• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berlakunya Hukum pidana menurut Waktu (tempus delicti)

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 49-54)

Daftar Pustaka Bab 1

2.1 Berlakunya Hukum pidana menurut Waktu (tempus delicti)

1 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta), hal. 179.

2 Ibid

3 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Refika Aditama, Jakarta, 2003), hal. 42.

makna aturan hukum pidana harus bersumber dari peraturan tertulis adalah untuk dapat dipidana harus ada peraturan perundang-undangan yang telah berlaku pada perbuatan dilakukan, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat1 kuHP. dengan ketentuan ini, maka hukum (pidana) adat tidak berlaku, karena tidak ditentukan dalam peraturan tertulis. menurut moelyatno, berdasarkan Pasal 5 ayat 3b undang-undang darurat no. 1 Tahun 1951 hukum adat masih tetap berlaku walaupun hanya terhadap orang-orang tertentu.4

makna aturan hukum pidana tidak boleh ditafsirkan secara analogis, berarti bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya aturan hukum pidana, tidak boleh mendasarkan pada analogi. Penggunaan penafsiran analogi untuk menentukan adanya perbuatan pidana pada umumnya dipakai di banyak negara termasuk di indonesia, dan beberapa ahli hukum masih menyetujui. Scholten sebagaimana dikutip moelyatno5 menolak adanya perbedaan antara analogi dan penafsiran ektensif. menurut moelyatno keduanya pada dasarnya sama, yaitu mencoba menemukan norma-norma yang tinggi (lebih umum atau lebih abstrak) daripada norma yang sudah ada, kemudian diturunkan menjadi aturan yang baru, yang sesungguhnya meluaskan aturan yang sudah ada. dengan demikian, antara keduanya hanya ada perbedaan gradual.

Senada dengan pandangan Scholten di atas, Van Hattum mengatakan tidak ada perbedaan prinsipiil antara tafsiran ektensif dan analogi, tetapi hanya menyangkut soal gradasi. Pandangan ini juga disetujui Van Hattum yang menolak analogi dan dengan demikian juga menolak penafsiran secara ekstensif.

Sementara, putusan Hr negeri belanda tahun 1921 mempergunakan penafsiran ekstensif, yang menentukan bahwa pengertian goed (benda, barang) dalam Pasal 362 kuHP yang meliputi daya listrik.6

kembali pada moelyatno yang memandang sama antara penafsiran ekstensif dan analogi. Perbedaannya kedua penafsiaran tersebut menurut moelyanto teletak pada soal gardasi saja, dengan disertai batas-batas yang jelas, sampai di titik mana yang masih dapat dinamakan interpertasi ekstensi dan sampai di titik mana sudah meningkat menjadi analogi.7 batas tafsiran ektensif berpegang pada peraturan yang ada, sedangkan penafsiran analogi sudah tidak berdasarkan pada atauran yang ada, tetapi mendasarkan pada rasio, sehingga bertentangan dengan asas legalitas.

4 Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta, Jakarta, 2008), hal. 28.

5 Moelyatno, Op. cit., hal. 29.

6 Ibid.

7 Moelyatno, Op. Cit., hal. 30.

moelyatno mencontohkan Pasal 286 kuHP sebagaiman putusan Hr negeri belanda dalam arrest-nya tahun 1934, yaitu melakukan hubungan kelamin dengan perempuan yang miring otaknya atau idiot disamakan dengan dengan perempuan yang sedang pingsan atau tidak berdaya. Pada saat undang-undang itu dibuat, Pasal 286 kuHP menunjuk pada keadaan jasmani yang tidak berdaya, namun makna tidak berdaya dalam perjalanannya bisa berubah agar hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan perkembangan (up to date).8

mengenai penggunaan penafsiran analogi, Satochid kartanegara secara tegas menyatakan, kuHP tidak boleh disimpulkan secara analogis, karena berlakunya kuHP akan diperluas dan akan diberlakukan terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang serta tidak diharuskan, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum.9 Jan remmelink mendukung larangan penggunaan penafsiran analogi dengan alasan: 10

1. untuk kepastian hukum;

2. menimbulkan beban pada hakim;

3. membuka kesempatan kepada hakim untuk mengambil keputusan secara emosionil;

4. sejarah pembentukan perundang-undang menunjukkan penolakan;

5. pelbagai keputusan komisi eropa untuk Ham menegaskan larangan penggunaan analogis.

makna hukum pidana tidak boleh berlaku surut adalah suatu peraturan tidak dipergunakan sebagai dasar untuk menghukum suatu perbuatan yang dilakukan sebelum peraturan yang dimaksud dinyatakan berlaku. menurut Satochid kartanegara, ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kuHP harus bersumber pada hukum yang tertulis. Hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum adat atau hukum tidak tertulis lainnya.11

dijelaskan lebih lanjut oleh Satochid kartanegara, hukum pidana tidak boleh berlaku surut tidak bersifat mutlak.12 Hal ini disebabkan berlakunya ketentuan Pasal 1 ayat 2 kuHP yang menyebutkan, “Jikalau undang-undang

8 Moelyatno, Op. Cit., hal. 31-32.

9 Satochid Kartanegara, Op.Cit. hal. 183.

10 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indenesia, (Gramedia Pusataka Utama, Jakarta, 2003) hal. 360.

11 Satochid Kartanegara, Op.Cit. hal. 179-180.

12 Ibid. hal. 184-185.

diubah, sesudahnya perbuatan itu terjadi, maka dipakailah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.” dengan demikian kuHP diperbolehkan berlaku surut, apabila:

a. dilakukan perubahan dalam perundang-undangan;

b. perubahan terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang;

c. undang-undang yang baru lebih menguntungkan bagi kepentingan terdakwa.

mengenai hukum pidana tidak bisa berlaku surut juga dikecualikan terhadap kejahatan Hak asasi manusia yang digolongkan dalam pelanggaran berat terhadap kemanusiaan,13 seperti kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan.

kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan seluruhnya atau untuk sebagian suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan. Sedangkan kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang berupa serangan meluas sistematis yang ditujukan pada suatu kelompok penduduk sipil. 14

berdasarkan ruu kuHP pada bab i, bagian kesatu disebutkan sebagai berikut :

Pasal 1

1. Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat perbuatan itu dilakukan.

2. Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

4. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

13 Penjelasan Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

14 Jenis kejahatan genocida dan kejahatan kemanusiaan secara terperinci lebih lanjut dapat dibaca dalam Pasal 6 dan 7 Statuta Roma Tahun 1998.

Pasal 2

1. Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku apabila menguntungkan bagi pembuat.

2. Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.

3. Dalam hal setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.

Terhadap kedua Pasal RUU KUHP tersebut di atas, Prof eddy H15 menyatakan sebagai berikut:

1. di waktu yang akan datang, asas legalitas yang dianut di indonesia tidak bersifat absolut karena adanya ketentuan ayat 3 yang secara implisit mengakui hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat.

2. Pembatasan asas legalitas atau lex temporis delicti tidak berkaitan dengan perubah an perundang-undangan semata, tapi juga berkaitan dengan kehidup an sosial kemasyaratan.

3. ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi merupakan suatu controdictio interminis, di mana sesorang dapat dipidana meskipun per- buatannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

4. berlakunya hukum tidak tertulis tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat indonesia serta kearifan lokal semata, tetapi juga dapat bersumber dari prinsip-prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia.

5. Pembatasan terhadap asas legalitas telah sesuai dengan amandemen ketiga uud 1945 Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan, “indonesia adalah negara hukum.”

6. Pembatasan asas legalitas menunjukkan bahwa secara implisit hukum pidana indonesia telah mengakui ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif.

15 Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Erlangga, Jakarta 2008), hal. 38-41.

ketentuan ayat 2 dan ayat 3 ruu konsep telah sesuai dengan kongres hukum pidana dan penjara tahun 1935, yang pada prinsipnya menyatakan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap hanya bisa dilawan dengan alat hukum yang luar biasa. dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan maka perubahan tersebut dianggap novum. Terhadap putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang baru.

mengingat pentingnya asas legalitas ini, maka akan dibahas tersendiri pada bab berikutnya.

Sub-bab ini akan dibuka dengan sebuah contoh kasus yang menarik terkait berlakunya hukum pidana menurut tempat:

ContoH

---

kecelakaan kapal Bahuga Jaya vs tanker Singapura

Pada Rabu 26 September tahun 2012 pukul 05.40 pagi terjadi kecelakaan kapal Kapal Motor (KM) Bahuga Jaya dan kapal tanker berbendera Singapura, Norgas Cathinka, di perairan Selat Sunda, Indonesia. Kecelakaan tersebut menewaskan puluhan penumpang KM Bahuga, yang merupakan kapal penyeberangan Merak- Bakauheni. Ditengarai yang tersangkut dalam kasus kecelakaan ini adalah nakhoda atau pemimpin kapal, dan/atau perwira kapal yang diduga melakukan kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang menyebabkan kecelakaan kapal.

Menurut Anda, bagaimana penanganan hukum untuk kasus ini? Tepatkah jika ditangani berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia?

Sumber : tempo.co dan poskotanews.com

---

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 49-54)