• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lex Temporis Delicti

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 115-120)

LEGALITAS

2. Perkembangan Asas Legalitas dalam RKUHP Indonesia

3.6 Lex Temporis Delicti

54 Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hal. 27.

55 E. Utrecht, Op.Cit, hal. 222.

56 Ibid, hal. 223.

57 E. Utrecht, Op.Cit, hal. 228.

kan jawaban dalam arti bila undang-undang yang berlaku setelah tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut diperkenankan. Pandangan demikian diakui dan diterima di  Belgia  dan  Jerman.

A. Zainal    Abidin Farid  menyebutkan yang dimaksud dengan  perubahan undang-undang dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua aturan hukum maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formil yang dianut oleh  Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh  van Geuns  dan teori materiil tak terbatas.

Menurut teori formil, perubahan undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang- undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut Pasal 1 Ayat (2) KUHP. Kemudian menurut teori materiil terbatas bahwa perubahan undang- undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang.  Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang ex Pasal 1 Ayat 2 KUH Pidana. Teori materiil tak terbatas yang di dalamnya H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (N.J. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa ”perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu”.

Mengenai penerapan Pasal 1 Ayat (2) KUHP, Anda dapat menyimak pada contoh kasus berikut ini.

--- CONTOH KASUS DAN ANALISIS PERKARA

Dugaan Suap Hakim Agung

Dua hakim agung, Ny Marnis Kahar dan Ny Supraptini Sutarto, yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, menerima suap masing-masing Rp 50 juta dari saksi pelapor Endin Wahyudin, Selasa (21/8/2001), diputuskan tidak bisa diadili oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Selain Marnis dan Supraptini, seorang hakim agung lain, Yahya Harahap, kini sudah pensiun, juga diadili terpisah dalam

perkara yang sama. Harahap disidangkan di PN Jakarta Barat. Ketiga hakim agung itu diadili setelah Endin Wahyudin mengadu kepada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Ketiga hakim agung itu menerima suap dari Endin senilai Rp 196 juta dengan harapan memenangkan perkara kasasi Nomor 560.K/ Pid/1997 untuk kepentingan ahli waris Ny Aminah. Walaupun “klien” Endin dimenangkan oleh majelis hakim agung yang diketuai Harahap, karena putusan itu tidak bisa dieksekusi, Endin pun mengadukan kasus itu ke TGPTPK.

Marnis dan Supraptini pun mengajukan permohonan pra peradilan terhadap TGPTPK di PN Jaksel. Mereka keberatan apabila yang melakukan pemeriksaan itu adalah TGPTPK yang dibentuk berdasar- kan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2000. TGPTPK yang dibentuk berdasar Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi-menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1971 - tidak berhak memeriksa perkara yang terjadi Oktober-Desember 1998.

Hakim Rusman Dani Achmad di PN Jaksel memutuskan mengabulkan permohonan praperadilan kedua hakim agung tersebut. Dia ber- pendapat, TGPTPK tidak berwenang menyidik perkara dugaan korupsi yang terjadi sebelum UU No 31/1999 diundangkan. Penyidikan yang dilakukan TGPTPK pun dinilai melanggar asas legalitas. Putusan praperadilan ini merupakan “tonggak” kenyataan, TGPTPK tidak berhak memeriksa perkara korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 tanggal pengundangan UU No 31/1999 serta memaksa tim yang dipimpin Adi Andojo menyerahkan kembali tugas penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi. sebelum UU No 31/1999 berlaku kepada kejaksaan.

Sumber: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/08/21/0079.html dari X-URL: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/22/UTAMA/duah01.htm

Menurut Anda, dalam kasus tersebut di atas, bagian mana yang menunjukkan keterkaitan dengan asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana?

Analisis Perkara

Putusan Sela atas Kasus Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto Majelis Hakim yang mengadili perkara dugaan korupsi yang dilakukan oleh Hakim Agung Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto memutuskan bahwa surat dakwaan jaksa cacat hukum dan harus dinyatakan batal demi hukum.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa surat dakwaan jaksa dengan dakwaan primer pasal 1 ayat 1 sub c jo Pasal 28 UU No 3 Tahun 1971 jo Pasal 420 Ayat 1 ke 1 jo Pasal 1 Ayat 2 KUHP jo UU No 31 Tahun 1999 serta dakwaan subsidair Pasal 1 Ayat 1 sub c jo Pasal 28 UU No 3 Tahun 1971 jo Pasal 418 jo Pasal 1 Ayat 2 KUHP jo UU No 31 Tahun 1999 dianggap sebagai berlebihan atau overlapping karena jaksa menggunakan UU tentang tindak pidana korupsi sekaligus juga KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) secara bersamaan.

Padahal, Pasal 420 dan 418 KUHP telah diadopsi ke dalam Pasal 1 butir c UU No 3 Tahun 1971 dan Pasal 11 dan 12 UU No 31 Tahun 1999. Jadi menurut majelis hakim, jaksa seharusnya memilih, apakah mau menggunakan UU No. 3/1971 atau KUHP.

Argumentasi hukum majelis hakim di atas jelas tidak dapat diterima oleh logika hukum. Pasal 1 ayat (1) UU No. 3/1971 menyatakan: “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: c.

barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP. ”

Dari pasal di atas terlihat jelas bahwa jaksa telah tepat untuk menggabungkan Pasal 1 Ayat 1 huruf c UU No. 3/1971 dengan KUHP. Bila jaksa tidak menghubungkan antara pelanggaran Pasal 1 Ayat 1 huruf c dengan pasal tertentu dalam KUHP sebagaimana diatur tersebut, misalnya Pasal 209, 210, 387 dan seterusnya, maka dakwaan jaksa menjadi kabur dan tidak jelas karena tidak jelas pasal berapa dalam KUHP yang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 huruf c tersebut yang dilanggar oleh terdakwa.

Ketidakjelasan pasal mana dalam KUHP di atas yang dilanggar terdakwa, maka jaksa dalam dakwaannya tidak mungkin dapat mengelaborasi unsur-unsur apa dalam pasal tersebut yang dilanggar (karena pasalnya tidak jelas).

Putusan Sela atas Kasus Yahya Harahap

Dalam kasus Yahya Harahap, majelis hakim memutuskan bahwa dakwaan jaksa tidak dapat diterima. Pertimbangan hukum yang melandasi putusan tersebut adalah karena jaksa mendakwa terdakwa melanggar aturan dalam UU Korupsi yang lama yaitu UU No. 3 Tahun 1971.

Padahal menurut majelis hakim, berdasarkan Pasal 44 dan 45 UU Korupsi yang baru No. 31 tahun 1999, UU Korupsi yang lama No. 3/1971 sudah dinyatakan dicabut atau tidak berlaku lagi sama sekali (UU No. 31 Tahun 1999 memang memiliki kelemahan karena tidak mengatur aturan peralihan).

Sekali lagi, argumentasi majelis hakim terlihat tidak mem pedulikan logika hukum dan keadilan, serta tidak konsisten dengan putusan pengadilan terhadap kasus korupsi yang lain.

Secara tegas Pasal 1 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang asas legalitas menyatakan bahwa jika ada perubahan peraturan, diberlakukan yang menguntungkan terdakwa. Prinsip dari pasal tersebut yang berhubungan dengan putusan di atas adalah tetap ada hukum yang diberlakukan terhadap terdakwa, namun dapat dipilih yang meringankan.

Tidak ada cerita mengenai hampa hukum tentang korupsi.

Dari sudut keadilan, jelas sangat tidak adil bila hanya karena kelemahan dalam UU No. 31 Tahun 1999 di atas, pelaku korupsi masa lalu dapat bebas tanpa dapat terjerat aturan hukum.

Bila putusan ini diterima, ini akan menjadi preseden yang sangat buruk untuk menyelesaikan salah satu agenda reformasi, yaitu penuntasan kasus-kasus korupsi masa lalu.

Selain hal di atas, putusan sela atas kasus Yahya Harahap merupakan bentuk ketidakkonsistenan dari lembaga pengadilan dalam memutus perkara yang menyangkut masalah korupsi.

Dalam putusan majelis hakim kasus praperadilan terhadap TGPTPK, secara tersirat majelis hakim mengakui bahwa terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum UU No. 31 Tahun 1999 diundangkan, maka berlaku UU No. 3 Tahun 1971. Hal yang sama terjadi dalam putusan praperadilan perkara dugaan korupsi Ginandjar Kartasasmita.

Bahkan dalam kasus Marnis Kahar dan Supraptini, majelis hakim juga berpandangan serupa. Hal ini terlihat dari ditolaknya salah satu eksepsi penasihat hukum Marnis Kahar dan Supraptini yang menyatakan bahwa UU No. 3 Tahun 1971 tidak dapat diberlakukan karena sudah dicabut oleh UU No. 31 Tahun 1999.

Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3578/putusan- hakim-kontroversial-ma-tenangtenang-saja

Kesimpulan dasar mengenai asas legalitas sebagaimana diuraikan pada konteks pembahasan-pembahasan sebelumnya, dikaji dari perspektif karakteristiknya maka dapat disimpulkan dimensi-dimensi sebagai berikut:

• Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.

• Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana berdasarkan analogi.

• Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.

• Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang jelas (asas lex certa).

• Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara surut (asas nonretroaktif).

• Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam undang-undang.

• Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.

Dikaji dari perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Sedangkan asas legalitas dalam konteks hukum pidana internasional, menurut Machteld Boot harus diterapkan dengan standar yang berbeda dari hukum pidana nasional yang berkaitan dengan tanggung jawab individu terhadap kejahatan-kejahatan internasional. Boot juga mengatakan, hukum pidana internasional tidak dikodifikasikan seperti halnya hukum pidana nasional tetapi juga bersumber dari hukum kebiasaan internasional. Karena itu asas legalitas tidak mengikat seluruhnya dalam konteks kejahatan-kejahatan di bawah hukum internasional.58

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 115-120)