• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terapi Glaukoma

Dalam dokumen Dokumen referensi: Daftar Isi (Halaman 158-163)

Pada dasarnya, terapi glaukoma dibagi menjadi terapi medikamentosa dan operatif. Tujuannya untuk menurunkan TIO sehingga aman bagi penderita. Masing-masing individu mempunyai ambang toleransi TIO yang berbeda-beda. Target penurunan biasanya 30–50% dari TIO awal. Suatu tekanan sebesar ‘x’ mmHg dapat diketahui sudah aman bagi suatu individu dengan cara melakukan evaluasi setiap 6 bulan dengan pemeriksaan lapangan pandang. Kalau sudah stabil, artinya tidak ada lagi penurunan lapang pandang secara progresif berarti TIO sebesar ‘x’ mmHg aman bagi individu tersebut.

Terapi glaukoma selalu memegang prinsip-prinsip tertentu.

Pertama, semakin tinggi tekanan intraokular (TIO), semakin besar risiko kerusakan. Kedua, terdapat faktor lain selain TIO dalam glaukoma. Misalnya pada penderita hipertensi, hipotensi, atau DM, aliran darahnya buruk sehingga mudah terjadi kerusakan saraf optik. Ketiga, follow-up terus menerus. Keempat, pertimbangkan efek samping & biaya, karena biasanya terapi untuk glaukoma jangka panjang, bahkan seumur hidup. Kelima, pertahankan penglihatan yang baik dengan efek samping minimal dan biaya ringan.

Cara penurunan TIO ialah dengan menurunkan produksi atau menambah pembuangan cairan akuos. Selain itu bisa dengan merusak badan silier, dengan laser atau krio, dan dengan membuang cairan akuos ke tempat lain (operasi filtrasi).

Obat Topikal

Penyekat reseptor beta menurunkan TIO dengan cara mengurangi produksi cairang akuos oleh korpus siliaris. Timolol merupakan penyekat beta yang tidak selektif, bekerja juga pada reseptor di jantung (memperlambat denyut jantung dan

menurunkan tekanan darah) dan bronkus (bronkokonstriksi).

Betaxolol adalah selektif reseptor-β1 sehingga efek samping sistemiknya cenderung tidak menyebabkan bronkokonstriksi.

Agen kolinergik menurunkan TIO dengan menaikkan kemampuan aliran keluar cairan akuos. Obat ini merangsang saraf parasimpatik sehingga menyebabkan kontraksi m. longitudinalis ciliaris yang menarik taji sklera. Ini akan membuka anyaman trabekular sehingga meningkatkan aliran keluar. Selain itu, agen ini juga menyebabkan kontraksi m. sfingter pupil sehingga terjadi miosis. Contohnya antara lain adalah pilokarpin dan asetilkolin.

Prostaglandin (PG) bekerja dengan menaikkan aliran keluar uveosklera. PG akan menaikkan pengeluaran cairan akuos dengan merelaksasikan m. siliaris dan menurunkan matriks ekstraselular sekitar otot. Contohnya Latanoprost® dan Travaprost®. Cukup digunakan 1 tetes sehari, namun sangat mahal.

Agonis adrenergik bekerja dengan menurunkan produksi humor aqueus dengan vasokontstriksi vasa yang menuju ke korpus siliaris, menaikkan aliran keluar uveosklera, dan diduga juga bertindak sebagai neuroprotektor (belum terbukti). Contoh obat ini adalah epinefrin dan dipiverin (agonis adrenergik tidak selektif) dan apraclonidin dan bromonidin (selektif agonis adrenergik-α2).

Prostamid, contohnya Bimatoprost®. bekerja dengan cara menaikkan aliran keluar trabekulum dan uveoskleral. Inhibitor karbonik anhidrase (CA inhibitor) menurunkan produksi cairan akuos dengan menurunkan sekresi bikarbonat yang diikuti penurunan aliran sodium ke COP. Contohnya Diamox® (asetazolamid), dorsolamid, dan bronzolamid.

Terapi medikamentosa glaukoma juga dapat dilakukan untuk mengurangi volume badan kaca (humor vitreus). Untuk mengurangi volume badan kaca digunakan zat hiperosmotik (untuk menyedot/

menarik air dari vitreus). Obat ini penting untuk keadaan akut dimana TIO sangat tinggi sehingga harus cepat diturunkan. Obat hiperosmotik akan membuat tekanan osmotik darah menjadi tinggi sehingga air di vitreus bisa terserap ke darah. Preparat yang dapat diberikan berupa manitol (5 cc/kgBB IV dalam 1 jam), ginjal harus baik karena manitol diekskresi lewat ginjal; urea (intravena); dan gliserin (oral), kontraindikasi pada DM.

Bedah Glaukoma

Ada beberapa macam teknik bedah yang bisa dilakukan untuk menangani glaukoma. Trabekulektomi adalah pembuatan lubang yang menghubungkan COA dan subkonjungtiva dengan mengambil sedikit jaringan trabekulum. Trabekulosplasti laser (fotokoagulasi) dikerjakan untuk membuat sikatriks di trabekulum. Sikatriks sifatnya membuat tarikan karena banyak jaringan ikatnya. Diharapkan bagian yang tidak terkena laser/tidak terjadi sikatriks akan tertarik sehingga celah trabekulum melebar. Gonioplasti/iridoplasti berguna untuk membuat sikatriks di iris perifer yang menutup trabekulum sehingga sudut menjadi terbuka.

Pembedahan non-penetrasi yang bisa dilakukan untuk glaukoma adalah viskoanalostomi, sklerektomi dalam. pirau tuba (tube shunt) dapat dilakukan dengan implan Baerveldt, Ahmed, Molteno. Tuba terbuat dari silikon (karena inert). Pirau dipasang dari COA ke subkonjungtiva. Siklodestruksi adalah cara lain dalam bedah glaukoma. Ini dilakukan yaitu dengan merusak sebagian badan siliar sehingga produksi cairan akuos turun. Dapat dilakukan dengan bedah krio atau laser. Terapi ini merupakan terapi pilihan terakhir.

Efek sampingnya kalau terlalu banyak badan siliar yang rusak, mata bisa mengecil karena humor aqueus terlalu sedikit.

Pada penderita glaukoma yang tidak taat berobat, TIO dapat naik kembali sehingga kerusakan saraf semakin parah, dan terjadi kebutaan. Oleh karena itu, sebagai dokter perlu menerangkan ke pasien bahwa pengobatan tidak boleh terputus/seumur hidup untuk mencegah kebutaan. Dan seperti yang sudah ditulis di atas, pertimbangkan juga mengenai efek samping dan biayanya untuk meningkatkan ketaatan pasien. Deteksi dini sangat penting karena kerusakan mata bersifat permanen, sehingga dapat ditangani seawal mungkin sebelum kerusakan saraf lebih parah. Deteksi dini dapat dilakukan dengan kontrol rutin atau bisa saat timbul gejala.

Pada individu sehat (bukan penderita glaukoma) kontrol dilakukan 3 tahun sekali, bila tidak ditemukan gejala kemunduran penglihatan. Terutama pada yang berusia 40 tahun ke atas. Kontrol dilakukan 1 tahun sekali bila ada faktor-faktor risiko yaitu: riwayat keluarga positif glaukoma, konsumsi steroid jangka panjang, diabetes, hipertensi, pernah trauma mata, miopia dan hiperopia tinggi.

Referensi

AAO 2004 - 2005. Glaucoma. BCSC Sec-10. AAO - San Francisco.

Alm A, Kauman PL, Kitazawa Y, et al. 1998. Uveoscleral Outflow.

Mosby-Wolfe.

Boyd BF, Luntz M. 2002. Innovations in the Glaucomas. Dalam Highlights of Ophthalmology.

Eid TM, Spaeth GL. 2000. The Glaucomas Concepts and Fundamentals. Lippincott Williams & Wilkins.

Hingginbotham EJ, Lee DA. 2004. Clinical Guide to Glaucoma Management. Butterworth Heinemann.

Kaiser HJ, Flammer J. 1996. Ocular Blood Flow. Karger.

Kaufman PL, Mittag TW. 1994. Glaucoma, vol. 7. Mosby.

Lerner SF, Parrish II RK. 2003. Glaucoma Surgery. Lippincott Williams

& Wilkins.

Lewis TL, Fingeret M. 1993. Primary Care of the Glaucomas.

Appleton & Lange.

Weinreb RN, Kitazawa Y, Krieglstein GK. Glaucoma in the 21st Century. SEAGING, Manila.

BAB 7. REFRAKSI

dr. Hartono, SpM(K) dr. R. Haryo Yudono, SpM dr. Aditya Tri Hernowo

Pengantar

Gangguan penglihatan adalah salah satu keluhan utama yang menyebabkan seorang pasien datang ke dokter mata. Gangguan penglihatan tersebut sebagian sangat erat kaitannya dengan refraksi. Mata dapat dianggap sebagai kamera, yang terdiri dari media refrakta dengan retina sebagai filmnya. Media refrakta pada mata dari depan ke belakang terdiri atas kornea, humor aqueus, lensa, dan humor vitreus. Semua media refrakta ini bersifat jernih, memiliki permukaannya sendiri-sendiri, memiliki kurvatura dan indeks bias berlainan, serta melekat satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan yang jumlah kekuatan refraksi totalnya bukan merupakan jumlah masing-masing komponennya. Indeks bias media refrakta adalah sebagai berikut.

Kornea (n=1,33), merupakan permukaan cembung sistem lensa sehingga dapat mengumpulkan cahaya. Humor aquous (n=1,33) dengan indeks bias sama dengan kornea, sehingga cahaya dari kornea diteruskan begitu saja. Lensa (n=1,42) menyebabkan cahaya lebih difokuskan lagi. Badan kaca, memiliki indeks bias lebih kecil daripada lensa sehingga cahaya kembali sedikit disebarkan.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kekuatan refraksi mata dapat diwakili oleh kornea yang bersifat lensa cembung dengan kekuatan 42 dioptri. Kornea memiliki daya refraksi yang paling besar. Jadi jika kornea rusak, hampir bisa dipastikan visus orang tersebut bakal turun drastis hingga buta.

Sifat bayangan yang terbentuk di retina bersifat nyata, terbalik, diperkecil, hitam dan dua dimensi; tetapi setelah impuls dibawa oleh nervus optikus, bayangan yang dipersepsi di pusat penglihatan di otak tetap tegak, ukurannya sama, berwarna, dan tiga dimensi.

Gambar 7.1. Prinsip refraksi pada mata

Dalam dokumen Dokumen referensi: Daftar Isi (Halaman 158-163)