• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keratomileusis Dengan Laser In Situ

Dalam dokumen Dokumen referensi: Daftar Isi (Halaman 187-192)

(Laser-assisted In Situ Keratomileusis, LASIK)

LASIK pertama kali dilakukan oleh Pallikaris di tahun 1990.

Laser excimer yang digunakan mampu menghasilkan hasil optis yang lebih baik karena laser excimer mengablasi jaringan dalam ketepatan submikron dan laser ini tidak menyebabkan deformasi jaringan selama proses pemahatan refraktif. Selain itu kita bisa mendapatkan zona optis yang lebih luas. LASIK dikerjakan dengan pertama-tama membuat flap kornea dengan mikrokeratom yang mampu berhenti sesaat sebelum flap terputus. Selanjutnya laser akan melakukan keratomileusis. Setelah proses keratomileusis selesai, flap dipasang kembali ke kornea. Karena sifat dehidrasi relatif kornea, maka flap seperti ‘tersedot’ dan menempel ke stroma di bawahnya. Reposisi flap secara tepat ke tempat semula menjadi syarat untuk mencegah distorsi dan mengurangi astigmatisma irregular. Bila dibandingkan dengan PRK yang hanya bisa diterapkan pada penderita miopia kurang dari S -6,00 D, prosedur bedah LASIK menjadi sangat popular dan dapat diterima secara luas. Hal ini karena LASIK dapat mengatasi miopia tinggi lebih dari S -10,00 D

sehingga menjadi normal (visus 6/6 tanpa kacamata), hipermetropia hingga S +4,00 D dan astigmatisma hingga S -6,00 D. LASIK juga dapat memperbaiki segi kosmetik, telah terbukti aman, stabil, dan efektif. Selain itu pemulihan fungsi penglihatannya cepat, serta tidak menimbulkan rasa sakit.

Sebelum melakukan LASIK, pertama kali dokter harus melakukan evaluasi terhadap pasien, apakah calon baik untuk pembedahan ini atau tidak. Dokter harus memahami sampai sejauh mana harapan pasien akan hasil LASIK ini dan dokter seharusnya mengeksklusi pasien yang mengharapkan hasil yang tidak realistik.

Riwayat pekerjaan juga harus digali untuk mengetahui sejauh mana kualitas penglihatan jauh maupaun dekat yang dibutuhkan pasien.

Pasien dengan aktifitas penuh risiko trauma mungkin lebih baik menjalani prosedur laser permukaan dan bukannya lamellar seperti LASIK ini. Selain itu riwayat medis juga perlu digali untuk mengantisipasi masalah penyembuhan luka, gangguan media refrakta selain kornea, maupun perubahan alami kornea akibat proses kehamilan dan menyusui.

Berikut ini sekilas penjelasan mengenai prosedur LASIK.

Setelah dokter memberikan penjelasan kepada pasien dan pasien memberikan persetujuan tindakan medis atas dirinya (informed consent), seluruh pasien akan menjalani pemeriksaan baku seperti biomikroskopi lampu celah, refraksi, funduskopi, pemeriksaan lapang pandang, retinometri, tonometri, uji Schirmer, pupilometri, pakimetri, dan keratometri. Selanjutnya dokter melakukan pemeriksaan topografi kornea dengan Orbscan B&L dan pemeriksaan aberasi (wavefront) dengan Zywave. Hasil kedua pemeriksaan di atas digabung dengan piranti lunak Zylink, untuk membuat rencana penanganan (treatment planning) dan data kemudian disimpan dalam disket yang nantinya akan dimasukkan ke dalam mesin laser yang secara otomatis akan merekam data pasien ke dalam mesin.

Pasien lalu dipersiapkan di tempat tidur mesin laser dan dilakukan pembuatan flap kornea dengan menggunakan mikrokeratom antara lain XP dengan ketebalan flap 120 – 140 μm, Hansatome dengan ketebalan 120 – 160 μm, dan Ammadeus dengan ketebalan flap 140 μm setelah sebelumnya dilakukan penetesan Xylocaine untuk anestesi topikal. Flap kemudian dibuka perlahan dengan spatula sehingga stroma kornea terpajan. Stroma kemudian ditembak dengan laser sesuai treatment planner. Setelah

keratomileusis selesai, kornea dibasahi dengan larutan salin seimbang (BSS) dan debris akibat laser dibersihkan. Selanjutnya flap kornea ditutupkan kembali ke tempat asalnya dan diratakan dengan spons selama sekitar 3 menit sampai kering dan kembali melekat erat. Kemudian dokter meneteskan tetes mata antibiotika (siprofloksasin atau kloramfenikol) dan steroid. Spekulum mata kemudian dilepas dan pasien diminta mengedip beberapa kali untuk melihat ada tidaknya pergeseran flap dengan gerakan mengedip.

Pasien diistirahatkan selama 30 menit. Mata kemudian ditutup dengan dop mata dan pasien diminta tidak menggosok atau mengusap matanya.

Evaluasi hasil operasi dilakukan pada hari pertama, ketujuh, dan setiap bulan selama tiga bulan. Pada pemeriksaan pascaoperasi dokter mencatat seluruh keluhan subyektif pasien, memeriksan stabilitas refraksi, koreksi, serta kondisi flap. Setelah dilakukan pengamatan selama tiga bulan, Gunawan, Arliani, dan Maria (2007) menemukan bahwa 92% pasien yang menjalani LASIK di Jogja LASIK Center puas dengan hasil yang dicapai, walaupun terdapat satu pasien yang tidak dapat mencapai target pengelolaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebanyak 8 mata (17,39%) pasien dengan miopia rendah (S -1,00 s.d. -3,00 D) berhasil dipulihkan status refraksinya menjadi emetropia (visus 6/6). Dari 21 mata (45,65%) pasien dengan miopia sedang (S -3,25 s.d. -6,00 D), 14 mata (76,2%) di antaranya bisa kembali menjadi emetrop. Dari 17 mata (36,96%) pasien dengan miopia tinggi (S-6,50 s.d. 13, 25 D), 8 mata (47,06%) di antaranya dapat kembali menjadi emetrop.

Beberapa penyulit LASIK yang perlu diwaspadai antara lain lepasnya flap, flap inkomplit, flap terlalu tipis, buttonholes, flap dengan pemotongan tidak rata, defek epitel, pendarahan kornea, perforasi kornea, ablasi tak terpusat, central islands, lipatan dan kerutan flap, flap hilang, antarmuka debris, sindrom Sahara, pertumbuhan epitel ke arah dalam, infeksi, mata kering, regresi, keratektasia, dan komplikasi retina. Di RS Mata Dr. Yap Yogyakarta, komplikasi LASIK yang ditemukan adalah buttonhole (1 kasus), flap keriput (wrinkled) 1 kasus, dan keratitis lamellaris multifokal (1 kasus). Semuanya bisa ditangani dengan baik.

Referensi

Dutt S, Steinert RF, Raizman MB, Puliafito CA. One year results of excimer laser photorefractive keratectomy for low to moderate myopia. Arch Ophthalmol 1994;112:1427-36.

Garg A, Pallikaris IG, Hoyos JE, et al. Mastering the techniques of corneal refractive surgery (including PRK, LASIK, LASEK, wavefront aberrometry, presbyopic LASIK, conductive keratoplasty, and biomechanical customisation). Jaypee Brothers Medical Publishers: New Delhi, 2006.

Gunawan W, Arliani N, Maria THI. Keberhasilan bedah LASIK di RS Mata Dr. Yap. Seminar Oftalmologi Regional, Yogyakarta.

Maret, 2007.

Maguen E, Salz JJ, Nesburn AB, et al. Results of excimer laser photorefractive keratectomy for the correction of myopia.

Ophthalmology 1994;101(9):1548-56.

Suhardjo. Beberapa penyulit bedah LASIK, Epi-LASIK, dan PRK di RS Mata Dr. Yap. Seminar Oftalmologi Regional, Yogyakarta.

Maret, 2007.

Talley AR, Hardten DR, Sher NA, et al. Results one year after using the 193-nm excimer laser for photorefractive keratectomy in mild to moderate myopia. Am J Ophthalmol 1994;118(3):304- 11.

BAB 9. NEURO-OFTALMOLOGI

dr. Hartono, SpM(K)

Pengantar

Neurooftalmologi adalah cabang dari oftalmologi yang mempelajari manifestasi mata pada penyakit saraf. Banyak penyakit neurologis yang memperlihatkan gejala pada mata dan didiagnosis berdasarkan pada gejala-gejala dan tanda-tanda pada mata.

Dikatakan bahwa reseptor untuk penglihatan (cahaya) yang berupa sel-sel kerucut dan sel-sel batang pada masing-masing mata berjumlah 6,5 juta dan 125 juta, sedangkan serabut sarafnya pada masing-masing mata adalah 1,25 juta, ini merupakan 38% dari semua serabut saraf yang keluar masuk sistem saraf pusat. Di samping itu perjalanan impuls visual dari reseptor retina ke polus posterior lobus oksipitalis juga dipengaruhi oleh bagian-bagian lain dari otak.

Konsep mengenai penglihatan meliputi perhatian dan pengenalan visual, pencatatan ingatan, maupun pengaruh korteks serebri untuk gerakan bola mata. Jalannya lintasan visual yang panjang di dalam otak menyebabkan lintasan tadi sangat berhubungan erat dengan bagian-bagian otak yang dilewati dan demikian pula mengenai patologinya.

Delapan dari 12 nervi kraniales berhubungan dengan fungsi mata, mereka adalah sebagai berikut. Nervus olfaktorius terletak sangat dekat dengan nervus optikus, sehingga sering terlibat bersama pada proses intrakranial. Nervus optikus merupakan saraf penglihatan yang menghantarkan rangsang cahaya ke pusat penglihatan untuk disadari. Nervus okulomotorius, troklearis dan abdusen merupakan saraf-saraf penggerak bola mata, dan khusus untuk N III, juga mengandung saraf parasimpatis untuk mata.

Nervus oftalmikus (cabang pertama nervus trigeminus) dan nervus fasialis masing-masing merupakan saraf sensoris pada mata dan saraf yang menginervasi muskulus orbikularis okuli. Nervus vestibulokoklearis/ statoakustikus sangat berhubungan dengan mata, dikarenakan adanya hubungan antara fungsi vestibular dengan fungsi okulomotor.

Di dalam neurooftalmologi akan dibicarakan 3 hal yang penting untuk diketahui dalam praktek umum, yaitu (i) lintasan visual, (ii) lintasan pupil dan (iii) gerakan bola mata, beserta patologinya, serta 2 hal lainnya yang sangat berhubungan dengan ketiga hal sebelumnya, yaitu (iv) kelainan nervus I, V, VII dan VIII, dan (v) sakit kepala.

Dalam dokumen Dokumen referensi: Daftar Isi (Halaman 187-192)