• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Asas Legalitas di Luar KUHP

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 147-154)

LEGALITAS

3.9 Ketentuan Asas Legalitas di Luar KUHP

bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan kesalahan terhukum...

bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.

4) Pasal 46 PERPPU Nomor 1 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantas Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang

Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dapat diberlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini...86

5) Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Selain memperhatikan aturan tertulis yang berlaku, hakim dalam menilai suatu perkara, juga wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

86 Prinsip Retoraktif dalam Undang-undang Pemberantas Tindak Pidana Terorisme ini telah dicabut melalui putusan MK Nomor 013/PUU-I/2003. Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam perundang-undangan pidana, baik dalam konteks hukum pidana formal maupun material, tidak membenarkan untuk diberlakukan surut atau ex post facto law. Prinsip ex post facto law inilah sebagai bentuk justifikasi bahwa pada dasarnya hukum harus berlaku kedepan atau prespective law (hukum hanya mengikat untuk masa depan). Filosofis yang terkandung dalam pembatalan prinsip retroaktif tersebut ada di dalam pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 tentang “..hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

STUDI

---

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012 JUDUL

Uji Materiil Pasal 197 Ayat (1) huruf k dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 SEJARAH PROSEDURAL

Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi telah lalai karena tidak mencantumkan norma Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP yang menyatakan bahwa dalam putusan pemidanaan, harus dicantumkan perintah supaya terdakwa ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

Tidak dicantumkannya perintah itu, maka menurut Pasal 197 Ayat (2) putusan tersebut batal demi hukum (null and void).

FAKTA-FAKTA

• Bahwa Pemohon menolak untuk dieksekusi oleh jaksa pada Kejaksaan Negeri Banjarmasin perihal putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung.

• Bahwa Pemohon telah menerima 2 (dua) kali panggilan untuk men- jalani eksekusi putusan pidana tersebut, dan bahkan diancam akan dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena Pemohon dianggap membangkang tidak mau memenuhi panggilan eksekusi.

• Bahwa menurut Pemohon Pasal 197 Ayat (1) KUHAP adalah bersifat perintah (imperative) dan bersifat memaksa (mandatory) yang harus dicantumkan pada semua putusan pengadilan dari segala tingkatan- nya. Jika norma Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP itu tidak dicantumkan, maka putusan adalah “batal demi hukum”, yang artinya putusan itu sejak semula harus dianggap tidak ada, dan dengan sendirinya pula tidak dapat dieksekusi oleh jaksa sebagai eksekutor sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP.

• Bahwa dikarenakan Pasal 197 Ayat (1) KUHAP yang bersifat multi- tafsir, maka hak konstitusional Pemohon untuk memperoleh jaminan

due process of law” dan jaminan “kepastian hukum yang adil” dan bebasnya Pemohon dari rasa takut untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diberikan oleh Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 secara nyata, konkret dan aktual telah dilanggar.

ISU

Apakah dengan tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf k dan Ayat (2) KUHAP, dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum dan membatalkan kewenangan jaksa untuk mengeksekusi putusan tersebut?

DASAR HUKUM Pasal 197 KUHAP

(1) Surat putusan pemidanaan memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan me- nyebut kan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di

mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

ANALISIS

a) Bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum sepanjang permohonan penafsiran seperti yang dimohonkan.

Padahal ketentuan Pasal 197 Ayat (2) huruf k tersebut memang tidak sejalan dengan upaya pemenuhan kebenaran materiil dalam penegakan hukum pidana. Maka demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah memberikan makna bahwa Pasal 197 Ayat (2) huruf “k”

tersebut bertentangan dengan UUD 1945 apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum.

b) Bahwa Pasal 197 Ayat (2) KUHAP selengkapnya menjadi “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan i pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum ”.

c) Dissenting Opinion oleh hakim anggota M. Akil Mochtar:

Hukum pidana memiliki karakteristik dasar yang menuntut adanya prinsip kejelasan (lex certa). Perintah penahanan atau pembebasan yang dipersyaratkan dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP sangat penting untuk dimuat bila dalam pemeriksaan di sidang pengadilan hakim atau majelis hakim memerintahkan untuk melakukan penahanan kepada terdakwa. Hal ini berkaitan dengan adanya kepastian hukum terhadap status penahanan dari terdakwa.

Bila hakim atau majelis hakim tidak memuatnya dalam surat putusan maka status penahanan terdakwa menjadi tidak jelas. Hal demikian mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara yang sedang ditahan. Bila hakim tidak segara memutuskan status penahanan terdakwa dalam putusan maka terjadi keadilan yang tertunda. Rasa keadilan yang ditunda sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan (justice delayed is justice denied).

KESIMPULAN

Bahwa asas legalitas yang dianut dalam Pasal 197 Ayat (2) huruf k KUHAP tidak berlaku secara absolut atau mutlak, tetapi harus dipandang sebagai ketentuan yang lebih mengutamakan dan mengedepankan rasa keadilan di dalam masyarakat.

Dalam tulisan ini penulis juga menuliskan beberapa ketentuan yang ada di dalam Rancangan Rancangan KUHP (RUU KUHP) terkait asas legalitas yang menurut Eddy Hiaiej tidak berlaku secara absolut.

Lebih jelasnya dapat dilihat di dalam Pasal 1 dan Pasal 2 RUU KUHP Indonesia: 87

Pasal 1

1. Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

2. Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

4. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

Pasal 2

1. Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang- undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang lama berlaku apabila menguntungkan bagi pembuat.

87 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, 2005) hal. 2. Komentar Andi Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah terhadap asas legalitas dalam RUU KUHP adalah bahwa pasal tersebut disatu sisi melarang analogi namun di sisi lain membolehkan penjatuhan pidana terhadap perbuatan yang sebelumnya tidak diatur dalam hukum tertulis. Lihat : A.Z. Abidin Farid & A. Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 8 - 9.

2. Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan.

3. Dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas- batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru.

---

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 147-154)