• Tidak ada hasil yang ditemukan

trigeminus). Kebanyakan terjadi pada orang tua di atas 50 th, gizi buruk, dan gangguan sistem imun (AIDS). Kelainan bersifat unilateral dibatasi tegas oleh garis tengah. Apabila terdapat pada puncak hidung, maka menunjukkan cabang nasosiliaris saraf mata sudah terkena (tanda Hutchinson), ini menunjukkan bahwa penyulit intraokular segera timbul. Secara klinis, pasien bisa melaporkan bahwa pada permulaan infeksi terdapat rasa nyeri pada kulit, lesu dan seperti gejala influenza pada umumnya. Pemeriksaan obyektif bisa mengungkap adanya vesikel pada kulit yang disarafi saraf mata, pustula, parut, edema palpebra, konjungtiva merah, kornea keruh.

Pengelolaan HZO yang terpenting adalah dengan memperbaiki keadaan umum, gizi, dan istirahat. Pengobatan biasanya hanya bersifat simtomatik, yang paling umum adalah dengan pemberian Acyclovir 800 mg 5 kali sehari selama 5 hari. Steroid lokal dapat menolong, dan penggunaan sistemik pada yang keadaan umumnya baik dapat mengurangi neuralgia. Namun demikian bila keadaan umumnya jelek, penggunaan steroid sistemik berbahaya. Globulin imun dapat diberikan pada anak-anak dan penderita dengan infeksi luas. Penyulitnya antara lain keratitis, uveitis dan kemudian glaukoma sekunder. Pada keadaan yang berat dapat terjadi perforasi kornea, diikuti ftisis bulbi. Selain itu dapat terjadi oftalmoplegia, ptosis, serta neuritis optika.

Gambar 2.4. Herpes

Zoster Oftalmikus

Cara memeriksa konjungtiva palpebra yaitu dengan menarik palpebra inferior ke bawah dan membalikkan permukaan dalam palpebra superior keluar (eversi), sehingga konjungtivanya bisa terlihat. Palpebra superior bisa bertahan lebih lama dalam keadaan terbalik karena ada tarsus yang menahan. Keadaan normalnya adalah apabila konjungtiva berwarna merah muda, tipis, halus, basah dan mengkilat. Sedangkan abnormalitas yang tampak bisa berupa warna yang lebih merah, pucat atau anemik.

Fornix inferior lebih dangkal daripada yang superior, karena palpebra inferior tidak sepanjang palpebra superior. Fornix superior lebih merah karena pembuluh darahnya lebih banyak. Perlu diperhatikan permukaannya: kasar-halus, basah-tidak, ukuran, eksudat, dan ada tidaknya benda asing.

Pemeriksaan konjungtiva bulbi sebaiknya mengidentifikasi warna kemerahannya, mengkilat tidaknya, kebasahannya dan ada tidaknya pembengkakan. Kemerahan yang terjadi bisa menandakan proses radang, iritasi, pembendungan, perdarahan, maupun hemangioma. Perubahan bentuk yang terjadi bisa berupa flikten, penguikulum, pterigium, simblefaron, pseudopterigium, dan pterigium artifisialis (conjungtival flap).

Evaluasi Klinis Inflamasi Konjungtiva

Evaluasi inflamasi konjungtiva mencakup di antaranya mengenai jenis sekret, jenis reaksi konjungtiva, ada tidaknya pseudomembran atau membran, dan ada tidaknya limfadenopati preaurikular. Sekret yang ada bisa seperti air (watery), yaitu berupa eksudat serosa dan air mata, yang disebabkan karena infeksi virus, inflamasi toksik. Sekret juga bisa mukoid, yang ditemukan pada konjungtivitis vernalis dan keratokonjungtivitis sika. Sekret purulen ditemukan pada infeksi bakteri akut yang berat. Sekret mukopurulen ditemukan pada infeksi bakteri ringan dan infeksi klamidia. Sekret mukoid dibedakan dengan pemeriksaan sederhana berikut. Kapas dibasahi sedikit lalu diusapkan ke sekretnya. Apabila sekretnya terserap berarti purulen, kalau bisa memanjang maka berarti sekretnya mukoid.

Reaksi Konjungtiva Folikular

Reaksi folikuler hanya terjadi pada usia di atas 6 bulan. Reaksi ini berupa hiperplasi jaringan limfoid. paling sering pada forniks

konjungtiva. Bentuknya seperti bula/ vesikel kecil-kecil berisi air menggelembung berukuran 0,5 – 5 mm, tergantung pada berat dan lamanya inflamasi. Pembuluh darah mengitari gelembung- gelembung tersebut. Penyebab utamanya adalah infeksi virus, infeksi klamidia, sindrom Parinouds, sindrom okuloglandular, dan hipersensitivitas obat topikal.

Papilar

Hiperplasi epitel konjungtiva. Pada konjungtiva palpebra dan limbus kornea. Paling sering pada konjungtiva palpebra superior.

Bentuknya seperti bintik-bintik. Pembuluh darah masuk kedalam papil seperti glomerulus. Penyebab utamanya adalah blefaritis kronis, konjungtivitis vernalis, infeksi bakteri, lensa kontak, dan keratokonjungtivitis limbik superior.

Pseudomembranosa

Eksudat yang mengental dan melekat pada epitel konjungtiva. Bentuknya seperti selaput putih yang menempel pada konjungtiva. Karakteristiknya antara lain adalah dapat dikelupas dan meninggalkan epitel yang utuh tanpa perdarahan dikarenakan selaputnya hanya menempel. Penyebab utamanya adalah infeksi adenovirus yang berat, konjungtivitis ligneus, konjungtivitis gonore, dan konjungtivitis autoimun.

Membranosa

Eksudat inflamasi meresap ke lapisan superfisial epitel konjungtiva. Bila dikelupas epitel robek dan berdarah. Penyebab utamanya adalah infeksi Streptococcus β-hemolyiticus, dan difteri.

Saat ini difteri sudah jarang ditemukan.

Limfadenopati

Pembesaran limfonodi preaurikular dan submandibular, kalau ditekan sakit dan teraba seperti ada massa. Penyebabnya adalah infeksi virus, infeksi klamidia, dan konjungtivitis gonore yang berat.

Radang Konjungtiva (Konjungtivitis)

Peradangan konjungtiva memiliki gejala utama antara lain rasa seperti kemasukan benda asing, sakit sekitar mata, bengkak, dan gatal. Secara obyektif bisa ditemukan reaksi-reaksi konjungtiva,

termasuk limfadenopati. Ciri khasnya adalah dilatasi pembuluh darah, infiltrasi selular dan eksudasi.

Berdasarkan perjalanannya konjungtivitis dibedakan menjadi konjungtivitis akut, subakut, subkronis, dan kronis. Berdasarkan sifat eksudatnya dibedakan menjadi mukus,serosa, purulen, dan hemoragis. Konjungtivitis juga bisa dibedakan berdasarkan penyebabnya menjadi infeksi, alergi, perlukaan dll.

Temuan klinis &

sitologis Virus Bakteri Klamidia Alergi Rasa gatal Minimal Minimal Minimal Berat Hiperemia Generalis

ata

Generalis ata

Generalis ata

Generalis ata

Lakrimasi Banyak Sedang Sedang Sedang

Eksudasi Minimal Banyak Banyak Minimal

Adenopati preaurikul ar

Lazim Tak lazim

Lazim hanya pada konjungtiv itis inklusi

Tidak ada

Pewarnaa n kerokan

& eksudat

Monosit Bakteria, PMN

PMN, badan inklusi sel

plasma

Eosinofil Radang

tenggorok

& demam

Kadang-

kadang Kadang-

kadang Tidak

pernah Tidak

pernah Tabel 2.1. Gambaran beberapa jenis konjungtivitis

Penyebab Konjungtivitis

Paling sering disebabkan oleh virus, dan sangat menular.

Banyak sebab lain konjungtivitis, antara lain klamidia, parasit (jarang terjadi, namun bila terjadi sifatnya kronis), autoimunitas, zat kimia, idiopatik, dan sebagai penyulit dari penyakit lain.

Penyebab bacterial untuk yang hiperakut atau purulen adalah Neisseria gonorrhoe dan N. Meningitidis. Untuk yang perjalanannya akut dengan sekret mukopurulen, penyebabnya adalah pneumokokus dan Haemophillus aegyptius. Untuk yang subakut penyebabnya H. influenza. Adapun konjungtivitis bacterial kronik,

termasuk blefarokonjungtivitis, umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Moraxella lacunata. Bentuk yang jarang (akut, subakut, kronik) disebabkan oleh streptococci, coliforms, Moraxella catarrhalis, Proteus spp, Corynebacterium diphteriae, dan Mycobacterium tuberculosis.

Suatu konjungtivitis nonpurulen dengan hiperemia dan infiltrasi minimal, sering merupakan penyerta penyakit-penyakit rickettsial sistemik yang jarang misalnya tifus, tifus Murine, Scrub typhus, Rocky mountain spotted fever, demam mediteran, dan demam Q. Adapun jamur jarang menyebabkan konjungtivitis.

Candida spp. dapat menyebabkan suatu konjungtivitis eksudatif yang kronik. Reaksi granulomatosa bisa terjadi akibat infeksi jamur oleh spesies-spesies Rhinosporidium seeberi, Coccidioides immitis, dan Sporothrix schenckii.

Konjungtivitis Bakteri

Konjungtivitis Bakterial Sederhana

Penyebabnya antara lain Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae. Gambaran klinisnya adalah kejadiannya akut, terdapat hiperemia, sensasi benda asing, sensasi terbakar dan sekret mukopurulen. Fotofobia muncul bila kornea terlibat. Saat bangun tidur mata terasa lengket.

Kejadiannya bilateral walaupun kedua mata tidak terinfeksi bersamaan. Visus tidak terganggu pada konjungtivitis. Terapi antibiotik awal biasanya menggunakan tetes mata kloramfenikol (0,5% - 1%) 6 kali sehari minimal diberikan selama 3 hari, atau dapat juga diberikan tetes mata antibiotik berspektrum luas 6 kali sehari.

Keratokonjungtivitis Gonokokus pada orang Dewasa

Penyebabnya Neiseria gonorrhoeae. Bakteri gonore lebih sering ditemukan di mukosa genital. Gambaran klinis: sekret purulen berlimpah, kemosis (konjungtiva sangat oedem) mata menutup dan terlihat bengkak. Bisa terdapat pseudomembran dan limfadenopati preaurikular. Dapat terjadi keratitis akibat penumpukan sel-sel polimorfonuklear, dan kalau sudah nekrosis akan terbentuk ulkus, kemudian perforasi. Iris bisa hanyut keluar, diikuti dengan turunnya tekanan intraokular sehingga bola mata

kempis. Kemudian bisa terjadi endoftalmitis (vitreus dan aquous menjadi nanah), dan akhirnya buta.

Pengelolaannya tergantung kondisi klinis. Perawatan inap diperlukan untuk memudahkan pengawasan secara ketat. Kultur harus dilakukan untuk uji sensitivitas antibiotika. Irigasi harus dikerjakan secara hati-hati, terutama sewaktu akan membuka mata pasien, karena secret yang sangat banyak tersebut bisa menciprat.

Oleh karenanya dokter yang akan melakukan tindakan ini disarankan memakai kacamata khusus (google). Pemberian antibiotika dilakukan berdasarkan hasil kultur.

Konjungtivitis Virus

Keratokonjungtivitis Adenovirus

Kondisi ini bisa dikelompokkan menjadi dua berdasarkan penyebabnya.

Demam Faringokunjungtiva

Penyebabnya adalah adenovirus tipe 3 dan 7. Sebanyak 30%

kasus akan terjadi keratitis. Tiga tanda kardinal pada demam faringokunjungtiva adalah demam, faringitis, dan konjungtivitis.

Terdapat limfadenopati preaurikular tanpa rasa nyeri tekan. Lebih sering pada anak-anak daripada dewasa.

Keratokonjungtivitis Epidemika

Penyebabnya adalah adnovirus tipe 8 dan 19. Sebanyak 80%

kasus akan terjadi keratitis. Karakteristik penyakit ini adalah adanya limfadenopati preaurikular dengan nyeri tekan. Gambaran klinisnya bersifat akut dengan hiperemia, nrocos (mata berair terus), rasa tidak nyaman, dan fotofobia. Pada 60% kasus bersifat bilateral dengan edem palpebra, reaksi folikular, dan terdapat limfadenopati preaurikular. Terdapat gambaran bercak-bercak keputihan pada kornea. Pada kasus berat terdapat pendarahan subkonjungtiva karena eksudat yang sangat banyak sehingga sel-sel darah merah ikut ekstravasasi, timbul kemosis, dan pseudomembran.

Pengelolaan hingga saat ini tidak memuaskan. Namun demikian perbaikan spontan bisa terjadi dalam 2 minggu, tergantung status gizi penderita. Steroid dihindarkan kecuali inflamasi sangat berat dan infeksi virus herpes simpleks dapat disingkirkan.

Konjungtivitis Hemoragik Akut

Penyebabnya enterovirus-70 dari golongan pikornavirus (piko- RNA-virus). Sering mengenai individu dengan sosial ekonomi yang rendah, kumuh, dan tidak biasa cuci tangan. Gambaran klinisnya nya yaitu: terjadi secara bilateral, sangat nrocos, ada folikel pada palpebra, dan ada pendarahan subkonjungtiva. Pengelolaannya tidak ada yang efektif dan kondisi ini dapat sembuh sendiri dalam 7 hari.

Konjungtivitis Molluscum Contagiosum

Nodul moluskum di margo palpebralis atau di kulit palpebra dan alis, bisa menyebabkan konjungtivitis folikular kronis unilateral, keratitis superior dan mikropannus superior (infiltrasi pembuluh darah ke lapisan superfisial kornea, bisa meluas sampai pupil sehingga mengganggu penglihatan). Nodul ini harus diangkat untuk menyembuhkan konjungtivitisnya.

Konjungtivitis Klamidia

Konjungtivitis Inklusi Dewasa

Penyebabnya adalah Chlamydia trachomatis serotipe D – K.

Secara klinis kondisi ini terjadi unilateral, kronis, sekretnya mukopurulen, dan terdapat folikel pada fornix (pada kasus yang berat folikel banyak pada palpebra superior, limbus dan konjungtiva palpebra). Dapat terjadi kemosis, limfadenopati preaurikular, keratitis epitelial marginal, infiltrat, dan mikropannus superior.

Kondisi ini dikelola dengan pemberian salep tetrasiklin topikal q.i.d.

dan pemberian sistemik doksisiklin, tetrasiklin, dan eritromisin.

Trakoma

Penyebabnya adalah Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba, dan C. Banyak terjadi pada daerah dengan hygiene dan sanitasi yang buruk. Penyakit ini termasuk penyebab kebutaan utama di dunia. Secara klinis ditemukan folikel pada konjungtiva bulbi dan konjungtiva palpebra, infiltrasi papil yang difus, sikatriks konjungtiva, trikiasis (bulu mata masuk kedalam mata, terjadi karena sikatrix pada tarsus palpebranya mengkerut, dan ini bisa merusak kornea), dan Herbert’s pits pada kornea. (Herbert’s pits adalah folikel-folikel di limbus yang pecah kemudian menjadi sikatriks).

WHO mendeskripsikan trakoma dengan tanda-tanda berikut ini. (i) TF (trakoma folikel): lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal superior. (ii) TI (trakoma infiltrasi): infiltrasi difus dan hipertrofi papilar pada konjuntiva tarsal superior sedikitnya pada 50% vasa

profunda. (iii) TS (trakoma sikatriks): parut konjungtiva trakomatosa.

(iv) TT (trakoma trikiasis): trikiasis atau entropion. (v) CO (corneal opacity): kekeruhan kornea).

TF dan TI mengindikasikan infeksi aktif trachoma. TS merupakan bukti kerusakan dari penyakit ini. TI yaitu potensial menjadi buta dan indikasi untuk operasi koreksi palpebra. CO berarti buta total. Terapinya sama dengan konjungtivitis inklusi.

Konjungtivitis Neonatal (Oftalmia neonatorum) Konjungtivitis Klamidia

Terjadi dalam 5 – 14 hari setelah dilahirkan. Penularannya melalui jalan lahir. Gambaran klinisnya antara lain: reaksi papilar, akut, dan sekret mukopurulen. Pengelolaannya dengan tetrasiklin topikal dan eritromisin secara oral. Selain itu diperlukan pengobatan kedua orangtua, karena kondisi ini terkait dengan penyakit menular seksual.

Konjungtivitis Gonokokus

Terjadinya 1 – 3 hari setelah dilahirkan, juga melalui jalan lahir, biasanya ibu tertular pada trimester terakhir dari suaminya yang menderita gonore. Bakteri infeksius pada kornea biasanya baru bisa menginfeksi kalau korneanya tidak utuh, tapi gonokokus bisa menginfeksi kornea yang intak karena bakteri ini punya suatu enzim yang bisa merusak kornea. Konjungtivitis gonokokus bisa menyebabkan kebutaan. Gambaran klinisnya antara lain bersifat hiperakut, sekret purulen, kemosis dan dapat terjadi membran atau pseudomembran. Pengelolaannya dengan penisilin topikal dan sistemik dan pengobatan kedua orangtua.

Konjungtivitis Alergika Konjungtivitis Alergika Akut

Gambaran klinisnya: akut, gatal, lakrimasi, hiperemia, kemosis ringan, dan reaksi papilar yang difus. Pada kasus yang berat terdapat edema palpebra. Kornea tidak terkena. Keadaan ini dikelola dengan pemberian stabilisator sel mast topikal yaitu sodium kromoglikat 2 % dan iodoxamin 0,1 %.

Keratokonjungtivitis Vernalis

Kondisi ini bersifat rekuren, bilateral, mengenai anak-anak serta dewasa muda, dan lebih sering pada laki-laki. Individu dengan keadaan ini memiliki riwayat atopi positif. Gambaran klinisnya:

gatal, lakrimasi, fotofobia, sensasi benda asing, rasa terbakar, sekret mukus yang tebal, dan ptosis (palpebra jatuh dan bisa menutup pupil). Palpebra terasa berat bila diangkat dan di bagian konjungtiva palpebra superior ada reaksi papilar raksasa. Oleh karena itu lebih tepat disebut peudoptosis karena bukan masalah otot. Penyakit ini bisa diikuti keratitis dan infeksi palpebra superior.

Terdapat 3 bentuk: palpebral, limbal dan campuran. Bisa ada gambaran arkus senilis. Kondisi ini dikelola dengan steroid topikal.

Steroid topikal ini tidak boleh untuk pemakaian jangka panjang, karena walaupun efek obatnya cepat, tapi bisa menimbulkan efek samping berupa glaukoma dan katarak. Selain steroid, bisa dipakai topical mast cell stabilizer.

Gambar 2.5. Konjungtivitis vernalis Konjungtivitis Autoimun

Pemfigoid Sikatrisial

Penyakit ini biasanya diawali dengan konjungtivitis kronis nonspesifik, dan bisa muncul bersama dengan manifestasi pada mulut, hidung, esofagus, vulva dan kulit. Konjungtivitis bisa memicu timbulnya jaringan parut, sehingga terjadi simblefaron (perlekatan antara konjungtiva bulbi dengan konjungtiva palpebra) sehingga fornix menjadi lebih dangkal atau bahkan tidak ada. Jaringan parut juga bisa merusak sel-sel goblet dan menyumbat duktus sekretorius kelenjar lakrimal sehingga mata kering dan akhirnya menjadi buta.

Penyakit ini jarang pada usia sebelum 45 tahun. Gejala pada wanita lebih berat daripada pria.

Sindrom Stevens – Johnson

Gambaran klinis terdapat lesi kulit eritematosa, urtikaria, erupsi bula yang terjadi secara mendadak, terdistribusi sistemik.

Konjungtivitis terjadi bilateral dan timbul membran. Jaringan parut bisa mengurangi visus. Sindrom ini ada pada usia muda, jarang pada usia setelah 35 tahun. Beberapa obat yang dicurigai sering menyebabkan sindrom Stevens – Johnson diantaranya adalah Sulfa, Karbamazepin, dan Dilantin.

Gambar 2.6. Sindrom Steven-Johnson Konjungtivitis Kimiawi

Konjungtivitis kimiawi yang iatrogenic bisa disebabkan oleh pemberian obat seperti dipivefrin, miotika, idoxuridin, neomisin, dan obat-obat lain yang mengiritasi. Sedangkan yang berkaitan oleh

risiko pekerjaan pasien antara lain akibat trauma asam, basa, asap, angin, dan sinar ultraviolet.

Degenerasi di konjungtiva

Pinguekulum

Lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak, bisa karena iritasi karena kualitas air mata kurang baik. Pada pemeriksaan hitologis ditemukan degenerasi serabut kolagen di stroma, penipisan epitel, dan kadang pengapuran. Kadang-kadang dapat meluas secara lambat. Eksisi jarang diperlukan.

Pterigium

Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada konjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea. Biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar, pada canthus medius. Pterigium merupakan proses degenerasi dan hipertrofi yang banyak ditemukan di daerah tropis, terutama di sekitar khatulistiwa.

Hingga saat ini, etiologi pasti pterigium masih dalam perdebatan. Beberapa faktor risiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu, beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis, dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterigium.

Secara umum pterigium dapat diklasifikasikan menjadi tipe 1 yaitu pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Type 2 disebut juga pterygium primer advanced atau pterygium rekuren tanpa keterlibatan zona optis. Pada bentuk ini kepala pterygium terangkat dan menginvasi kornea sampai dengan zona optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Tipe 3 adalah pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan grup ini dari yang lain. Pterigium tipe ini dapat mengancam kebutaan.

Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Berbagai macam tehnik operasi untuk pterigium telah dikembangkan, diantaranya adlaah tehnik Bare Sclera,

McReynold, Transplantasi membran amnion (TMA), Conjunctival Flap, dan Conjunctival autograft. Operasi pada pterigium dilakukan atas indikasi kosmetik dan optik. Operasi dianjurkan apabila pterigium telah mencapai 2 mm ke dalam kornea. Penatalaksanaan pterigium sering memberikan hasil yang kurang memuaskan baik bagi dokter ahli mata maupun pasien. Hal ini disebabkan karena adanya kekambuhan yang masih menjadi masalah penting, sehingga untuk menurunkan angka kekambuhan pterigium pada saat dilakukan tindakan pembedahan pterigium sering diberikan obat tambahan misalnya mitomisin C. Sampai saat ini tehnik operasi yang terbaik adalah dengan metode Conjunctival autograft.

Gambar 2.7. Pterigium Ganti gambarnya .

Litiasis

Deposit kalsium pada konjungtiva palpebra orang tua.

Asimptomatik, kadang-kadang mengerosi epitel sehingga timbul sensasi benda asing. Dapat dihilangkan dengan jarum.

Kista Retensi

Asimptomatik. Benjolan dengan dinding tipis, berisi cairan jernih. Bila cukup besar bisa menyebabkan iritasi atau mengganggu penggunaan kontak lensa. Terapi: eksisi.

Dalam dokumen Dokumen referensi: Daftar Isi (Halaman 50-61)