Asuhan Keperawatan pada Tn.G dengan Prioritas Masalah Gangguan Kebutuhan Dasar Rasa Aman dan Nyaman:
Nyeri di Kelurahan Sari Rejo Medan Polonia
Karya Tulis Ilmiah (KTI)
Disusun dalam Rangka Menyelesaikan Program Studi DIII Keperawatan
Oleh
Martina Roganda Sihombing 142500013
PROGRAM STUDI DIII
KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan kasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Tn.G dengan Prioritas Masalah Gangguan Kebutuhan Dasar Rasa Aman dan Nyaman: Nyeri di Lingkungan 1 Kelurahan Sari Rejo Medan Polonia“ yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi DIII Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.
Karya Tulis Ilmiah ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Setiawan, S.Kp, MNS, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Sri Eka Wahyuni, S.Kp, Ns, M.Kep selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
3. Cholina T. Siregar, S.Kep, Ns, M.Kep, Sp.KMB selaku Wakil Dekan II serta Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing TA yang telah memberikan bimbingan dan meluangkan waktu serta pikiran dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
4. Dr. Siti Saidah Nasution, S.Kp, M.Kep, Sp.Mat selaku Wakil Dekan III Fakultas Keperawatan Sumatera Utara Medan.
5. Mahnum Lailan Nasution, S.Kep, Ns, M.Kep selaku ketua Prodi DIII Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
6. Nur Asnah Sitohang, S.Kep, Ns, M.Kep selaku Dosen Penguji Karya Tulis Ilmiah ini.
7. Terhormat kedua orang tua tercinta Maradu Sihombing dan Murnida Sianipar dalam segala moril maupun material dan dukungan dengan penuh kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
8. Sahabatku, dan teman teman satu bimbingan saya di program studi Keperawatan stambuk 2014 yang telah memberi motivasi dan semangat selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
9. Teman teman mahasiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera
Utara Medan di program studi DIII Keperawatan Stambuk 2014 yang telah berpartisipasi dan mendukung selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini jauh dari kesempurnaan baik isi maupun susunannya, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak untuk kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini. Semoga segenap bantuan, bimbingan, dan arahan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Tuhan. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan profesi keperawatan.
Medan, Agustus 2017
Martina Roganda Sihombing
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ...i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan ... 4
C. Manfaat ... 4
BAB II PENGELOLAAN KASUS A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Masalah Gangguan Kebutuhan Dasar Rasa Nyaman (Nyeri) ... 6
1. Pengkajian ... 13
2. Analisa Data ... 19
3. Rumusan Masalah ... 20
4. Perencanaan ... 21
B. Asuhan Keperawatan Kasus ... 27
1. Pengkajian ... 27
2. Analisis Data ... 35
3. Rumusan Masalah ... 38
4. Perencanaan ... 39
5. Implementasi dan Evaluasi ... 43
BAB III Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan ... 46
B. Saran ... 47
Daftar Pustaka ... 48 Lampiran
Lampiran 1: Catatan Perkembangan Lampiran 2: Lembar Konsultasi
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kenyamanan dan perasaan nyaman adalah penilaian komprehensif seseorang terhadap lingkungannya. Manusia menilai kondisi lingkungan berdasarkan rangsangan yang masuk ke dalam dirinya melalui keenam indera melalui syaraf dan dicerna oleh otak untuk dinilai. Dalam hal ini yang terlibat tidak hanya masalah fisik biologis, namun juga perasaan. Suara, cahaya, bau, suhu dan lain-lain rangsangan ditangkap sekaligus, lalu diolah oleh otak. Kemudian otak akan memberikan penilaian relatif apakah kondisi itu nyaman atau tidak. Ketidaknyamanan di satu faktor dapat ditutupi oleh faktor lain (Satwiko, 2009).
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tertentu yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya stimulus atau rangsangan.Stimulus tersebut dapat berupa zat kimia seperti histamine, bradikinin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi. Stimulus tersebut dapat berupa termal, listrik, atau mekanis (Hidayat, 2012).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan rudapaksa. Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing-masing manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh, namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau persendian pergelangan kaki.
Pada beberapa rumah sakit kejadian fraktur cruris biasanya banyak terjadi oleh karena itu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan trauma musculoskeletal pada fraktur crurisakan semakin besar sehingga di perlukan pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan patofisiologi tulang normal dan kelainan yang terjadi pada pasien dengan fraktur cruris.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Tingkat kecelakaan transportasi jalan di kawasan Asia Pasifik memberikan kontribusi sebesar 44% dari total kecelakaan di dunia, yang didalamnya termasuk Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI tahun 2013 didapatkan data kecenderungan peningkatan proporsi cedera transportasi darat (sepeda motor dan darat lain) dari 25,9%
pada tahun 2007 menjadi 47,7%.
Diperkirakan bahwa di Eropa179.000 pria dan 611.000 wanita mengalami fraktur panggul setiap tahunnya. Di Negara Swiss pada tahun 2000, sebanyak 62.535 orang dirawat di rumah sakit karena patah tulang diantaranya 57% perempuan dan 43%
laki-laki. Di negara Cina, penyakit osteoporosis mempengaruhi hampir 70 juta penduduk berusia di atas 50 tahun dan menyebabkan 687.000 patah tulang panggul setiap tahunnya. Di Selandia Baru, pada tahun 2007 terdapat sekitar 84.000 kasus patah tulang karena osteoporosis dengan 60% kasus terjadi pada wanita. Kejadian terjatuh dan fraktur pada manula merupakan persoalan penting kesehatan masyarakat yang terus meningkat dan dialami oleh 150.000-200.000 orang setiap tahun di Inggris, diantara jumlah tersebut ditemukan sebanyak 60.000 kasus fraktur panggul.
Di Indonesia sendiri, khususnya di kota Medan tingkat kecelakaan lalu lintas pada pengguna sepeda motor ini sering terjadi, itu karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat kota Medan tentang keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya, seperti penggunaan helm yang berfungsi untuk melindungi kepala, kecepatan sewaktu mengemudi, dan rendahnya kesadaran tentang beretika lalu lintas.
Sehingga fraktur maksilofasial ini tetap menjadi masalah klinis yang serius karena letak anatominya yang spesifik. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kepala merupakan daerah tempat organ – organ penting seperti otak dan pusat persyarafan. Sehingga fraktur maksilofasial ini mewakili permasalahan terbesar bagi pelayanan kesehatan umum diseluruh belahan dunia karena tingginya insidens dan kerugian finansial yang ditimbulkan dari fraktur maksilofasial ini. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui insidensi fraktur maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor di kota Medan, khusunya di RSU. Universitas Sumatera Utara Medan.
Meskipun pasien yang mengalami fraktur biasanya segera mendapatkan penanganan tetapi pada beberapa kasus post fraktur, pasien sering mengalami keterlambatan pergerakan karena adanya kelemahan otot dan keterbatasan rentang gerak (Purwanti, 2003). Dalam hal ini, peran fisioterapis dibutuhkan untuk membantu pemulihan pasien pasca fraktur, sesuai dengan keputusan menteri kesehatan Republik Indenesia nomor 376/MENKES/SK/III/2007 bahwa fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik,elektroterapeutik dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.
Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing- masing manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh,. namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Mansjoer, 2008).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah agar mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan masalah Rasa Nyaman Nyeri (Nyeri) dimulai dari pengkajian, merumuskan diagnosa, merencanakan intervensi keperawatan, melakukan implementasi, hingga melakukan evaluasi sebagai proses penilaian keberhasilan perawatan, dan mampu mendokumentasi setiap asuhan keperawatan yang telah diberikan.
2. Tujuan Khusus
1) Mampu melakukan pengkajian pada Tn.G dengan masalah dasar Rasa Nyaman Nyeri (Nyeri).
2) Mampu melakukan diagnose keperawatan pada Tn.G dengan masalah dasar Rasa Nyaman Nyeri (Nyeri).
3) Mampu menyusun asuhan keperawatan pada Tn.G dengan masalah kebutuhan dasar Rasa Nyaman Nyeri (Nyeri).
4) Mampu melakukan implementasi pada Tn.G dengan masalah kebutuhan dasar Rasa Nyaman Nyeri (Nyeri).
5) Mampu melakukan evaluasi pada Tn.G dengan masalah kebutuhan dasar rasa Nyaman Nyeri (Nyeri).
C. Manfaat 1. Bagi Klien
Meningkatkan pengetahuan klien untuk mengaplikasikan hasil laporan asuhan keperawatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien mengenai nyeri.
2. Bagi Pendidikan Keperawatan
Menjadi bahan bacaan bagi mahasiswa keperawatan serta menambah wawasan dalam memahami penerapan langkah-langkah asuhan keperawatan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan khususnya bagi pasien dengan masalah rasa nyaman nyeri.
3. Bagi Penulis
Menambah pengalaman dan pengetahuan dalam penerapan ilmu yang didapat selama pendidikan.
4. Bagi Praktik Keperawatan
Hasil laporan asuhan keperawatan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perawat mengenai nyeri.
PENGELOLAAN KASUS
A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Dengan Masalah Gangguan Rasa Nyaman Nyeri (Nyeri)
2.1 Kebutuhan Dasar Rasa Nyaman
Setiap individu membutuhkan rasa nyaman. Kebutuhan rasa nyaman ini dipersepsikan berbeda pada tiap orang. Ada yang mempersepsikan bahwa hidup terasa nyaman bila mempunyai banyak uang. Ada juga yang indikatornya bila tidak ada gangguan dalam hidupnya. Dalam konteks asuhan keperawatan ini, maka perawat harus memperhatikan dan memenuhi rasa nyaman. Gangguan rasa nyaman yang dialami klien diatasi oleh perawat melalui intervensi keperawatan (Asmadi,, 2008).
Konsep Kenyamanan memiliki subjektivitas yang sama dengan nyeri.Setiap individu memiliki karakteristik fisiologis, sosial, spiritual, psikologis, dan kebudayaan yang mempengaruhi cara merekan menginterpretasi dan merasa nyeri dan merasakan nyeri. Kolcaba (1992) mendefenisikan kenyaman dengan carayang konsisten pada pengalaman sunjektif klien. Kolcaba mendefenisika kenyamanan sebagai suatu keadaan telah terpenuhi kebutuhan dasar manusia.Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan ketentaraman (Suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari) kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi), dan teransenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah atau nyeri).
Konsep keselamatan dan keamanan terkait dengan kemampuan seseorang dalam menghindari bahaya, yang ditentuakan oleh pengetahuan dan kesadaran serta motivasi orang tersebut untuk melakukan tindakan pencegahan. Ada tiga faktor penting yang terkait dengan keselamatan dan keamanan, yaitu tingkat pengetahuan dan kesadaran individu, kemampuan fisik dan mental dalam memperaktikkan upaya pencegahan, serta lingkungan fisik yang membahayakan atau berpotensi menimbulkan bahaya (Roper, 2002).
2.2 Nyeri
a. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. (Hidayat, 2009)
Menurut Kozier & Erb (1983), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka. Nyeri diperkenalkan sebagai suatu pengalaman emosional yang penatalaksanaannya tidak hanya pada pengelolaan fisik semata, namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk mengatasi nyeri (Tamsuri,2012).
The International Association for the Study of Pain (IASP,1979 dikutip dari Potter & Perry, 2006), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan.
Perasaan yang tidak nyaman tersebut sangat bersifat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak & Chayatin, 2007).
b. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berfungsi sebagai reseptor adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis nosiseptor ini ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatik) dan pada daerah viseral. Karna letaknya yang berbeda inilah nyeri yang timbul memiliki sensasi yang berbeda-beda (Tamsuri,2012).
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan penyangga lainnya, karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit untuk dilokalisasi. Reseptor ketiga yaitu reseptor visceral, yaitu reseptor yang meliputi organ-organ visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul biasanya difus (terus-menerus), dan tidak sensitif terhadap pemotongan organ tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. Nyeri visceral dapat menyebabkab nyeri alih (reffered pain) yaitu nyeri yang dapat timbul pada daerah yang berbeda/jauh dari organ asal stimulus nyeri tersebut. Keadaan ini terjadi karena adanya sinaps pada jaringan viseral pada medula spinalis dengan serabut yang berasal dari jaringan subkutan tubuh (Tamsuri, 2012).
c. Klasifikasi Nyeri
Dibagi menjadi dua klasifikasi yakni:
1. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6bulan (A. Aziz Alimul H, 2009). Nyeri ini biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah atau inflamasi. Hampir setiap individu pernah mengalami nyeri ini, seperti saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri otot, nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan dan yang lainnya (Sigit Prasetyo, 2010).
2. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan (A. Aziz Alimul H, 2009).
Tabel 2.1 Karakteristik Nyeri Akut dan Kronis
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Tujuan Memperingatkan klien
terhadap adanya cedera/masalah
Memberikan alasan pada klien untuk mencari informasi berkaitan dengan perawatan dirinya
Serangan Mendadak Terus menerus/
intermittent
Durasi Durasi singkat (dari Durasi lama
beberapa detik sampai 6bulan)
(6bulan/lebih)
Intensitas Ringan sasmpai berat Ringan sampai berat
Respon otonom Frekuensi jantung
meningkat
Tekanan darah
meningkat
Dilatasi pupil meningkat Tegangan otot meningkat
Tidak terdapat respon otonom
Vital sign dalam batas normal
Respon psikologis Ansietas (kecemasan) Depersi Keputusasaan Mudah
tersinggung/marah Menarik diri Respon fisik/perilaku Menangis/mengerang
Waspada
Mengerutkan dahi Menyeringai Mengeluh sakit
Keterbatasan gerak Kelesuan
Kelelahan/kelemahan Mengeluh sakit hanya ketikadikaji/ ditanyakan Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, arthritis
e. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
1. Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan dalam mengucapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada kedua orangtuanya atau pada perawat. Pada pasien lansia seorang perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri. Seringkali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu (Prasetyo, 2010).
2. Jenis Kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya menganggap bahwa anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika merasakan nyeri (Prasetyo, 2010).
3. Kebudayaan
Perawat seringkali beramsumsi bahwa cara berespon pada setiap individu dalam masalah nyeri adalah sama, sehingga mereka mencoba mengira bagaimana pasien berespon terhadap nyeri. Sebagai contoh, apabila seorang perawat yakin bahwa menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan dalam mengontrol nyeri, akibatnya pemberian therapy bisa jadi tidak cocok untuk klien berkebangsaan Meksiko – Amerika. Seseorang klien berkebangsaan Meksiko – Amerika yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau mengharapkan perawat melakukan intervensi (calvillo dan flaskerud) (Prasetyo, 2010).
4. Makna nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Seorang wanita merasakan nyeri saat bersalin akan mempersepsikan nyeri secara berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri karena dipukul oleh suaminya (Prasetyo, 2010).
5. Lokasi dan tingkat keparahan nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar dan lain-lain, sebagai contoh individu yang tertusuk jarum akan melaporkan nyeri yang berbeda dengan individu yang terkena luka bakar (Prasetyo, 2010).
6. Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri.
Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan meningkatkan respon nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan penurunan respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery), dan masase (Prasetyo, 2010).
7. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang dirasakan seseorang sering kali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas (Prasetyo, 2010).
8. Keletihan
Keletihan / kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu (Prasetyo, 2010).
9. Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa yang mendatang (Prasetyo, 2010).
10. Dukungan keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain atau teman terdekat. Walaupun nyeri masih dirasakan oleh klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian dan ketakutan (Prasetyo, 2010).
2.3 Gangguan Rasa Nyaman (Nyeri) Pada Fraktur
Nyeri yang terjadi pada fraktur merupakan salah satu manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh fraktur. Kerusakan jaringan dan pergeseran fragmen tulang merupakan salah satu penyebab timbulnya rasa nyeri pada fraktur (Brunner, 2005). Sjamsuhidajat (2005), mengatakan bahwa
nyeri yang timbul pada fraktur dapat bersumber dari penatalaksaan terhadap fraktur tersebut. Rasa nyeri bisa timbul hampir pada setiap area fraktur. Bila tidak diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan yang akan menggangu proses penyembuhan dan dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas, untuk itu perlu penanganan yang lebih efektif untuk meminimalkan nyeri yang dialami oleh pasien. Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi. Salah satu cara untuk menurunkan nyeri pada pasien fraktur secara non farmakologi adalah diberikan kompres dingin pada area nyeri. Perawat harus yakin bahwa tindakan mengatasi nyeri dengan kompres dingin dilakukan dengan cara yang aman (Potter & Perry, 2006).
1. PENGKAJIAN
Pengkajian nyeri yang factual (terkini), lengkap dan akurat akan memudahkan perawat didalam menetapkan data dasar, dalam menegakkan diagnose keperawatan yang tepat, merencanakan terapi pengobatan yang cocok, dan memudahkan perawat dalam mengevaluasi respon klien terhadap terapi yang diberikan, dan cocok untuk mengevaluasi respon klien terhadap terapi. Penting untuk menginterpretasikan secara cermat tanda – tanda nyeri dan untuk mengingat bahwa komponen fisik dan psikologis dari suatu nyeri mempengaruhi reaksi klien terhadap nyeri (Potter &
Perry, 2006).
Tindakan perawat yang perlu dilakukan dalam mengkaji pasien selama nyeri akut adalah :
A. Mengkaji perasaan klien (respon psikologis yang muncul).
B. Menetapkan respon fisiologis klien terhadap nyeri dan lokasi nyeri.
C. Mengkaji tingkat keparahan dan kualitas nyeri.
Pengkajian selama episode nyeri akut sebaiknya tidak dilakukan saat klien dalam keadaan waspada (perhatian penuh pada nyeri), sebaiknya perawat berusaha untuk mengurangi kecemasan klien terlebih dahulu sebelum mencoba mengkaji kuantitas persepsi klien terhadap nyeri. Untuk pasien yang mengalami nyeri kronis maka pengkajian yang lebih baik adalah dengan memfokuskan pengkajian pada dimensi perilaku, afektif, kognitif (NIH, 1989; McGuire, 1992) (Prasetyo, 2010).
Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan seorang perawat di dalam memulai mengkaji respon nyeri yang dialami oleh klien. Donovan & Girton (1984) mendefenisikan komponen-komponen tersebut, diantaranya (Prasetyo, 2010) :
A. Penentuan ada tidaknya nyeri
Dalam menentukan pengkajian terhadap nyeri pada pasien post operasi sesar , perawat harus mempercayai ketika pasien melaporkan adanya nyeri luka post operasi sesar pada bagian abdomen, walaupun dalam observasi perawat tidak menemukan adanya cedera atau luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh klien adalah nyata. Sebaliknya, ada beberapa pasien yang terkadang justru menyembunyikan rasa nyerinya untuk menghindari pengobatan.
B. Karakteristik nyeri (Metode P, Q, R, S, T) i. Faktor Pencetus (P: Provocate)
Perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus nyeri pada klien, dalam hal ini perawat juga dapat melakukan observasi bagian-bagian tubuh yang mengalami cedera. Apabila perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat harus dapat mengeksplore perasaan klien dan menanyakan perasaan-perasaan apa yang dapat mencetuskan nyeri.
ii. Kualitas (Q: Quality)
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan nyeri dengan kalimat- kalimat: tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih, perih, tertusuk dan lain-lain, dimana tiap-tiap klirn mungkin berbeda-beda dalam melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan.
iii. Lokasi (R: Region)
Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta klien untuk menunjukkan semua bagian / daerah yang dirasakan tidak nyaman oleh klien. Untuk melokasasi nyeri lebih spesifik, maka perawat dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri dari titik yang paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit apabila nyeri yang dirasakan bersifat difus (menyebar).
iv. Keparahan (S: Severe)
Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik yang paling subjektif. Pada pengkajian ini klien diminta untuk menggambarkan nyeri yang ia raasakaan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang atau berat.
1. Skala Deskrptif Verbal:
Salah satu alat ukur tingkat keparahan yang lebih bersifat objektif. Skala deskriptif verbal ini merupakan sebuah graris yang terdiri dari beberapa kalimat pendeskripsi yang tersusun dalam jarak yang sama sepanjang garis. Kalimat pendeskripsi ini diranking dari tidak ada nyeri sampai nyeri paling hebat. Perawat menunjukkan skala tersebut pada klien dan meminta untuk menunjukkan intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan (Prasetyo, 2010).
Tidak ada Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri paling nyeri ringan sedang hebat sangat hebat
2. Skala Numerik (Numerical Rating Scale,NRS):
Digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan skala 0 sampai 10. Angka 0 diartikan kondisi klien tidak merasakan nyeri, angka 10 mengindikasikan nyeri paling berat yang dirasakan klien. Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intensutas nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik. Sebagai contoh: pada hari pertama post operasi klien menyatakan skala nyeri yang ia rasakan pada angka 8, kemudian hari kedua post operasi saat dilakukan pengkajian klien melaporkan adanya penurunan nyeri yang ia rasakan pada angka 4 (Prasetyo, 2010).
3. Skala Analog Visual:
Skala ini memberikan kebebasan penuh pada pasien untuk mengidentifikasikan tingkat keparahan nyeri yang ia rasakan.
Skala analog visual merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (McGuire, 1984)(Prasetyo, 2010).
4. Skala Oucher
Untuk mengukur skala intensitas nyeri pada anak-anak dikembangkan alat yang dinamakan ”oucher”. Alat ini terdiri dari dua skala yang terpisah, sebuah skala dengan nilai 0-100 pada sisi sebelah kiri untuk anak-anak yang berusia lebih besar dan skala fotografik enam gambar pada sisi sebelah kanan yang digunakan padaa anak-anak yang lebih kecil. Seorang anak diminta untuk menunjukkan sejumlah pilihan gambar untuk mendeskripsikan nyerinya.
5. Skala Wong dan Baker
Wong dan Baker (1988) juga mengembangkan skala wajah untuk mendeskripsikan nyeri pada anak-anak. Skala tersebut terdiri dari 6wajah profil kartun yang menggambarkan wajah tersenyum (bebas dari rasa nyaman nyeri) kemudian bertahap menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih dan wajah yang sangat ketakutan (nyeri yang sangat). Anak-anak berusia tiga tahun dapat menggunakan skala tersebut.
C. Durasi (T:Time)
Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan, durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat dapat menanyakan: “ Kapan nyeri mulai dirasakan?” ,
“Sudah berapa lama nyeri dirasakan?” , “Apakah nyeri yang diraasakan terjadi pada waktu yang sama setiap hari?” , “Seberapa sering nyeri kambuh?” atau dengan kata-kata lain yang lebih bermakna.
D. Respon Fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinallis menuju ke batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan
respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus , berat , dalam dan melibatkan organ-organ visceral (misal infark miokard, kolik akibat kandung empedu, atau batu ginjal) maka sistem saraf simpatis menghasilkan suatu reaksi.
E. Respon Perilaku
Respon perilaku yang ditunjukkan klien yang mengalami nyeri bermacam- macam. Perawat perlu belajar dan mengenal berbagai respon perilaku tersebut untuk memudahkan dan membantu dalam mengidentifikasi masalah nyeri yang dirasakan pasien. Respon perilaku terhadap nyeri yang biasa ditunjukkan oleh pasien antara lain: merubah posisi tubuh, mengussap bagian yang sakit, menggertakkan gigi, menunjukkan ekspresi wajah meringis, mengerutkan alis, ekspresi verbal menangis, mengerang, mengaduh, menjerit, meraung (Prasetyo, 2010).
F. Respon Afektif
Respon afektif juga perlu diperhatikan oleh seseorang perawat di dalam melakukan pengkajian terhadap pasien dengan gangguan rasa nyaman nyeri. Ansietas (kecemasan) perlu digali dengan menanyakan pada pasien seperti: “Apakah anda saat ini merasakan cemas?”. Selain itu juga adanya depresi, ketidak tertarikan pada aktivitas fisik dan perilaku menarik diri dari lingkungan perlu diperhatikan (Prasetyo, 2010).
G. Pengaruh nyeri terhadap kehidupan klien
Klien yang merasakan nyeri setiap hari akan mengalami gangguan dalam kegiatan sehari-harinya. Pengkajian pada perubahan aktivitas ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan klien dalam berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari, sehingga perawat juga mengetahui sejauh mana dia dapat membantu dalam program aktivitas pasien. Perubahan-perubahan yang perlu dikaji antara lain: perubahan pola tidur (apakah nyeri menggangu pola tidur klien), pengaruh nyeri pada aktivitas sehari-hari misal: makan, minum, mandi BAK atau BAB, serta perubahan pola interaksi terhadap orang lain (apakah nyeri menggangu dalam berinteraksi terhadap orang disekitarnya).
H. Persepsi klien tentang nyeri
Dalam hal ini perawat perlu mengkaji persepsi klien terhadap nyeri, bagaimana klien menghubungkan antara nyeri yang ia alami dengan proses penyakit atau hal lain dalam diri atau lingkungan disekitarnya.
I. Mekanisme adaptasi klien terhadap nyeri
Terkadang individu memiliki cara masing-masing dalam beradaptasi terhadap nyeri. Perawat dalam hal ini perlu mengkaji cara-cara apa saja yang biasa klien gunakan untuk menurunkan nyeri yang ia alami, mengkaji keefektifan cara tersebut dan apakah bisa digunakan saat klien menjalani perawatan di rumah sakit. Apabila cara tersebut dapat digunakan, perawat dapat memasukkannya dalam rencana tindakan (Prasetyo, 2010).
2. ANALISA DATA
Data dasar adalah kumpulan data yang berisikan mengenai status kesehatan klien, kemampuan klien untuk mengelola kesehatan terhadap dirinya sendiri, dan hasil konsultasi dari medis atau profesi kesehatan lainnya. Data fokus adalah data tentang perubahan- perubahan atau respon klien terhadap kesehatan dan masalah kesehatannya serta hal-hal yang mencakup tindakan yang dilaksanakan terhadap klien (Potter dan Perry, 2005).Pengumpulan data adalah pengumpulan informasi tentang pasien yang dilakukan secara sistematis untuk menentukan masalah-masalah serta kebutuhan- kebutuhan keperawatan dan kesehatan pasien.
Pengumpulan informasi merupakan tahap awal dalam proses keperawatan:
Tujuan pengumpulan data:
1. Memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan klien 2. Untuk menentukan masalah keperawatan dan kesehatan klien 3. Untuk menilai keadaan kesehatan pasien
4.Untuk membuat keputusan yang tepat dalam menentukan langkah-langkah
Tipe Data:
1. Data Subjektif
Data yang didapatkan dari klien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian.Informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh perawat, mencakup
persepsi, perasaan, ide klien terhadap status kesehatannya.Misalnya tentang nyeri, perasaan lemah, ketakutan, kecemasan, frustasi, mual, dan perasaan malu (Potter dan Perry, 2005).
2. Data Objektif
Data yang dapat diobservasi dan diukur, dapat diperoleh menggunakan panca indera (lihat, dengar, cium, raba) selama pemeriksaan fisik.Misalnya frekuensi nadi, pernafasan, tekanan darah, edema, berat badan, tingkat kesadaran (Perry & Potter, 2005).
3. RUMUSAN MASALAH
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kebutuhan dasar rasa nyaman nyeri yaitu :
1. Nyeri berhubungan dengan cedera fisik, terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan, ketidak adekutan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskeletal, tetapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Deficit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi.
Tetapi, berdasarkan pengkajian yang didapatkan dari klien, diagnosa yang diangkat untuk dilakukan asuhan keperawatan secara komprehensif yaitu:
1. Nyeri akut
2. Hambatan mobilitas fisik 3. Defisit perawatan diri 4. PERENCANAAN
Saat mengembangkan rencana perawatan, perawat menyeleksi prioritas berdasarkan tingkat nyeri klien dan efeknya pada kondisi klien.
Untuk nyeri akut dan berat, adalah penting untuk melakukan upaya untuk menghilang kan nyeri sesegera mungkin. Analgesic dapat menghilangkan nyeri dengan cepat dan menurunkan kesempatan nyeri mengalami perburukan. Setelah nyeri yang klien rasakan hilang, perawat merencakanan terapi lain, seperti relaksasi atau aplikasi panas untuk meningkatkan efek analgesic. Rencana yang komprehensif terdiri dari berbagai sumber untuk pengontrolan nyeri. Penting melibatkan keluarga dalam rencana perawatan. Keluarga mungkin perlu memberikan perawatan dirumah. Di keadaan perawatan akut, keluarga harus memahami sifat dan luasnya nyeri klien dan bentuk terapi yang digunakan (Potter & Perry, 2006).
Apabila perawat memberi asuhan keperawatan pada klien yang memahami nyeri, tujuan berorientasi pada klien dapat mencakup hal-hal berikut (Potter & Perry, 2006):
1. Klien menyatakan merasa sehat dan nyaman.
2. Klien mempertahankan kemampuan untuk melakukan perawatan diri.
3. Klien mempertahankan fungsi fisik dan psikologis yang dimiliki saat ini.
4. Klien menjelaskan factor-factor penyebab ia merasa nyeri.
5. Klien menggunakan terapi yang diberikan dirumah dengan aman.
Diagnosa 1. Nyeri akut yang berhubungan dengan cedera fisik pada ekstremitas bawah
Definisi : pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan yang actual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan.
Batasan karakteristik :
1. Gerakan menghindari nyeri 2. Posisi menghindari nyeri
3. Perubahan autonomic dari tonus otot (dapat dalam rentang tidak berenergi sampai laku)
4. Respon – respon autonomic (misalnya: diaphoresis, tekanan darah, pernapasan, atau perubahan nadi, dilatasi pupil)
5. Perubahan nafsu makan
6. Perilaku distrasksi (misalnya: mondar-mandir, mencari orang atau aktivitas lain, aktivitas berulang)
7. Perilaku ekspresif (misalnya: kegelisahan, merintih, menangis, kewaspadaan berlebih, peka terhadap rangsang, dan menarik napas panjang
8. Wajah topeng (nyeri)
9. Perilaku menjaga atau melindungi
10. Focus menyempit (misalnya: perubahan pada persepsi waktu, perubahan proses pikir, pengurangan interaksi dengan orang lain atau lingkungan)
11. Bukti yang dapat diamati (nyeri) 12. Berfokus pada diri sendiri
13. Gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur atau tidak menentu, dan menyeringai)
Factor yang berhubungan :
1. Agen agen yang menyebabkan cedera (misalnya: biologis, kimia, fisik, dan psikologis)
Tujuan :
Nyeri berkurang/hilang Kriteria hasil :
Setelah dilakukan tindakna keperawatan, nyeri akut dapat teratasi dengan kriteria hasil :
Pain control
1. Klien mampu mengontrol nyeri (klien tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi napas dalam untuk mengurangi nyeri) 2. Klien melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggukan teknik
nonfarmakologi napas dalam Pain level
1. Skala nyeri hilang atau ringan (skala 1-3)
2. Ekspresi wajah klien terhadap nyeri : secara obyektif klien tidak mendesis, menyeringai kesakitan
Intervensi :
1. Evaluasi keluhan nyeri atau ketidaknyamanan, perhatikan lokasi, karakteristik nyeri dan kaji tingkat nyeri dengan standar PQRST.
Rasional : Untuk memulihkan pengawasan keefektifan intervensi, tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi atau reaksi terhadap nyeri.
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan.
Rasional : Membatu dalam menghilangkan ansietas.
3. Beri rasa nyaman dengan mempertahankan klien dengan kesejajaran tubuh tetap.
Rasional : Kesejajaran tubuh yang tepat dapat membedakan nyeri, mengurangi ketegangan sendi serta mencegah kontraktur.
4. Ajarkan teknik non farmakologi. Contoh, relaksasi, nafas dalam, imajinasi dan sentuhan terapeutik.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi perifer.
5. Monitor tanda-tanda vital, observasi kondisi umum pasien dan keluhan pasien.
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan kesehatan klien.
6. Pertahankan imobilisasi pada bagian yang sakit.
Rasional : Nyeri dan spasme dikontrol dengan imobilisasi.
7. Kolaborasi dalam pemberian terapi farmakologi sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan nyeri atau spasme otot.
Diagnosa 2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri di bagian ekstremitas bawah
Definisi : keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah.
Batasan Karakteristik : 1. Penurunan waktu reaksi.
2. Kesulitan membolak-nalik posisi tubuh.
3. Dispnea setelah beraktivitas.
4. Perubahan cara berjalan (misalnya, penurunan aktivitas, dan kecepatan berjalan, kesulitan untuk memulai berjalan langkah kecil, berjalan dengan menyeret kaki, pada saat berjalan badan mengayun ke samping).
5. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus.
6. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus.
7. Keterbatasan rentang pergerakan sendi.
8. Ketidakstabilan postur.
9. Pergerakan lambat.
10. Pergerakan tidak terkoordinasi.
Faktor yang berhubungan : 1. Intoleransi aktivitas.
2. Perubahan metabolism selular.
3. Ansietas.
4. Indeks masa tubuh diatas perentil ke-75 sesuai usia.
5. Gangguan kognitif.
6. Konstraktur.
7. Kepercayaan budaya tentang aktivitas sesuai usia.
8. Fisik tidak bugar.
9. Penurunan ketahanan tubuh.
10. Penurunan kendali otot.
11. Penurunan massa otot.
12. Gangguan muskuloskletal.
13. Gangguan neuromuscular.
14. Nyeri.
15. Program pembatasan gerak.
Tujuan :
Pasien dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri.
Kriteria hasil :
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
3. Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling tinggi yang mungkin mempertahankan posisi fungsional, meningkatkan kekuatan atau fungsi yang sakit.
Intervensi :
1. Instruksikan klien untuk memperhatikan kesejajaran tubuh yang besar.
Rasional : Menghindar cedera akibat jatuh.
2. Bantu pasien dalam rentang gerak, latih dan bantu ROM (Range Of Motion) pasif/aktif.
Rasional : Untuk mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas sendi.
3. Hindari menempatkan klien dalam posisi yang meningkatkan rasa sakit.
Rasional : Menurunkan resiko cedera.
4. Anjurkan klien menggunakan postur dan mekanika tubuh yang benar saat melakukan aktivitas.
Rasional : Memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.
Diagnosa 3. Deficit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi/
kelemahan
Definisi : Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/aktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
Batasan Karakteristik :
1. Ketidakmampuan mengakses kamar mandi.
2. Ketidakmampuan mengeringkan tubuh.
3. Ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi.
4. Ketidakmampuan menjangkau sumber air.
5. Ketidakmampuan mengatur air mandi.
6. Ketidakmampuan membasuh tubuh.
Faktor Berhubungan : 1. Gangguan kognitif.
2. Penurunan motivasi.
3. Kendala lingkungan..
4. Ketidakmampuan merasakan bagian tubuh.
5. Ketidakmampuan merasakan hubungan spesial.
6. Gangguan muskuloskletal.
7. Gangguan neuromuscular.
8. Nyeri.
9. Gangguan persepsi.
10. Kelemahan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien ataupun keluarga pasien mampu melakukan tindakan personal hygiene.
Kriteria Hasil :
1. Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
2. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemapuan sendiri.
3. Mempertahankan aktivitas dalam penyediaan mandi.
Intervensi :
1. Monitor kemampuan klien dalam perawatan diri secera mandiri.
Rasional : Membantu dalam merencakan pemenuhan secara individual.
2. Pantau kebutuhan klien untuk kebersihan pribadi, berpakaian, toileting, dan makan.
Rasional : Mengarahkan klien dalam kebersihan diri.
3. Dorong klien untuk melakukan aktivitas normal sehari-hari dengan tingkat kemapuan.
Rasional : Membantu dalam mengantisipasi /merencanakan pemenuhan kebutuhan secera individual.
4. Mengarahkan klien dalam kebersihan diri.
Rasional : Meningkatkan perasaan makna diri, meningkatkan kemandirian dan mendorong pasien untuk berusaha secara kontinu.
B. ASUHAN KEPERAWATAN KASUS 1. Pengkajian
PROGRAM DIII KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN USU
FORMAT PENGKAJIAN PASIEN
I. BIODATA
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.G
Jenis kelamin : laki - laki Umur : 28 tahun Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SMK Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jln. Karya Bakti 1 Sari Rejo Medan Golongan darah : O
Tanggal pengkajian : 10 juni 2017
Diagnose Keperawatan : Fraktur Tibia Dan Fibula
II. KELUHAN UTAMA
Klien mengeluh merasakan kesakitan pada kaki sebelah kanan nya akibat fraktur dibagian tibia dan fibula dengan skala nyeri 4.
III. RIWAYAT KESEHATAN SEKARANG A. Provocative/palliative
1. Apa penyebabnya
Klien mengalami nyeri setelah kecelakaan, nyeri karena fraktur cruris.
B. Quantity/Quality 1. Bagaimana dirasakan
Klien mengatakan kaki kanan pasien terasa seperti ditusuk-tusuk disertai sulit untuk bergerak.
2. Bagaimana dilihat
Klien tampak gelisah, meringis kesakitan.
C. Region
1. Dimana lokasinya
Di bagian ekstremitas bawah sebelah kanan.
2. Apakah menyebar
Klien mengatakan nyeri yang dialaminya tidak menyebar.
D. Severity (Mengganggu aktivitas)
Klien mengatakan saat ini pada ekstremitas bawah sebelah kanan tidak bisa digerakkan dan mengalami nyeri dengan skala nyeri 4 dikaji menggunakan skala deskriptif verbal yang mengakibatkan sulit untuk melakukan aktivitas.
E. Time
Klien mengatakan nyeri dirasakan sejak 1 bulan lalu keluar dari rumah sakit dan dirawat dirumah, nyeri timbul tiba-tiba (Nyeri berlangsung 5-10 menit).
IV. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU A. Penyakit yang pernah dialami Klien mengalami asam lambung B. Pengobatan/tindakan yang dilakukan
Klien mengatakan jika asam lambung klien kambuh, klien membeli obat ke warung
C. Pernah dirawat/dioperasi
Klien mengatakan tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya.
D. Lama dirawat
Klien mengatakan tidak pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya.
E. Alergi
Klien mengatakan tidak ada alergi pada makanan/minuman dan obat.
F. Imunisasi
Klien mengatakan bahwa dulu tidak ada dilakukan imunisasi.
V. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Klien mengatakan keluarga yakni orangtua dan saudaranya tidak ada yang mengalami riwayat sakit dan di dalam keluarga klien tidak ada penyakit keturunan. Keluarga klien juga tidak ada yang memiliki riwayat atau mengalami gangguan jiwa.
Genogram:
Keluarga Ayah Keluarga Ibu
Keterangan:
= Klien
VI. RIWAYAT KEADAAN PSIKOSOSIAL A. Persepsi pasien tentang penyakitnya
Klien mengatakan menerima segala kondisinya, dan tetap menjalani keadaannya dan terus berusaha agar bisa sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasanya.
B. Konsep diri 1. Gambaran diri
Klien menerima keadaan yang sekarang, dan tetap semangat untuk dirinya sembuh.
2. Ideal diri
Klien berharap untuk cepat sembuh agar sehingga dapat beraktivitas seperti biasanya, dan dapat kembali berkumpul dengan keluarganya.
3. Harga diri
Klien mengatakan tidak malu dengan keadaannya sekarang ini, karena keluarga selalu memberi semangat untuk menghadapi kondisi yang diderita saat ini.
4. Peran diri
Klien berperan sebagai orang tua.
5. Identitas
Klien berperan sebagai seorang Ayah C. Keadaan emosi
Pasien dapat mengontrol dirinya dengan baik.
D. Hubungan social a. Orang yang berarti
Klien mengatakan istri dan anak-anaknya yang sangat berarti karena istri dan anaknya yang merawatnya sekarang ini dirumah sakit dan yang membantu dalam melakukan aktivitas.
b. Hubungan dengan keluarga
Klien mengatakan dengan hubungannya dengan keluarga baik dan tidak ada yang bermasalah.
c. Hubungan dengan orang lain
Klien mengatakan dengan orang lain juga tidak ada masalah.
d. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
Klien mengatakan tidak ada hambatan dengan orang lain, bahkan orang- orang yang disekitarnya selalu menolong jika pasien minta bantuan.
e. Spiritual
Klien beragama Islam, pasien mengatakan tidak pernah menjalankan ibadah sholat karena ia sedang sakit.
VII. PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan Umum
Keadaan klien compos mentis, klien tampak meringis kesakitan dengan skala nyeri 4.
B. Tanda – Tanda Vital a. Suhu tubuh : 36O C
b. Tekanan darah : 130/80 mmHg
c. Nadi : 80x/menit, denyut kuat, mudah teraba seakan- akan memantul terhadap ujung jari serta tidak mudah hilang : + 3
d. Pernafasan : 20x/menit e. TB : 167 cm f. BB : 63 kg
C. Pemeriksaan Head to toe Kepala
a. Bentuk : Simetris dan bulat
b. Kulit kepala : Berminyak dan berketombe
Rambut
a. Penyebaran dan keadaan rambut : Penyebaran rambut merata berwarna hitam dan putih, keadaan rambut kusam
b. Bau : Rambut berbau
c. Warna kulit : Kuning langsat
Mata
a. Kelengkapan mata : Kedua mata lengkap dan simetris.
b. Palpebra : Tidak ada kelainan, dan tidak ada infeksi.
c. Konjungtiva dan sklera : Konjungtiva anemis, tidak ada kelainan.
Hidung
a. Tulang hidung dan posisi septum nasal : Tulang hidung, septum masih berada posisi normal.
b. Lubang hidung : Simetris dan bersih
Telinga
a. Bentuk telinga : Simetris kiri dan kanan b. Ukuran telinga : Simetris kiri dan kanan
c. Lubang telinga : Ada kotoran dan tidak ada kelainan.
Mulut dan faring
a. Keadaan bibir : Mukosa bibir lembab
b. Keadaan gusi dan gigi : Tampak tidak bersih, gigi terdapat skaries, tidak ada perdarahan pada gusi.
Leher
a. Posisi trachea : Dalam keadaan simetris
b. Thyroid : Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid
c. Suara : Suara jelas
d. Denyut nadi kronis : Teraba dan tidak menonjol
Pemeriksaan integumen
a. Kebersihan : Tampak kurang bersih kedua lengan tangan terdapat lesi
b. Warna : Kecoklatan, sawo matang
c. Turgor : Turgor kulit akan kembali dalam waktu < 2 detik.
d. Kelembaban : Lembab
e. Warna luka : Terdapat lesi berwarna hitam pada lengan tangan
f. Kelainan pada kulit : Tidak ada kelainan g. Aksila dan clavicula : Tidak terdapat benjolan
Pemeriksaan thoraks/dada
a. Inpeksi thoraks : Pergerakan dada simetris b. Pernafasan : 20x/menit
c. Tanda kesulitan bernafas : Tidak ada tanda kesulitan bernafas Pemeriksaan paru
a. Palpasi getaran suara : Tidak dilakukan pemeriksaan b. Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan c. Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler
Pemeriksaan jantung
a. Inspeksi : Tidak dilakukan pemeriksaan b. Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan c. Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan d. Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan muskouloskletal/Ekstremitas
a. Ekstremitas Atas : Simetris kiri dan kanan, tidak ada edema b. Ekstremitas Bawah : Pasien mengalami kelemahan pergerakan
pada ekstremitas bawah sebelah kanan karena memakai gips dikaki sebelah kanan sehingga sulit untuk melakukan aktivitasnya.
Gerakan ROM Pinggul
Gerakan Penjelasan Rentang
Kanan
Rentang Kiri Fleksi Menggerakan tungkai ke depan dan
atas,
10° 100°
Ekstensi Menggerakan kembali ke samping tungkai yang lain,
10° 100°
Hiperekstensi Mengerakan tungkai ke belakang tubuh,
0° 30°
Abduksi Menggerakan tungkai ke samping menjauhi tubuh,
10° 30°
Adduksi Mengerakan tungkai kembali ke posisi
media dan melebihi jika mungkin, 10° 30°
Rotasi dalam Memutar kaki dan tungkai ke arah
tungkai lain, 0° 30°
Rotasi luar Memutar kaki dan tungkai menjauhi
tungkai lain, 0° 90°
Lutut
Gerakan Penjelasan Rentang
Kanan
Rentang Kiri Fleksi Mengerakan tumit ke arah belakang
paha,
20° 120°
Ekstensi Mengembalikan tungkai kelantai, 20° 120°
Mata kaki
Gerakan Penjelasan Rentang
Kanan
Rentang Kiri Dorsifleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari
kaki menekuk ke atas,
10° 30°
Plantarfleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke bawah,
25° 50°
Kaki
Gerakan Penjelasan Rentang
Kanan
Rentang Kiri Inversi Memutar telapak kaki ke samping dalam, 0° 10°
Eversi Memutar telapak kaki ke samping luar, 0° 10°
Jari-Jari Kaki
Gerakan Penjelasan Rentang
Kanan
Rentang Kiri Fleksi Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, 30-60° 40°
Ekstensi Meluruskan jari-jari kaki, 30-60° 50°
Abduksi Menggerakan jari-jari kaki satu dengan yang lain,
5° 15°
Adduksi Merapatkan kembali bersama-sama, 5° 15°
VIII. POLA KEBIASAAN SEHARI-HARI A. Pola makan dan minum
a. Frekuensi makan/hari : 3 kali sehari b. Nafsu/selera makan : Baik.
c. Nyeri ulu hati : Tidak mengalami nyeri ulu hati d. Alergi : Tidak ada alergi pada makanan e. Masalah makan dan minuman: Tidak ada masalah
B. Perawatan diri/personal hygiene
a. Kebersihan tubuh : Tampak kurang bersih, kotor
b. Kebersihan gigi dan mulut : Mulut berbau, gigi kurang bersih, ada karies pada gigi
C. Pola kegiatan/aktivitas
Mandi : Mandi 1 kali sehari dibantu oleh istri klien dan terkadang memerlukan bantuan pada bagian tubuh tertentu (bagian ekstremitas bawah).
Makan : Pasien terkadang masih dibantu untuk makan oleh istrinya
D. Pola eliminasi 1. BAB
a. Pola BAB : 1x/hari
b. Karakteristik feses : Konsistensi semua padat, warna cokelat c. Riwayat perdarahan : Tidak ada riwayat perdarahan
d. Diare : Tidak ada mengalami diare e. Penggunaan laksatif : Tidak ada menggunakan laksatif 2. BAK
a. Pola BAK : 5 kali sehari
b. Karakter urine : Bening, tidak berbau
c. Nyeri/rasa terbakar/kesulitan BAK: Tidak ada mengalami kesulitan d. Penggunaan diuretik : Tidak ada penggunaan diuretik
IX. TERAPI OBAT
No Nama Obat Dosis Fungsi Efek Samping
1 Oral Ranitidin 150mg/24jam Tukak lambung dan
usus 12 jari,
hipersekresi patologik sehubungan dengan syndrome zollinger- Ellison.
Diare, nyeri otot, pusing, timbul ruam pada kulit, malaise, eosinofila, konstipasi, penurunan jumlah sel darah putih, sedikit peningkatan kadar serum kreatinin.
2 Oral Ketorolac 30mg/24jam
Untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat.
Diare, dispepsia, nyeri gastrointestial, sakit kepala, pusing, mengantuk,
berkeringat.
Pasien mengkomsumsi obat oral saat merasakan nyeri timbul, dalam pengobatan dirumah diberikan :
1. Oral Ranitidin 2. Oral Ketorolac
ANALISA DATA
No Data Penyebab Masalah
Keperawatan 1 DS:
Tn. G mengatakan nyeri dibagian kaki kanan bawah.
DO:
1. Klien tampak gelisah, meringis kesakitan.
2. Pada saat di kaji, klien tampak menunjukkan sikap menglindungi diri, khususnya kaki sebelah kanan yang terpasang gips.
P : Nyeri setelah kecelakaan, nyeri karena fraktur cruris.
Q : nyeri dirasa menusuk-nusuk.
R : Nyeri di bagian ekstremitas bawah (tibia dan fibula.
S : Sulit untuk bergerak dengan skala nyeri : 4 (sedang).
T : Nyeri timbul tiba-tiba ( nyeri berlangsung 5-10 menit).
TD : 130/80mmhg HR : 80x/menit R : 20x/menit T : 36O C Terapi obat oral : 1. Oral Ranitidin 2. Oral Ketorolac
Fraktur
Pergeseran fragmen tulang
Merusak jaringan sekitar
Pelepasan mediator nyeri (histamine, prostaglandin , bradikinin, serotonin)
Ditangkap reseptor nyeri perifer
Implus ke otak
Nyeri akut
Persepsi nyeri
Nyeri akut
2 DS:
1. Tn. G mengatakan bahwa kaki sebelah kanan nya belum bisa digerakkan karena masih terpasang gips.
2. Tn. G mengatakan masih takut menggerakkan kaki nya karena jika digerakkan nyeri timbul.
DO:
1. Tampak gips terpasang pada kaki sebelah kanan pasien.
2. Pasien tampak lemah dan takut
3. Pasien dimandikan dengan cara di lap oleh keluarganya (istri).
4. Dalam aktivitas nya pasien tampak dibantu oleh keluarganya..
Fraktur
Pemasangan gips
Immobilisasi
Kelemahan anggota gerak
Keterbatasan gerak
Hambatan mobilitas fisik
Hambatan Mobilitas Fisik
3 DS:
1. Klien belum mampu bergerak bebas
2. Klien mengatakan belum mampu mandi sendiri, dan belum bisa beraktivitas.
DO:
1. Klien mandi 1 kali sehari.
2. Klien mandi dibantu oleh istrinya dengan cara dilap.
3. Gigi tampak kurang bersih, dan ada skaries pada gigi.
4. Rambut tampak kurang bersih, berminyak,
berketombe, dan kusam.
Fraktur
Kelemahan anggota gerak
Deficit
perawatan diri
Deficit perawatan diri
RUMUSAN MASALAH
MASALAH KEPERAWATAN
1. NYERI AKUT
2. HAMBATAN MOBILITAS FISIK 3. DEFISIT PERAWATAN DIRI DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan cedera fisik dibagian kaki sebelah kanan ditandai dengan pasien tampak meringis dan menahan sakit.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri ditandai dengan klien mengatakan takut untuk menggerakkan tubuhnya karena takut nyeri timbul.
3. Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan imobilisasi ditandai dengan klien belum mampu bergerak bebas dan tidak mampu mandi sendiri, sehingga aktivitas mandi dibantu oleh istrinya.
PERENCANAAN KEPERAWATAN Hari/
Tang gal
No DX
Perencanaan Keperawatan
Sabtu 10/06 /2017
1 Tujuan:
Nyeri berkurang/hilang
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri akut dapat teratasi dengan kriteria hasil :
Pain control
1. Klien mampu mengontrol nyeri (klien tahu penyebab nyeri, mampu menggunakn teknik nonfarmakologi napas dalam untuk mengurangi nyeri)
2. Klien melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan teknik nonfarmakologi napas dalam
Pain level
1. Skala nyeri hilang atau ringan (skala 1-3)
2. Ekspresi wajah klien terhadap nyeri : secara obyektif klien tidak mendesis, menyeringai kesakitan
Rencana Tindakan Rasional
1) Evaluasi keluhan nyeri atau ketidaknyamanan,
perhatikan lokasi, karakteristik nyeri dan kaji tingkat nyeri dengan standar PQRST.
2) Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan, 3) Beri rasa nyaman dengan
mempertahankan klien dengan kesejajaran tubuh tetap.
4) Ajarkan teknik non
1. Untuk memulihkan pengawasan keefektifitan intervensi, tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi atau reaksi terhadap nyeri.
2. Membantu dalam menghilangkan ansietas.
3. Kesejajaran tubuh yang tepat dapat membedakan nyeri, mengurangi ketegangan sendi serta mencegah kontraktur.
4. Meningkatkan sirkulasi perifer.
5. Untuk mengetahui perkembangan
farmakologi. Contoh, relaksasi, nafas dalam, imajinasi dan sentuhan terapeutik.
5) Monitor tanda-tanda vital, observasi kondisi umum pasien dan keluhan pasien.
6) Pertahankan imobilisasi pada bagian yang sakit.
7) Kolaborasi dalam pemberian terapi farmakologi sesuai indikasi.
kesehatan klien.
6. Nyeri dan spasme dikontrol dengan imobilisasi.
7. Menurunkan nyeri atau spasme otot.
Sabtu 10/06 /2017
2 Tujuan:
Tn. G dapat melakukan mobilitas fisik secara mandiri.
Kriteria hasil :
1. Klien mampu bergerak secara mandiri
2. Klien mampu mempertahankan keseimbangan tubuh 3. Klien mampu untuk mengubah letak tubuh secara mandiri
Rencana Tindakan Rasional
Positioning (Pengaturan posisi)
1. Instruksikan klien untuk memperhatikan kesejajaran tubuh yang benar.
2. Bantu pasien dalam rentang gerak, latih dan bantu ROM (Range Of Motion) pasif/aktif.
3. Hindari menempatkan klien
dalam posisi yang
meningkatkan rasa sakit.
4. Anjurkan klien menggunakn postur dan mekanika tubuh yang benar saat melakukan
Positioning (Pengaturan posisi)
1. Menghindari cedera akibat jatuh.
2. Untuk mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas sendi.
3. Menurunkan resiko cedera.
4. Memaksimalkan fungsi sendi, mempertahankan mobilitas.
aktivitas.
Sabtu 10/06 /2017
3 Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien ataupun keluarga pasien mampu melakukan tindakan personal hygiene.
Kriteria Hasil :
1. Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
2. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
3. Mempertahankan aktivitas dalam penyediaan mandi.
Rencana Tindakan Rasional
Self care assistance (Bantuan perawatan diri)
1. Monitor kemampuaan klien dalam perawatan diri secara mandiri.
2. Pantau kebutuhan klien untuk kebersihan pribadi, berpakaian, toileting, dan makan.
3. Dorong klien untuk melakukan aktivitas normal sehari-hari dengan tingkat keampuan.
4. Ajarkan keluarga untuk mendorong kemandirian klien, namun campur tangan ketika klien tidak mampu melakukannya.
Self care assistance (Bantuan perawatan diri)
1. Membantu dalam merencanakan pemenuhan secara individual.
2. Mengarahkan klien dalam kebersihan diri.
3. Membantu dalam
mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual.
4. Meningkatkan perasaan makna diri, meningkatkan kemandirian dan mendorong pasien untuk berusaha secara kontinu.