• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelainan Retina

Dalam dokumen Dokumen referensi: Daftar Isi (Halaman 118-147)

Gambar 5.4. Angiografi pada oklusi cabang vena retina

Warna keabu-abuan bisa disebabkan edema retina, ablasi retina, dan oklusi vena retina. Warna kuning bisa disebabkan adanya timbunan/akumulasi lipid atau eksudat keras. Bisa terjadi pada kasus oklusi vaskular. Oklusi menyebabkan tekanan pembuluh darah naik, kemudian keluarlah komponen-komponen vaskular.

Kalau ini terjadi dalam waktu yang lama, produk-produk lipid keluar juga. Atau bisa juga karena eksudasi keras akibat eksudasi plasma dalam waktu yang lama.

Gambar 5.6. Perubahan warna pada oklusi vaskular retina Warna hitam biasanya karena perubahan pada epitel pigmen retina (melanin). Warna hitam juga tampak pada parut korioretina dan akumulasi pigmen, misalnya pada retinitis pigmentosa. Warna

Gambar 5.5. Fundus miopik

merah bisa mengindikasikan adanya hal berikut. (i) Neovaskularisasi retina. Bisa terjadi karena oklusi, akan memacu pembentukan pembuluh darah baru. Pembuluh darah ini rapuh, sehingga mudah terjadi perdarahan. (ii) Mikroaneurisma. (iii) Perdarahan. (iv) Ruptur retina, karena lapisan koroid jadi tampak lebih jelas, padahal lapisan koroid adalah lapisan yang sangat vaskular sehingga tampak merah.

Gangguan pada retina tidak menimbulkan rasa sakit, juga tidak menyebabkan warna merah pada mata. Gangguan pada retina manifestasinya berupa perubahan tajam penglihatan atau lapang pandang. Kalau gangguan retina terjadi di makula (berfungsi sebagai penglihatan sentral), maka keluhannya adalah gangguan ketajaman penglihatan. Kalau retina yang mengalami kelainan di perifer (bisa di atas, bawah, temporal, atau nasal) manifestasinya berupa penyempitan lapangan pandang. Misalnya retina bagian temporal mengalami ablasi, maka yang terganggu adalah lapang penglihatan sebelah nasal dan begitu pula sebaliknya. Perlu diingat bahwa untuk penglihatan normal diperlukan media refrakta yang jernih, refraksi normal/terkoreksi, retina yang baik, dan saraf optik sampai ke otak juga baik.

Kelainan Makula Didapat

Degenerasi Makula Terkait Usia (Age-Related Macular Degeneration/ ARMD)

Dalam keadaan normal, makula mengalami perubahan- perubahan yang diakibatkan oleh proses penuaan. Perubahan ini antara lain berupa: (1) berkurangnya jumlah sel-sel fotoreseptor, (2) perubahan-perubahan ultrastruktural epitel pigmen retina (EPR) seperti pengurangan granula melanin, terbentuknya granula lipofuchsin, serta timbunan residual bodies, (3) timbunan deposit laminar basal, serta (4) perubahan pada kapiler koroid. Perubahan pada makula pada proses penuaan yang bukan merupakan perubahan normal pada proses penuaan, disebut degenerasi makula terkait usia, atau age-related macular degeneration (AMD, ARMD), yang terdiri atas 2 bentuk klinis, yaitu (1) non-neovaskular, dan (2) neovaskular. ARMD merupakan penyebeb utama gangguan penglihatan sentral pada usia di atas 50 tahun di negara-negara maju. Penurunan penglihatan sentral yang bermakna terjadi karena timbulnya neovaskularisasi pada koroid (choroidal neovascularization/CNV) yeng mengakibatkan terjadinya perdarahan subretina sampai perdarahan vitreus pada ARMD jenis

neovaskular. Pada jenis non-neovaskular, penurunan ketajaman penglihatan disebabkan karena atrofi geografis retina .

Patofisiologi terjadinya ARMD belum diketahui dengan pasti sampai saat ini. Beberapa teori yang diajukan, antara lain: (1) teori proses penuaan, (2) teori iskemia, serta (3) teori kerusakan oksidatif.

Bagian paling luar dari sel fotoreseptor yang berbentuk keping selalu di“makan” oleh EPR dengan pola diurnal, yaitu keping terluar sel batang dimakan pada siang hari, sedangkan keping terluar sel kerucut di makan pada malam hari. Keping yang tidak terfagosit akan tertimbun dalam EPR yang disebut lipofuhsin. Lipofuhsin akan menghambat degradasi makromolekul seperti protein dan lemak, mempengaruhi ekspresi gen yang mengatur keseimbangan antara vascular endothelial growth factor (VEGF) dengan produksi pigment epithelium-derived factor yang merupakan zat anti angiogenik ,serta bersifat foto reaktif, akibatnya menimbulkan terjadinya apoptosis RPE. Lipofuhsin yang tertimbun di dalam sel EPR akan mengurangi volume sitoplasma, sehingga makin menurunkan kemampuan RPE untuk memfagosit keping-keping sel fotoreseptor.

Lipofusin tertimbun di antara sitoplasma dan membrane basalis sel EPR, membentuk lapisan yang disebut basal laminar deposit, yang ikut bertanggung jawab atas penebalan membran Bruch.

Iskemia. Angiogenesis terjadi karena adanya iskemik pada jaringan yang memacu timbulnya suatu agen angiogenik antara lain VEGF. Pada penelitian didapatkan fakta yang menunjukkan bahwa pada ARMD iskemia tidak memegang peranan yang penting. Sel fotoreseptor hanya terpapar oleh sedikit oksigen, sedangkan EPR terpapar oleh oksigen dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Pada kenyataannya, sel fotoreseptor tidak memproduksi VEGV, justru sel EPR yang memproduksi VEGF dalam jumlah besar. Disamping itu ditemukan pula tanda-tanda adanya sel-sel radang pada jaringan CNV yang dieksisi, sehingga diduga bahwa lebih besar kemungkinannya CNV tumbuh sebagai reaksi perbaikan luka dari pada sebagai reaksi terhadap iskemia.

Kerusakan oksidatif terjadi karena terbentuknya zat yang disebut reactive oxygen substance (ROS) yang dihasilkan oleh oksidasi pada mitokondria. Adanya ROS menimbulkan gangguan metabolisme intrasel, antara lain metabolisme protein dan lemak.

Lemak yang sangat rentan terhadap kerusakan oksidatif adalah

asam lemak tak jenuh ganda. Sel EPR yang mengalami kerusakan oksidatif akan memproduksi VEGF dalam jumlah besar , yang memacu timbulnya CNV. Retina sangat mudah mengalami kerusakan oksidatif karena beberapa alasan: (1) bagian luar fotoreseptor mengandung sangat banyak asam lemak tak jenuh ganda, (2) bagian dalam sel batang mengandung sangat banyak mitokondria yang dapat membocorkan ROS , (3) penyediaan oksigen yang sangat tinggi pada koroid, serta (4) paparan terhadap sinar menimbulkan proses foto-oksidatif oleh ROS.

Penyebab pasti AMD belum diketahui, tetapi insidensinya meningkat setiap dekadenya pada usia di atas 50 tahun. Faktor lain yang terkait adalah ras ( pada ras kaukasoid lebih banyak terjadi), jenis kelamin (predominasi wanita), riwayat keluarga, dan riwayat merokok.Insidensi ARMD meningkat setiap dekadenya pada usia di atas 50 tahun. Faktor lain yang terkait adalah ras (pada ras kaukasoid lebih banyak terjadi), jenis kelamin (predominasi wanita), riwayat keluarga, dan riwayat merokok. AMD ada 2 macam , yaitu tipe non-eksudatif (kering) dan tipe eksudatif (basah) seperti dipaparkan berikut ini.

Degenerasi makula noneksudatif

Pada gambaran fundus, makula tampak lebih kuning/pucat (normalnya macula berwarna lebih gelap daripada daerah di sekitarnya) dikelilingi oleh bercak-bercak di sekitar makula, dan pembuluh darah tampak melebar. Bercak-bercak ini disebut drusen, yaitu tanda yang khas berbentuk bulat, berwarna kekuningan.

Secara histopatologi drusen terdiri atas kumpulan materi eosinofilik yang terletak diantara epitel pigmen dan membran Bruch, sehingga drusen dapat menyebabkan pelepasan fokal dari epitel pigmen.

Bentuk non-neovaskular ini muncul dalam bentuk timbulnya (1) drusen, serta (2) kelainan EPR. Drusen merupakan suatu timbunan material ekstraselular yang terletak di antara membran basal EPR dengan membran Bruch. Secara klinis, drusen tampak sebagai lesi kekuningan yang terletak pada lapisan luar retina, di polus posterior. Drusen mempunyai ukuran yang sangat bervariasi.

Ukuran drusen dapat diperkirakan dengan membandingkannya dengan kaliber vena besar disekitar papil, yaitu kira-kira 125 mikron. Menurut ukurannya, drusen dibagi menjadi: (1) kecil (<64μm), (2) sedang (64 – 125 μm), serta besar (> 125μm).

Gambar 5.7. Degenerasi macula non eksudatif

Menurut bentuknya, drusen dibagi menjadi keras dan lunak.

Beberapa drusen dapat bergabung menjadi satu, disebut confluent drusen. Drusen keras merupakan residual bodies yang bertanggung jawab terhadap penebalan memban Bruch, yang berhubungan dengan adanya deposit laminar basal yang terdiri dari hialin. Drusen lunak merupakan timbunan membranosa dan vesikular yang berhubungan dengan deposit laminar basal. Biasanya ukurannua lebih besar dari pada drusen keras, dan batasnya kurang tegas.

Pada angiografi fluoresin, drusen keras akan tampak sebagai bercak-bercak hiperfluoresensi yang cemerlang pada stadium midvena, dan memudar setelah memudarnya corakan latar belakang fluoresin koroid, sedangkan drusen lunak akan muncul sebagai daerah hiperfluoresensi lebih lambat dan kurang cemerlang dibandningkan drusen keras.

Drusen keras ditemukan pada 95,5% manusia berusia lebih dari 49 tahun, tetapi sebagian besar hanya berupa drusen yang kecil dan jumlahnya tidak banyak. Drusen keras bisa mengalami regresi spontan, dapat membesar atau menyatu dengan drusen di sebelahnya, atau menimbulkan atrofi sel EPR yang ada di atasnya, yang dapat menimbulkan atrofi geografik EPR apabila daerahnya luas, sehingga corak pembuluh darah koroid di bawahnya dapat terlihat, serta retina di atasnya tampak tipis, yang berlanjut menjadi atrofi fotoreseptor, dan menyebabkan atrofi geografik retina, atau berkembang membentuk neovaskularisasi koroid (CNV).

Perubahan lain yang dapat terjadi adalah hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi terjadi karena hipertrofi EPR dan sel makrofag yang mengandung pigmen melanin mengalami migrasi kea rah fotoreseptor. Hipopigmentasi terjadi karena depigmentasi di sekitar EPR yang mengalami hiperpigmentasi.

Secara klinis, atrofi retina geografis tampak sebagai daerah hipopigmentasi atau depigmentasi atau hilangnya EPR yang berbentuk bulat atau oval dan berbatas tegas. Atrofi geografik merupakan penyebab kehilangan ketajaman penglihatan sentral sebesar 12% sampai 21 % dari seluruh kehilangan penglihatan sentral yang diakibatkan karena ARMD. Kemampuan membaca akan menurun bukan hanya karena adanya skotoma parasentral saja, melainkan juga karena penurunan sensitivitas adaptasi gelap pada fovea, kemunduran ketajaman penglihatan pada keadaan redup, serta menurunkan sensitivitas kontras.

Degenerasi makula eksudatif

Pada keadaan ini terjadi pembentukan pembuluh darah baru subretinal dan terjadi kerusakan makula yang disertai eksudat.

Cairan serosa dari koroid bocor melalui defek yang terjadi pada membran Bruch sehingga menyebabkan pelepasan epitel pigmen.

Pemeriksaan fundus menunjukkan adanya perdarahan dan eksudat subretinal, lesi berwarna hijau keabu-abuan pada makula, dan tampak adanya neovaskularisasi.

Gambar 5.8. Degenerasi macula eksudatif

Bentuk ARMD neovaskular adalah neovaskularisasi koroid (CNV) dan semua manifestasi yang menyertainya antara lain (1) ablasi EPR, (2) robekan EPR, (3) perdarahan subretina, (4) perdarahan vitreus, dan (5) sikatriks disiformis. ARMD jenis ini

merupakan kurang lebih 10% dari semua ARMD. Adanya kerusakan pada membran Bruch memungkinkan pembuluh darah neovaskularisasi yang berasal dari kapiler koroid menembus membran Bruch. Pembuluh darah neovaskular ini disertai oleh jaringan fibrosa, membentuk suatu kompleks fibrovaskular yang dapat mengganggu dan merusak membran Bruch, kapiler koroid, serta EPR. Gejala yang dialami oleh pasien dengan CNV saja, berupa gangguan penglihatan sentral seperti peurunan visus, mikropsia, makropsia, ataupun skotoma sentral. Walaupun demikian apabila kelainan terjadi di luar fovea, maka dapat tanpa gejala penglihatan sentral sama sekali. Pada fundus tampak adanya bayangan hijau keabu-abuan, dengan ablasi EPR di atasnya. Walaupun demikian CNV kadang hanya memberikan tanda berupa ablasi EPR yang datar saja.

Gambar 5.9. ARMD

Pengelolaan ARMD ialah dengan pencegahan dan terapi.

Pencegahan meliputi pengelolaan faktor-faktor risiko, konsumsi sayur-mayur dan ikan, berhenti merokok, dan konsumsi antioksidan (misal dengan konsumsi karotenoid dosis tinggi). Penanganannya dengan fotokoagulasi laser, terapi fotodinamik (photodynamic therapy, PDT), termoterapi transpupiler, suplementasi nutrisi, prosedur pembedahan (misal translokasi makula), dan obat-obatan antiangiogenesis.

Fotokoagulasi laser pada kasus CNV karena ARMD tidak memberikan hasil yang memuaskan. Di bawah ini adalah hasil fotokoagulasi laser yang dilakukan oleh Macular Photocoagulation

study (MPS) setelah follow up selama 5 tahun. Sayang, fotokoagulasi untk CNV hanya bermanfaat untuk mencegah penurunan penglihatan lebih dari 6 baris Snellen, tidak dapat memperbaiki ketajaman penglihatan itupun hanya pada CNV berpola klasik, berbatas tegas serta berukuran kecil saja. Sehingga fotokoagulasi laser hanya dapat dilakukan pada sebagian kecil saja dari penderita ARMD dengan CNV.

PDT adalah suatu pilihan terapi bagi CNV subfoveal dengan menyuntikkan verteporfin, suatu suatu zat yang bersifat photosensitizer, diikuti oleh penyinaran sinar laser dengan panjang gelombang yang dapat diabsorbsi oleh obat tersebut, penyinaran begitu ringan sehingga tidak menimbulkan kerusakan termal (karena kenaikan suhu). Verteporfin yang telah diaktifkan oleh sinar akan menghasilkan singlet oksigen, serta oksigen reaktif yang akan merusak endotel pembuluh darah yang sedang aktif berproliferasi.

Keunggulan terapi ini adalah bersifat selektif hanya merusak jaringa CNV tanpa merusak EPR, fotoreseptor, serta koroid disekitarnya.

Setelah disuntikkan, verteporfin akan berikatan dengan LDL yang banyak terdapat pade endotel pembuluh darah yang sedang berproliferasi seperti CNV. PDT dengan verteporfin mengurangi risiko kehilangan penglihatan hingga 1 tahun setelahnya apabila CNV-nya subfovea.

Tindakan pembedahan untuk menangani CNV antara lain pengambilan membran CNV subretina, serta translokasi makula.

Beberapa penelitian mengenai ekstraksi membrane CNV subretina mendapatkan bahwa hasil akhir visus tidak lebih dari 6/60. Tetapi cara ini dapat disarankan pada penderita yang tidak berhasil dengan PDT.

Terdapat tindakan bedah lain yang mungkin dikerjakan yaitu translokasi macula. Translokasi macula adalah suatu istilah yang merujuk kepada tindakan mengablasi macula dengan sengaja dari epitel pigmen di bawahnya, untuk selanjutnya memindahkannya ke tempat lain. Walaupun teknik ini menjanjikan untuk kondisi tertentu, khususnya neovaskularisasi koroid, teknik optimal dan prognosis jangka panjangnya belum dipastikan.

Obat-obat antiangiogenesis yang digunakan merupakan obat- obat anti VEGF A, yang merupakan substansi angiogenik utama dalam terbentuknya neovaskularisasi pada ARMD. Obat yang pertama kali digunakan adalah Na-pegabtanib (Macugen®). Obat ini

memberikan perbaikan ketajaman penglihatan pada 6% pasien.

Setelah itu, digunakan obat lain yaitu ranibizumab, yang lebih memberikan kenaikan ketajaman penglihatan, karena mengikat semua bentuk aktif VEGF. Bevacizumab, yang merupakan antibodi monoklonal seperti ranibizumab, ternyata memberikan hasil yang lebih menjanjikan karena mempunyai 2 binding sites terhadap VEGF.

(Retina 26;495-511,2006).

Lubang Makula (Macular Hole)

Timbulnya lubang makula bisa dihubungkan dengan kejadian trauma, pascapenanganan laser, edema makula kistoid dengan inflamasi, penyakit pembuluh darah retina, pengerutan makula (macular pucker), dan ablasi retina. Kebanyakan lubang makula merupakan suatu akibat perubahan terkait usia saja, dan karenanya paling banyak terjadi pada dekade ketujuh kehidupan, meskipun bisa saja terjadi pada usia yang lebih muda. Lubang makula lebih sering ditemukan pada perempuan.

Lubang makula diperkirakan timbul sebagai suatu akibat traksi vitreoretinal antero-posterior. Namun kini sedang berkembang suatu hipotesis bahwa traksi yang menyebabkan timbulnya lubang makula adalah traksi tangensial vitreous kortikal di basis vitreus terhadap segmen anterior retina. Tarikan ini selanjutnya menyebabkan ablasi fovea dan berujung pada timbulnya lubang. Berikut ini merupakan skema proses terjadinya lubang fovea.

Gambar 5.10. Skema terjadinya lubang macula

Pada tahap 1A dan 1B proses terbentuknya lubang makula, pasien umumnya mengeluhkan metamorfopsia dan pemeriksaan biasanya mengungkapkan adanya penurunan ringan penglihatan sentral. Biomikroskopi bisa menunjukkan vitreus yang secara optis tampak ‘kosong’ di area praretina. Di tahap 1A mungkin pemeriksa bisa menemukan bintik kuning lipofusin berukuran 100 – 200 μm di fovea dan di tahap 1B bintik ini berukuran 200 – 300 μm. Striae halus bisa juga ditemukan memancar dari fovea. Jika lubang sudah terbentuk, maka tampak cincin kuning yang mengelilingi lubang tersebut. Jika lubang yang kecil tersebut semakin membesar, cincin kuning berubah menjadi abu-abu. Perubahan-perubahan bertahap ini bisa memakan waktu mingguan atau bahkan bulanan. Apabila lubang sudah mencapai tahap 4, maka visus akan berkisar antara 6/24 s.d. 6/60 dan separasi vitreus akan ditemukan pada 20% s.d.

40% penderita.

Gambar 5.11. Lubang makula

Lubang macula merupakan kelainan retina yang harus ditangani dengan cara pembedahan. Prinsip-prinsip pembedahan untuk lubang macula adalah vitrektomi, pemisahan hialoid posterior, dan tamponade gas. Yang menjadi titik tumpu penanganan kelainan ini adalah vitrektomi pars plana dengan pemisahan vitreus kortikal posterior dari permukaan retina.

Pemisahan ini dilakukan dengan menggunakan kanula ujung silicon atau ujung keras, filter hialoid, dan instrument vitrektomi. Hialoid posterior ini bisa diperjelas tampilannya dengan injeksi triamsinolon asetonid.

Sampai saat ini masih banyak perdebatan mengeni perlu tidaknya melakukan pengelupasan membrane limitans interna (MLI).

Banyak laporan yang melaporkan bahwa penglupasan MLI meningkatkan angka penutupan lubang, menurunkan angka terbukanya kembali lubang, dan mengurangi kebutuhan untuk pasien dalam posisi wajah ke bawah dalam jangka lama. Namun demikian pengelupasan MLI menaikkan risiko komplikasi dan kerusakan retina akibat trauma proses pengelupasan itu sendiri, sehingga keluaran hasil visual akhirnya belum pasti. Pengelupasan MLI ini baik dilakukan untuk lubang besar yang kronik, misal tahap 2 atau awal tahap 3. Setelah prosedur di atas selesai, ahli bedah menyuntikkan gas dengan menukarnya dengan cairan. Gas yang disuntikkan bisa perfluoropropan (C3F8), belerang heksafluorida (SF6), atau udara biasa.

Untuk lubang macula idiopatik akut, pengelupasan MLI tidak diperlukan bila cincin Weiss telah ada. Pengelupasan MLI ini disarankan untuk lubang macula derajat 4, lubang yang kronik, kegagalan pembedahan, maupun lubang yang terbuka kembali.

Dengan pembedahan, angka penutupan lubang macula bisa mencapai 90%, bahkan untuk lubang tahap 2 atau awal tahap 3, angka penutupannya bisa mencapai hamper 100%. Namun demikian perbaikan anatomis ini tidak selalu diikuti dengan perbaikan fisiologis. Sekitar 20% s.d. 50% pasien pascabedah gagal meraih visus 6/15 atau lebih baik. Komplikasi yang paling lazim timbul dengan pembedahan ini adalah katarak sklerotik nuclear, terutama pada pasien berusia di atas 50 tahun. Angka sobekan retina intraoperatif bisa terjadi hingga 20% pada tahap 2 dan 3, sedangkan ablasi retina memiliki angka insidensi 2%. Penyuntikan gas sendiri bisa menimbulkan penyulit berupa defek lapang pandang.

Bagaiamanapun juga prosedur bedah lubang macula merupakan salah satu yang paling menjanjikan keberhasilan dibandingkan prosedur bedah retina lainnya. Pemanfaatan modalitas OCT resolusi tinggi diharapkan bisa membantu dalam pemahaman patofisiologi dan penerapan teknik bedah yang diperlukan.

Kelainan Vaskular

Oklusi Arteri Retina Sentral

Gejala berupa penurunan visus mendadak (dalam waktu beberapa detik), tidak disertai rasa sakit, bisa tiba-tiba menjadi buta bahkan tidak ada persepsi cahaya sama sekali. Biasanya terjadi di daerah lamina kribrosa. Karena di daerah makula lapisan retina tipis, maka bayangan koroid tervisualisasikan sebagai bercak merah yang disebut “bintik merah cherry (cherry red spot).” Pada pemeriksaan fundus didapatkan retina pucat, papil pucat, terjadi perdarahan dan eksudat di sepanjang pembuluh darah. Lapisan retina yang paling menderita adalah lapisan sel ganglion karena ia mendapat makanan dari arteri ini.

Penyebab oklusi ini adalah emboli atau aterosklerosis yang berasal dari arteri karotis atau jantung. Disamping itu, kenaikan mendadak tekanan intraokular yang tinggi (misal pada glaukoma akut maupun pada persiapan operasi katarak dapat juga menimbulkan oklusi. Terakhir, spasme temporer arteri juga salah

satu mekanisme oklusi. Visus bisa menjadi baik kembali bila spasme sudah hilang. Spasme ini terjadi pada penyakit migren, keracunan endotoksin pada kehamilan, influenza, keracunan alcohol, tembakau, kina, dan timah hitam.

Jika diketahui secara dini, dapat diberikan agen vasodilator.

Dilatasi pembuluh darah juga dapat dicapai dengan inhalasi campuran oksigen 95% dan karbondioksida 5%. Dalam keadaan ini perlu dilakukan penurunan TIO (tekanan intraokular) sehingga arteri dapat mengembang kembali. Caranya dengan dilakukan pemijatan bola mata sehingga bola mata menjadi lembut. Caranya tekan bola mata selama 5 hitungan kemudian lepaskan secara tiba-tiba. Ini dimaksudkan agar tekanan dalam bola mata turun dengan tiba-tiba sehingga pembuluh darah kembali melebar. Dapat juga diberikan asetazolamide 4 x 500 mg (Diamox®) atau manitol. Antioksidan sebagai terapi penunjang supaya sel-sel yang rusak tidak meluas merupakan suatu pilihan. Secara bedah dapat dilakukan parasentesis COA (camera oculi anterior) sehingga humor aqueous dapat keluar dan TIO turun. Prognosisnya kondisi ini buruk.

Oklusi Vena Retina Sentral

Sumbatan dapat terjadi pada suatu cabang kecil atau pada pembuluh vena utama. Darah dapat masuk, tetapi tidak dapat kembali melalui vena, sehingga terjadi kemacetan aliran darah dan gambaran vena menjadi lebih lebar, dan lebih berkelok-kelok. Oklusi vena retina dapat menyebabkan perdarahan retina, edema retina, dan oklusi cabang vena retina. Faktor risiko terjadinya gangguan ini adalah usia di atas 50 tahun (lebih dari 50% berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, DM, hiperlipidemia, diskrasia darah, perubahan konstituen darah dan viskositasnya (misal anemia, leukemia, dan polisitemia), kenaikan TIO (misal glaukoma), kelainan kongenital, periflebitis, dan hiperopia.

Gambar 5.12. Oklusi vena retina sentral

Gejala yang dirasakan adalah penurunan ketajaman penglihatan pusat maupun tepi yang dapat memburuk sampai hanya mampu melihat ada cahaya atau tidak (1/∞) dan tidak disertai rasa sakit. Penurunan ketajaman penglihatan ini dapat berlangsung dalam beberapa jam. Komplikasi yang mungkin timbul berupa edema makula atau glaucoma neovaskular akibat neovaskularisasi pada iris.

Ada 2 jenis oklusi vena sentral, yaitu tipe iskemik dan tipe non-iskemik. Pada tipe iskemik terjadi penurunan visus yang berat, refleks pupil negative, edema papil berat, perdarahan retina berat yang tersebar sampai perifer, vena sangat melebar dan berkelok, dan terdapat eksudat lembut (bintik wol kapas/cotton wool spot).

Komplikasi kelainan ini adalah glaukoma neovaskular dan edema makula kistoid.

Pada tipe non-iskemik penurunan visus tidak berat, edema papil ringan, namun perdarahan retina berat. Jarang terjadi glaukoma neovaskular, dan kadang berubah menjadi tipe iskemik.

Pada oklusi cabang vena retina, prognosisnya pada 6 bulan adalah 50% akan membentuk kolateral. Sedangkan pada oklusi jenis ini visus tergantung pada lokasi vena yg tersumbat dan integritas kapiler perifovea. Komplikasinya adalah edema makula dan neovaskularisasi iris yang dapat menimbulkan glaukoma neovaskular. Terapi laser telah dilaporkan menguntungkan bagi mata dengan oklusi cabang vena retina sentral, demikian pula halnya dengan vitrektomi pars plana ditambah sheathotomy adventisial.

Retinopati Diabetika (Retinopati DM)

Retinopati adalah suatu degenerasi atau kelainan retina karena penutupan/sumbatan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan gangguan nutrisi pada retina. Penyebabnya antara lain: hipertensi, arteriosklerosis, DM, dan leukemia. Retinopati diabetika dapat muncul tanpa gejala, serta selanjutnya dapat menimbulkan gangguan penglihatan sampai kebutaan, yang biasanya terjadi setelah menderita DM selama 5 – 15 tahun (40 – 50%). Terjadi pada 60% penderita diabetes > 15 tahun. Di AS setiap tahun >8000 penderita diabetes menjadi buta karena retinopati DM. Beberapa faktor sistemik yang dapat mempengaruhi terjadinya retinopati diabetika antara lain adalah: (1) Hipertensi. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa baik pada retinopati DM non-proliferativa maupun proliferativa , progresivitas retinopati berhubungan dengan

Gambar 5.13. Oklusi vena retina sentral tipe non iskemik

Dalam dokumen Dokumen referensi: Daftar Isi (Halaman 118-147)