• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara anatomis, uveitis dibedakan atas uveitis anterior, intermedia, posterior, dan panuveitis. Uveitis anterior disebut juga iritis jika inflamasi mengenai bagian iris dan iridosiklitis jika inflamasi mengenai iris dan bagian anterior badan silier. Uveitis intermedia jika peradangan mengenai bagian posterior badan silier dan bagian perifer retina. Uveitis posterior jika peradangan mengenai uvea di belakang vitreous base. Panuveitis merupakan uveitis anterior, intermedia dan posterior yang terjadi secara bersamaan. Urutan uveitis dari yang paling sering terjadi adalah uveitis anterior, posterior, panuveitis, dan intermedia.

Secara klinis, uveitis dibedakan atas uveitis akut dan kronis.

Uveitis akut terjadi apabila awitan gejala timbul tiba-tiba dan

berlangsung 6 minggu atau kurang. Uveitis kronik adalah apabila perjalanan penyakit terjadi dalam hitungan bulan atau tahun.

Uveitis kronik lebih sering ditemukan daripada yang akut.

Berdasarkan etiologinya, uveitis bisa dikelompokkan menjadi uveitis endogen dan eksogen. Uveitis endogen terjadi akibat infeksi mikroorganisme atau agen lain dari pasien sendiri. Contohnya adalah kasus ekstraksi gigi yang mengalami karies tanpa premedikasi. Gigi berlubang merupakan tempat berkumpulnya bakteria. Itulah alasan mengapa setelah dicabut giginya, pasien diberi antibiotika untuk mecegah infeksi yang dapat timbul pasca pencabutan gigi. Pencabutan gigi telah membuka jalan lebar-lebar bagi bakteri untuk masuk ke peredaran darah (lewat luka). Padahal seperti halnya ginjal, sirkulasi darah di daerah uvea sangat deras.

Sel-sel endotel pembuluh darah di sini berupa tight junction, sehingga bakteri sering terperangkap di sini dan menjadi infeksi.

Suatu penelitian kasus kontrol di RS Dr. Sardjito, Yogyakarta, menunjukkan bahwa penderita TB paru mempunyai risiko menderita uveitis anterior 4,18 kali, dan penderita sinusitis 2,18 kali dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan kelainan gigi tidak dapat dikatakan sebagai faktor risiko terjadinya uveitis anterior (RR

= 0,87).

Uveitis endogen bisa berhubungan dengan penyakit sistemik (misalnya pada spondilitis ankilosa), infeksi bakteria (TB), fungi (kandidiasis), virus (herpes Zoster), protozoa (toxoplasma), dan cacing (toxokariasis). Infeksi oleh fungi banyaknya pada penderita dengan kelemahan sistem imun, sedangkan herpes zoster menyerang n. optikus dan banyak terjadi pada orang tua.

Toxoplasmosis

Toxoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, suatu parasit obligat intrasel. Infeksi biasanya terjadi karena makan daging mentah yang mengandung kista toxoplasma, air yang terkontaminasi, atau dapat juga melalui penularan transplasental ibu kepada janinnya.

Toxoplasma diperkirakan menginfeksi 50% dari seluruh populasi dunia. Di Amerika, sebagian kasus toxoplasmosis dikaitkan dengan infeksi kongenital. Walaupun toxoplasmosis hanya merupakan 7 – 15% dari seluruh kasus uveitis, namun sangat penting karena menyerang dan merusak struktur yang sangat penting dari mata. Di samping itu, toxoplasmosis juga berespon baik

terhadap terapi antimikroba, oleh karena itu waktu penegakan diagnosis sangat penting.

Toxoplasmosis menginfeksi kedua mata pada 40% kasus.

Uveitis toxoplasmika dapat bersifat granulomatosa atau nongranulomatosa. Ini merupakan penyebab paling sering dari peradangan segmen posterior bola mata, meliputi 30 – 50 % dari kasus uveitis posterior. Keluhan pasien tergantung dari lokasi lesi.

Pada umumnya segmen anterior mata tidak terlibat pada saat onset toxoplasmosis. Mata masih menunjukkan gambaran normal seperti mata sehat, namun sebagian besar pasien mengeluhkan adanya suatu titik yang melayang-layang atau pandangan kabur.

Pemeriksaan dengan oftalmoskopi direk maupun indirek menunjukkan adanya kekeruhan pada vitreus. Predileksi toxoplasma paling banyak di daerah makula. Kurang lebih pada 76% kasus toxoplasmosis didapatkan lesi pada makula.

Diagnosis toxoplasmosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fundus sering ditemukan adanya focal necrotizing retinochoroiditis yang khas pada toxoplasmosis. Disamping itu, diagnosis juga sebaiknya ditunjang dengan pemeriksaan antibodi antitoxoplasma pada serum pasien.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa penyakit yang juga bermanifestasi sebagai lesi nekrotik pada fundus terutama sifilis, sitomegalovirus, dan jamur.

Pada kasus-kasus toxoplasmosis dengan gejala sedang, lesi dapat hilang secara spontan dalam kurun waktu 3 minggu sampai 6 bulan. Tanpa pengobatan, retinitis toksoplasma dapat sembuh sendiri dengan meninggalkan bekas berupa jaringan parut korioretina yang berwarna biru kehitaman, berbatas tegas, dengan berbagai ukuran. Pada pemeriksaan didapatkan aktivasi peradangan pada tepi parut luka lama atau timbulnya retinitis ”satelit” baru di sekitar parut luka lama. Terapi perlu dipertimbangkan pada pasien tanpa gangguan sistem imun apabila lesinya dalam jarak 2 hingga 3 mm dari diskus dan atau makula, mengancam vasa besar retina, adanya perdarahan yang cukup banyak, atau apabila vitritis cukup berat sehingga menurunkan visus hingga 2 baris atau lebih. Pada orang dewasa, terapi lini pertama selama 3 hingga 6 minggu mencakup pirimetamin 200 mg per oral bolus diikuti 25 mg 2 kali sehari, asam folat 10 mg 2 kali seminggu, dan sulfadiazin 2 g per oral dosis awal bolus diikuti 1 g per oral 4 kali sehari. Prednison bisa ditambahkan 20 – 40 mg per oral per hari, 12 – 24 jam setelah

antibiotik dimulai. Klindamisin 450 – 600 mg per oral 4 kali sehari adalah alternatif pirimetamin. Kortikosteroid topikal (prednisolon asetat 1% 4 kali sehari) dan sikloplegia (sikllopentolat 1% – 2% 3 kali sehari) biasanya diberikan pada kasus toxoplasmosis dengan uveitis anterior, sedangkan pada kasus toxoplasmosis dengan vitritis yang nyata dan lesi pada nervus optikus yang mengancam kebutaan, obat-obat antiprotozoa seharusnya diberikan. Terapi sistemik tersebut tidak boleh diberikan pada wanita hamil.

Gambar 3.1. Sikatrik pada toksoplasmosis

Kondisi lain yang termasuk dalam uveitis endogen adalah uveitis spesifik idiopatik (sindrom uveitis Fuch) dan uveitis nonspesifik idiopatik.

Uveitis eksogen terjadi misalnya karena trauma eksternal, invasi mikroorganisme atau agen lainnya dari luar.

Onchocerciasis

Onchocerciasis disebabkan oleh parasit cacing Onchocerca volvulus. Manusia merupakan satu-satunya host dari cacing ini.

Larva cacing yang ditransmisikan melalui gigitan nyamuk simulium betina kemudian berkembang menjadi cacing dewasa dan membentuk nodul subkutan. Cacing dewasa betina akan melepaskan mikrofilaria yang bermigrasi ke seluruh tubuh terutama kulit dan mata. Mikrofilaria dapat mencapai mata melalui invasi langsung dari kornea ke konjungtiva, menembus sklera baik secara

langsung maupun melalui anyaman pembuluh darah, dan menyebar secara hematogen.

Onchocerciasis merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di dunia. Pernyakit ini endemik di daerah Afrika dan di suatu tempat terisolasi di Amerika tengah dan Amerika selatan.

Diperkirakan sekitar 18 juta orang di dunia menderita onchocerciasis, dan 1-2 juta diantaranya menjadi buta. Di daerah hiperendemik, semua orang yang berusia di atas 15 tahun menderita onchocerciasis, dan setengahnya akan menjadi buta sebelum meninggal.

Pada segmen anterior, mikrofilaria dapat terlihat secara bebas berenang di kamera okuli anterior. Mikrofilaria hidup biasanya tampak di kornea, sedangakan yang mati menimbulkan pungtata kecil-kecil pada stromal yang akan hilang sendiri. Pada penyakit ini umum dijumpai uveitis maupun limbitis sedang. Terjadinya sinekia, glaukoma sekunder, dan katarak sekunder biasanya merupakan akibat dari uveitis berat. Perubahan korioretina juga sering dijumpai namun perubahan yang terjadi tergantung dari berat ringannya penyakit ini. Pada onchocerciasis yang berat sering terjadi atrofi korioretina berat terutama di polus posterior maupun atrofi optik.

Diagnosis onchocerciasis ditegakkan secara pasti ketika hasil biopsi kulit maupun mata menemukan adanya mikrofilaria. Sebelum itu, diagnosis hanya berdasarkan gejala klinis dan riwayat bepergian ke daerah endemik. Hingga saat ini, ivermectin merupakan obat pilihan untuk onchocerciasis. Ivermectin merupakan suatu laktona makrolitik yang dapat membunuh mikrofilaria walaupun tidak memiliki efek pada cacing dewasa, sehingga pemberian ivermectin hanya memperlambat progresifitas penurunan lapang pandang dan atrofi optik namun tidak mengurangi timbulnya lesi pada korioretina.

Secara patologis, uveitis dapat pula dibedakan berdasarkan reaksi jaringan, menjadi uveitis granulomatosa dan non- granulomatosa. Uveitis granulomatosa menunjukkan reaksi sel yang dominan berupa sebukan limfosit dan makrofag, namun reaksi vaskular minimal, tanpa rasa nyeri, tanpa hiperemia, maupun lakrimasi.

Uveitis nongranulomatosa menunjukkan reaksi vaskular yang dominan dengan nyeri, injeksi silier dan perikorneal, hiperemia, dan lakrimasi akibat banyaknya sitokin yang keluar, serta fotofobia.

Akibat tekanan pembuluh darah naik maka terjadi transudasi ke kamera oculi anterior sehingga penderita merasa penglihatannya kabur.

Dalam dokumen Dokumen referensi: Daftar Isi (Halaman 83-88)