• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Asas Legalitas

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 104-107)

LEGALITAS

3.3 Makna Asas Legalitas

KESIMPULAN

Dasar dari keadilan restoratif yang terkandung dalam Putusan Kasasi Nomor 1600 K/Pid/2009 adalah Hakim diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman untuk menggali hukum di masyarakat.

Pertimbangan Hakim Agung sudah mencerminkan hal itu dengan menyatakan bahwa Perdamaian memiliki nilai penting sehingga pencabutan pengaduan dinyatakan sah walaupun tidak memenuhi syarat Pasal 75 KUHP.

---

Moeljatno menyebutkan, asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:28 (1)  Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

(2)  Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.

(3)  Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Seperti yang dikutip oleh Komariah Emong Sapardja mengenai asas legalitas, pandangan  Groenhuijsen  menyebutkan ada empat makna yang ter- kandung asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yaitu: 29

Pertama,  pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. 

Kedua,  semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. 

Ketiga,  hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. 

Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.

Pemikiran tersebut hakikatnya identik dengan pendapat dari Machteld Boot  yang searah dengan pemikiran  Jeschek  dan  Weigend  yang menyebutkan empat syarat asas legalitas yakni:

Pertama, tidak ada perbuatan pidana dan pidana tanpa undang-undang sebelumnya (asas nullum crimen, noela poena sine lege pravia).

Kedua,  tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang- undang tertulis (asas nullum crimen, nulla poena sine lege scripta).  

Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang- undang yang jelas (asas nullum crimen, nulla poena sine lege certa).

Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang- undang yang ketat (asas nullum crimen, noela poena sine lege stricta).  

Kemudian lebih detail lagi Machteld Boot menyebutkan bahwa: 30

“The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in Article 1 StGB is generally considered to include four separate requirements.

Fist, conduct can only be punished if the punishability as well as the acconpanying penalty had been determined before the offence was committed (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Furthermore, these determinations have to be be included in statutes (Gesetze): nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These statutes have to be difinite (bestimmt):

nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly, these statutes may not be applied by analogy which is reflected in the axion nullum crimen, noela poena sine lege stricta.”

JH. J. Enschede mengemukakan pemikiran yang sederhana mengenai makna asas legalitas bahwa hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu: Pertama,  suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling...). Kedua,  kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling mag geen terugwerkende kracht hebben...).31 Makna asas legalitas yang dikemukakan oleh

30 Machteld Boot, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of the International Criminal Court: Genocide, Crime Against Humanity, War Crimes, (Intersentia, New York, 2001), hal. 94.

31 CH. J. Enschede, Beginselen van Strafrecht, (Kluwer, 2002), hal.26 dalam:  Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, (Erlangga, Jakarta, 2009), hal. 24.

Enschede ini sama dengan makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro yaitu sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan undang- undang dan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.32 Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal tentang makna asas legalitas: 33 

Pertama,  Konsep perundang-undangan yang diandaikan ketentuan Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang- undangan (wettelijk) dalam ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan secara  legitimate.  Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. 

Kedua,  Lex Certa  (undang-undang yang dirumuskan ter- perinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini).  Asas  Lex Certa  atau  bestimmtheitsgebot  merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana). Karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan- ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. 

Ketiga,  dimensi analogi. Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan).

       

Von Feurbach  menyebutkan, makna asas legalitas menimbulkan tiga peraturan lain. Pertama,  setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege).  Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan yang diancam dengan pidana yang menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undang-undang dijatuhkan  (nullum crimen sine poena legali).34 Richard G. Singer  dan  Martin R. Gardner menyebutkan

32 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Refika Aditama, Bandung, 2003), hal. 42.

33 Jan Remmelink, Op.Cit, hal. 357-359.

34 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materiil Bagian Umum, (Binacipta, Bandung,1979), hal. 51.

asas legalitas berkorelasi dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif. Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut. Ketiga, perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang.35

         

Asas Legalitas dalam konstitusi di Indonesia dimasukkan dalam amandemen kedua UUD 1945.36 Pasal 28I Ayat (1) menyebutkan:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Sedangkan dalam Pasal 28J Ayat 2 menyatakan:

”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.37

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 104-107)