• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

SANTA LUSIA (KSFL)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh: Hindaria Sinaga NIM: 049114100

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

Percayalah kepada-Nya setiap waktu hai umat, curahkanlah isi hatimu dihadapan-Nya Allah ialah tempat perlindungan.

(5)

v

(6)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan

daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 9 Februari 2009

Penulis,

(7)

vii

PARA SUSTER PADA KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN SANTA LUSIA (KSFL)

Hindaria Sinaga

Universitas Sanata Dharma, 2009

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis konflik dan penyelesaian konflik interpersonal di sebuah biara yaitu biara para suster Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia (KSFL)

Subyek penelitian adalah para suster dari Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia (KSFL) yang terdiri 4 subyek yaitu 3 orang suster yang sudah berkaul kekal dan 1 yang berkaul sementara. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Dalam wawancara penulis menyusun tujuh pertanyaan untuk mengungkap jenis-jenis dan penyelesaian konflik. Observasi dilaksanakan oleh penulis sendiri selama wawancara dilakukan dan dokumentasi dilakukan hanya untuk melengkapi data-data subyek.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para suster pada Kongregasi Suster Fransiskan santa Lusia pada umumnya mengalami konflik dengan atasan. Konflik dengan atasan ini ada dua sifatnya yaitu konflik dengan atasan yang sifatnya tertutup (superordinate close conflict) dan konflik dengan atasan yang sifatnya terbuka (superordinate open conflict). Jenis penyelesaian konflik yang dilakukan oleh para suster KSFL cukup beraneka ragam, akan tetapi ada satu bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan ke empat subyek adalah menarik diri (withdrawal). Secara pribadi, masing-masing subyek menggunakan cara penyelesaian konflik yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. SA bentuk pemecahan konflik yang lebih dominan adalah berunding (negotiating), sedangkan SB bentuk pemecahan konflik yang paling adalah menghindari (avoiding). Bentuk pemecahan konflik yang paling dominan dilakukan oleh SC adalah menyesuaikan (accomodating), dan bentuk pemecahan konflik yang paling dominan dilakukan oleh SD ada dua yaitu menghindari (avoiding) dan memperlunak (smooting). Empat orang yang menjadi subyek penelitian, satu bisa menyelesaikan konflik dengan baik dan tiga orang tidak bisa menyelesaikan konflik dengan baik.

(8)

viii

FRANCISCAN ST. LUCIA (KSFL) Hindaria Sinaga

Sanata Dharma University, 2009

This study was a qualitative which apply descriptive study. The purpose of this study was to describe the kinds of conflicts and the solution of interpersonal conflicts in a nunnery, which is the sisters’ nunnery of Conggregation of Franciscan St. Lusia Sister (KSFL).

The subjects of this study were the sisters of Conggregation of Franciscan St. Lusia Sister (KSFL) which consist of 4 subjects they were 3 sisters who have vow eternally and one sister who vows temporarily. The data was collected by interview method, observation, and documentation method. In interviewing, the writer arranged seven questions to reveal kinds of conflicts and the solutions. The observation was done while the writer interviewed the sisters, and the documentation is only objected to complete the subjects data.

The result of the study shows that generally, the sisters of Conggregation of Franciscan St. Lusia Sister (KSFL) have a conflict with their chairperson. There are two kinds of conflict, they are superordinate close conflict and superordinate open conflict. The solutions taken by the sisters are vary, however the four subjects take self-withdrawal as their solution. Personally, each subject uses different solution one and another. SA uses a negotiation (negotiating) as a dominant solution. SB takes avoidance (avoiding) as her dominant solution in a conflict. The most dominant problem solving which is chosen by SC is accommodation (accommodating), while avoiding and smoothing are two dominat solutions taken by SD. One of four subjects can solve the conflict well while the rest cannot.

(9)

ix

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Hindaria Sinaga Nomor NIM : 0419114100

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

PENYELESAIAN KONFLIK INTERPERSONAL PARA SUSTER PADA KONGREGASI SUSTER

FRANSISKAN SANTA LUSIA (KSFL)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan hak kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta ijin dari saya maupun meminta royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demkian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 11 Maret 2009 Yang menyatakan,

(10)

x

dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Penyelesaian Konflik Interpersonal Para Suster, Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia.

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat dukungan

dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kasih yang

sedalam-dalamnya secara tulus kepada orang-orang yang telah menginspirasi penulis

selama kuliah dan khususnya selama proses melakukan penelitian ini :

1. Ibu Lusia Pratidarmanastiti, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

setia mendampingi dan memberikan bimbingan kepada penulis.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Ibu Sylvia CMYM, M.si. sebagai Kepala Program Studi Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Henrietta, S.Psi. selaku dosen pembimbing akademik dan sekaligus dosen

penguji skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta

memberikan masukan yang berharga kepada penulis.

5. Dr. Priyo M.si. selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia memberikan

masukan yang berharga untuk penelitian ini.

6. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universutas Sanata Dharma.

7. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mbak

Nanik, Mas Doni, Pak Gi yang telah membantu penulis selama studi, Matur

(11)

xi

Yogyakarta dan secara khusus lagi bagi saudari-saudari yang menjadi subyek

penelitian

10. Segenap keluarga dan para sahabat serta siapa saja baik secara langsung

maupun tidak langsung memberi dukungan kepada penulis

11. Teman-teman angkatan 2004 yang selalu bersedia menjadi teman berdiskusi

berbagi dan berbagi pengalaman, semoga semuanya sukses dan tetap bahagia.

12. Anggota komunitas SCJ Papringan dan SCJ Jln. Kaliurang yang telah bersedia

membantu penulis untuk mencarikan buku-buku yang digunakan penulis.

13. Mba Prima yang telah bersedia mengoreksi penulisan abstrac skripsi.

14. Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis selama perkuliahan dan selama proses pembuatan tulisan

ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini

masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi

ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta,

(12)

xii

HALAMAN JUDUL………... i

HALAMAN PERSETUJUAN……….... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….. ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xv

DAFTAR TABEL... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyelesaian Konflik ………... 9

(13)

xiii

4. Cara Menghadapi Konflik……… 15

5. Cara Pengelolaan Konflik……….. 16

6. Tujuan Penyelesaian Konflik………. 19

7. Manfaat Konflik………. … 20

B. Kongregasi Suster Fransiskan santa Lusia (KSFL) 1. Sejarah berdirinya KSFL……… 21

2. Spiritualitas dan kharisma KSFL……… 24

3. Visi dan misi KSFL………. 25

4. Suster-suster KSFL………. 27

C. Konflik Dalam Hidup Membiara……….. 29

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian……….. 31

B. Subyek Penelitian………. 31

C. Instrumen Penelitian………. 34

1. Wawancara………. 34

2. Observasi……… 37

3. Dokumentasi ……… 37

D. Variabel Penelitian……….. 38

1. Jenis konflik... 38

2. Jenis-jenis pemecahan konflik... 39

(14)

xiv

F. Tehnik Analisis Data... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Identitas dan Deskripsi Subyek Penelitian... 46

1. Identitas Subyek Penelitian... 46

2. Deskripsi Subyek Penelian... 46

B. Pelaksanaan Penelitian... 50

1. Tahap Pengurusan Perizinan... 50

2. Tahap Persiapan Pengumpulan Data... 50

3. Tahap pengumpulan Data... 51

4. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian... 51

C. Hasil Analisis Data ... 52

D. Pembahasan... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 65

B. Saran-saran... 66

DAFTAR PUSTAKA... 67

(15)

xv

Tabel I Identitas dan Karakteristik Subyek Penelitian...33

Tabel II Kode Pertanyaan Wawancara ...44

Tabel III Kode Jenis Konflik ...44

Tabel IV Kode Penyelesaan konflik ...45

Tabel V Identitas Subyek ...46

Tabel VI Proses Pengambilan Data ...51

(16)

xvi

Lampiran 1: Verbatim dan Pengkodingan Subyek I... 69

Lampiran 2: Verbatim dan Pengkodingan Subyek II... 80

Lampiran 3: Verbatim dan Pengkodingan Subyek III... 86

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya setiap orang mau tidak mau, siap atau tidak siap

pasti mengalami konflik, baik konflik yang terjadi dengan diri sendiri

maupun konflik dengan orang lain. Konflik tidak terpisahkan dari setiap

orang dan melekat erat dalam jalinan kehidupan seluruh manusia.

Menurut Johnson (Supratiknya,1995) konflik dapat diartikan sebagai

situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi,

menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain.

Ada banyak orang memandang konflik sebagai keadaan yang

buruk dan merugikan sehingga berusaha untuk menghindar dari konflik.

Pandangan seperti ini membuat orang menjadi takut kalau orang sudah

mulai berhadapan dengan konflik. Buruk dan merugikan berarti tidak

normal, tidak sehat, bersifat patologis dan merusak relasi dengan sesama.

Sebagian orang memandang konflik sebagai sesuatu yang bisa membawa

hal positif dalam hubungannya dengan orang lain maupun dengan diri

sendiri. Adanya pandangan bahwa konflik sebagai sesuatu yang bisa

membawa hal positif karena mereka bisa memaknai setiap konflik yang

dialami dalam hidupnya. Selain itu, konflik juga bisa menjadikan orang

yang mengalami konflik semakin mengenal dirinya juga orang lain yang

(18)

Konflik dapat melibatkan siapa saja, tanpa membedakan usia, jenis

kelamin, pekerjaan, budaya maupun pendidikan. Munculnya suatu konflik

dapat terjadi karena berbagai macam alasan yaitu perbedaan pendapat,

perbedaan pola pikir, perbedaan latar belakang dan lain sebagainya. Suatu

konflik bisa muncul karena masalah jasmani maupun masalah rohani

bahkan masalah yang dianggap sangat sepele. Konflik tidak mengenal

waktu sehingga bisa terjadi setiap waktu seperti pagi hari, siang hari, sore

hari maupun malam hari. Konflik juga tidak mengenal tempat karenanya

bisa terjadi dimana saja seperti dalam, komunitas, politik, instansi-instansi

pendidikan, agama juga dalam keluarga.

Menurut William Hendricks ( Arif Santoso, 2006) ada dua tipe

konflik. Tipe konflik yang pertama adalah konflik intrapersonal yaitu

proses perubahan dan timbulnya konflik dapat dialami seperti perjuangan

di dalam diri individu. Konflik intrapersonal dirasakan atau dialami baik

secara fisik, mental atau pun emosional. Konflik ini sering disebut konflik

dengan diri sendiri. Tipe konflik yang kedua adalah konflik interpersonal

yaitu konflik terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain

maupun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Kedua

konflik ini pasti sering dialami oleh setiap manusia, akan tetapi yang

paling berpengaruh dalam relasi dengan sesama adalah konflik

interpersonal.

Dalam komunitas religius atau komunitas biara dua tipe konflik

(19)

paling mencolok dan sangat berpengaruh dalam hidup membiara adalah

konflik interpersonal. Hal ini bisa dipahami karena anggota komunitas

yang terdiri dari beraneka ragam latar belakang, budaya, pola pikir,

kemampuan dan lain-lain. Cara hidup dalam komunitas biara berbeda

dengan komunitas-komunitas yang lain sehingga memungkinkan

terjadinya konflik cukup besar. Apapun yang dilakukan anggota

komunitas harus sesuai dengan keputusan dan peraturan yang dibuat

kongregasi. Adanya peraturan dan keputusan yang sudah dibuat oleh

kongregasi maka diharapkan, komunitas harus merupakan sumber dari

mana anggota komunitas terus-menerus mendapat inspirasi atau

peneguhan untuk bekal dalam karya pelayanan (Tom Jacobs, 1987).

Pandangan bahwa komunitas adalah tempat setiap anggota untuk

mendapat inspirasi terkadang tidak mudah dihidupi. Hal ini bisa

mengakibatkan terjadinya konflik dalam komunitas biara.

Konflik yang terjadi dalam komunitas biara biasanya bermula dari

adanya perbedaan pola pikir dan perbedaan pendapat. Hal ini sering

manjadi kendala bagi anggota komunitas yang tinggal dalam komunitas

tersebut. Seorang anggota mempunyai ide yang menurutnya baik dan

sangat cocok untuk diterapkan dalam komunitas (kongregasi). Akan tetapi,

ide tersebut kurang diterima karena alasan tertentu. Peristiwa seperti ini

bisa manjadi awal munculnya konflik. Apabila konflik ini tidak

diselesaikan dengan baik akan mempengaruhi jalannya hidup

(20)

sangat penting adanya pemecahan konflik sehingga konflik yang dianggap

sepele tidak sampai mendatangkan konflik yang serius dalam komunitas

biara.

Johnson (Supratiknya, 1995) menegaskan apabila kita mampu

mengelola konflik secara konstruktif, konflik justru dapat memberikan

manfaat positif bagi diri kita sendiri maupun bagi hubungan kita dengan

orang lain. Konflik dalam hubungan antar pribadi sesungguhnya memiliki

potensi menunjang perkembangan pribadi kita sendiri maupun

perkembangan relasi kita dengan orang lain. Disaat orang berada dalam

situasi konflik akan merasa bahwa dia mengalami kegagalan yang sangat

besar. Akan tetapi, ketika orang bisa menyelesaikan konfliknya dengan

baik maka pada saat itu juga dia merasakan kesuksesan dan keberhasilan.

Sebagai orang yang tinggal dalam hidup bersama dan mempunyai

tujuan yang sama pasti mengalami konflik antara anggota yang satu

dengan yang lain. Akan tetapi, mereka tidak memperlihatkan konflik yang

mereka alami dengan cara mereka masing-masing. Hal ini bisa terjadi

karena mereka harus menjalani hidup bersama dengan anggota yang lain.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian tentang pemecahan konflik interpersonal para suster Kongregasi

Suster Fransiskan Santa Lusia. Penulis melihat bahwa para suster tersebut

adalah merupakan manusia yang sangat rentan dengan konflik-konflik.

Kerentanan terhadap konflik yang dialami oleh para suster tersebut dapat

(21)

kondisi komunitas tempat berkarya, serta keanekaragaman usia,

latarbelakang pendidikan, suku, pola pikir dan minat anggota komunitas.

Alasan kedua yang membuat penulis tertarik untuk meneliti

penyelesaian konflik interpersonal di komunitas biara adalah melihat dari

fakta yang dialami para religius pada saat ini termasuk penulis dalam

menapaki panggilan hidupnya. Pada umumnya suster-suster mengalami

konflik di dalam komunitas biara. Akan tetapi apakah konflik ini

terselesaikan dengan baik atau tidak menjadi pertanyaan bagi penulis.

Munculnya pertanyaan ini adalah karena melihat adanya anggota

komunitas yang mengalami keragu-raguan dalam melanjutkan perjalanan

panggilan hidupnya karena mengalami konflik dengan anggota yang lain.

Keragu-raguan yang dialami oleh anggota komunitas tersebut bahkan

mendorong dia untuk mengambil keputusan keluar dari persaudaraan.

Namun banyak juga anggota yang mengalami konflik dan mengalami

keragu-raguan tapi tetap bertahan untuk menjalani hidup di dalam biara.

Hal ini membuat penulis tertarik untuk meneliti bagaimana para suster

memecahkan konflikya dalam hidup bersama.

Penelitian sebelumnya sudah banyak yang meneliti subyek dalam

biara tetapi yang berhubungan dengan pemecahan konflik dalam biara

belum pernah ada yang meneliti khususnya di biara tempat peneliti

mengadakan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti ingin memperoleh

gambaran mengenai ” Bagaimana Pemecahan Konflik Interpersonal para

(22)

B. Rumusan Masalah

Permasalahan pokok yang ingin diteliti oleh penulis dirumuskan

dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Jenis-jenis konflik interpersonal yang dialami oleh para suster

Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia?

2. Bagaimana pemecahan konflik interpersonal yang dilakukan oleh para

suster Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia?

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

Mendeskripsikan jenis-jenis konflik dan pemecahan konflik interpersonal

yang dilakukan oleh para suster Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia

dalam hidup bersama.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis

Dapat memberikan sumbangan informasi tentang pemecahan konflik

dalam menghadapi konflik khususnya konflik interpersonal serta dapat

membantu untuk penelitian selanjutnya yang lebih sempurna.

2. Manfaat praktis

a. Menjadi sumber pengetahuan tentang pemecahan konflik

interpersonal dalam hidup berkomunitas secara khusus dalam

(23)

b. Bagi pimpinan kongregasi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai

landasan berpijak dalam mengadakan kunjungan persaudaraan atau

visitase dengan para anggota kongregasi secara keseluruhan dan

secara khusus bagi tim formasio.

c. Menjadi inspirasi bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan

(24)

8 A. Penyelesaian Konflik

1. Pengertian Konflik

Dalam kamus Psikologi (Kartini Kartono, 2003), konflik diartikan

sebagai ketidak-sepakatan dalam suatu pendapat emosi, dan tindakan

dengan orang lain. Keadaan mental merupakan hasil impuls-impuls

hasrat-hasrat keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan,

namun bekerja dalam saat yang bersamaan.

Menurut Johnson (Supratiknya, 1995), yang dimaksud dengan

konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat

menghalangi, menghambat, atau mengganggu tindakan pihak lain. Kendati

konflik selalu terdapat dalam setiap bentuk hubungan antar pribadi, pada

umumnya masyarakat memandang konflik sebagai keadaan yang buruk

dan harus dihindarkan. Konflik dipandang sebagai faktor yang akan

merusak hubungan maka harus dicegah.

Bimo Walgito (2006) mengartikan konflik sebagai siatusi dimana

dua orang atau lebih tidak setuju terhadap hal-hal atau situasi-situasi yang

berkaitan dengan keadaan-keadaan yang antagonis. Dengan kata lain,

konflik akan timbul apabila terjadi aktivitas yang tidak memiliki

kecocokan (incompatible). Aktivitas inkompatibel artinya apabila suatu

(25)

Webster (Helly P.Soetjipto,2004) menjelaskan istilah ”conflict”

dalam bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan, atau

perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Namun

arti kata ini kemudian berkembang menjadi adanya ”ketidaksepakatan”

yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lain.

Harjana (1994) mendefenisikan konflik merupakan pengalaman

hidup yang cukup mendasar karena meskipun tidak harus, tetapi mungkin

bahkan amat mungkin terjadi. Konflik terjadi manakala dalam hubungan

antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan

dengan perbuatan yang lain sehingga salah satu atau keduannya saling

terganggu.

Winardi (1994) menjelaskan bahwa konflik berarti adanya oposisi

atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok- kelompok atau

organisasi-organisasi. Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari,

maka aproach yang baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan

mencoba memanfaatkan konflik demikian rupa, hingga ia tepat serta

efektif untuk mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan.

Watkins (Chandra, 1992) mendefenisikan konflik memuat dua hal

yaitu yang pertama adalah adanya dua pihak yang secara potensional dan

praktis dapat saling menghambat. Kedua adanya suatu sasaran yang

sama-sama dikejar oleh dua pihak namun hanya salah satu pihak yang mungkin

(26)

satu cara untuk memahami konflik ialah dengan memusatkan perhatian

terhadap dua kata kunci yaitu kebutuhan dan hambatan.

Dari penjelasan-penjelasan ini penulis menyimpulkan bahwa

konflik adalah suatu pengalaman yang dialami oleh setiap individu baik

dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, dimana terdapat dua atau

lebih gagasan atau keinginan yang saling bertentangan.

2. Penyebab Konflik

Menurut Harjana (1994) kondisi konflik merupakan lahan dan

suasana penanaman benih-benih konflik, tetapi yang menimbulkan

terjadinya suatu konflik pasti ada penyebab atau pemicunya. Hal-hal yang

menyebabkan munculnya konflik secara umum adalah:

1. Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikasi.

Komunikasi yang gagal membuat isi berita atas pesan menjadi

tidak lengkap dan tidak jelas, lengkap dan jelas tapi tidak sampai

pada penerima dengan baik dan tepat pada waktunya, sampai

dengan baik dan tepat pada waktunya tetapi tidak ditangkap utuh.

Keadaan seperti ini akan mengahasilkan salah pengertian dan

salah paham dan akhirnya menyebabkan konflik.

2. Perbedaan tujuan

Adanya perbedaan nilai yang dipegang oleh setiap individu dalam

menjalankan suatu kegiatan akan mengakibatkan ketegangan.

Seperti perbedaan tindakan, langkah-langkah dan tujuan,

(27)

perbedaan alat yang diperlukan. Ketegangan yang diakibatkan oleh

perbedaan ini akan menimbulkan konflik.

3. Rebutan dan persaingan

Individu lebih mengutamakan kepentingan dirinya sendiri dan

kurang bisa melihat apa yang menjadi kebutuhan temannya

sehingga terjadi konflik.

4. Masalah wewenang dan tanggung jawab

Individu tidak bisa melihat wewenang dan tanggung jawabnya

sehingga terjadi perebutan atau konflik.

5. Penafsiran yang berbeda

Individu menafsirkan suatu hal berdasarkan apa yang dia mengerti

tanpa mau memperjelas, sehingga muncul konflik.

6. Kurangnya kerja sama

Individu tidak bisa menjalin kerjasama yang baik sehingga yang

lahir bukan tercapainya tujuan akan tetapi muncu suatu konflik.

7. Tidak menaati tata tertib

Individu yang menaati peraturan merasa dirugikan karena

terganggu akhirnya muncul konflik.

8. Ada usaha untuk menguasai dan merugikan

Pihak yang merasa hendak dikuasai dan dirugikan merasa terancam

dan mengadakan perlawanan (terjadi konflik)

(28)

Individu yang dilecehkan pribadi dan kedudukannya merasa

diinjak harga dirinya dan direndahkan kedudukannya. Oleh karena

itu dia melawan orang yang melecehkan dan siap berkonflik

dengannya.

10.Perubahan dalam sasaran yang menjadikan harapan menjadi tidak

jelas. Harapan yang tidak jelas membuat orang tidak tidak mantap

dalam melakukan sesuatu sehingga muncul konflik.

3. Jenis-jenis Konflik

Menurut Harjana (1994) jenis-jenis konflik yang terjadi dalam

kehidupan sehari-hari dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Superordinate conflict

Superordinate conflict adalah konflik dimana orang-orang yang

terlibat dalam konflik antara orang atau kelompok orang dan orang

atau kelompok yang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi.

b. Subordinate conflict

Subordinate conflict adalah dimana orang- orang yang terlibat

adalah antara orang atau kelompok orang dan orang atau kelompok

yang mempunyai kekuasaan yang lebih rendah.

c. Lateral conflict

Lateral conflict merupakan konflik yang terjadi antara orang atau

kelompok orang yang mempunyai kekuasaan sama dengan sesama

(29)

d. Open conflict

Open conflict merupakan konflik yang terjadi antara orang atau

kelompok lain dan diungkapkan dengan terang-terangan.

e. Closed conflict

Closed conflict adalah konflik yang tertutup dan dilakukan dalam

bentuk tekanan misalnya berupa saling mendiamkan, saling tidak

berkomunikasi.

Menurut William Hendrick (2007), konflik dibagi menjadi dua

tipe. Dua tipe konflik ini terdiri atas:

1. Konflik pribadi (konflik intrapersonal)

Konflik intrapersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi bagi

individu ketika keahlian, kepentingan, tujuan atau nilai-nilai

digelar untuk memenuhi tugas-tugas atau pengharapan yang jauh

dari menyenangkan. Konflik intrapersonal terjadi di dalam diri

individu itu sendiri akan tetapi, merintangi kehidupan sehari-hari

dan dapat menghentikan kegiatan orang banyak.

2. Konflik antar pribadi (konflik interpersonal)

Konflik interpersonal yaitu konflik yang terjadi antara satu orang

atau lebih dengan orang lain. Konflik interpersonal lebih jamak

diasosiasikan dengan manajemen konflik karena konflik ini

melibatkan sekelompok orang.

Dari kedua tipe konflik di atas, konflik yang akan diteliti oleh penulis

(30)

1. Superordinate open conflict yaitu konflik dimana orang-orang

yang terlibat dalam konflik antara seorang atau kelompok

orang dengan seorang atau kelompok orang yang mempunyai

kekuasaan yang lebih tinggi dan sifatnya terbuka.

2. Superordinate closeconflict yaitu konflik dimana orang-orang

yang terlibat dalam konflik antara seorang atau kelompok

orang dengan seorang atau kelompok yang mempunyai

kekuasaan yang lebih tinggi dan sifatnya tertutup.

3. Subordinate open conflict yaitu konflik dimana orang- orang

yang terlibat adalah antara seorang atau kelompok orang

dengan seorang atau kelompok yang mempunyai kekuasaan

yang lebih rendah dan sifatnya terbuka.

4. Subordinate closeconflict yaitu konflik dimana orang- orang

yang terlibat adalah antara seorang atau kelompok orang

dengan seorang atau kelompok orang yang mempunyai

kekuasaan yang lebih rendah dan sifatnya tertutup.

5. Lateral open conflict yaitu konflik yang terjadi antara seorang

atau kelompok orang yang mempunyai kekuasaan sama dengan

sesama rekan kerjanya dan sifatnya terbuka.

6. Lateral close conflict yaitu konflik yang terjadi antara seorang

atau kelompok orang yang mempunyai kekuasaan sama dengan

(31)

Adapun alasan peneliti untuk meneliti konflik interpersonal adalah

melihat keadaan komunitas biara yang dilandasi dengan adanya hidup

bersama. Orang yang hidup bersama dengan peraturan dan cara hidup

yang sama tentu banyak mengalami perbedaan-perbedaan yang akhirnya

bisa menimbulkan konflik. Konflik itu biasanya terjadi antara anggota

yang satu dengan anggota yang lainnya.

4. Cara Menghadapi Konflik

Menurut Winardi (2007), konflik dapat dihadapi dengan cara:

a. Bersikap tidak acuh terhadap konflik yang artinya tidak adanya

upaya langsung untuk menghadapi sebuah konflik yang telah

termanifestasi. Dalam keadaan demikian konflik dibiarkan

berkembang menjadi sebuah kekuatan konstruktif atau sebuah

kekuatan destruktif.

b. Menekan konflik. Menekan sebuah konflik (supresion)

menyebabkan menyusutnya dampak konflik yang negatif, tetapi ia

tidak mengatasi, atau pun meniadakan pokok-pokok penyebab

timbulnya konflik tersebut. Menekan konflik hanya merupakan

suatu pemecahan semu (surface solution), yang menyebabkan

suatu kondisi-kondisi anteseden yang merupakan penyebab orisinal

terjadinya konflik tetap ada.

c. Menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik hanya terjadi apabila

alasan-alasan latar belakang terjadinya suatu konflik ditiadakan

(32)

antagonisme-antagonisme untuk penyebab munculnya konflik

dimasa mendatang.

5. Cara Pengelolaan konflik

Setiap orang pasti berhadapan dengan konflik akan tetapi untuk

menghadapi konflik itu sendiri, setiap orang pasti berbeda-beda. Hal ini

disebabkan karena memaknai konflik juga berbeda, tergantung

pengalaman dan cara masing-masing, sehingga pemecahan konflik yang

digunakan juga berbeda. Harjana (1994), William H. (Arif Santoso 2006),

dan Winardi (2007) mengatakan ada lima cara yang dapat ditempuh dalam

mengolah atau menyelesaikan konflik. Lima cara itu adalah:

1. Bersaing, bertanding (competiting), menguasai (dominating)

atau memaksa (forcing). Cara ini merupakan pendekatan

terhadap konflik yang berciri menang kalah (win-lose

approach). Pengelolaan konflik dengan cara ini adalah

memperjuangkan kepentingan sendiri dan mengorbankan pihak

yang lain.

2. Kerja sama (collaborating) atau menghadapi (confronting).

Dengan cara ini kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik

bekerja sama dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan

kedua belah pihak. Cara pengelolaan ini merupakan pendekatan

menang-menang (win-win approach) dan tujuannya adalah

sama-sama mendapatkan yang diinginkan, sehingga kedua

(33)

3. Kompromi (compromising) atau berunding (negotiating). Cara

ini merupakan pendekatan terhadap konflik dimana

pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang menang atau kalah

(neither win-win norlose-lose approach). Dalam pendekatan

kompromi ini pihak-pihak yang terlibat dalam konflik saling

memberi kelonggaran atau konsesi. Kedua belah pihak

mendapatkan apa yang diinginkan tetapi tidak penuh dan

kehilangan tetapi tidak seluruhnya.

4. Menghindari (avoiding) atau menarik diri (withdrawal).

Pengelolaan konflik menghindari merupakan pendekatan

kalah-kalah (lose-lose approach). Pada pendekatan ini kedua

belah pihak yang terlibat dalam konflik tidak memperjuangkan

kepentingan masing-masing, dan juga tidak memberikan

perhatian pada perkara yang dikonflikkan. Dalam pendekatan

ini, kedua belah pihak tidak mendapat hal yang diinginkan dan

membiarkan konflik hilang begitu saja.

5. Menyesuaikan (accomodating), memperlunak (smooting) atau

menurut (obliging). Cara menyesuaikan ini merupakan

pendekatan kalah-menang (lose-win approach). Dalam

pendekatan ini satu pihak yang terlibat dalam konflik

melepaskan mengesampingkan hal yang diinginkan dan

(34)

yang diinginkan sehingga pihak yang lain mendapatkan

sepenuhnya hal yang diiginkan.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelesaian konflik yang

mungkin dilakukan individu saat mengalami konflik khususnya konflik

interpersonal adalah:

1. Bersaing, bertanding (competiting) yaitu berusaha untuk

melakukan sesuatu dengan cara saling berlawanan, salin

bertentangan dan tidak mau saling mengalah.

2. Menguasai (dominating) yaitu berusaha mendominasi teman

konflik berupa kata-kata atau sikap hingga merasa tertekan dan

berusaha menekan yang lain yang bukan teman konflik

3. Memaksa (forcing) yaitu berusaha mendesak orang untuk

sesuai dengan apa yang diinginkan

4. Kerja sama (collaborating) yaitu adanya kesepakatan atau

kerjasama antara salah satu pihak dengan pihak yang yang lain

termasuk pihak ketiga untuk menyelesaikan konflik atau

masalah yang dihadapi

5. Menghadapi (confronting) yaitu berusaha untuk menanggapi

masalah yang terjadi secara positif dan bukan untuk menyerang

atau melawan

6. Kompromi (compromising) yaitu adanya kerjasama untuk

(35)

memunculkan suatu konflik demi tercapainya suatu

kesepakatan

7. Berunding (negotiating) yaitu berusaha untuk mengatakan apa

yang menurutnya tidak benar atau berani menegur demi

kebaikan bersama atau kedua belah pihak

8. Menghindari (avoiding) yaitu berusaha menjauhi pasangan atau

teman konflik

9. Menarik diri (withdrawal) yaitu saat berhadapan dengan

masalah pergi dengan alasan supaya tidak memperpanjang

masalah.

10.Menyesuaikan (accomodating) yaitu berusaha melihat situasi

dan kondisi masalah yang dihadapi dengan cara pandang positif

11.Memperlunak (smooting) artinya ada sikap mengalah supaya

masalah yang dihadapi tidak semakin rumit

12.Menurut (obliging) yaitu mengiyakan apa yang dikatakan

teman konflik demi kebaikan bersama.

6. Tujuan Penyelesaian Konflik

Menurut Harjana (1994) melihat tujuan pengelolaan konflik secara

positif dan negatif. Secara positif, tujuan pengelolaan konflik adalah untuk

memanfaatkan konflik itu demi perbaikan orang-orang yang terlibat,

hubungan antar mereka, pelaksanaan dan prestasi kerja mereka, serta

lembaga tempat mereka bekerja. Tujuan penyelesaian konflik secara

(36)

Secara negatif, tujuan pengelolaan konflik adalah agar konflik

yang terjadi tidak mengganggu orang-orang yang terlibat, merusak

hubungan mereka, merugikan kerja mereka dan lembaga tempat mereka

bekerja. Tujuan pengelolaan konflik secara negatif merupakan tujuan

minimal.

7. Manfaat Konflik

Menurut Johnson ( Supratiknya, 1995) ada beberapa manfaat

positif dari konflik yaitu:

1. Konflik dapat menjadikan kita sadar bahwa ada persoalan yang

perlu dipecahkan dalam hubungan kita dengan orang lain

2. Konflik dapat menyadarkan dan mendorong kita untuk

melakukan perubahan-perubahan dalam diri kita.

3. Konflik dapat menumbuhkan dorongan dalam diri kita untuk

memecahkan persoalan yang selama ini tidak jelas sadari atau

kita biarkan tidak muncul kepermukaan.

4. Konflik dapat menjadikan kehidupan lebih menarik.

5. Perbedaan pendapat dapat membimbing ke arah tercapainya

keputusan-keputusan bersama yang lebih matang dan bermutu.

6. Konflik dapat menhilangkan ketegangan-ketegangan kecil yang

sering kita alami dalam hubungan kita dengan seseorang.

7. Konflik dapat menjadikan kita sadar tentang siapa atau macam

apa diri kita sesungguhnya.

(37)

9. Konflik dapat mempererat dan memperkaya hubungan.

B. Kongregasi Suster Fransiskan santa Lusia (KSFL)

1. Sejarah berdirinya Kongregasi Suster Fransiskan santa Lusia. Kongregasi Suster Fransiskan St. Lusia (KSFL) hadir di Indonesia

setelah peziarahan yang panjang dan bervariasi. Kongregasi ini pada

awlnya dimulai oleh tiga orang gadis dari Lewen Belgia bersama seorang

gadis dari Breda 1826. Dengan perantaraan suster dari Dongen, mereka

mengambil alih satu rumah sakit kecil yang terletak di Haagweg. Lima

tahun kemudian (1830) mereka mengucapkan kaulnya di tangan Mgr. Van

Hooydonk, administrator kepausan di daerah itu. Pada saat itu

terbentuklah Kongregasi”Gasthuiszuster” atau rumah penginapan atau

”Kongregasi Semuanya Untuk Semua”. Pada tahun 1838 mereka

membuka rumah di Bergen op Zoom, 1845 di Oosterhout kemudia di

Roterdam tahun 1847.

Munculnya Kongregasi Roterdam diawali oleh adanya

permohonan dari Pater Yohanes Van Lies Hout OFM kepada suster di

Breda, kiranya mereka bersedia berkarya di parokinya untuk merawat

orang sakit, orang miskin dan panti asuhan yang sudah diasuh oleh satu

keluiarga. Permohonan ini ditanggapi positif oleh Pimpinan Kongregasi di

Breda. Tanggal 29 November 1841 tiba kelompok yang pertama yaitu Sr.

(38)

Op Zoom dan Sr. Benedikta Van Gastel dari Etten. Mereka tinggal dalam

rumah biasa dimana sejumlah laki-laki dan perempuan dirawat dan diasuh.

Pastor paroki melihat bahwa pendidikan TK, SD, Sekolah Menjahit

dan Perawatan Orang tua (jompo) sangat dibutuhkan diparokinya. Melihat

situasi ini rektor Lonink didukung oleh Pater Van der Beek mencari jalan

keluar agar suster dari Breda memisahkan diri dan membentuk kongregasi

baru di Roterdam. Pada tanggal 4 April 1847 para suster Roterdam

menulis surat pernyataan kepada pimpinan kongregasi di Breda banwa

mereka akan memisahkan diri dari biara induk Breda dan membentuk

kongregasi baru dibawah pimpinan Muder Lusia Dierkx. Maka tanggal 15

Oktober 1847 ditetapkan hari berdirinya kongregasi dengan nama resmi

Kongregasi Peniten Rekolektin Ordo ke III Religius dari St. Fransiskus

yang berpusat di Sint Lusia Gesticht di Roterdam. Biasa disingkat dengan

nama ”Kongregasi dari Rotterdam atau Kongregasi St. Lusia”.

Siapakah Muder Lusia Dierkx? Muder Lusia Dierkx lahir 19 Juni

1821 di Meersel-Belgia, masuk biara di Breda 16 Januari 1838, menerima

jubah biara 9 Mei 1838 dan profesi 30 Juli 1840. pribadinya tidak lengkap

bola tidak disebut bagaimana beliau memadukan pengertiannya tentang

jiwa manusia dan rasa hormatnya terhadap setiap pribadi para susternya.

Hal ini diaplikasikanya dalam berkomunikasi yang empatik dan inilah

kekhasan Muder Lusia dalam membina para susternya.

Kongregasi semakin berkembang baik dalam jumlah anggota

(39)

untuk para calon dan keramaian kota terus bertambah maka diusahakan

mencari mencari lokasi baru untuk novisiat. Akhirnya dibeli Biara Suster

hati Kudus dari Perancis Bennebroek. Tanggal satu Agustus 1919 novisiat

pindah ke Bennebroek dan tanggal 1 Mei 1920 Biara St. Lusia diberkati

dan diresmikan sebagai pusat Biara Suster Fransiskan St. Lusia. Sejak saat

itu disebut ” Suster Fransiskanes Dari Bennebroek atau suster-suster dari

Santa Lusia.”. Indonesia menantikan kehadiran suster dari Bennebroek.

Pada tahun 1924 Uskup Haarlem memberi izin untuk mengembangkan

sayap ke Indonesia. Tanggal 3 Oktober 1925 enam suster tiba di

Sawahlunto, Sumatera Barat, Kongregasi di Indonesia mulai menerima

calaon sejak tahun 1953.

Sesudah Konsili Vatikan II, panggilan hidup membiara di negara

Belanda semakin berkurang bahkan 30 tahun terakhir tidak ada lagi yang

berminat masuk biara. Jumlah anggota kongregasi semakin surut

jumlahnya, akhirnya setelah dipelajari dan dibicarakan berulang kali

secara terbuka, maka disepakati lebih baik kongregasi di Indonesia berdiri

sendiri. Hal ini disampaikan ke Kongregasi suci di Roma dengan segala

alasan disertai rekomendasi dari para Bapa Uskup dimana Kongregasi

hadir dan berkarya. Maka, ditetapkan di Roma pada tanggal 21 Februari

1995 Kongregasi Suster Fransiskan St. Lusia (KSFL) adalah kongregasi

baru dan mandiri dengan status ” keuskupan”. Biara induk berdomisili di

(40)

2. Spiritualitas dan Kharisma Kongregasi Suster Fransiskan santa Lusia

a. Spiritualitas Kongregasi Suster Fransiskan santa Lusia

Kata spiritualitas berasal dari kata spiritus yang berarti ”Roh”. Kata

spiritualitas berarti orang yang digerakkan oleh Roh yaitu Roh Kudus.

Spiritualitas adalah sikap hidup, semangat juang atau yang menjadi

dasar/pedoman. ”Setiap kongregasi atau ordo mempunyai penghayatan

spiritualitas yang khas yang membedakannya dengan spiritualitas

kongregasiyang lain” (Jacobs, 1989:3).

Spiritualitas KSFL adalah kesederhanaan dan persaudaraan dengan

pertobatan yang terus (Konstitusi KSFL, 1999). Kesederhanaan yang

dimaksud disini bukan hanya segi lahiriah yang kelihatan seperti pakaian,

akan tetapi terlebih dari segi rohani (batiniah). Suster Lusia adalah teladan

hidup sederhana. Kesederhanaannya dihadapan Tuhan ditunjukkan lewat

teladan hidupnya untuk menghormati keunikan setiap susternya.

Kemampuan mendengarkan yang dimilikinya mampu memikat semua

anggota komunitasnya dan orang-orang yang dilayaninya. Ia berhati mulia,

iklas penuh cinta dan hangat bagi sesamanyaserta menjadikan dirinya

segalanya bagi semua orang (Konstitusi KSFL, 1999).

b. Kharisma Kongregasi Suster Fransiskan santa Lusia

Karisma adalah karunia Roh Kudus yang Luar biasa yang

diberikan kepada orang beriman supaya melayani umat ( Kamus Besar

(41)

religius adalah salah satu dari Kharisma Roh atau Kharisma dalam

Gereja”. Kharisma ini juga disebut panggilan, yakni dorongan Roh Kudus

untuk menghayati Injil dalam hidup. Kharisma bagi hidup religius adalah

kesadaran bahwa iman akan Yesus, karya keselamatan-Nya terlaksana

dalam hidup, wafat dan kebangkitan-Nya merupakan nilai khusus dalam

hidup religius. Kharisma ini biasanya berasal dari kharisma khusus

pendirinya.

Pendiri Kongregasi Suster Fransiskan St. Lusia menghayati dan

mewujudkan dalam hidupnya cara dan gaya hidup Kristus yang

mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba, merendahkan

diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib ( Konstitusi KSFL, 1999:

art.4). kharisma yang ada dalam diri pendiri kongregasi tercermin dari

tindakannya yang tak kenal lelah menyerahkan diri untuk semua orang,

sikap rendah hati dihadapan Tuhan dan sesama, siap sedia melayani tanpa

pandang bulu, berkomunikasi yang empati dengan orang lain.

Kongregasi Suster Fransiskan St. Lusia berusaha menghidupi

kharisma pendiri yaitu Yesus yang mengosongkan diri dan mengambil

rupa seorang hamba sampai wafat di salib.

3. Visi dan Misi Kongregasi Suster Fransiskan santa Lusia a. Visi

Visi adalah kemampuan untuk melihat pada inti persoalan atau

pandangan yang menyeluruh tentang suatu kesatuan yang mendesak dan

(42)

Visi KSFL adalah siap sedia mewartakan Kerajaan Allah demi

keselamatan manusia. Pendiri kongregasi (Suster Lusia), dengan

pengosongan diri dan dalam semangat kerendahan hati, kesederhanaan dan

persaudaraan mewujudkan kerajaan Allah melalui pelayanan kasih kepada

semua orang yang membutuhkan pertolongan (Konstitusi KSFL, 1999: art.

5).

Kitap Hukum Kanonik (1991: art 675) menyatakan bahwa:

Dalam tarekat-tarekat yang diarahkan untuk karya-karya kerasulan, kegiatan kerasulan itu sendiri termasuk dalam hakekat mereka. Karena itu, seluruh hidup para anggota hendaknya diresapi dengan semangat kerasulan, dan seluruh kegiatan kerasulan mereka diilhami oleh semangat religius, kegiatan kerasulan hendaknya selalu mengalir dari kesatuannya yang mesra dengan Allah, dan memperteguh serta menunjang kesatuan itu; kegiatan kerasulan yang dilaksanakan dalam persatuan dengan-Nya.

Kongregasi Fransiskan St. Lusia dalam melaksanakan

kerasulannya selalu didasarkan pada semangat pendiri dan teladan hidup

St. Fransiskus Asisi, sebagai perpanjangan tangan gereja mewartakan

kerajaan Allah.

b. Misi

Misi adalah kegiatan menyebarkan kegiatan Kabar Gembira (Injil)

dan mendirikan jemaat-jemaat setempat, yang dilakukan atas dasar

pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus ( Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 1991).

Misi KSFL adalah saudara bagi semua orang yang dijumpai, dalam

hal ini saudara tidak dibatasai oleh suku, agama, daerah dan negara

(43)

kongregasi demi Kerajaan Allah, di dalam dan di luar tanah air terwujud

dalam keterlibatan menangani masalah-masalah kehidupan baik di dalam

gereja maupun ditengah masyarakat setiap zaman (Konstitusi KSFL, 1999:

art.6).

Sebagai wujud kongkrit dari misi tersebut, KSFL memberi

perhatian besar pada karya pelayanan di bidang pendidikan/pembinaan

kaum muda, pemeliharaan dan perawatan orang sakit, lanjut usia, orang

lemah dan menderita, karya sosial dan pastoral. Dalam melaksanakan hal

ini, pergaulan dan pengabdian selalu terarah untuk menciptakan damai dan

persatuan diantara umat manusia.

4. Suster-suster KSFL a. Suster Yunior

Suster yunior adalah suster yang sudah mengucapkan kaul

sementara akan tetapi belum mengucapkan kaul kekal. Suster yunior

sering disebut dengan suster muda. Dalam konstitusi KSFL (1999: art.32)

dijelaskan bahwa masa yunior adalah masa pengembangan,

pendalaman tentang cara hidup kongregasi dan pematangan hidup

lebih lanjut serta persiapan intensif untuk pilihan status hidup tetap

bagi cara hidup yang terwujud dengan pengikraran kaul kekal. Pada

masa yunior, seorang suster harus berupaya membina diri agar semakin

menjadi pribadi religius yang matang dan dewasa lagi tangguh sesuai

dengan spiritualitas dan kharisma kongregasi sehingga mampu

(44)

Masa kaul sementara yang diucapkan oleh suster yunior pada

dasarnya tidak lebih singkat dari tiga tahun atau lebih lama dari enam

tahun. Tetapi apabila ada alasan khusus dan masuk akal masa kaul itu

dapat diperpanjang, asalkan seluruh waktu kaul sementara tidak lebih dari

sembilan tahun (KHK.Kan. 655). Misalnya seorang suster yunior

mengajukan permohonan untuk berkaul kekal, tetapi pihak kongregasi

menunda permohonannya karena dianggap kurang matang dalam emosi

dan hidup rohani atau dari pihak suster yunior sendiri belum siap secara

batin untuk berkaul kekal, maka kongregasi memberi kesempatan kepada

yunior yang bersangkutan untuk memperpanjang masa kaul sementaranya.

Menurut Prasetyo, (2001) tujuan khusus masa yunior adalah

pendampingan para suster yunior untuk lebih terlibat dalam perutusan

gereja dan bersama-sama mendukung perutusan kongregasi yang

mendasarkan semangatnya pada inti jiwa kongregasi. Ini berarti, menguji

lewat kenyataan hidup konkrit, apakah sudah mulai berada dalam identitas

kongregasi yang nampak dalam satu budi, satu hati, satu cita rasa, satu

kehendak dan satu keprihatinan tarekat dan mencintai tarekat dalam segala

suka dukanya.

b. Suster Medior

Suster medior adalah suster yang sudah berkaul kekal. Dengan kaul

seumur hidup, seorang suster bergabung secara defenitif dalam

(45)

kewajiban yang sama dan menanggung segala kewajiban sesuai dengan

ketentuan hukum Gereja dan Konstitusi Kongregasi (KHK, Kan. 654)

Suster yang sudah berkaul kekal disebut juga suster yang berada

pada tahap bina lanjut atau on going formation, artinya pembinaan

terus-menerus. Bina lanjut menekankan pada usaha untuk terus-menerus

membaharui diri sesuai dengan tuntutan zaman dan tuntutan spiritualitas,

dengan konsekuensi tidak mau mandek dalam pembaruan terus-menerus

memperkembangkan kemampuan dan keterampilan dalam membatinkan

nilai-nilai religius dan mewujudkan cita-cita tarekat, kemudian terus

berusaha memberi bentuk kesaksian hidup bakti dalam gereja dan

masyarakat sesuai dengan tempat dan kemampuannya (Prasetyo, 2001).

C. Konflik Dalam Hidup Membiara

Dalam komunitas hidup membiara kelihatannya jarang terjadi

konflik antara anggota yang satu dengan yang lain, akan tetapi pada

kenyataannya tidak demikian. Konflik sering terjadi di dalam biara,

padahal mereka atau para suster harus menjalani hidup bersama. Hidup

bersama bisa harmonis dan bisa berlangsung dengan baik apabila

anggotanya bisa mengatasi masalah atau konflik yang terjadi. Maka untuk

itu mau tidak mau mereka atau para suster harus menyelesaikan konflik

dengan baik. Dalam suasana hidup bersama yang mereka alami, jenis

konflik apa yang sering terjadi? Bagaimana mereka atau para suster

(46)

bertahan dalam biara biarpun sudah mengalami keragu-raguan yang

disebabkan oleh konflik yang dialami?

(47)

31 BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai jenis penelitian, subyek

penelitian, instrumen penelitian, prosedur pengumpulan data dan tehnik

analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang

berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi

pada saat sekarang (Sujana, dkk, 1998). Penelitian kualitatif bertujuan

untuk memahami masalah sosial atau fenomena yang dialami manusia

secara menyeluruh (holistik), kompleks, detail dan dengan cara deskripsi

dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah

dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Creswell, 1998;

Moleong, 2005). Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan

tujuan utama yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik

obyek atau subyek yang diteliti secara tepat (Sukardi, 2003). Penelitian ini

dimaksudkan peneliti untuk bisa memperoleh gambaran tentang jenis

konflik dan pemecahan konflik para suster Kongregasi Suster Fransiskan

St. Lusia dalam menghadapi konflik interpersonal.

B. Subyek Penelitian

Dalam suatu penelitian, peneliti harus menentukan batasan

penelitian yaitu batasan yang berkaitan dengan populasi penelitian.

(48)

penelitian yang hidup dan tinggal bersama-sama dan secara teoretis menjadi

target penelitian. Pada prinsipnya populasi adalah semua anggota kelompok

manusia, binatang, peristiwa, atau benda yang tinggal bersama dalam satu

tempat dan secara terencana menjadi target kesimpulan dari hasil akhir dari

suatu penelitian.

Apabila seorang peneliti tidak dapat melakukan penelitian terhadap

populasi yang sudah ditentukan dan akhirnya mengambil sebagian dari

jumlah populasi yang dipilih untuk sumber data, maka penelitian ini disebut

penelitian sampel. Sampel berarti contoh yaitu sebagian dari seluruh

individu yang menjadi obyek penelitian. Salah satu syarat yang harus

dipenuhi adalah sampel harus diambil dari bagian populasi atau mewakili

populasi (Mardalis 1989). Tujuan penentuan sampel adalah untuk

memperoleh keterangan mengenai obyek penelitian dengan cara

mengamati hanya sebagian dari populasi. Jenis sampel yang digunakan

dalam penelitian ini termasuk purposive sampel. Penggunaan purposive

sampel ini senantiasa berdasarkan pada pengetahuan tentang ciri-ciri

tertentu yang telah didapat dari populasi. Berdasarkan ciri-ciri yang sudah

diketahui sebelumnya, kemudian peneliti memilih daerah atau kelompok

tertentu sebagai sampel dan kelompok yang lain bisa ditinggalkan.

Dalam penelitian ini, peneliti menentukan subyek penelitian dari

satu komunitas yaitu anggota komunitas Komunitas Suster Fransiskan santa

Lusia Yogyakarta. Jumlah subyek yang diambil sebanyak empat orang yang

dipilih secara kebetulan saja. Alasan peneliti mengambil subyek hanya

(49)

komunitas tersebut karena jumlah anggotanya cukup banyak. Adapun

alasan peneliti memilih komunitas ini pertama, karena anggota komunitas

ini sudah bisa mewakili populasi penelitian. Kedua, peneliti memperoleh

kemudahan karena dari segi tempat, komunitas ini lebih mudah dijangkau

oleh peneliti karena peneliti tinggal dalam komunitas ini.

Langkah awal yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan

pengambilan data lewat wawancara adalah mencari data identitas dan

karakteristik sehubungan dengan subyek penelitian. Data identitas dan

karakteristik subyek penelitian diambil peneliti dari dokumen-dokumen

Kongregasi Suster Fransiskan St. Lusia. Data-data ini bisa dijadikan peneliti

untuk mempermudah dalam pengambilan data selanjutnya. Adapun

identitas dan karakteristik subjek penelelitian dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Identitas dan Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Subjek Penelitian Subyek

Usia Status kaul Pendidikan Tugas

Subyek 1 28 Tahun Kaul Kekal SLTA Studi

Subyek 2 29 Tahun Kaul Kekal SLTA Studi

Subyek 3 26 Tahun Kaul Sementara SLTA Studi

(50)

C. Instrumen Penelitian 1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan

dengan maksud atau tujuan tertentu (Moleong, 2005; Poerwandari, 2005).

Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)

yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2005). Wawancara

kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan

tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan

topik yang diteliti, dan melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu

hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister, dkk

dalam Poerwandari 2005:127).

Peneliti menggunakan wawancara yakni wawancara perorangan

sebagai alat pokok pengumpul data. Wawancara merupakan metode yang

paling luas digunakan dimana-mana untuk memperoleh informasi dari

orang banyak. Wawancara adalah tehnik pengumpulan data yang digunakan

peneliti untuk mendapatkan kekurangan-kekurangan lisan melalui

bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat

memberikan keterangan pada peneliti (Mardalis 1989). Apabila digunakan

dengan skedul yang tersusun baik, suatu wawancara dapat menghasilkan

banyak informasi, bersifat fleksibel dan dapat diadaptasikan terhadap

situasi-situasi individual, serta dapat digunakan manakala tidak ada metode

lain yang memadai.

(51)

tiga maksud utama yaitu:

1. Wawancara dapat digunakan sebagai alat eksplorasi untuk membantu

identifikasi variabel dan relasi, mengajukan hipotesis, dan memandu

tahap-tahap lain dalam penelitian.

2. Wawancara dapat menjadi instrumen utama penelitian.

Pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk mengukur variabel-variabel penelitian

akan dimasukkan ke dalam skedul wawancara.

3. Wawancara dapat digunakan sebagai penopang atau pelengkap metode

lain; tindak-tanduk dalam menghadapi hasil yang tak terduga,

memvalidasi metode-metode lain dan menyelami lebih dalam motivasi

responden serta alasan-alasan responden memberikan jawaban dengan

cara tertentu.

Metode wawancara memiliki beberapa keuntungan dan

kelemahan dalam proses pengambilan data (Sukardi, 2003). Keuntungan

metode wawancara individual ini antara lain:

1. Dapat lebih bersifat personal.

2. Memungkinkan terjadinya wawancara yang mendalam dengan jawaban

bebas.

3. Proses dapat fleksibel dengan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi

lapangan yang ada.

4. Memungkinkan peneliti memperoleh informasi tambahan dari

responden yang berkaitan dengan gerakan tangan, badan, nada, dan

suara jawaban

(52)

wawancara.

Adapun kelemahan wawancara individual ini adalah:

1. Lebih mahal dan memerlukan waktu lama, memungkinkan terjadinya

intimidasi ketika terjadi hal yang mengecewakan responden, misalnya:

karena atribut yang dimiliki responden yang berbeda. Atribut responden

responden tersebut misalnya: perbedaan ras, perbedaan etnis, perbedaan

latar belakang sosial antar peneliti dan responden.

2. Terjadinya manipulasi secara terang-terangan dari pewawancara.

3. Memungkinkan terjadinya konflik pribadi

4. Memerlukan keterampilan berwawancara.

5. Mungkin sulit untuk menyimpulkan hasil temuan wawancara.

Selama wawancara dilakukan ada beberapa alat yang harus

digunakan oleh peneliti demi membantu kelancaran wawancara. Alat yang

digunakan peneliti dalam wawancara adalah tape recorder dan alat-alat

tulis. Tape recorder dipakai peneliti untuk merekam semua pembicaraan

dengan subyek sehingga data wawancara dapat diketahui dengan lebih

jelas. Alat-alat tulis seperti pena dan kertas digunakan peneliti untuk

mencatat hal-hal yang diobservasi pada selama wawancara yang nantinya

akan digunakan peneliti untuk mempertegas data yang diperoleh dari hasil

wawancara.

Setelah wawancara dilakukan peneliti membuat transkrip hasil

wawancara. Transkrip adalah penyalinan teks yang sudah direkam ke dalam

bentuk tulisan. Proses penyalinan teks ini dilakukan peneliti setiap kali

(53)

melanjutkan wawancara pada subyek yang berikut. Penyalinan teks ini

dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam memahami dan mentabulasi

data.

2. Observasi

Menurut Mardalis (2004) yang dimaksud dengan observasi atau

pengamatan adalah mengamati hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh

perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang

dinginkan atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan

atau fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan

mencatat.

Yang dilakukan pada waktu observasi adalah mengamati

gejala-gejala sosial dalam kategori yang tepat, mengamati berkali-kali dan

mencatat segera dengan memakai alat bantu seperti alat tulis. Observasi

dibuat untuk meneguhkan hasil data interviu yaitu dengan melihat

bahasa-bahasa non verbal saat wawancara, sehingga pelaksanaan observasi ini

dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan interviu.

Seluruh hasil observasi akan menjadi data pelengkap untuk

melakukan interpretasi dan pengambilan kesimpulan serta menjadi

pembanding dalam upaya menjaga pertanggungjawaban mutu hasil

penelitian

3. Dokumentasi

Peneliti menggunakan dokumentasi sebagai alat pengambilan data

sehubungan dengan data-data yang sederhana seperti: usia subjek, tingkat

(54)

mempermudah peneliti untuk menentukan orang-orang yang menjadi

subjek penelitian.

D. Defenisi Operasional 1. Jenis Konflik

Jenis konflik interpersonal adalah pengklasifikasian konflik-konflik

yang dialami oleh individu dengan individu lain yang mempengaruhi relasi

dengan individu yang berkonflik. Adapun jenis-jenis konflik yang

dimaksud adalah:

1. Superordinate open conflict yaitu antara seseorang atau

kelompok orang dan orang atau kelompok yang mempunyai

kekuasaan yang lebih tinggi dan sifatnya terbuka.

2. Superordinate close conflict yaitu konflik dimana orang-orang

yang terlibat dalam konflik antara orang atau kelompok orang

dan orang atau kelompok yang mempunyai kekuasaan yang

lebih tinggi dan sifatnya tertutup.

3. Subordinate open conflict yaitu dimana orang- orang yang

terlibat adalah antara orang atau kelompok orang dan orang atau

kelompok yang mempunyai kekuasaan yang lebih rendah dan

sifatnya terbuka.

4. Subordinate close conflict adalah dimana orang- orang yang

terlibat adalah antara orang atau kelompok orang dan orang atau

kelompok yang mempunyai kekuasaan yang lebih rendah

(55)

5. Lateral open conflict yaitu konflik yang terjadi antara orang atau

kelompok orang yang mempunyai kekuasaan sama misalnya

dengan sesama rekan kerja dan sifatnya terbuka.

6. Lateral close conflict yaitu konflik yang terjadi antara orang

atau kelompok orang yang mempunyai kekuasaan sama

misalnya dengan sesama rekan kerja dan sifatnya tertutup.

2. Jenis-jenis pemecahan konflik

Penyelesaian konflik interpersonal adalah usaha atau proses yang

dilakukan individu untuk mengakhiri atau memecahkan konfliknya dengan

dengan individu lain dengan tujuan memperbaiki relasi setelah mengalami

konflik. Berdasarkan konsep teori yang sudah dijelaskan pada bab

sebelumnya, jenis-jenis pemecahan konflik adalah sebagai berikut:

1. Bersaing, bertanding (competiting) yaitu berusaha untuk

melakukan sesuatu dengan cara saling berlawanan, salin

bertentangan dan tidak mau saling mengalah.

2. Menguasai (dominating) yaitu berusaha mendominasi teman

konflik berupa kata-kata atau sikap hingga merasa tertekan dan

berusaha menekan yang lain yang bukan teman konflik

3. Memaksa (forcing) yaitu berusaha mendesak orang supaya

sesuai dengan yang diinginkan

4. Kerja sama (collaborating) yaitu adanya kesepakatan atau

kerjasama antara salah satu pihak dengan pihak yang yang lain

termasuk pihak ketiga untuk menyelesaikan konflik atau

(56)

5. Menghadapi (confronting) yaitu berusaha untuk menanggapi

untuk menanggapi masalah yang terjadi secara positif dan bukan

untuk menyerang atau melawan

6. Kompromi (compromising) yaitu membicarakan hal-hal yang

belum jelas yang bisa memicu atau memunculkan suatu konflik

7. Berunding (negotiating) yaitu berusaha untuk mengatakan apa

yang menurutnya tidak benar atau berani menegur demi

kebaikan bersama

8. Menghindari (avoiding) yaitu berusaha menjauhi pasangan atau

teman konflik

9. Menarik diri (withdrawal) yaitu saat berhadapan dengan

masalah pergi dengan alasan supaya tidak memperpanjang

masalah.

10.Menyesuaikan (accomodating) yaitu berusaha melihat situasi

dan kondisi masalah yang dihadapi dengan cara pandang positif

11.Memperlunak (smoothing) artinya ada sikap mengalah supaya

masalah yang dihadapi tidak semakin rumit

12.Menurut (obliging) yaitu mengiyakan apa yang dikatakan teman

konflik demi kebaikan bersama

Pengambilan data untuk jenis konflik dan penyelesaian konflik

interpersonal yang dilakukan peneliti terhadap subyek penelitian diperoleh

(57)

E. Prosedur Pengumpulan Data 1. Tahap Persiapan

a. Penyusunan Pertanyaan Wawancara

Sebelum peneliti melakukan wawancara dengan subyek penelitian,

peneliti terlebih dahulu menyusun pertanyaan-pertanyaan wawancara.

Hal ini dilakukan untuk membantu peneliti dalam memperoleh

informasi sesuai dengan data yang dibutuhkan oleh peneliti.

Pertanyaan-pertanyaan wawancara ini sering disebut dengan interview

guide atau pertanyaan panduan. Interview guide merupakan penolong

peneliti dalam proses interviu yang sebenarnya (Sutrisno Hadi, 2004).

Interview guide ini memiliki fungsi yaitu:

1. Memberikan bimbingan secara memokok apa-apa yang ingin

ditanyakan.

2. Menghindarkan kemungkinan untuk lupa atas beberapa persoalan

yang relefan terhadap pokok-pokok penelitian.

3. Meningkatkan intervieu sebagai suatu metode yang hasilnya

memenuhi prinsip konparabilits.

Adapun interview guide yang sudah dibuat oleh peneliti adalah:

1. Pernahkah anda mengalami konflik di dalam biara?

2. Konflik apa yang pernah anda alami?

3. Dengan siapa anda mengalami konflik?

4. Kapan konflik itu anda alami?

5. Dimana konflik yang anda alami itu terjadi?

(58)

7. Bagaimana anda menyikapi atau menyelesaikan konflik yang

anda alami?

b. Melakukan uji coba

Setelah penyusunan pertanyaan-pertanyaan wawancara selesai,

peneliti melakukan uji coba terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut

kepada beberapa orang suster yakni dua orang suster yang sekongregasi

dengan subyek dan dua orang suster yang berbeda kongregasi dengan

subyek penelitian. Adapun tujuan melakukan uji coba ini adalah untuk

mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dipahami dan

dimengerti secara umum sehingga subyek penelitian bisa menangkap

maksud peneliti. Apabila subyek bisa memahami dan mengerti pertanyaan

peneliti maka peneliti bisa memperoleh data sesuai dengan yang

diharapkan.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah penyusunan pertanyaan wawancara dilakukan, peneliti

melanjutkan pengambilan data dengan mempergunakan pertanyaan yang

telah disusun oleh peneliti sendiri. Subyek penelitian adalah lima orang

suster, dan kelima orang suster ini ada yang sudah berkaul kekal dan yang

belum berkaul kekal. Subyek penelitian ini berasal dari satu kongregasi

yaitu Kongregasi Suster Fransiskan santa Lusia (KSFL). Pelaksanaan

penelitian dimulai dari awal bulan Agustus tahun 2008 dan berakhir pada

minggu pertama bulan Oktober. Pengambil

Gambar

Tabel 1. Identitas dan Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 3. Kode Jenis Konflik
Tabel 4. Kode Penyelesaian Konflik
Tabel V. Identitas subyek
+2

Referensi

Dokumen terkait

Jadi kita sujud yang sudah sekian tahun seperti saya ya mungkin tingkatannya dengan pak Narji pun ga sama ya dalam kemampuan atau kita berdarma karena disini juga dituntut untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sikap suami yang beristri bekerja dan suami yang beristri tidak bekerja terhadap stereotip gender dalam Budaya Jawa. Hipotesis

Konsep diri merupakan evaluasi diri dalam bidang spesifik dari diri sendiri (Santrock, 1998). Konsep diri meliputi gagasan tentang dirinya sendiri yang berisikan bagaimana

Jadi itu mungkin titik balik, tapi buka titik balik..ee..sebuah kaca atau gambaran sehingga saya bisa melakukan hal untuk lebih baik nggak..tapi..ee..walaupun selama ini

Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi chauvinisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf

Y : makanya ya kalau saya lihat dunia pendidikan sekarang, saat ini sudah banyak pendidikan seks yang dilengkapi agama sehingga anak tidak akan berpikir semata-mata

Paska perceraian orang tua subyek mengalami hambatan dalam berbagai segi perkembangan diantaranya, kesehatan yang menurun dan penyakit yang sering kambuh,

Untuk Terkasih kamu yang tidak bisa disebutkan namanya yang telah menemani hingga saat ini, mendukung dan memberikan semangat kepada saya dalam