• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Asas Legalitas

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 99-104)

LEGALITAS

3.2 Definisi Asas Legalitas

Bagi Andi Hamzah dan Loebby Loqman, walaupun menurut Pasal 1 Ayat (1) KUHP di Indonesia dianut asas legalitas, namun sewaktu masih adanya pengadilan Swapraja dan pengadilan adat, dimungkinkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) huruf b, hakim menjatuhkan pidana penjara maksimum 3 (tiga) bulan dan/ atau denda paling banyak lima ratus rupiah. Hukuman itu bagi perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap delik yang belum ada padanannya di dalam KUHP.20

Menurut Lamintang “asas legalitas ini artinya tidak ada (nullum) delik, tiada pidana (poena) tanpa (sine) terlebih dahulu diadakan (preavia) ketentuan (lege poenali). Dalam rumusan bahasa latin yaitu nullum crimen noela poena sine praevia lege poenali  yang diciptakan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach”

pada abad ke-19 dalam bukunya yang berjudul lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801). Ajaran Feuerbach ini dikemukakannya sehubungan dengan pembatasan keinginan manusia untuk melakukan suatu kejahatan, ajaran ini dikenal dengan teori Psychoolgise zwang yang memuat tiga ketentuan yaitu: 21

a. Nulla puna sine lege, yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana.

b. Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang.

c. Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbuatan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancam- kan undang-undang terhadap pelanggarnya.

Pendapat von Feuerbach mengenai asas legalitas dapat disimpulkan yaitu seseorang tidak dapat dihukum karena suatu perbuatan kecuali atas suatu undang-undang yang telah berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.

Selain itu, dalam asas legalitas terdapat hal-hal penting yang tidak lepas dari pengertian asas legalitas yang dapat diuraikan secara garis besar sebagai berikut:22

In countries that adopt the principle of individualistic schools of legality is maintained, whereas in the socialist principle of state. This lot is no longer the Soviet adopted a clear since 1926.

This is in accordance with the tradition of civil law systems, that. There are four aspects of the legality principle is strictly applied, namely legislation (law), retroactivity, lex chert, and analogies. Regarding this fourth aspect, Roelof H. Haveman said that though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.

(Di negara-negara yang menganut paham individualistis asas legalitas ini dipertahankan, sedangkan di negara yang sosialis asas ini banyak yang tidak dianut lagi seperti Soviet yang menghapus sejak tahun 1926. Hal demikian sesuai dengan tradisi sistem civil law, bahwa ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu peraturan perundang- undangan (law),  retroaktivitas  (retroactivity),  lex certa, dan analogi.

Mengenai keempat aspek ini, Roelof H. Haveman menyatakan bahwa meskipun bisa dikatakan bahwa tidak setiap aspek ini yang kuat dengan sendirinya, kombinasi dari empat aspek memberikan makna lebih benar prinsip legalitas).

Prinsip legality  merupakan  karakteristik yang esensial, seperti yang dikemukakan oleh konsep rule of law , maupun oleh faham rechtstaat dahulu, maupun oleh konsep socialist legality. Contohnya larangan berlakunya hukum pidana secara  retroaktif  atau retrospective, larangan analogi, berlakunya asas nullum delictum dalam hukum pidana. Semua itu merupakan suatu refleksi dari prinsip legality. Moeljatno menyebutkan, asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu: 23

22 Aditya Widyatmoko, Komparisi   Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), www.digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/123550108201010551.pdf, diakses pada 05/06/2013

23 Moeljatno, Op.Cit, hal. 25.

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Mengenai asas legalitas ini secara jelas dapat diketahui di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.

Letrosne memiliki pandangan yang berbeda. Ia mengatakan, ”asas legalitas memiliki segi pragmatis, oleh karena dalam  perundang-undangan pidana terdapat rumusan yang samar dan tidak ada batasan yang tegas dari masing-masing wewenang dalam acara pidana mengakibatkan banyak sekali kejahatan yang tidak dipidana”.24

Dari pandangan tersebut para pembentuk undang-undang sepakat, untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundang-undangan, asas legalitas diberikan celah untuk dilakukannya interpretasi judisial. Interpretasi judisial yang dimaksud adalah menjalankan undang-undang setelah undang-undang itu menjadi jelas atau menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan jelas.25

Dalam bahasa yang berbeda Moeljatno menyatakan, dalam asas legalitas juga tidak tertutup adanya kemungkinan terjadinya tafsiran ekstensief  yang berpegang pada aturan yang ada. Di dalamnya ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang dibentuk. Sehingga tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu terjadinya undang-undang, tetapi pada waktu penggunaannya. Karena itu masih dinamakan interprestasi, dan seperti halnya dengan cara interprestasi yang lain, selalu diperlukan dalam menggunakan undang-undang.26

24 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 28.

25 Siti, Kebijakan dalam menindaklanjuti asas legalitas, http://siti.staff.ugm.ac.id/wp/?p=17, diakses pada 05/06/2013.

26 Moeljatno, Op. Cit, hal. 28-29.

Dalam asas legalitas terdapat dua macam prinsip / asas untuk patut tidaknya seseorang dipidana. Hal ini terkait dengan adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, prinsip/asas tersebut adalah: 27

1. Asas legalitas formal yang sudah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini menggariskan dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan hukum atau perbuatan pidana. Sehingga pelakunya dapat dipidana adalah ketentuan dalam undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.

2. Asas legalitas material, prinsip ini tidak dirumuskan secara formal dalam KUHP, tetapi prinsip ini dipegang teguh oleh masyarakat. Asas legalitas ini menggariskan bahwa untuk menentukan melawan hukum atau perbuatan pidana adalah nilai-nilai dalam bermasyarakat. 

CONTOH KASUS

--- Kejaksaan Negeri Yogyakarta vs Ismayawati

MA, No 1600 K/Pid/2009 SEJARAH PROSEDURAL

• Pengadilan Negeri Yogyakarta memberikan vonis pencabutan pengaduan yang diajukan oleh Pengadu, Saksi Emiwati;

• Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Yogyakarta mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta;

• Terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia;

FAKTA-FAKTA

• Bahwa Saksi Emiwati selaku Pengadu mengadukan menantunya sendiri, Terdakwa Ismayawati selaku Teradu ke Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tuduhan Penipuan atau Penggelapan;

• Bahwa awal mulanya Terdakwa meminta bantuan dana untuk pengembangan usaha kepada Saksi Emiwati selaku mertua dari Terdakwa;

27 Aditya Widyatmoko, Op.Cit

• Bahwa Saksi Emiwati memberikan tambahan dana untuk modal usaha dengan perjanjian bahwa Terdakwa akan mengembalikan dana bantuan dari Saksi Emiwati beserta pembagian keuntungan dari usaha Terdakwa;

• Bahwa kemudian Terdakwa memberikan bilyet giro dan cek kepada Saksi Emiwati;

• Bahwa kemudian saksi Emiwati mencairkan bilyet giro dan cek ternyata dananya kosong sehingga mengalami kerugian Rp 3.900.000.000,- (Tiga miliar sembilan ratus juta rupiah);

• Bahwa kemudian Saksi Emiwati mencabut aduan mengingat Terdakwa merupakan menantunya sendiri yang masih memiliki dua anak kecil dan sudah memaafkan Terdakwa;

ISU

Apa yang mendasari keadilan restoratif yang terkandung dalam Putusan Kasasi Nomor: 1600 K/Pid/2009?

ATURAN Pasal 378 KUHP

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan

Pasal 372 KUHP

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

ANALISIS

Pengadilan Negeri Yogyakarta mengabulkan permohonan pencabutan pengaduan. Tetapi kemudian dibatalkan Pengadilan Tinggi Yogyakarta.

Perkara ini bergulir ke Mahkamah Agung. Majelis Hakim Agung dipimpin Harifin A Tumpa membatalkan putusan Pengadilan Tinggi. Pada intinya, Mahkamah Agung Republik Indonesia membenarkan argumentasi bahwa walaupun pencabutan pengaduan oleh korban sudah tidak memenuhi syarat pasal 75 KUHP, pencabutan itu tetap diterima. Perdamaian kedua belah pihak bernilai tinggi. Pencabutan pengaduan dinyatakan sah.

KESIMPULAN

Dasar dari keadilan restoratif yang terkandung dalam Putusan Kasasi Nomor 1600 K/Pid/2009 adalah Hakim diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman untuk menggali hukum di masyarakat.

Pertimbangan Hakim Agung sudah mencerminkan hal itu dengan menyatakan bahwa Perdamaian memiliki nilai penting sehingga pencabutan pengaduan dinyatakan sah walaupun tidak memenuhi syarat Pasal 75 KUHP.

---

Moeljatno menyebutkan, asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:28 (1)  Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

(2)  Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.

(3)  Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Seperti yang dikutip oleh Komariah Emong Sapardja mengenai asas legalitas, pandangan  Groenhuijsen  menyebutkan ada empat makna yang ter- kandung asas legalitas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yaitu: 29

Pertama,  pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. 

Kedua,  semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya. 

Ketiga,  hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. 

Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 99-104)