), dan lebih dari 95% pasien dengan pseudomembran kolitis. Lebih dari 90% perawatan kesehatan terkait CDAD terjadi setelah atau ketika terapi antimikroba. ❺ Clindamycin, sefalosforin, dan penicillin merupakan antibiotik yang terkait dengan CDAD tetapi hampir semua agen antimikroba menyebabkan CDAD kecuali golongan aminiglikosida. Studi terbaru menunjukkan bahwa floroquinolon sangat berhubungan dengan CDAD. Faktor resiko terkait CDAD meliputi bertambahnya usia, pemakaian NGT (Naso Gastric Tube), prosedur GI nonsurgical, pengobatan antiulcer, berada di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama, penggunaan antibiotik jangka panjang, dan penggunaan beberapa antibiotik. terbentuknya komunitas asosiasi terhadap infeksi oleh C. Difficile meningkat bermula ketika ada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit pada beberapa tahun sebelum didiagnosis. Selain penggunaan antibiotik yang terkait dengan kasus C.Difficile terkait juga dengan penggunaan agen penekan asam lambung (misalnya pompa proton inhibitor dan antagonis reseptor H2).

C. Difficile tersebar melalui rute fecal-oral, dan penularan dari satu pasien ke pasien lain.

Patogenesis

C. difficile adalah bakteri gram positif, membentuk spora anaerob. Merupakan organisme yang berada di pencernaan yaitu di usus baik secara vegetatif atau spora. Yang dapat bertahan untuk waktu yang lama dilingkungan.

Presentasi Klinis dan Diagnosis

Gejalanya dapat bermula sejak hari pertama terapi antimikroba atau beberapa minggu setelah terapi antibiotik selesai.

Diare ( Diare akut dengan gejala nyeri perut bagian bawah, demam, dan leukositosis ringan atau tidak ada leukositosis).

Mild, dengan hanya 3 atau 4 kotoran berair/hari Adanya racun yang dikeluarkan oleh C. Difficile

dalam feces tetapi pemeriksaan sigmoidoscopic normal

Colitis

Diare cair dengan adanya gerakan peristaltik usus 5 sampai 15 kali perhari, sakit dibagian perut, abdominal distention, mual dan anorexia.

Sakit pada bagian bawah perut sebelah kiri dan kanan disertai kram

Dehidrasi dan demam ringan

Pemeriksaan sigmoidoscopic mungkin memperlihatkan difusi non spesifik/kolitis erithema tanpa pseudomembran.

Kolitis Pseudomembran , gejala sama seperti colitis tetapi pemeriksaan secara sigmoioscopic yang menyatakan karakteristik membran dengan adanya plak kuning atau putih pada usus distal.

Racun usus besar, sebuah dilatasi akut dari usus dengan diameter lebih besar dari 6cm terkait adanya toksisitas sitemik dan tidak adanya obstruksi mekanik, hal ini menyebabkan tingkat kematian yang tinggi.

Fulminat colitis, merupakan abdomen akut dengan gejala sistemik seperti demam, takikardia, dehidrasi dan hipotensi, beberapa pasien dengan tanda leukocytosis yang mencapai 40.000 sel darah putih/mm3, biasanya terjadi diare tetapi tidak untuk pasien dengan paralitik ileus dan megakolon toksis. Kekambuhan colitis, akibat faktor resiko seperti bertambahnya usia, operasi, peningkatan diare oleh sejumlah bakteri C. Difficile, dan leukositosis. 12% sampai 24% pasien berkembang CDAD ke 2

dalam waktu 2bulan pada pemeriksaan pertama. Dalam kebanyakan kasus pengujian racun dari C.

Difficile dari spesimen feces yang efektif membenarkan diagnosis. berbagai KIT ELISA tersedia untuk mendeteksi adanya toksin A atau toksin B, pengujian berulang dapat meningkatkan sensitivitas.

Leukocytosis, hipoalbuminemia, dan fecal leukocytes merupakan non spesifik tetapi sugestif untuk infeksi C. Difficile.

Dalam pasien tertentu Sigmoidoscopy, colonoscopy atau abdominal compiuted tomographic (CT) scan dapat memberikan informasi diagnostik yang berguna

Pengobatan dan Pemantauan

Menghentikan penggunaan antibiotik adalah langkah yang paling penting dalam pengobatan awal CDAD. Bila terapi menghentikan antibiotik tidak efektif atau tidak berguna, terapi antimikroba ditujukan langsung secara spesifik melawan C.difficile harus diberikan selama 10 hari. Metronidazol oral (500 mg sehari 3 kali atau 250 mg sehari 4 kali) dan vancomycin oral (125 mg sehari 4 kali) mempunyai efikasi yang mirip, tapi metronidazol dianggap pilihan obat untuk berbagai kasus dan juga karena harganya dan perhatian mengenai enterokokus yang resisten terhadap vankomisin.

Penyakit berat didenifisikan sebagai datangnya komplikasi radang usus besar, seperti sepsis, volume deplesi, ketidaksemimbangan elektrolit, hipotensi, lumpuh, keracunan usus yang membesar. Pasien dengan tanda penyakit berat sebaiknya menerima vankomisin oral sebagai terapi awal. Intervensi bedah dapat diindikasikan dan menyelamatkan nyawa, terutama dalam kasus komplikasi oleh racun usus yang membesar atau lubang pada usus besar.

Dalam situasi dimana terapi oral tidak bisa diberikan, intravena metronidazol (500mg setiap 4-8 jam), atau enema retensi vankomisin (500mg setiap 4-8 jam), atau vankomisin melalui catheter usus sebaiknya disiapkan. Agen antiperistaltik sebaiknya tidak diberikan karena pemakaian agen-agen ini dikaitkan dengan perkembangan racun megakolon.

Respon terapi sebaiknya berdasar pada tanda dan gejala klinis. Uji ulang toksin sebagai test penyembuhan tidak direkomendasikan karena

beberapa pasien mungkin tetap diserang oragnisme ini pada saat pemulihan. Penyembuhan pada pasien yang diserang asimtomatik tidak direkomendasikan sebagai pengukuran kontrol infeksi. Kambuhnya penyakit ditandai kembalinya gejala pada 3 hingga 21 hari sesudah berhenti menggunakan metronidazol atau vankomisin. Resisten antibiotik bukan merupakan faktor kembalinya penyakit, sebagian besar kembalinya penyakit biasanya respon ke jalan lain vankomisin ataupun metronidazol. Mencuci tangan dan pencegahan isolasi adalah kunci untuk mengkontrol C. difficile.

INFEKSI PARASIT

Dalam dokumen 01 INFEKSI SISTEM SARAF PUSAT (Halaman 119-122)