• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan penunjang

Dalam dokumen SURAT PENCATATAN - Universitas Udayana (Halaman 62-71)

Pemeriksaan radiologis, meliputi:

1. Sinar-X Tulang Belakang Servikal dan lainnya

Fraktur tulang belakang servikal sering berhubungan dengan cedera regang proksimal yang berat yang tidak dapat direparasi, paling tidak pada tingkat akar ruas tulang belakang bersangkutan. Fraktur tulang lain seperti humerus, klavikula, skapula dan/atau diamati memberikan perkiraan kasar atas kekuatan yang menghantam bahu, lengan atau leher, namun tidak selalu membantu menentukan tingkat atau luasnya cedera. Kerusakan pleksus biasanya lebih proksimal dibanding sisi fraktur yang tampak, sering pada tingkat akar. Fraktur humerus tengah terutama berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktur kominuta radius dan ulna pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan dengan cedera saraf median dan ulnar, dan terkadang dengan palsi saraf interosseus posterior. Komponen peroneal saraf siatik sering, namun tidak selalu, terkena secara khusus pada dislokasi atau cedera panggul.

Fraktur femur bawah dan fraktur tibial dan fibuler bisa mengenai saraf peroneal dan/ atau tibial. Sekali lagi, cedera saraf mungkin lebih proksimal dari daerah fraktur yang diperkirakan. Fraktur femur tengah bisa berkaitan dengan cedera regang siatik lebih ke proksimal pada tingkat bokong. Radiograf dada bisa menampakkan elevasi diafragma yang tidak berfungsi, yang berarti paralisis saraf frenik. Ini tanda prognosis yang relatif buruk untuk reparasi akar saraf C5 setelah cedera tertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada tingkat leher (Solomon dkk, 2003).

2. Mielografi

Menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera regang Pleksus Brakhialis berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk cedera pleksus di tingkat infraklavikuler atau aksiler (kebanyakan luka tembak pada pleksus), kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang belakang servikal atau trayeknya supraklavikuler medial. Mielografi modern dengan kontras larut air bisa menampilkan akar- akar pada ruang subarakhnoid, dan membandingkan sisi terkena dan sisi sehat menentukan daerah disrupsi akar. Mielografi tetap berguna membantu perencanaan pada cedera pleksus (Edward, 2000).

Gambar 5.1. CT Scan servikal irisan sagital

J. Tomografi Tcrkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI) Pencitraan tomografi terkomputer dengan kontras intratekal di- manfaatkan pada cedera regang walau terkadang abnormalitas tetap tidak dijumpai karena irisan biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah radik pada setiap tingkat. Akibatnya, mielografi tetap merupakan pemeriksaan radiologis yang disukai.

Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu menampilkan akar saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogram dan tidak menggantikannya. Cairan Serebrospinal (CSS) di dalam me- ningosel dapat tampak pada MRI, namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi.

(Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000)

Gambar 5.2. MR Myelogram

M\ j Hmnf Porllor

Sedangkan pemeriksaan elektrofisiologik, meliputi:

1. Elektromiografi

Pemeriksaan EMG dasar 2-3 minggu setelah cedera menunjukkan perluasan denervasi dan menegaskan pola atau distribusi cedera.

Pemeriksaan EMG harus dilakukan serial untuk mencari tanda-tanda reinervasi atau denervasi yang persisten. Pada regenerasi, aktivitas insersional mulai pulih dan fibrilasi serta potensial denervasi berkurang dan terkadang digantikan oleh potensial aksi motor yang timbul sewaktu-waktu. Setiap perubahan menunjukkan bahwa beberapa serabut yang mengalami regenerasi mencapai otot dan terjadi beberapa rekonstruksi hubungan akson-motor end plate. EMG menjadi penting karena dapat membuktikan regenerasi beberapa minggu atau bulan sebelum fungsi motor volunter tampak. Juga melacak adanya sisa unit motor yang berarti cedera parsial segera setelah cedera (Edward, 2000).

EMG terutama membantu menentukan tingkat cedera cedera Pleksus Brakhialis hingga bisa menyeleksi pasien untuk dioperasi beserta jenis operasi yang akan dilakukan. Denervasi otot paraspinal mengarahkan pada cedera proksimal pada satu atau lebih akar dan karenanya merupakan temuan negatif. Kerusakan proksimal pada tiga akar terbawah dapat berakibat denervasi paraspinal ekstensif dimana akar C5 dan bahkan C6 mungkin cedera lebih ke lateral dan karenanya dapat diperbaiki. Elektromiografer memiliki kesulitan membedakan tingkat spinal di dalam otot paraspinal karena sangat tumpang tindih.

(Rengachary dan Wilkin, 1994; 2000).

2. Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)

Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera Pleksus Brakhialis. Cedera tingkat akar yang terbatas didaerah preganglion dan tidak meluas ke daerah post ganglion berakibat hilangnya sensori distal lengkap dan tetap mempertahankan konduksi sensori distal. Yang terakhir ini bertahan karena kerusakan serabut sensori distal ganglion akar saraf tidak berdegenerasi. Stimulasi telunjuk (bahkan jempol) yang anestetik dapat menimbulkan SNAP pada distribusi saraf median bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada tingkat preganglionik. Ini menjadikannya sulit untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah cedera akar C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada akar C5 karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifik atau daerah pencatatan untuk hantaran ini (Edward, 2000).

l Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)

Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera apakah pre- ganglionik atau post ganglionik, pada cedera Pleksus Brakhialis. Ia bernilai terbatas pada bulan-bulan pertama cedera. Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat operasi atas cedera brakhial karena regangan atau kontusi. Bila cedera postganglionik, stimulasi akar proksimal dari tingkat cedera membangkitkan potensial somatosensori di atas tulang belakang servikal (SSP) dan membangkitkan (evoked cotical respon/ECR) respons kortikal di atas kra-

Gambar 5.4. Ilustrasi SSEP (Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000).

Saraf Perifer

Gambar 5.5 Ilustrasi NAP (Sumber dari Rengachary dan Wilkin, 2000).

nium kontralateral. Bila cedera preganglionik, stimulasi terhadap akar, bahkan di dalam atau dekat foramen intervertebral, tidak mem- bangkitkan respons apa pun, maka reparasi jarang berhasil (Edward, 2000).

4. Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP)

Mencakup pemeriksaan NAP batang saraf pada setiap sisi cedera.

Karena pelacakan yang ideal untuk memutuskan apakah akan me- reparasi saraf 8 minggu setelah cedera, NAP menjadi pemeriksaan definitif yang penting bila dicurigai adanya neuroma yang parah pada kontinuitas dan otot sasaran pertama berjarak lebih dari 3 inci di bawahnya (Rengachary dan Wilkin, 2000).

Beberapa contoh cedera saraf tepi dan cara menegakkan diagnosisnya, di antaranya:

1. Cedera Pleksus Brakhialis

Pleksus Brakhialis dibentuk dari pertemuan saraf C5 sampai Tl. Cedera traksi diklasifikasikan menjadi supraklavikuler (65%), infra- klavikuler (25%) serta kombinasi keduanya sebanyak 10%. Cedera supraklavikula umumnya terjadi pada kecelakaan sepeda motor, dimana pada luka yang lebih berat, lengan secara praktis mengalami avulsi dengan ruptur arteri subklavian. Sedangkan cedera infraklavikula biasanya berhubungan dengan fraktur atau dislokasi

j

liari bahu, di mana pada beberapa kasus disertai dengan robeknya arteri aksilaris. Perbedaan yang paling penting adalah adanya cedera preganglionik dan post ganglionik. Cedera preganglionik tidak dapat diperbaiki sedangkan cedera post ganglionik masih dapat diperbaiki.

Gambaran dari avulsi 'root' adalah nyeri terasa membakar pada tangan yang mengalami pembiusan; paralisis otot ska- pula/diafragma, sindrom Horner's ptosis, miosis, enopthalmos dan anhidrosis; cedera vaskular berat; berhubungan dengan fraktur cervikal berat; disfungsi spinal cord. Tes dengan histamin dapat pula dipergunakan, dimana hasil tes negatif pada cedera post ganglionik karena kontinuitas saraf antara kulit dan 'dorsal root ganglion' terganggu. Pada CT myelografi tampak pseudomeningocoeles hasil dari avulsi 'root' (Solomon dkk, 2003).

Cedera Nervus Rndialis

Cedera dapat terjadi pada siku, lengan atas maupun di aksila. Biasanya pada cedera yang lebih ringan disebabkan oleh fraktur atau dislokasi pada siku, atau luka lokal. Pasien mengeluhkan adanya kekakuan dan pada tes tidak dapat ekstensi sendi meta- karpophalangeal. Dapat juga terjadi kelemahan abduksi dan ekstensi interphalangeal. Cedera yang berat terjadi dengan fraktur pada humerus menyebabkan terjadinya kelemahan ekstensor radial dari pergelangan tangan seperti juga ketidakmampuan untuk ek- tensi sendi. Kehilangan sensorik terbatas pada potongan kecil dari dorsum disekeliling cedera. Jika pasien datang dalam keadaan palsy, dapat ditunggu dahulu selama 6 minggu untuk melihat proses penyembuhan. Jika tidak memungkinkan, EMG dapat dilakukan, jika hasilnya menunjukkan potensial denervasi dimana neuropraksia dieksklusi maka saraf dapat dieksplorasi (Solomon dkk, 2003).

3. Cedera Nervus Ulnaris

Cedera pada nervus ulnaris biasanya terjadi di dekat pergelangan tangan atau siku, walaupun luka terbuka mungkin berbahaya pada berbagai tingkatan. Pada cedera yang ringan sering disebabkan oleh luka pecahan gelas. Terdapat mati rasa pada ulnar dan setengah dari jari, tangan kemudian membentuk suatu posisi tertentu (the claw hand deformity) dengan hiperekstensi sendi metakarpophalangeal dari kelingking, karena kelemahan otot intrinsik. Tangan pasien di- perintahkan untuk menjepit kertas kemudian pemeriksa berusaha untuk menariknya, fleksi dari sendi interphalangeal jari menanda-

Saraf Perifer

50

j

kan kelemahan aduksi policis dan dikompensasikan dengan fleksor policis longus (Froment's sign).

4. Cedera Nervus Medianus

Cedera yang sering terjadi di dekat pergelangan tangan atau pada lengan bawah. Cedera yang ringan disebabkan oleh pemotongan di depan pergelangan tangan atau dislokasi carpal. Pasien tidak bisa abduksi dari ibu jari dan kehilangan sensasi pada radial dan setengah dari jari. Sedangkan cedera yang lebih berat disebabkan oleh fraktur pada lengan bawah atau dislokasi siku, namun tikaman dan luka tembakan dapat membahayakan saraf pada berbagai tingkat. Tandanya sama seperti pada cedera ringan namun terdapat tambahan berupa flexi panjang ke ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, pergelangan radial serta otot pronasi lengan bawah mengalami paralisis. Khas terdapat 'tanda pointing' yaitu tangan memegang jari ulnaris dan jari telunjuk lurus (Solomon dkk, 2003).

5. Carpal Tunnel Syndrome

Sindrom ini biasanya terjadi pada usia menopause, atritis rema- toid, kehamilan dan myxoedema. Adanya nyeri dan parastesia pada nervus median di tangan. Setiap malam penderita terbangun karena rasa terbakar pada tangan, kesemutan dan mati rasa. Mengantungkan tangan pada sisi atas tempat tidur dirasakan dapat mengurangi keluhan. Pada tingkat yang lebih tinggi mungkin terdapat kekakuan dan kelemahan, terutama pada tugas yang memerlukan manipulasi seperti mengikat kancing. Delapan kali lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dengan usia berkisar 40 sampai 50 tahun. Gejala sensoris sering disebabkan oleh pukulan di atas nervus medialis (Tinel's sign) atau dengan memegang pergelangan tangan yang difleksikan dalam satu atau dua menit (Phalen's test). Pada kasus yang lanjut terdapat hilangnya otot thenar, kelemahan abduksi ibu jari dan hilangnya sensorik pada daerah nervus medialis. Pada tes elektrodiagnostik menunjukkan pergerakan lambat dari konduksi saraf melewati pergelangan tangan, dan merupakan gejala tidak khas. Gejala radikuler dari spondilosis cervikal mungkin meragukan diagnosis dan bersamaan dengan Carpal Tunner Syndrome (Solomon dkk, 2003).

6. Cubital Tunnel Syndrome

Pasien mengeluhkan adanya rasa kesemutan dan mati rasa pada setengah ulnar dari jari manis, gejala mungkin hilang timbul dan

berhubungan dengan posisi siku yang khas, misalkan pasien tidur dengan posisi terlentang dengan posisi siku fleksi atau ketika me- megang koran. Pada kasus yang lanjut akan tampak kelemahan dalam memegang, 'slight clawing', hilangnya otot intrinsik, dan menurunan sensibilitas pada daerah nervus ulnaris. Froment's sign dan kelemahan abduksi digiti minimi sering tampak. Tes Tinel's Percussion, nyeri tekan pada saraf di belakang epikondial media- lis, reproduksi gejala dengan fleksi dari siku, kelemahan flekors carpi ulnaris dan fleksor digitorium profunda ke jari kelingking, diperkirakan akibat kompresi pada siku.

Diagnosis dikonfirmasikan dengan tes konduksi saraf (Solomon dkk, 2003).

7. Thoracic Outlet Syndrome

Gejala neurologis dan vaskular serta tanda pada lengan atas disebabkan oleh kompresi pada trunkus bawah dari Pleksus Brakhialis (C8-T1) dan pembuluh darah subklavian antara klavikula dan kos- ta pertama.

Kelainan ini merupakan kelainan kongenital dan jarang terjadi sebelum umur 30 tahun. Hal ini dikarenakan dengan peningkatan umur, shouder sag, akan menyebabkan traksi lebih besar pada kumpulan saraf dan pembuluh darah; sehingga jatuhnya bahu akan meyebabkan sindrom dan gejala berhubungan dengan postur tubuh. Pada pasien wanita usia tiga puluhan biasanya nyeri dan parastesia dari bahu, bagian dalan ulnar dan lengan hingga dua jari medial dirasakan, nyeri tersebut terasa lebih berat pada malam hari dan diperparah dengan pemberian beban pada bahu. Tanda dan gejala vaskuler jarang ditemukan, berupa sianosis, coldness, dan hipersekresi keringat pada jari tangan. Gejala berupa fenomena Raynaund's. Pada Adson's test leher pasien ekstensi dan mengarah ke sisi yang terkena, pasien disuruh bernapas dalam, sehingga terjadi kompresi ruang interskalin yang menyebabkan parastesia dan obliterasi pulsasi radialis. Tes Wright lengan mengalami abduksi dan rotasi eksternal. Kemudian bisa juga dilakukan tes Root's di mana pasien diminta mengangkat lengannya tinggi di atas kepala, dan membuka dan menutup jari-jari tangan dengan cepat, menyebabkan kram pada sisi yang terkena. Pada pemeriksaan rontgen leher tampak adanya abnormalitas sepanjang C-7. Tes elektrodiagnostik berfungsi untuk mengeksklusi cedera saraf tepi seperti kompresi pada nervus medialis atau ulnaris (Solomon dkk, 2003).

8. Tarsal Tunnel Syndrome

Nyeri dan gangguan sensorik pada permukaan plantar kaki mungkin disebabkan oleh kompresi nervus tibial posterior di belakang dan di bawah maleolus medialis. Nyeri mungkin dipicu oleh mengangkat beban terlalu lama. Biasanya memburuk di malam hari dan berkurang dengan berjalan. Parastesis dan mati rasa harus diikuti dengan karakteristik distribusi sensorik. Tes perkusi Tinel mungkin positif di belakang maleolus medialis. Diagnosis susah untuk ditegakkan namun konduksi saraf menunjukkan perlambatan konduksi sensorik dan motorik (Solomon dkk, 2003).

9. Cedera Pleksus Iskhiadikus

Pada kasus ini sering terjadi pada dislokasi hip traumatik dan fraktur pelvik. Pada cedera komplet, otot hamstring dan otot-otot di bawah lutut mengalami paralisis, ankle jerk tidak ditemukan. Sensorik di bawah dari lutut juga tidak ditemukan kecuali pada sisi medial dari kaki yang di suplai oleh cabang Saphenous dari nervus femo- ralis.

Biasanya pada kasus ini pasien-pasien berjalan dengan posisi kaki 'drop foot' dan 'high stepping gait' untuk menghindari kaki yang tidak sensitif menempel pada lantai. Jika ditemukan adanya kehilangan sensorik pada daerah paha dan otot gluteal mengalami kelemahan, maka harus dipikirkan kemungkinan terjadi cedera pada Pleksus Lumbosakral. Pada kasus yang lanjut, otot-otot kaki akan mengalami atropi dengan ditemukannya deformitas pada telapak kaki (Solomon dkk, 2003).

Dalam dokumen SURAT PENCATATAN - Universitas Udayana (Halaman 62-71)