• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagnosis

Dalam dokumen SURAT PENCATATAN - Universitas Udayana (Halaman 136-155)

Untuk membuat diagnosis Cedera Pleksus Brakhialis, perlu dilakukan anamnesis dan beberapa pemeriksaan:

a. Anamnesis

Kecurigaan adanya cedera Pleksus Brakhialis lebih tinggi pada cedera lingkar bahu yang parah, terutama pada kecelakaan sepeda motor dan kendaraan bermotor lainnya. Mekanisme cedera perlu diperhatikan, karena mungkin telah terjadi multitrauma. Cedera lain yang memerlukan pemberian obat-obat sedatif mengindikasikan perlunya pemeriksaan lanjutan yang terperinci pada daerah ekstremitas atas (Foster dkk, 2008).

b. Pemeriksaan Fisik

Untuk pemeriksaan fisik bisa digunakan protokol advanced trauma life support (ATLS) yang standar untuk pemeriksaan awal pasien ini.

Terjadinya abrasi pada kepala, helm, atau ujung bahu menunjukkan kemungkinan adanya cedera supraklavikuler. Ptosis (kelopak mata

agak menutup), enophthalmos (mata nampak masuk ke rongga orbita), anhydrosis (mata kering), dan miosis (pupil kecil) ataupun sindrom Horner (suatu kerusakan pada saraf simpatis dengan gejala-gejala awal seperti di atas) menunjukkan kemungkinan adanya cedera pleksus bagian bawah secara menyeluruh, karena ganglion simpatis untuk T, terletak berdekatan dengan Pleksus Brakhialis (Blaauw dkk, 2008; Rovak dan Tung, 2006).

Pembengkakan pada bahu bisa jadi sangat menonjol. Denyut nadi yang menurun atau tidak ada menunjukkan adanya suatu cedera vaskuler, dan perlu perhatian khusus pada ruptur pembuluh darah subklavikula. Fraktur klavikula sering kali bisa dipalpasi. Inspeksi dan palpasi yang teliti pada tulang-tulang aksial mungkin bisa menemukan cedera lain yang terjadi bersamaan. Periksa fungsi motorik dan sensorik setiap akar saraf leher apabila memungkinkan (Miller, 2000).

Beberapa hal ini penting diperhatikan dalam pemeriksaan neu- rologis:

• Pemeriksaan sensoris: Pemeriksaan ini sangatlah penting. Sensasi tekanan dalam mungkin adalah satu-satunya petunjuk tentang masih utuh atau tidaknya suatu saraf yang tidak memiliki fungsi motoris ataupun sensasi lain. Berikan pijitan keras pada dasar kuku pasien dan tarik jari pasien keluar. Perasaan terbakar apa pun menunjukkan kalau saraf itu masih tersambung. Ketika tidak ada sensasi terbakar, pemeriksaan- pemeriksaan ini menjadi kurang berguna karena neuropraksia bisa bertahan sampai lebih dari 6 bulan (Foster dkk, 2008).

Perhatikan tabel berikut:

Tabel 9.1. Lokasi Tes Tekanan Dalam untuk Menentukan Cedera Pleksus Brakhialis

Lokasi Tes Tekanan Dalam Nervus Spinalis yg Terpengaruh

Saraf Korda yg Terpengaruh

Ibu Jari c6 Nervus Medianus Korda Lateralis

Jari Tengah c7 Nervus Medianus Korda Lateralis

Jari Kelingking C8 Nervus Ulnaris Korda Medialis

(Sumber dari Foster dkk. 2008)

• Pemeriksaan sensasi dan gerakan pada pergelangan tangan dan jari untuk melihat fungsi nervus medianus, ulnaris, dan radialis

Cedera Pleksus Brakhialis 121

mungkin membantu untuk mulai menentukan lokasi cedera pada Pleksus Brakhialis (Foster dkk, 2008).

• Pemeriksaan motorik: banyak variasi yang terjadi pada saraf spinalis dan menyebabkan pola persarafan yang berbeda-beda.

Variasi-variasi ini menyebabkan identifikasi tingkat nervus spinalis yang cedera menjadi lebih sulit. Selain itu adanya pleksus yang prefixed memungkinkan terjadinya penyembuhan pada akar saraf yang diduga sudah teravulsi. Ketika melakukan pemeriksaan motorik, perlu diingat bahwa suatu otot mungkin dipersarafi oleh saraf servikalis yang berbeda-beda (Foster dkk, 2008). Adapun pemeriksaan-pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

Tabel 9.2. Pemeriksaan Fungsi Motorik Akar Servikalis Pleksus Brakhialis

Akar

Servikalis Fungsi Motorik yang Bisa Diperiksa Secara Klinis

c5 Abduksi, ekstensi, dan rotasi eksternal bahu; sebagian fleksi siku

c5 Fleksi siku, pronasi dan supinasi telapak tangan, sebagian ekstensi pergelangan tangan

Cr Kehilangan fungsi yang difus pada ekstremitas atas tanpa paralisis sempurna dari suatu kelompok otot tertentu, ekstensi siku, otot latissimus dorsi

C8 Ekstensor jari, fleksor jari, fleksor pergelangan tangan, otot intrinsik tangan

T, Otot intrinsik tangan

i' umber dan Foster dkk. 2008).

Fleksi dan ekstensi siku menentukan fungsi nervus musculoku- taneous dan nervus radialis tinggi. Abduksi bahu dilakukan untuk memeriksa nervus aksillaris yang muncul dari korda posterior. Korda posterior juga mungkin mempengaruhi fungsi deltoid melalui nervus radialis. Latissimus dorsi dipersarafi oleh nervus thorakodorsal dari korda posterior dan bisa diperiksa dengan palpasi otot dan menyuruh pasien batuk. Otot pektoralis bisa dipalpasi dengan menyuruh pasien mengaduksi lengannya sambil diberikan tahanan. Nervus pektoralis medius yang mempersarafi ujung sternal dari ototnya berasal dari korda medius sedangkan nervus pektoralis lateralis yang mempersarafi ujung klavikular berasal dari korda lateralis. Nervus thorakis longus menginervasi otot serratus anterior, dan nervus skapularis dorsalis

menginervasi otot rhomboid yang membuat penampakan sayap skapula bisa membantu melokalisir cedera (Foster dkk, 2008).

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium (Foster dkk, 2008; Rovak dan Tung, 2006; Carlstedt, 1995; Birche, 1998).

• Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak membantu menegakkan diagnosis, tapi mungkin diperlukan sebagai evaluasi rutin pada setiap pasien trauma

• Pemeriksaan elektrofisiologis mungkin penting untuk me- nangani cededa ini, tapi waktu yang tepat untuk melakukan tesnya harus diperhitungkan.

2. Pemeriksaan Radiologis (Foster dkk, 2008; Shin dkk, 2005; Blaauw dkk, 2008; Rovak dan Tung, 2006)

Dilakukan pemeriksaan dengan foto thorak anteroposterior (AP). Perlu diperiksa jarak dari prosessus spinosus dari vertebra thorakalis ke skapula. Akan terjadi peningkatan jarak ini dibandingkan jarak pada sisi kontralateral yang menunjukkan terjadinya disosiasi skapulothoracic. Foto X-ray bahu kanan dengan penampakan AP dan aksilaris lateral akan menunjukkan bila ada fraktur-fraktur klavikula, sebagian besar fraktur skapula, dan sebagian besar fraktur humerus proksimal. Foto- foto spina servikalis dengan sudut AP, lateral, dan odontoid akan membantu diagnosis.

Radiografi X-ray normal mungkin sulit didapatkan gambaran yang baik. Computed tomography (CT)-scan akan sangat berguna untuk menentukan diagnosis Cedera Pleksus Brakhialis. CT-scan leher sering kali dilakukan untuk memeriksa pasien yang diduga mengalami trauma pada bagian leher. CT-scan dada mungkin menunjukkan adanya cedera pada pembuluh darah subclavicula, fraktur skapula, fraktur humerus, dan fraktur spina thorakalis.

Myelografi biasa bisa menunjukkan adanya avulsi akar saraf karena akar saraf ini tidak akan nampak pada pemeriksaan. Tanda yang sering juga akan nampak meningocele pada tingkat akar saraf yang teravulsi sehingga myelografi lebih baik ditunda selama 4 minggu, agar tidak ada bekuan darah yang tertumpuk dan meningokel bisa terbentuk.

Cedera Pleksus Brakhialis

1£)

Myelografi dengan CT mungkin lebih baik karena lebih mampu memperlihatkan area dengan kadar kontras yang rendah dan mampu menampakkan meningocele yang lebih kecil. Tapi adanya artifak dari jaringan lunak di sekitarnya mungkin membuat hasil foto sulit dibaca pada tingkat saraf servikalis yang lebih rendah. Pemeriksaan ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Magnetic resoyiance imaging (MRI) adalah satu-satunya teknik radiografi yang bisa memperlihatkan Pleksus Brakhialis pada tingkat postganglionik. Saat ini penggunaan MRI masih jarang, tetapi diperkirakan akan berperan lebih besar untuk ke depannya.

Kadang juga dilakukan angiografi, baik angiografi X-ray biasa maupun yang menggunakan resonansi magnetik pada penderita Cedera Pleksus Brakhialis. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi adanya cedera vaskuler.

3. Pemeriksaan Lainnya (Foster dkk, 2008; Shin dkk, 2005; Carl- stedt, 1995; Birche, 1998).

Pemeriksaan potensial aksi saraf sensoris sangat berguna untuk membedakan cedera preganglionik dan cedera post- ganglionik. Apabila cederanya terletak dekat dengan ganglion akar dorsalis, tidak akan terjadi degenerasi Wallerian karena akson sensorisnya masih utuh. Oleh karena itu apabila didapatkan potensial aksi pada saraf yang pada dermatomenya tidak merasakan rangsang menunjukkan adanya suatu Cedera preganglionik. Pemeriksaan potensial aksi ini tidak berguna untuk evaluasi C? karena C5 tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap saraf sensoris tepi. Pemeriksaan elektromyografi (EMG) pada minggu-minggu awal setelah cedera tidak bisa digunakan untuk memastikan tidak adanya gangguan saraf penuh, kecuali apabila diperiksa dengan potensial aksi unit motorik. Apabila tidak ada tanda-tanda de- nervasi pada suatu otot yang lumpuh 3 minggu setelah cedera, EMG bisa digunakan untuk memastikan diagnosis neu- ropraksia.

Potensial aksi somatosensoris yang dirangsang akan berguna apabila dilakukan sewaktu operasi untuk memeriksa adanya kontinuitas antara sistem saraf tepi dan sistem saraf pusat melalui ganglion akar dorsalis. Potensial aksi ini tidak

ditemukan pada Cedera postganglionik atau Cedera terkom- binasi antara preganglionik dan postganglionik.

Penatalaksanaan

(Foster dkk, 2008; Shin dkk, 2005;Rohde dan Wolfe, 2007; Birche, 1998;

Miller, 2000).

A. Terapi Medis

Perawatan non-operatif pada Cedera Pleksus Brakhialis sangat rumit dan paling baik dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang terintegrasi. Penggunaan brace sering kali berguna untuk mencegah kontraktur selama menunggu pemulihan setelah pembedahan atau menunggu pemulihan dari neuropraksia.

B. Terapi Bedah

Perawatan operatif untuk Cedera Pleksus Brakhialis adalah suatu bidang yang sangat terspesialisasi. Terdapat variasi yang luas mengenai bagaimana cedera ini ditangani dengan pembedahan.

Adanya subspesialis yang berpengalaman dalam penanganan operatif cedera ini sangat penting apabila memang ingin dilakukan perawatan operatif. Secara umum, pilihan pembedahan berupa transfer saraf, cangkok saraf, transfer otot, transfer otot bebas, dan neurolisis jaringan parut di sekitar Pleksus Brakhialis pada cedera in- komplet. Kemajuan di bidang ini kemungkinan akan memberikan pilihan-pilihan baru beberapa waktu ke depan. Misalnya, telah dilaporkan keberhasilan perbaikan Cedera preganglionik dengan re- plantasi akar saraf langsung ke korda spinalis. Ini adalah kemajuan yang baik karena cedera preganglionik dulunya dianggap tidak bisa diperbaiki.

Femilihan pasien adalah kuncinya, karena cedera ini sangat kompleks dan variasinya sangat luas. Selain itu juga perlu diperhatikan waktu yang dipilih untuk melakukan pembedahan, di mana pasien perlu diobservasi terlebih dahulu karena ada kemungkinan penyembuhan spontan. Tapi pada pasien-pasien yang ditemukan dari pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan fisik tidak memiliki kemungkinan penyembuhan spontan, pembedahan bisa langsung dilakukan. Sebelum pembedahan harus diketahui lebih dahulu hasil pemeriksaan elektrodiagnostik dan radiologi terha-

Cedera Pleksus Brakhialis

dap cedera ini. Mungkin perlu terapi fisik selama masa observasi preoperatif untuk mencegah terjadinya kontraktur.

Eksplorasi dini dengan perbaikan dari ujung-ke-ujung mungkin diindikasikan pada beberapa kasus luka terbuka akibat benda tajam.

Tapi sayangnya, sebagian besar cedera disebabkan oleh trauma tumpul maupun avulsi. Waktu pembedahan yang tepat untuk cedera tarikan masih kontroversial, namun observasi untuk melihat adanya penyembuhan spontan harus dilakukan. Tetapi apabila menunda terlalu lama, bisa menyebabkan kegagalan motor end-plnte yang biasa terjadi setelah 3-6 bulan.

Detail rekonstruksi hanya masalah perencanaan, karena sebagian besar prosedur berskala besar dan rekonstruksi mungkin dibagi menjadi beberapa tahap. Banyak ahli bedah memprioritaskan siku dan kemudian bahu untuk prosedur rekonstruksi. Prinsipnya adalah memperhatikan tingkat akar saraf yang terkena dan defisit spesifik yang dialami pasien, sensibilitas tangan, ekstensi pergelangan, fleksi jari, fleksi pergelangan tangan, ekstensi jari, dan fungsi intrinsik dari tangan.

Contohnya cangkok saraf bisa berupa cangkok kabel dari nervus suralis dengan Q. untuk abduksi bahu, C6 untuk fleksi siku, dan C7 untuk ekstensi siku dan pergelangan.

Luka terbuka, terutama luka tembak dengan kecepatan tinggi harus didebridement dan diperbaiki apabila mungkin, atau penandaan saraf untuk perbaikan yang ditunda. Neurolisis eksternal sebaiknya dilakukan untuk monitoring intra operatif dan pemeriksaan elektrik, atau neurolisis saja pada saraf yang masih menyatu yang menunjukkan adanya potensial aksi saraf. Adanya potensial aksi saraf menunjukkan aksonnya masik tersisa atau telah terjadi regenerasi yang signifikan, dan kemungkinan pemulihan lebih jauh. Cedera yang sifatnya neuropraksis tidak menunjukkan potensial aksi, sedangkan cedera yang aksonometrik akan menunjukkan adanya potensial aksi saraf. Apabila sewaktu operasi didapatkan tidak ada potensial aksi, seperti pada neuroma postganglionik atau ruptur saraf, bisa dilakukan cangkok saraf. Cangkok saraf ataupun transfer saraf (neurotisasi) bisa dilakukan untuk Cedera preganglionik apabila badan selnya masih utuh di ganglion akar dorsalis, atau untuk mengurangi waktu reinervasi yang biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan setelah trauma.

Pada periode post operatif, yang harus diingat adalah bahwa tujuan pembedahan bukanlah pemulihan yang cepat, tapi untuk memungkinkan suatu proses yang lambat yang memerlukan

edukasi dan ikut sertanya pasien dan keluarganya. Fisioterapi sangat penting untuk menjaga pergerakan sendi dengan aman dan menyediakan proteksi yang adekuat. Stimulasi elektrik masih kon- troversial, tapi paling tidak berguna secara psikologis bagi beberapa pasien. Waktu folloiv-up pasien mungkin cukup lama, karena waktu pemulihan jaringan saraf cukup lama dengan tingkat regenerasi yang hanya 1 milimeter per hari (1 inci per bulan). Transfer otot dan tendon bebas dan juga arthrodesis mungkin juga penting untuk mengembalikan beberapa fungsi, sekalipun sangat marginal, daripada tidak sama sekali. Selama masa follow-up fisioterapi harus dilanjutkan dan penggunaan brace, dilakukan untuk mencegah kontraktur.

Prognosis

Prognosisnya sangat bervariasi karena bergantung tidak hanya pada sifat cederanya itu sendiri, tapi juga pada umur pasien dan jenis prosedur yang dilakukan. Pada beberapa kasus didapatkan kembalinya fungsi genggaman tangan dan kontrol volunter bahu dan siku setelah cedera avulsi pada Pleksus Brakhialis yang dilakukan dengan menggunakan teknik transfer otot bebas ganda. Dilaporkan juga pada pasien-pasien lain terjadi perbaikan pada tingkat kekuatan motorik otot sampai hampir setengahnya setelah dilakukan suatu prosedur operasi (Foster dkk, 2008; Shin dkk, 2005).

Komplikasi

(Foster dkk, 2008; Blaauw dkk,2008; Leffert, 1999; Carlstedt, 1995; Birche, 1998; Miller, 2000).

Kontraktur yang berhubungan dengan beberapa jenis insisi kadang terjadi. Pada beberapa pemaparan, nervus aksesorius spinalis memiliki risiko trauma dan harus dilindungi. Komplikasi yang lebih spesifik bervariasi dan tergantung pada tipe pasti dari prosedur yang dilakukan. Nyeri deaferensiasi bisa menjadi masalah yang paling sulit ditangani setelah terjadinya cedera Pleksus Brakhialis. Sindrom nyeri terjadi setelah perbaikan pembedahan atau dengan perawatan konservatif. Ketika akar saraf teravulsi pada Cedera preganglionik, sel-sel pada kolumna dorsalis kehilangan suplai sarafnya. Beberapa hari atau minggu setelah cedera, sinyal spontan muncul pada sel-sel ini. Sinyal- sinyal spontan ini menghasilkan nyeri yang tak tertahankan pada

Cedera Pleksus Brakhialis

pasien. Pasien sering kali mengeluh perasaan terbakar pada ekstremitas dan mendeskripsikan nyerinya sebagai nyeri remuk. Biasanya nyerinya sangat parah dan hilang timbul.

Perawatan nyeri ini bisa dimulai dengan perawatan konservatif, l im penanganan nyeri harus diikusertakan sejak awal, dan merawat pasien di rumah sakit mungkin membantu memulai perawatan dengan pendekatan multidisiplin. Antidepressan, antikonvulsan, dan narkotika semuanya memiliki peran dan perawatannya harus disesuaikan dengan karakteristik nyeri dan karakteristik pasiennya. Sebagaimana dengan nyeri neurogenik lainnya, gabapentin bisa digunakan untuk nyeri deaferensiasi.

Stimulasi saraf transkutan mungkin bisa dilakukan. Stimulasi ini bekerja dengan mencegah sel-sel di columna dorsalis agar tidak me- ngirimkan sinyal-sinyal abnormal ke daerah proksimal. Terapi ini harus digunakan pada periode jangka panjang, dan keuntungan maksimal dari penggunaan alat ini mungkin tidak nampak sampai beberapa bulan kemudian. Pada Cedera Pleksus Brakhialis total (C5~T,), stimulator diletakkan di bagian depan dada (dermatom C3~C4) dan pada bagian dalam lengan (dermatom T2). Akupunktur, hipnosis, biofeedback, dan protokol-protokol desensitisasi lainnya telah dicoba, tapi hasilnya masih bervariasi dan belum bisa diambil suatu kesimpulan yang pasti dari metode-metode ini.

Kemajuan teknik bedah juga telah memungkinkan pembedahan untuk memutuskan sinyal dari dorsal reentry zone pada columna dorsalis.

Setelah prosedur ini terjadi penurunan nyeri sampai 75% pada kira- kira setengah dari semua pasien yang menjalani pembedahan ini. Tapi metode yang sangat invasif ini biasanya digunakan pada nyeri yang sangat parah yang tidak bisa lagi dirawat dengan metode konservatif.

Ringkasan

Pleksus Brakhialis adalah suatu plexus saraf somatis yang mengatur persarafan motoris tungkai. Cedera Pleksus Brakhialis diartikan sebagai suatu Cedera atau cedera pada Pleksus Brakhialis yang diakibatkan oleh suatu trauma yang sering kali berupa penarikan berlebihan atau pun avulsi.

Cedera ini lebih banyak terjadi pada laki-laki muda terutama yang berusia di antara 15-25 tahun. Mekanisme yang umum menyebabkan cedera traksi pada Pleksus Brakhialis adalah penarikan yang kuat pada anggota gerak atas menjauh dari tubuh. Cedera biasanya berasal dari kecelakaan sepeda motor, kecelakaan kendaraan bermotor berkecepatan

tinggi, jatuh dari ketinggian tertentu, luka tembus atau pun luka tembak.

Faktor prognostik yang penting adalah apakah cederanya terjadi pada bagian preganglionik atau postganglionik. Pasien mungkin nampak nyeri, paresthesia/disesthesia, lemah tubuh, denyut nadi yang menurun, lemas atau lumpuh pada tangan, kehilangan kendali otot- otot lengan, tangan, atau pergelangan tangan, dan tidak adanya sensasi rasa pada lengan dan tangan. Penegakan diagnosis Cedera Pleksus Brakhialis didasarkan atas gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang meliputi berbagai macam tes.

Pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis, laboratoris dan pemeriksaan neurofisiologi dapat membantu menegakkan diagnosis dan melokalisir tingkat nervus spinalis yang mengalami cedera.

Penatalaksanaan Cedera Pleksus Brakhialis bisa berupa perawatan medis non operatif ataupun perawatan dengan operasi pembedahan.

Perawatan non-operatif pada Cedera Pleksus Brakhialis sangat rumit dan paling baik dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang terintegrasi.

Sedangkan perawatan operatif untuk Cedera Pleksus Brakhialis sangat terspesialisasi dan sangat bervariasi penanganannya. Sebagian besar prosedur berskala besar dan rekonstruksi mungkin dibagi menjadi beberapa tahap. Harus diingat adalah bahwa tujuan pembedahan bukanlah pemulihan yang cepat, tetapi untuk memungkinkan suatu proses yang lambat yang memerlukan edukasi dan ikut sertanya pasien dan keluarganya.

(g) <g) (g)

Pendahuluan

(Hak dan medula spinalis menerima dan menyampaikan informasi melalui reseptor otot dan sensoris. Informasi yang dikirimkan tersebut ditransmisikan melalui saraf. Saraf melintasi ekstrimitas atas dan bawah, menyeberangi berbagai sendi dalam jalurnya menuju susunan saraf pusat.

Namun, dalam perjalanannya, saraf-saraf ini bisa terjepit di tempat-tempat tertentu sepanjang ekstremitas. Entrapment neuropati merupakan salah satu kelompok penyakit pada saraf tepi yang ditandai ilengan nyeri dan atau kehilangan fungsi saraf sebagai akibat adanya kompresi yang kronis.

Sindrom saraf-saraf terjepit disebabkan oleh injuri kronis pada saraf-saraf yang melintasi tunel osseo ligamen. Kompresinya secara tipikal antara kanal ligamen dengan permukaan tulang. Carpal tunnel syndromes (CTS) merupakan neuropati entrapment yang paling sering. Ulnar neuropati merupakan kedua terbanyak setelah CTS yang disebabkan kompresi saraf pada siku dan tangan dimana juga menyebabkan sindrom kompresi yang lain pada cabang-cabang yang lebih dalam dari saraf ulnar. Karena posisi anatomis saraf ulnar, penyebab entrapment disebabkan oleh berbagai hal. Posisi siku yang terletak secara superfisial sering terjadi perlukaan oleh tekanan yang berlebihan pada daerah ini. Sindrom entrapment yang jarang kejadiannya adalah saraf suprascapular yang diperkirakan 0,4% pada gejala-gejala upper girdle symptom (Harrop, 2007).

Anatomi (Harrop, 2007; Stern, 2008).

Saraf ulnaris merupakan bagian terminal dari medial cord pada pleksus brakhialis dimana serabut-serabutnya berasal dari C8-T1. Awalnya saraf ini terletak medial dari arteri aksilaris menuju arteri brakhialis dan menuju ke tengah lengan. Saraf ini pada ujungnya menembus septum intermuskular dan mengikuti ke medial kepala otot trisep dan menuju alur antara olecranon process dan medial epikondilus. Tidak ada cabangnya pada lengan dan kemudian menyilang siku memberikan cabang-cabang artikuler dan cabang-cabang ke fleksor carpi ulnaris dan sebagian medial fleksor digitorum profunda. Saraf ini masuk di antara 2 kepala fleksor carpi ulnaris dan menuju ke lengan bawah antara 2 otot ini dan fleksor digitorum profunda.

Pada distal sebagian lengan bawah, saraf-saraf ini menyatu pada sisi lateral oleh arteri ulnaris. Pada proksimal pergelangan tangan, saraf ini bercabang dorsal yang luas dan bertugas sebagai saraf sensoris. Saraf ulnaris berlanjut ke tangan melalui guyon canal. Saraf ini terbagi menjadi superfisial atau bagian sensoris dan bagian dalam atau bagian motorik. Cabang bagian dorsal menyuplai sensasi bagian dorsum pergelangan tangan dan sisi ulnar tangan. Cabang superfisial di Guyon canal menyuplai palmaris brevis dan kulit hipotenar, serta saraf-saraf digital yang menuju sisi ulnaris cincin jari.

Cabang bagian dalam melewati antara abduktor digiti quinti dan fleksor digiti quintus brevis dengan cabang dalam arteri ulnaris memasuki opponen digiti quinti,

Gambar 10.1. Anatomi dari cubital tunnel (Sumber dari http://www.cubital-tunnel.com/cms/

Anatomy/anatomy.html).

Ulnar dan Suprascapular Neuropathy

Gambar 10.2 Anatomi Elbow (Sumber dari http://withfriendship.com/user/sathvi/ulnar-nerve- entrapment.php).

ilon mengikuti arkus volar dalam menyeberangi interosei. Saraf ini menyuplai 3 otot pada jari-jari kecil, tiga dan empat lumbricales, volar dan interosei, abduktor pollicis, bagian dalam fleksor pollicis brevis.

Saraf ulnaris melintasi sisi medial dari arteri brakialis di lengan atas, memasuki septum medial intermuskular di lengan bagian tengah dan berlanjut ke siku pada medial kepala trisep. Di siku, saraf ulnaris melalui terowongan cubital (suatu groove antara epikondil humerus medial dan olekranon). Saraf ini melintasi ke dalam aponeurotik antara 2 kepala pada fleksor carpi ulnaris dan turun ke lengan depan antara fleksor jari tangan yang dalam dengan yang superfisial.

Ada 5 tempat potensial terjadinya perlukaan yaitu terjadi pada:

1. The arcade of Struthers (terjadi pada 70% populasi), berbeda dengan ligamen Struther yang bisa menekan saraf medial, merentangkan dari kepala bagian medial dari trisep yang masuk ke dalam septum intermuskular medial. Ini bisa menekan saraf ulnar kira-kira 6-8 cm di atas medial epikondilus.

2. Septum medial intermuskular sebagai suatu pinggir yang tajam yang dapat berlekuk sarafnya, khususnya setelah transposisi anterior di mana sarafnya bisa kaku.

3. Dasar terowongan cubital adalah ligamen kolateral medial siku dan diatapi oleh ligamen arkuata (retinaculum) yang me-

Dalam dokumen SURAT PENCATATAN - Universitas Udayana (Halaman 136-155)