Penyakit Adamantiades-Behçet
Penyakit Adamantiades-Behçet merupakan gangguan multisistem idiopatik, khas terjadi pada pria muda dari Mediterania timur dan Jepang. Disamping itu, uveitis adamantiades juga banyak dijumpai di China, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Kondisi ini berhubungan dengan HLA-B5. Penyakit Behçet merupakan salah satu bentuk uveitis yang paling sulit diterapi.. Manifestasinya sebagai berikut.
Ulserasi oral yang berupa ulkus aftosa, yaitu ulkus dangkal, sakit, dengan dasar jaringan berwarna kekuningan. Ulkus oral lebih sering daripada ulkus genital. Ulserasi genital terjadi pada 90%
kasus dan lebih sering pada pria. Lesi kulit juga terjadi, berupa eritema nodusum, pustula, dan ulserasi. Manifestasi lainnya bisa berupa tromboflebitis, artropati, lesi gastrointestinal, keterlibatan sistem saraf pusat, dan lesi kardiovaskular.
Manifestasi pada mata pada 70% pasien dengan penyakit Behçet adalah inflamasi intraokular bilateral, rekuren, dan nongranulomatosa. Kondisi lainnya bisa berupa iridosiklitis akut rekuren, yang berhubungan dengan terjadinya hipopion.
Keterlibatan segmen posterior berupa kebocoran pembuluh darah difus di sepanjang fundus. Hal ini sering menyebabkan edema retina difus, edema makula kistik dan edema atau hiperemia diskus optikus. Periflebitis yang terjadi dapat menyebakan oklusi vena dan neovaskularisasi retina sekunder. Retinitis ditandai dengan adanya infiltrat nekrotik berwarna putih pada bagian dalam retina. Vitritis juga merupakan salah satu manifestasinya.
Beberapa penyakit inflamasi mata yang lain dapat membingungkan penegakan diagnosis penyakit Behçet, misalnya pada uveitis anterior terkait HLA-B27 dengan hipopion. Oleh karena itu, penegakan diagnosis terutama dilakukan ketika dijumpai manifestasi sistemik lain berupa ulserasi oral maupun genital.
Pada penyaki Behçet, apabila dijumpai keterlibatan segmen posterior maka penderita cenderung memiliki prognosis buruk.
Biasanya penderita akan mengalami kebutaan total pada usia 50 tahun. Ini karena komplikasi segmen posterior yang menyebabkan atrofi papil.
Kausa penyakit Behçet ini hingga saat ini belum diketahui.
Dugaan beberapa peneliti adalah bahwa penyakit ini berkaitan
dengan sistem imun, sehingga terapi yang paling banyak digunakan adalah dengan steroid sistemik dan obat imunosupresan spesifik.
Prednisolon biasanya diberikan pada dosis 30 – 80 mg per hari, sedangkan metil prednisolon diberikan 20 -60 mg per hari.
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) merupakan gangguan multisistem idiopatik, khas terjadi pada individu kulit berwarna dan terjadi bilateral. Di Jepang, dimana kelainan ini relatif sering terjadi, individunya mempunyai prevalensi HLA-DR4 dan HLA–DW15 yang tinggi. Perubahan pada kulit dan rambut berupa alopesia (kebotakan 60% pasien), pliosis (alis mata putih), dan vitiligo (depigmentasi kulit). Manifestasi neurologis bisa berupa iritasi seperti sakit kepala;
ensefalopati yang dapat menyebabkan konvulsi, kelumpuhan dan paresis nervus kranialis; gejala auditori, meliputi tinnitus, vertigo, dan ketulian; serta limfositosis cairan serebrospinal, yang terjadi selama fase akut dari penyakit.
Sedangkan manifestasi pada mata berupa iridosiklitis granulomatosa kronik, yang merupakan satu-satunya kelainan segmen anterior yang ditemukan. Kondisi ini sering menyebabkan sinekia posterior, glaukoma sekunder, dan katarak. Keterlibatan segmen posterior biasanya dimulai dengan koroiditis multifokal yang dapat berhubungan dengan hiperemia atau edema diskus optikus. Hal ini kemudian diikuti oleh ablasi multifokal retina pada kutub posterior.
Inflamasi pada VKH ditangani dengan steroid. Regimen berikut ini digunakan pada awal terapi steroid pada kasus yang sedang – berat, yang diturunkan perlahan-lahan sering kondisi membaik.
Steroid topical yang digunakan misalnya prednisolone asetat 1%
tiap jam. Prednisone 60 – 80 mg per oral diberikan setiap hari bersama anti histamine (H2 blocker) misalnya ranitidine 150 mg 2 kali sehari. Dapat juga ditambahkan sikloplegia topikal. Terapi juga perlu diberikan untuk gangguan neurologik spesifik misalnya kejang atau koma, dan imunosupresan bisa ditambahkan apabila pasien tidak bisa mentoleransi steroid sistemik.
Sindroma VKH memiliki prognosis lebih baik daripada penyakit Behçet’s meskipun ada komplikasi berupa katarak, edema retina, dan glaukoma.
Oftalmia Simpatika
Oftalmia simpatika merupakan panuveitis granulomatosa bilateral yang jarang terjadi. Dapat terjadi karena trauma tembus mata atau setelah operasi intraokular. Misalnya pada operasi katarak, ada kecelakan terjepitnya jaringan uvea pada saat penjahitan. Mata yang mengalami trauma ini disebut exciting eye, kemudian 2 minggu setelahnya mata yang lain juga ikut mengalami uveitis. Mata yang satunya ini disebut sympathizing eye. Manifestasi kliniknya tergantung pada segmen mata yang terlibat.
Suatu contoh kasus menunjukkan pada seorang laki-laki usia 50 tahun, pekerjaan tani, masuk ke rumah sakit dengan keluhan utama kedua amta terasa sakit, penglihatan kabur, merah, silau, nrocos, kelopak mata sukar dibuka (blefarospasmus). Penyakit ini dirasakan sejak 2 bulan yang lalu yang memberat secara bertahap.
Penderita ini menjalani operasi katarak pada mata kanan 4,5 bulan yang lalu, kemudian dilanjutkan dengan iridektomi 1 minggu sesudahnya. Hasil pemeriksaan menunjukkan visus mata kanan 1/5 dengan persepsi sinar baik, injeksi perikornea ringan, keratic precipitates besar-besar (mutton fat), bilik mata dengan flare (+), sel (+++), sinekia posterior menyeluruh, iris edema, oklusio pupil, tekanan bola mata normal, fundus tidak dapat dinilai. Visus mata kiri 1/5 dengan persepsi sinar baik, injeksi perikornea ringan, keratic precipitates besar-besar (mutton fat), bilik mata dengan flare (+), sel (++), sinekia posterior menyeluruh, iris edema, pupil mencong ke nasal, tekanan bola mata normal, dan fundus tidak dapat dinilai.
Oftalmia simpatika terutama disebabkan oleh trauma tembus bola mata (65%), sedangkan 25% lainnya terjadi pada pasca bedah yang membuka bola mata, serta 10% disebabkan oleh trauma yang lain. Beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap timbulnya oftalmia simpatika adalah adanya jaringan uvea dan kapsul lensa yang terjepit luka, retensi benda asing di dalam bola mata, uveítis yang rekurensi pada exciting eye, dan badan silier yang ikut terkena trauma. Apabila inflamasi awalnya terjadi pada badan siliar, gambaran klinis paling awal yang terjadi pada sympathizing eye adalah adanya sel-sel pada ruang retrolental (belakang lensa).
Apabila inflamasi yang terjadi menjadi semakin parah dan kronis, kedua mata akan menunjukkan adanya nodul-nodul Koeppe dan presipitat keratik (KP) dengan bentuk mutton fat. Jika tidak segera diterapi dengan midriatikum, dapat timbul sinekia posterior. Di segmen posterior perubahan yang terjadi adalah bintik-bintik noda
kecil, dalam berwarna putih kekuningan, sama seperti nodul Dalen- Fuchs; yang letaknya tersebar di kedua fundus. Edema nervus optikus dan edema subretina juga sering terjadi.
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai patofisiologi oftalmia simpatika. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa oftalmia simpatika merupakan proses infeksi dan reaksi hipersensitivitas. Teori yang lebih banyak dianut saat ini adalah teori hipersensitivitas atau reaksi imun terhadap pigmen uvea.
Pengelolaan oftalmia simpatika pada prinsipnya meliputi terapi konservatif dan operatif. Terapi konservatif meliputi pemberian