• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis Delik yang Memerlukan Kausalitas

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 182-188)

Daftar Pustaka Bab 4

5.2 Jenis Delik yang Memerlukan Kausalitas

ajaran ini diterapkan dalam beberapa delik tertentu yang membutuhkan akibat untuk dapat dituntut pidana, yakni pada delik­delik materiil, delik­delik omisi tidak murni atau delik yang dikualifisir.

5.2.1 Delik Materiil

Delik materiil sering diterjemahkan sebagai delik yang di dalam perumusan pasalnya dinyatakan sebagai suatu akibat yang dilarang oleh undang­undang. Titik tolak dari delik materiil adalah bahwa sempurnanya tindak pidana terjadi pada saat akibat yang dilarang itu muncul. Jadi titik berat delik ini ada pada munculnya akibat larangan itu. Oleh karena itu menjadi penting untuk menentukan sebab yang menimbulkan akibat yang dilarang itu muncul. Beberapa contoh delik materiil di antaranya 338, 351 atau 378 KUHP.

Menurut Adami Chazawi, dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan tiga syarat esensial, yaitu:2

a. terwujudnya tingkah laku,

b. terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constitutief gevolg), c. ada hubungan kausal (causal verband) antara wujud tingkah laku

dengan akibat konstitutif.

Tiga syarat ini dinyatakan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan untuk terwujudnya delik materiil.

Walaupun dalam rumusan undang­undang disebut juga unsur perbuatan seperti “merampas” pada Pasal 338, atau “menggerakkan” pada Pasal 378, namun untuk dapat menyatakan telah terjadi pembunuhan, dalam kasus ini adalah hilangnya nyawa seseorang, dalam menentukan pertanggungjawaban pidananya, harus disebabkan atas suatu perbuatan tertentu sebagai penyebabnya.

Dalam kasus penipuan, seseorang baru dinyatakan tertipu manakala ia telah menyerahkan barang, membuat utang atau menghapus piutang seseorang. Dan apabila dihubungkan dengan masalah siapa yang bertanggung jawab, tentunya kepada seseorang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindakan menyerahkan barang, membuat utang atau menghapus piutang tersebut. Dalam rumusan Pasal 378

2 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2 (PT Rajagrasindo Persada, Jakarta, 2009) hal. 214.

terdapat daya upaya yang dirumuskan secara limitatif yang dapat diguna­

kan sebagai alat, yaitu nama palsu, keterangan palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Yang penting di sini adalah adanya hubungan kausal antara daya upaya yang digunakan pelaku dengan akibat seseorang menyerahkan barang, membuat utang atau menghapus piutang. Karena itu, untuk menentukan telah sempurnanya tindak pidana delik materiil, ajaran kausalitas menjadi penting untuk digunakan.

5.2.2 Delik yang Dikualifisir

Selain penting untuk mencari hubungan sebab akibat dalam delik materil, ajaran kausalitas juga penting untuk mencari hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat dalam delik yang dikualifisir, dengan unsur pemberatnya adalah suatu akibat yang dilarang oleh undang­undang. Dalam hal delik yang dikualifisir, yang delik pokoknya (eenvoudige delict) adalah delik materil, maka pada delik materil, ajaran kausalitas mutlak diperlukan. Oleh karena itu, umumnya delik yang dikualifisir dalam pembicaraan ini merujuk kepada delik yang dikualifisir, yang delik pokoknya (eenvoudige delict) adalah delik formil.

Delik formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang dilakukannya suatu perbuatan tertentu. Sempurnanya suatu tindak pidana dalam bentuk delik formil adalah ketika perbuatan dilakukan. Tetapi untuk pasal yang menambahkan unsur akibat yang memperberat pidananya, maka ajaran kausalitas berperan untuk menghubungkan antara perbuatan dengan akibat yang terjadi. Misalnya dalam penggunaan Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan.

Tindak pidana pencurian merupakan delik formil yang sempurna ketika barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain diambil sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 sebagai delik pokoknya.

Akan tetapi dalam Pasal 365 ditambahkan adanya unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan,” yang dalam Ayat 2 Angka 4 dinyatakan mengakibatkan luka berat dan Ayat 3 mengakibatkan mati.

5.2.3 Delik Omisi Tidak Murni

Persoalan ini timbul dalam delik­delik omisi dan delik comisionis per ommisionem delicta (delik omisi yang tidak murni).

Jenis kedua ini sebenarnya delik omisi yang dilakukan dengan “tidak berbuat.” Pada delik omisi persoalannya mudah karena delik omisi itu

adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas.

Yang jadi persoalan adalah pada delik commisionis per omission delicta, adanya pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat.” Dalam persoalan ini ada beberapa pendirian:3

a. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa menimbulkan akibat.

Pendirian ini didasarkan kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak mungkin timbul keadaan positif. Pendirian ini tidak bisa diterima karena dalil pengetahuan alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rohani (seperti hukum pidana ini).

b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh si pembuat pada saat akibat itu timbul.

Misal: seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi susu.

Yang disebut sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain.” Teori ini pun tidak dapat diterima karena kepergian ibu itu tidak bisa dianggap ada hubungan dengan akibat itu.

c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul.

Teori ini disebut “teori berbuat yang sebelumnya.” Misal seorang penjaga wesel yang menyebabkan kecelakaan kereta api karena tidak memindahkan wesel. Menurut ajaran ini, yang menjadi sebab ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori ini pun tidak memuaskan, sebab sulit dilihat hubungannya antara penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.

d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab dari sesuatu akibat, apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat.

Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya yang nyata tertulis dalam suatu peraturan, tetapi juga dari peraturan­peraturan yang tidak tertulis, seperti norma­norma lain yang berlaku dalam masyarakat yang teratur.

3 Ibid.

Di bawah ini contoh­contoh apakah ada kewajiban berbuat atau tidak:

1. Ada anak yang dibunuh. Orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa­apa. Menurut Hof Amsterdam 23 Oktober 1883, memang sikap semacam itu sangat tercela (laakbaar) dan tidak patut.

2. Seorang penjaga gudang membiarkan pencuri melakukan aksinya. Ia dapat dimintai pertanggungjawaban, sebab sebagai penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan berbuat sesuatu.

Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal “tidak berbuat”

adalah “tidak berbuat” itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat.

“Tidak berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan.” Dalam delik commisionis per omissionem delicta (delik omisi yang tidak murni)

“tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali,” akan tetapi

“tidak berbuat sesuatu,” yang diharapkan untuk diperbuat/dilakukan.

Jadi ada kewajiban hukum untuk melakukan sesuatu yang dilanggar.

Maka dengan pengertian ini, “tidak berbuat” pada hakikatnya sama dengan “berbuat sesuatu,” dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate, mengingat keadaan yang konkret, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab.”

Yang perlu diperhatikan dalam hubungan kausal ini terletak pada segi objektif dan segi subjektif. Segi objektif (yang menyangkut perbuatan) adalah keseluruhan syarat pemidanaan, sedangkan dari segi subjektif atau pertanggungjawaban pidana, adalah menyangkut orangnya.

5.2.4 Delik Culpa

Dalam banyak literatur, delik culpa tidak disebutkan secara khusus sebagai delik yang memerlukan ajaran kausalitas. Tetapi penulis memandang penting untuk membahas jenis delik ini secara tersendiri (banyak penulis memasukkan delik culpa sebagai bagian dari delik materiil). Itu karena perbedaan yang menjadi dasar dari kualifikasi delik culpa (kelalaian) dengan dolus (kesengajaan) adalah adanya kehendak atas terjadinya suatu akibat yang dilarang oleh aturan perundang­undangan. Dalam klasifikasi culpa yang disadari (bewuste

culpa), pada dasarnya pelaku menyadari atas perbuatan yang dilakukan dan mengetahui akibat yang mungkin muncul bila kecerobohan atau kesembronoan atas perbuatan yang dilakukannya.

Contoh sederhana:

X seorang pembantu rumah tangga yang memasak air, meninggalkan kompor yang menyala dalam waktu yang lama.

Ia mengetahui apabila air dimasak terlalu lama, maka akan mengering dan kompor meledak. Karena asyik menonton televisi, maka air yang dimasaknya pun mengering dan kompor meledak.

Karena itu ajaran kausalitas dalam delik culpa menjadi penting untuk menentukan sebab dalam suatu akibat yang terjadi untuk menentukan apakah suatu kelalaian dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

5.2.5 Dolus Eventualis

Dalam kasus­kasus malpraktek medis atau kecelakaan lalu lintas, pertanggungjawaban atas risiko yang mungkin muncul kerap menjadi dasar perdebatan apakah suatu akibat dapat dipertanggungjawabkan.

Contohnya kasus tabrakan maut Apriyani:

Apriyani Susanti (seorang wanita berusia 29 tahun), sopir mobil Xenia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara setimpal. Banyak masyarakat dan keluarga korban menjadi lebih geram setelah mengetahui bahwa Apriyani mengendarai mobilnya dengan tidak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) dan mengemudikan mobilnya dalam keadaan di bawah pengaruh narkoba dan alkohol.4

Atau kasus Metromini maut Kali Sunter:

4 “Pengemudi Xenia yang Tabrak Orang di Tugu Tani Tak Kantongi SIM dan STNK” ditelusur melalui http://www.detiknews.

com/ diakses 24 Januari 2012.

Tahun 1994 terdapat kasus serupa seperti yang menimpa Afriyani, yaitu peristiwa kecelakaan maut Metromini jurusan Senen-Tanjung Priok dengan nomor polisi B 7821 VM. Saat itu, angkutan umum yang berpenumpang 45 orang terjun ke Kali Sunter dan mengakibatkan 32 orang tewas. Penumpang Metromini tertutup sehingga air sungai yang hitam pekat mengakibatkan para penumpang meregang nyawa secara perlahan. Sementara sang sopir kabur dan belakangan ber- hasil dibekuk polisi di kampung halamannya di Sumatera Utara.5

Dalam konteks seperti itu, Moelyatno menyatakan, dalam hal ini dapat digunakan teori  “Inkauf Nehmen”  atau teori “apa boleh buat.”  Dalam teori ini diperlukan 2 syarat, yaitu:

1) terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupakan delik,

2) sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikan sungguh pun timbul, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani pikul resikonya.

Kausalitas dimungkinkan sebagai dasar dalam penentuan terhadap pengetahuan pelaku atas perbuatan dan risiko yang mungkin ditimbulkannya.

Berkaitan dengan sulitnya menentukan sebab dari suatu akibat, khususnya terkait dengan pembuktian suatu tindak pidana, maka doktrin menentukan bahwa “that the law in mainly rational.” 6 Asas yang penting dalam penerapan asas rasionalitas, yaitu asas legalitas. Perumusan unsur­unsur dalam pasal­pasal di undang­undang pada penerapannya memerlukan interpretasi karena mustahil untuk merumuskan suatu ketentuan secara rigid.

5 “Yurisprudensi MA: Sopir Maut Bisa Dikenai Hukuman 15 Tahun ditelusur melalui http:// www.detiknews.com diakses pada 12 Desember 2012.

6 Allan Norrie, Crime, Reason and History: A Critical Introduction to Criminal Law (Cambridge University Press, Cambridge, 2006), hal. 7.

Dalam dokumen Buku Hukum Pidana Materiil & Formil (Halaman 182-188)