• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tidak Ada Alasan Pemaaf

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 168-171)

PERTANGGUNGJAWABAN DAN PIDANA

4.4 Kesalahan

4.4.3 Tidak Ada Alasan Pemaaf

Perlu pula diingat bahwa pertanggungjawaban pidana juga diakibatkan oleh tidak adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar dari pelaku tindak pidana. Hubungan pelaku dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggung jawab dari pelaku. Ia menginsafi hakikat dari tindakan yang akan dilakukannya dan mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah tercela dan dia dapat menentukan (berpikir) apakah dia akan melakukan tindakan tersebut atau tidak. Jika ia memutuskan (akan) melaksanakan tindakan itu, maka bentuk hubungan itu adalah

“sengaja”  atau “alpa”. Perlu dicatat bahwa keputusan tersebut bukan sebagai akibat atau dorongan dari sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali.16

Selanjutnya, menurut Ruslan Saleh mengatakan bahwa “tiada terdapat “alasan pemaaf”, yaitu kemampuan bertanggung jawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa, tiada terhapus kesalahannya atau tiada terdapat alasan pemaaf, adalah termasuk dalam pengertian kesalahan (schuld)”.17

Selanjutnya, Pompe mengatakan bahwa:18

hubungan pelaku dengan tindakannya ditinjau dari sudut “kehendak”, kesalahan pelaku adalah merupakan bagian dalam dari kehendak tersebut.

Asas yang timbul daripadanya ialah: “tiada pidana, tanpa kesalahan”.

Sedangkan menurut Martiman Prodjohamidjojo19 bahwa unsur subjektif adalah adanya suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Adapun unsur-unsur subjektif tersebut adalah:

(i) kesalahan; (ii) kesengajaan;(iii) kealpaan; (iv) perbuatan; dan (v) sifat melawan hukum;

16 Andi Zainal Abidin Farid, 1995. Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 222.

17 D Roeslan Saleh,1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Jakarta, Penerbit Aksara Baru, hal. 45.

18 Ibid., hal. 25.

19 Dikutip dari Wirjono Prodjodikoro, Ibid.

Unsur objektif adalah adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum.

Unsur-unsur objektif tersebut adalah: (i) perbuatan; dan (ii) sifat melawan hukum. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsure objektif dan subjektif.

Untuk menggampangkan sistem pertanggungjawaban pidana, maka dapat dilihat pada bagan yang ditulis oleh guru besar hukum pidana dari Universitas Hasanuddin Andi Zainal Abidin Farid berikut:

Unsur-unsur Delik dan Pertanggungjawaban Pidana

A. Actus Reus B. Mens Rea

1. Unsur-unsur konstitutif, sesuai uraian delik (bestanddelen;

Tatbestanmassigkeit)

1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)

2. Unsur diam-diam (kenmerk) 2. Kesalahan dalam arti luas

(a) Perbuatan aktif atau pasif

(a) dolus (kesengajaan):

(i) sengaja sebagai niat,

(ii) sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzijn) (iii) sengaja sadar akan kemungkinan

(dolus eventuales)

(b) Melawan hukum objektif atau subjektif

(b) Culpa lata: (i) culpa lata yang disadari (alpa), (ii) culpa lata yang tidak disadari (lalai)

(c) Tidak ada dasar pembenar (Rechtvaardigingsgrond;

justification)

C. Syarat-syarat pemidanaan = A (syarat objektif) + B (syarat subjektif)

Sumber: Disadur dari Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (1995) Jakarta, Sinar Grafika.

Perlu diingat bahwa sekarang ini sedang ada upaya untuk merevisi kodifikasi KUHP, tapi dalam Rancangan KUHP tahun 2013 (RKUHP 2013) semua unsur yang dijelaskan di atas tidak berbeda karena prinsip- prinsip pertanggungjawaban pidana di dunia hampir dapat dikatakan universal sifatnya. Sebagai contoh, Pasal 37 RKUHP 2013, dengan jelas mengatakan bahwa:

(1) Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan.

(2) Kesalahan terdiri atas kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.

Selanjutnya di Pasal 39 RKUHP 2013 mengatakan bahwa :

(1) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan.

(2) Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang di lakukan deng an sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.

(3) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tindak pidana tertentu yang oleh Undang-Undang diperberat ancaman pidananya, jika ia sepatutnya mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan.

Pasal-pasal di atas menunjukkan bahwa dari segi pertanggung- jawaban pidana, asas-asas hukum pidana yang universal masih tetap dijunjung tinggi, walaupun ada beberapa tambahan pengecualian untuk pidana-pidana tertentu.

Perlu pula diingat bahwa berdasarkan perkembangan zaman, pertanggungjawaban pidana juga dapat dikenakan pada korporasi, dan RKUHP 2013 juga telah mengantisipasi hal itu dengan memasukkannya dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 53 RKUHP. Pasal 47 dengan tegas mengatakan bahwa “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”.

Selanjutnya Pasal 48 RKUHP 2013 mengatakan bahwa:

“Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang- orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri- sendiri atau bersama-sama”

Mengingat pasal-pasal ini masih merupakan isi dari Rancangan Undang-Undang (RUU), maka tidak akan dijelaskan secara menyeluruh dalam bab ini.

Alasan penghapusan pidana dijelaskan secara khusus dalam KUHP atau sering disebut sebagai alasan pemaaf. Alasan-alasan pemaaf tersebut adalah:

(i) Daya Paksa Relatif (Overmacht)

Overmacht merupakan daya paksa relatif (vis compulsive) seperti keadaan darurat. Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP.

Dalam KUHP tidak terdapat pengertian daya paksa. Dalam memorie van toelichting (MvT), daya paksa dilukiskan sebagai kekuatan. Setiap daya paksa orang berada dalam dwangpositie (posisi terjepit). Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar diri si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat daripada ia. Asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi.

(ii) Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer exces)

KUHP menjelaskan dalam Pasal 49 Ayat 2 bahwa seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Secara rinci Pasal 49 (2) menyatakan bahwa:

“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana.”

Perlu diingat bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai

‘pembelaan terpaksa melampaui batas’ berdasarkan Pasal 49(2), seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi persyaratan berikut:20 (i) Melampaui batas pembelaan yang diperlukan; (ii) Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari keguncangan jiwa yang hebat; (iii) Keguncangan jiwa yang hebat itu diakibatkan oleh adanya serangan atau ancaman serangan. Jadi, antara keguncangan jiwa yang hebat dengan itu dengan serangan atau ancaman serangan harus ada hubungan kausal.

Perbedaannya antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweerexces) adalah:21

20 Sofjan Sastrawidjaja, Op. Cit hal. 240.

21 Andi Zainal Abidin Farid, Op.Cit hal. 200-201.

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 168-171)