• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Teori dalam Kausalitas

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 189-193)

Daftar Pustaka Bab 4

5.4 Beberapa Teori dalam Kausalitas

waktu, tempat dan keadaan. Jadi menurut teori ini tidak ada syarat yang dihilangkan, sebab dapat mengubah akibat. Jelasnya semua faktor adalah syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht).

Kebaikan teori ini ialah mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan dan konsekuensinya semua yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban pidana. Kelemahan teori ini hubungan sebab akibat atau kausal itu terbentang jauh ke belakang tanpa akhir, karena tiap­tiap sebab merupakan akibat terjadi delik.

5.4.2 Teori Individualisasi

Teori ini berpatokan pada keadaan setelah peristiwa terjadi (post factum). Artinya faktor­faktor aktif atau pasif dipilih, sebab yang paling menentukan dari kasus, sedangkan faktor lain hanya syarat saja (tidak dianggap menentukan timbul akibat). Ada dua pakar yang menganjurkan teori individualisasi ini, yakni Birkmayer dan Binding.

a). Birkmayer10 menjelaskan sebab adalah syarat yang paling kuat.

Tetapi bagaimanakah menentukan faktor yang paling kuat itu, apa ukurannya? Pertanyaan itulah yang merupakan kritikan terhadap pandangan Birkmayer.

b). Binding11 menjelaskan bahwa sebab dari suatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan faktor positif. Faktor positif ialah yang lebih unggul. Disebut sebab yakni syarat­syarat positif yang memiliki keunggulan terhadap syarat­syarat negatif. Satu­satunya sebab ialah faktor atau syarat yang terakhir yang mampu menghilangkan keseimbangan.

5.4.3 Teori Generalisasi

Teori yang dipelopori oleh Von Bar. Ia menyatakan teori generalisasi berpatokan pada sebelum terjadi kasus (ante pactum). Pada serentetan syarat, adakah perbuatan manusia yang dalam pandangan umum dapat menimbulkan akibat terjadinya delik. Jadi kriteria yang dipakai adalah hanya satu perbuatan yang menurut perhitungan normal adalah patut menimbulkan akibat terjadi delik. Sehingga hanya sebab

10 Sudarto, Hukum Pidana I, (Yayasan Sudarto, Semarang, 1990) hal. 69.

11 Ibid.

yang kuat (adequate; ad-aequare = dibuat sama)12 dianggap sebab yang menimbulkan akibat. Perhitungan normal dalam teori generalisasi menggunakan dua patokan, yaitu:13

a. Patokan Subjektif

Teori yang dipelopori oleh Von Kries yang menyatakan bahwa dianggap sebab menimbulkan akibat ialah apa yang oleh pembuat delik diketahui/diperkirakan dapat menimbulkan akibat. Adequate yang berpatokan subjektif menurut Von Kries adalah serangkaian faktor­faktor penyebab hanyalah satu sebab saja yang dapat diterima, yaitu faktor yang sebelumnya dapat diketahui oleh pembuat delik.

b. Patokan Objektif (objective adequat nachlighter prognose) yang dipelopori oleh Rumelink. Ia menyatakan dasar penentuan suatu perbuatan dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal­hal yang secara objektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui.

Jadi bukan terletak pada pembuat delik, melainkan ditentukan oleh hakim. Akan tetapi faktor itu ada setelah delik terjadi. Sebenarnya disebut adequate karena si pembuat harus membayangkan akan terjadi akibat atau kalau orang pada umumnya juga membayangkan demikian. Seperti pada contoh kasus di atas, bahwa A sebetulnya sudah dapat membayangkan jika seorang dipukul dengan sepotong besi apalagi pada kepala, pasti menimbulkan akibat dapat menyebabkan orang yang dipukul itu meninggal dunia.

5.4.4 Teori Adequate dari Treger14

Teori ini menyatakan bahwa akibat delik harus yang pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali bisa terjadi.

Dalam yurisprudensi tentang sebab akibat ini dikutip 2 yurisprudensi sebagai berikut:

1. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 193715 tentang sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas rel kereta api dan seketika itu digilas oleh kereta api. Tergilasnya

12 Ibid.

13 Drs.E.Eutrech, Hukum Pidana I (Penerbit Tintamas, Surabaya,1961) hal. 387-388.

14 Ibid.

15 Sudarto, Op.Cit., hal. 73.

pengendara sepeda motor oleh kereta api itu di pandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil, maka matinya korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan terdakwa (pengendara mobil).

2. Yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak, 7 Mei 195116 terdakwa sebagai kerani (pegawai administrasi) bertanggung jawab atas tenggelamnya kapal yang disebabkan terlalu berat muatan, yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia. Oleh karena terdakwa sebagai orang yang memasok barang angkutan kapal tidak mempedulikan peringatan berbagai pihak tentang adanya overload pada saat kapal itu akan berangkat. Di dalam pertimbangan hakim disebut perbuatan terdakwa mempunyai hubungan erat dengan kecelakaan tenggelamnya kapal itu.

Pada delik­delik omisi dapat juga terjadi kausalitas, apabila dikaitkan dengan kausalitas pada pengabaian. Misalnya penjaga kereta api yang tidak mau membuka pintu rel kereta api sehingga terjadi kecelakaan kereta api. Sekalipun penjaga kereta tidak berbuat, tapi dianggap mengabaikan perintah undang­undang sehingga dianggap mempunyai kaitan erat antara terjadi kecelakaan kereta api dan tindakan pengabaian (tidak memenuhi kewajiban) dari penjaga rel kereta api.

Kausalitas ada pada delik omisi karena merupakan perwujudan dari kelakuan negatif, yakni pengabaian. Pertanyaan yang timbul ialah teori kausalitas manakah yang dipakai di Indonesia? Utrecht17 menyatakan bahwa rupanya yurisprudensi Indonesia mengikuti teori Von Kries yang lazimnya dinamakan Teori Adequate Subjektif, karena yang diberi nilai dan harus diperhatikan hakim ialah perbuatan yang akan menimbulkan akibat, sebelumnya dapat diketahui atau dapat diramalkan dengan kepastian yang kuat oleh pembuat delik. Teori ini dikenal juga dengan sebutan Teori Subjectieve Prognose (teori ramalan subjektif).

Disebut demikian karena akibat perbuatan yang dilakukan sebelumnya telah dapat diramalkan atau di­prognase, yang dapat menjadi causa yang adequate (causa yang seimbang, sesuai, sepadan).

16 Ibid.

17 Drs. E. Eutrech, Op.Cit., hal. 390.

Jan Remelink dalam tulisannya18 mempermasalahkan tentang kondisi adanya suatu akibat yang “dapat diduga sebelumnya.” Bila hal ini dipertimbangkan, maka kausalitas bukan hanya merupakan masalah dalam delik dolus atau sengaja saja, tetapi jaga dalam jenis delik kelalaian atau culpa. Jan Remelink mengutip pandangan Prof. Welzel dari Jerman yang menyatakan adanya kriteria pelaku uberdeterminiert (turut menentukan) kausalitas. Dari pernyataan itu, muncul pertanyaan apakah pelaku dapat dipersalahkan atas keadaan menyimpang yang terjadi. Dalam delik culpa, pelaku memungkinkan menduga akibat secara mudah dan nyata. Unsur “karena lalainya menyebabkan orang lain terluka atau mati” ada dalam Pasal 359 atau 360 atau dalam Undang­Undang Lalu Lintas. Masih adanya masalah dalam hal mempertimbangkan, patut diduganya akibat terjadi, sehingga pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban. Untuk ini, Jan Remelink menulis beberapa kriteria sebagai berikut:

a. Kausalitas Alternatif (Doppelkausalitat)

Adalah mungkin bila penyebab dari suatu akibat berasal lebih dari satu orang pelaku, yaitu ada dua atau lebih sebab yang muncul secara simultan. Contoh sederhana adalah dalam kecelakaan lalu lintas. Seorang pengendara sepeda motor lampunya mati (A) dan karenanya ditabrak oleh kendaraan lain yang dikemudikan dengan melampaui batas kecepatan (B). Dalam hal ini, kecelakaan terjadi, baik karena salah A, maupun salah B. Dalam hal ini ajaran conditio sine qua non dapat digunakan sebagai alat untuk menguji dalam peristiwa ini.

b. Kausalitas Hipotesis

Kausalitas hipotesis merupakan bentuk lain dari kausalitas alternatif.

Contoh dari model kausalitas ini adalah

A yang membutuhkan sejumlah uang (misalnya karena kemiskinan) mengarang sejumlah cerita agar B menyerahkan sejumlah uang dan ia berhasil. Dalam kasus ini seandainya ia berkata jujur, B tetap akan memberikan uang itu. (sumber: Jan Remelink)

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 189-193)