• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEFINISI DAN KONSEP DASAR

Dalam dokumen VARIASI KONSTRUK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA (Halaman 147-162)

BAB VIII MEMBUKTIKAN

A. DEFINISI DAN KONSEP DASAR

Membuktikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai meyakinkan dengan bukti atau menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti.

Membuktikan tidak hanya sekedar menulis bukti dari suatu teorema. Tidak pula membuktikan bersifat individualis. Hal inilah yang ditengarai sebagai penyebab kegagalan dari mengembangkan kemampuan membuktikan.

Bukti merupakan produk akhir dari membuktikan. Bentuknya dapat berupa langsung atau tak langsung (Gantert, 2008). Modelnya dapat berupa alir, tabel, ataupun paragraf (Cirillo, 2012). Bukti dikonstruk terlebih dahulu oleh individu atau kelompok berdasarkan apa yang sudah diketahui dan prinsip yang mendasarinya. Pengonstruksian bukti oleh individu atau kelompok ini dalam rangka memastikan bahwa bukti tersebut ada, disebut mengonviksi diri sendiri.

Jika bukti ini didiskusikan pada individu atau kelompok lain maka akan ada proses membujuk, disebut mengonviksi orang lain. Didalam ataupun setelah melalui proses mengonviksi orang lain ini, bisa jadi akan terjadi pengonstrukan ulang dari bukti yang telah dihasilkan sebelumnya.

Kegiatan dalam membuktikan disebut sebagai pembuktian. Pembuktian terdiri dari aktifitas mengonstruksi (Selden & Selden 2011, 2013a, 2013b, 2015, 2016; Savic 2015a, 2015b; Zandieh 2014) dan mongonviksi bukti (Harel &

Sowder, 1998, 2008; Alcock & Inglish 2008, 2012; Weber & Mejia-Ramos 2014, 2015). Pengonstruksian bukti menurut Selden (2013a) dapat dilakukan dengan mengeksplorasi apa yang sudah diketahui dan prinsip yang mendasarinya untuk mencapai kesimpulan yang diharapkan, kemudian mengerjakan kembali jika terjadi kesalahan sewaktu menulis bukti, setelah bukti telah selesai ditulis dilakukan validasi secara keseluruhan. Sedangkan pengonviksian bukti merupakan kegiatan mengonviksi diri sendiri dan orang lain.

Mengonviksi diri sendiri adalah memastikan diri sendiri tentang kevalidan bukti. Memastikan menurut Harel & Sowder (1998) merupakan proses seorang individu untuk menghapus keraguan sendiri tentang kebenaran dari suatu

136

pengamatan. Pendapat serupa disampaikan Stylianides (2016) bahwa ascertaining is the process employed by an individual to remove his or her own doubts about the truth or falsity of statement. Sedangkan mengonviksi orang lain adalah membujuk orang lain tentang kevalidan bukti. Membujuk menurut Harel &

Sowder (1998) merupakan proses seorang individu untuk menghapus keraguan orang lain tentang kebenaran suatu pengamatan. Pendapat yang sama disampaikan oleh Stylianides (2016) bahwa persuading is the process employed by an individual or a group to remove the doubts of others about the truth or falsity of a statement.

Terbukti merupakan tujuan akhir dan proses yang tak terpisahkan dari membuktikan. Ada proses menghubungkan atau memodifikasi nilai epistemis dan ada proses yang menghubungkan nilai logis. Epistemic value is a kind of value which attaches to cognitive successes such as true beliefs, justified beliefs, knowledge, and understanding (www.iep.utm.edu/ep-value). Nilai epistemis yang dimaksud adalah “true belief”. Ernest (2004) mengatakan bahwa istilah “true belief” diartikan sebagai pernyataan yang telah dijustifikasi serta dapat diterima.

Sedangkan nilai logis adalah nilai kevalidan dari suatu argument yang menetapkan kebenaran dari pernyataan.

B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN

Karakteristik dalam pembuktian menurut Harel (2008) berupa skema bukti, seperti disajikan pada Gambar di bawah ini. Skema bukti merupakan karakteristik dari bukti sebagai hasil dari suatu aktivitas mental dari membuktikan. Sedangkan menurut Weber dan Mejia-Ramos (2015) menyatakan bahwa skema bukti melibatkan memahami bagaimana siswa berubah menjadi dugaan fakta: yaitu, bagaimana mereka mencari dan memperoleh keyakinan mutlak dalam pernyataan matematika. Diperjelas lahi oleh Weber, Inglis, dan Mejia-Ramos (2014) bahwa skema bukti individu mewakili bagaimana mereka menghasilkan bukti-bukti dengan penekanan khusus pada jenis bukti yang mereka gunakan untuk menjadi yakin bahwa pernyataan matematika adalah benar.

137

Gambar. Hubungan antara membuktikan, bukti dan skema bukti (dicopy dari Harel, 2008)

Mengonstruksi bukti menawarkan skema bukti dalam menggambarkan proses ini dengan kategori prosedural, sintaksis, dan semantik (Weber, 2004;

Zandieh, 2014). Dimana skema bukti prosedural, salah satu upaya untuk membangun bukti dengan mengikuti langkah-langkah tertentu yang akan menghasilkan bukti yang valid. Skema bukti sintaksis, salah satu upaya membangun bukti dengan memanipulasi definisi dan fakta lain yang relevan serta benar dengan cara logis. Sedangkan skema bukti semantik, mencoba untuk memahami mengapa pernyataan tersebut benar dengan memeriksa representasinya (misalnya diagram) dari objek matematika yang relevan dan kemudian menggunakan argument intuitif sebagai dasar untuk membangun bukti formal.

Mengonviksi bukti menurut Harel & Sowder (1998) skema buktinya disajikan pada Gambar berikut.

138 Gambar. Skema bukti

(dicopy dari Harel & Sowder, 1998)

Kategori skema konviksi bukti eksternal adalah skema dimana argument siswa didasarkan pada sumber eksternal tanpa mengacu makna simbol. Sumber tersebut meliputi bentuk atau penampilan argumen, kata dari suatu sumber, atau manipulasi simbolik secara hafalan. Skema bukti empiris dapat berupa induktif atau persepsi. Ketika siswa menggunakan contoh atau kasus khusus sebagai dasar dari argumen, ia dianggap memiliki skema bukti induktif. Dalam skema bukti persepsi, dugaan divalidasi melalui citra mental dasar, yaitu, "gambar yang terdiri dari persepsi dan koordinasi persepsi tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengubah atau untuk mengantisipasi hasil transformasi" (Harel & Sowder, 1998). Sedangkan kategori skema bukti tergolong sebagai analitis ketika argumen ini didasarkan pada penggunaan deduksi logis. Skema bukti analitis dapat berupa transformasi atau aksiomatik. Sebuah skema bukti transformasional melibatkan operasi

139

berorientasi pada tujuan pada objek. Siswa beroperasi dengan proses deduktif dimana ia menganggap aspek umum, berlaku operasi mental berorientasi pada tujuan dan antisipatif, dan mengubah gambar. Sebuah skema bukti aksiomatik melampaui suatu transformasional dan siswa juga mengakui bahwa sistem matematika bersandarkan pada pernyataan (mungkin sewenang-wenang) yang diterima tanpa bukti.

Suatu titik M yang terletak pada AB dan CD adalah titik tengah AB, jika ACBC dan ADBD. Untuk membuktikannya pertama dari pernyataan ACBC dan ADBD dapat disimpulkan bahwa C dan D berjarak sama dari A dan B. Jika dua titik masing-masing berjarak sama dari titik-titik ujung pada segmen garis, maka titik tersebut terletak pada garis sumbu dari segmen garis. Dengan demikian, CD merupakan garis sumbu pada AB. Akhirnya, M adalah titik potong AB dengan garis sumbu CD, jadi uAMuBM . Dengan definisi titik tengah dapat disimpulkan bahwa M adalah titik tengah AB, (Terbukti).

Proses tersebut merupakan contoh membuktikan sebagai mengonstruk bukti, dengan kategori skema bukti sintaksis. Jika pembaca meragukan pembuktian tersebut, maka pembaca dapat memastikan pernyataan tersebut dengan mengonviksi bukti, dengan kategori analitik, seperti pada Gambar berikut. Dari hasil tersebut pembaca akan percaya bahwa M adalah titik tengah AB.

140

Gambar. Membuktikan M adalah titik tengah AB (dicopy dari Gantert, 2008)

Tersebut di atas merupakan contoh dari membuktikan. Sedangkan akan dibuktikan f oggo f , dimana f

 

x x;g

 

x x2,x. Pembuktiannya disajikan sebagai berikut,

  

    

f g g f

x x x f g

x x x x g f

2 2

Pembuktian tersebut di atas tidak lengkap karena tidak ada alasan pendukung pernyataan yang menyusun bukti tersebut, dan ada langkah yang kurang, yaitu langkah “dua fungsi h dan k sama jika dan hanya jika

   

x k x x D

 

h k h  ,  , .

     

f g g f

x f g x g f

C. PENELITIAN TERKAIT

Membuktikan merupakan suatu kajian matematis yang sedang ngetrend dibahas oleh peneliti dalam beberapa tahun belakangan. Berikut akan diulas beberapa penelitian tentang membuktikan yang pernah dilakukan,

141

penelitian yang dibahas pada bab ini dilakukan dalam rentang tahun 2014 sampai dengan 2015, yaitu:

Cai dan Cirillo (20140 mereview tentang analisis buku teks yang pernah dilakukan. Memberikan data kualitatif pada setiap subjek kemudian menganalisis secara kualitatif dari tugas-tugas yang muncul dalam buku teks tersebut. Subjeknya adalah 5 penelitian tentang analisis buku yang sudah pernah dilakukan, yaitu oleh (1) Bieda el., (2) Fujita & Jones, (3) Otten el., (4) Davis el., (5) McCrory & Stylianides. Didapatkan bahwa rangkuman beberapa aspek metodologis yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut,

Serta kurang konsisten metode analisis ini sehingga membuat perbandingannya kurang memungkinkan.

McCrory dan Stylianides (2014) mencari penalaran dan pembuktian dalam buku teks yang digunakan di AS, dengan mengembangkan indikatornya melalui daftar istilah yang dipakai dalam buku teks tersebut.

Data dalam penelitian ini berasal dari 16 buku teks matematika, bagi calon guru SD (kelas 1-5 atau 6, usia 6-11 tahun). Didapat bahwa sebagian besar buku pelajaran, masih kesulitan untuk dipelajari secara mandiri oleh siswa.

Savic (2015a) melakukan kajian kualitatif, yang pertama diberi bahasan semigrup dan pena Livescribe dan kertas dengan waktu tak terbatas dan tidak banyak arah untuk membuktikan suatu teorema, yang kedua membuktikan teorema yang sama tapi terbatas. Subjeknya adalah satu orang

142

ahli Topologi dan satu mahasiswa pascasarjana; serta sembilan ahli matematika dan lima mahasiswa pascasarjana. Dari hasil penelitian didapat ahli matematika selesai dalam 5 jam 31 menit, dan mahasiswa pascasarjana selesai dalam 22 jam 11 menit dengan istirahatnya. Kerangka Multidimensional Problem-Solving Carlson dan Bloom umumnya relevan untuk proses membangun bukti; termasuk atribut pemecahan masalah yang dibuat oleh subjek, seperti tersaji dalam tabel berikut,

Ada fase incubation dan insight yang tidak diperhitungkan dalam kerangka Carlson dan Bloom yang dilakukan dalam penelitian ini. Enam dari Sembilan ahli matematika mengalami kebuntuhan dan dua dari lima mahasiswa yang mencoba. Perbedaan antara ahli matematika dan mahasiswa pascasarjana adalah ahli matematika mempertanyakan kebenaran teorema terlebih dahulu dan mencari kendala-kendala yang diberikan. Sedangkan mahasiswa pascasarjana tidak, fase checking dimasukkan pada fase planning dimana mahasiswa mencoret sejumlah bukti pada upaya sebelumnya, sedangkan ahli matematika lebih banyak melakukan incubation dan insight, dan atribut monitoring sering dilakukan oleh ahli matematika daripada mahasiswa.

Penelitian lain oleh Savic (2015b) dilakukan dengan subjek sembilan Ph.D matematika (tiga ahli aljabar, tiga ahli topologi, dua analisis, dan satu ahli logika) dengan delapan laki-laki dan satu perempuan, dikarenakan kenal dan punya waktu. Serta lima mahasiswa pascasarjana. Subjek diberi catatan yang berisi sepuluh definisi, tujuh permintaan contoh, empat pertanyaan untuk menjawab, dan tiga belas teorema untuk membuktikan. Empat subjek secara terpisah menulis bukti pada tablet PC (CamStudioTM dan MicrosoftOneNoteTM) dan lima subjek dengan LivecribeTM dan kertas rekaman khusus. Hasil yang didapat adalah diperlukan upaya yang cukup untuk membuktikan teorema dan memproduksi contoh; Enam dari Sembilan subjek memiliki kebuntuan ketika membuktikan salah satu dari dua teorema,

143

dan sebelas teorema lainnya semuanya terbukti benar dengan sebagian besar sangat cepat; Tindakan subjek yang digunakan untuk mengatasi kebuntuhan:

a. menggunakan (mental) database dari teknik membuktikan; b. melakukan pekerjaan matematika lainnya; c. melakukan tugas yang tidak berhubungan dengan matematika; d. beristirahat (sleeping on it); dan Beberapa matematikawan mengambil tindakan yang disengaja untuk mengatasi kebuntuan dan juga untuk meningkatkan luasnya atau kualitas perspektif mereka. Hasil ini tampaknya setuju dengan literatur ilmu saraf, yang menyimpulkan bahwa inkubasi mungkin berkontribusi terhadap seseorang memproses masa lalu, sekarang, dan masa depan sekaligus (Buckner &

Vincent, 2007).

Stavrou (2014) menggunakan subjek 188 mahasiswa pendidikan matematika. 97 mahasiswa untuk mengetahui kesalahan umum yang dibuat mahasiswa pendidikan matematika saat menulis bukti dari hasil pekerjaan rumah tentang Teori Bilangan dan Aljabar Abstrak, dan 91 mahasiswa diinformasikan tentang kesalahan umum dan miskonsepsi setelah itu diberi pekerjaan rumah bertujuan untuk mendeskripsikan kebiasaan pembuktian mahasiswa ketika mereka secara eksplisit menyadari kesalahan umum ini.

Didapatkan bahwa kesalahan yang paling umum dalam menulis bukti adalah:

a. pernyataan umum menggunakan contoh-contoh spesifik; b.

mengasumsikan kesimpulan dari suatu pernyataan untuk membuktikan kesimpulan; c. tidak membuktikan kedua kondisi pada pernyataan bikondisional; d. tidak menerapkan definisi dengan benar; serta kebiasaan pembuktian mahasiswa ketika menyadari kesalahan umum adalah; a.

mahasiswa memilih untuk meninggalkan pertanyaan yang sudah tahu ada kesalahan umumnya; b. mahasiswa mulai melengkapi bukti yang valid dengan bukti empiris; c. mahasiswa sering menulis “saya tidak yakin bagaimana untuk memulai bukti” untuk jawaban mereka.

Zazkis, Weber, dan Mejia-Ramos (2015) meneliti dengan subjek 73 mahasiswa dalam satu departemen matematika dilihat selama empat semester, khususnya mata kuliah aljabar linier. Peserta diberi tujuh tugas pembuktian

144

kalkulus satu persatu dengan waktu 10-15 menit. Diperoleh 6 mahasiswa terbaik sebagai subjek. Kemudian akan diidentifikasi pendekatan yang berhasil digunakan mahasiswa untuk membuktikan suatu teorema baru.

Didapatkan bahwa; a. Analisis holistic dan interpretative, di mana kami menjelajahi peserta pada perilaku tugas membuktikan untuk mendapatkan pengertian umum tentang bagaimana mereka mendekati tugas; b. Analisis sistematis dan terarah, terus menganalisis peserta pada tugas perilaku membuktikan; c. menguji recall retroaktif peserta melalui perilaku tulisan bukti mereka; d. Analisis wawancara sebagai pengecekan. Selain itu didapat pula, jika menggunakan targeted strategy akan mengembangkan pemahaman yang kuat dari pernyataan membuktikan, memilih rencana berdasarkan pemahaman ini, mengembangkan argumen grafis untuk mengapa pernyataan itu benar, dan merumuskan argumen grafis ini ke bukti. Bila menggunakan shotgun strategy, siswa akan mulai mencoba berencana segera setelah membaca pernyataan bukti yang berbeda dan akan meninggalkan rencana pada tanda pertama dari kesulitan.

Zhen, Weber, dan Mejia-Ramos (2015) melakukan Penelitian berbasis internet (Inglis dan Mejia-Ramos), dengan subjek 12 mahasiswa masing- masing menulis bukti dan think aloud tujuh tugas pembuktian dari kalkulus selama 90 menit; 90 mahasiswa secara acak dikelompokkan jadi kelompok analisis real dan kelompok pengantar kalkulus masing-masing menilai jika disajikan tiga bukti yang masing-masing berisi persepsi grafis dan inferensi deduksi grafis. Didapat bahwa subjek memahami validitas setiap inferensi berbeda. Secara khusus, peserta menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk percaya bahwa kesimpulan persepsi grafis, tetapi tidak kesimpulan deduktif grafis, diperlukan pembenaran non-grafis di bukti. Hasil yang lain adalah mahasiswa tidak percaya kesimpulan persepsi grafis yang tepat dalam bukti kalkulus; sebagian besar menunjukkan bahwa mereka percaya kesimpulan deduktif grafis yang tepat dalam bukti kalkulus; peserta percaya bahwa profesor dalam kursus kalkulus kurang mungkin untuk menghukum

145

kesimpulan valid; dan persepsi ini mempengaruhi cara yang maju untuk menerjemahkan argumen informal ke bukti.

Weber dan Mejia-Ramos (2015) menganalisis kualitatif terhadap penelitian dari Harel dan Sowder (2003), Morris (2002), dan Weber (2010).

Didapatkan hasil yang dikelompokkan dengan hasil metodologis, hasil teoritis dan hasil pedagogis.

• Hasil metodologis

– Absolut conviction dimiliki berdasarkan bukti empiris – Dengan argument deduktif masih memiliki keraguan

• Hasil teoritis

– kecenderungan mahasiswa untuk menghasilkan atau menerima argumen empiris mungkin didasarkan pada banyak faktor.

Dibandingkan dengan argumen empiris, argumen deduktif lebih sulit untuk dihasilkan, dipahami, dan diverifikasi. Mahasiswa mungkin tidak memiliki kepentingan atau kepercayaan diri untuk mencoba untuk menulis atau memahami bukti.

• Hasil pedagogis

– jika tujuan dari sebuah argumen untuk memperoleh keyakinan dalam sebuah pernyataan, dosen harus merasa bebas untuk menggunakan jenis lain dari argumen non-deduktif, karena argumen tersebut mungkin lebih persuasif kepada mahasiswa dari bukti.

Weber dan Mejia-Ramos (2014) melakukan penelitian dimana subjeknya dilakukan dengan penelitian berbasis internet (Inglis dan Mejia- Ramos); dua email dikirim ke sekretaris departemen matematika di universitas negeri besar di masing-masing 50 negara bagian di USA, email pertama untuk mengundang mahasiswa, ada 175 peserta yang pernah mengambil kelas yang diharapkan untuk menulis bukti. Email kedua mengundang ahli matematika, tersisa 83 peserta yang dilinkkan ahli matematika pernah membaca dan menulis bukti teratur. Tidak tahu dari universitas mana saja. Masing-masing keyakinan dibuat dua pernyataan bertentangan, mahasiswa memilih survey ini menggunakan skala Likert 5

146

point. Matematikawan juga diberikan survey ini, dengan pernyataan yang dibedakan. Keyakinan tiga menggunakan t-test, Wilcoxon one sample signed rank tests, dan Mann-Whitney tests. Didapat bahwa kebanyakan ahli matematika berharap bahwa mahasiswa akan perlu menghabiskan lebih dari 15 menit mempelajari beberapa bukti yang disajikan kepada mereka, namun sebagian besar mahasiswa jangan berharap bahwa mereka akan perlu melakukan ini. Kebanyakan mahasiswa percaya bahwa mereka memahami bukti sepenuhnya jika mereka dapat membenarkan setiap langkah dalam bukti, sementara ahli matematika umumnya percaya memahami bukti terdiri dari lebih dari ini. Mahasiswa menunjukkan mereka berpikir bahwa membaca bukti yang baik harus sedikit dari proses pasif dalam arti bahwa mereka tidak percaya bahwa mereka akan harus membangun sub-bukti atau diagram jika bukti itu ditulis dengan baik. Namun, banyak ahli matematika menyatakan sudut pandang sebaliknya.

Weber, Inglis, dan Mejia-Ramos (2014) melakukan studi pustaka, didapatkan hasil bahwa dalam pendidikan matematika, sehubungan dengan pembenaran dan bukti, secara luas diyakini bahwa tujuan instruksi harus bagi siswa untuk memiliki keyakinan yang sama dan praktek pembenaran sebagai ahli matematika. Sedangkan tujuan instruksional memiliki siswa memperoleh kepastian yang mutlak dari bukti deduktif, dan bukti deduktif saja, tidak konsisten dengan praktek matematika. Dan bukti matematis dihargai oleh matematikawan, baik bagi pemahaman matematika yang diberikannya, sebagai tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, dan jaminan bersyarat yang dapat memberikan (yaitu, jika bukti tersebut benar dan teori pendukung adalah suara, teorema harus benar). Hasil yang lain didapat bahwa mayoritas ahli matematika menyatakan bahwa mereka bergantung pada otoritas dalam menerima sebuah teorema diterbitkan sebagai benar tetapi beberapa matematikawan mengklaim tidak melakukan hal ini. Serta rekomendasi instruksional tidak hanya lebih konsisten dengan praktek matematika, tetapi juga lebih realistis dan memberikan kesempatan belajar yang lebih besar bagi siswa.

147 REFERENSI

Alcock, L. & Inglis, M. 2008. Doctoral Students‟ Use of Examples in Evaluating and Proving Conjectures. Educational Studies in Mathematics, 69(2):111- 129.

Cai, J. & Cirillo, M. 2014. What do we know about reasoning and proving?

Opportunities and missing opportunities from curriculum analyses.

International Journal of Educational Research, 64:132–140.

Cirillo, M. & Herbst, P. G. 2012. Moving toward more authentic proof practice in geometry. Journal The Mathematics Educator, Vol. 21, No. 2: 11-33.

Ernest, P. 2004. The Philosophy of Mathematics Education. Routledge Falmer, Taylor & Francis group.

Gantert, A. X. 2008. Geometry. New York: AMSCO School Publication, Inc.

Harel, G. 2008. DNR perspective on mathematics curriculum and instruction, Part I: focus on proving. ZDM Mathematics Education, 40:487–500. DOI 10.1007/s11858-008-0104-1

Harel, G. & Sowder, L. 1998a. Students‟ Proof Schemes: Results from Exploratory Studies. American Mathematical Society, 7:234-283.

Inglis, M. & Alcock, L. 2012. Expert and Novice Approaches to Reading Mthematical Proofs. Journal for Research in Mathematics Education,43 (4).

McCrory, R., & Stylianides, A. J. 2014. Reasoning and Proving in Mathematics Textbooks for Prospective Elementary Teachers. International Journal of Educational Research, 64:119-131.

Savic, M. 2015a. The Incubation Effect: How Mathematicians Recover from Proving Impasses. The Journal of Mathematical Behavior, 39:67-79.

Savic, M. 2015b. On Similarities and Differences Between Proving and Problem Solving. Journal of Humanistic Mathematics, 5, 2: 60-89.

Selden, A. & Selden, J. 2011. Mathematical and Non-Mathematical University Students‟ Proving Diffulties. Wiest, L. R., & Lamberg, T. (Eds.).

Proceedings of the 33rd Annual Meeting of the North American Chapter of

148

the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 675-683.

Selden, A. & Selden, J. 2013a. Persistence and Self-Efficacy in Proving.

Martinez, M. & Castro Superfine, A (Eds.). Proceedings of the 35th annual meeting of the North American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics Education,304-307.

Selden, A. & Selden, J. 2013b. Proof and Problem Solving at University Level.

http://www.researchgate.net/publication/256091550

Selden, A. & Selden, J. 2015. A Theoritical Perspective for Proof Construction.

https://www.researchgate.net/c/o6em5o/javascript/lib/pdfjs/build/pdf.work er.js.

Selden, A. & Selden, J. 2016. Using a Theoritical Perspective to Teach a Proving Supplement for an Undergraduate Real Analysis Course. Submission for Topic Study Group 2, Tertiary Mathematics Education, ICME-13, 1-4.

Stavrou, S. G. 2014. Common Errors and Misconception in Mathematical Proving by Education Undergraduates. IUMPST: The Journal. Vol 1 (Content Knowledge) (www.k-12prep.math.ttu.edu)

Stylianides, A. J., Bieda, K. N., & Morselli, F. 2016. Proof and Argumentation in Mathematics Education Research. PME Research Handbook.

Weber, K. 2004. A framework for describing the processes that undergraduates use to construct proofs. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 4, 425- 432.

Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2014. Mathematics Majors‟ Belief About Proof Reading. International Journal of Mathematical Education in Science and

Technology, 45, 1:89-103,

http://dx.doi.org/10.1080/0020739X.2013.790514

Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2015. On Relative and Absolute Conviction in Mathematics. For the Learning of Mathematics, 35, 2:15-21.

149

Weber, K., Inglis, M., & Mejia-Ramos, J. P. 2014. How mathematicians obtain conviction: Implications for mathematics instruction and research on epistemic cognition. Educational Psychologist, 49(1), 36-58.

Zandieh, M., Roh, K. H., & Knapp, J. 2014. Conceptual blending: Student reasoning when proving “condicional implies conditional” statements. The Journal of Mathematical Behavior, 33: 209-229.

Zazkis, D., Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2015. Two Proving Strategies of Highly Succesful Mathematics. The Journal of Mathematical Behavior.

39:11-27.

Zhen, B., Weber, K., & Mejia-Ramos, J.P. 2015. Mathematics Majors‟

Perceptions of the Admissibility of Graphical Inferences in Proofs.

International Journal of Research in Undergraduate Mathematics Education, 1-29. DOI 10.1007/s40753-015-0010-1

150

BAB IX

Dalam dokumen VARIASI KONSTRUK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA (Halaman 147-162)