McReynold, Transplantasi membran amnion (TMA), Conjunctival Flap, dan Conjunctival autograft. Operasi pada pterigium dilakukan atas indikasi kosmetik dan optik. Operasi dianjurkan apabila pterigium telah mencapai 2 mm ke dalam kornea. Penatalaksanaan pterigium sering memberikan hasil yang kurang memuaskan baik bagi dokter ahli mata maupun pasien. Hal ini disebabkan karena adanya kekambuhan yang masih menjadi masalah penting, sehingga untuk menurunkan angka kekambuhan pterigium pada saat dilakukan tindakan pembedahan pterigium sering diberikan obat tambahan misalnya mitomisin C. Sampai saat ini tehnik operasi yang terbaik adalah dengan metode Conjunctival autograft.
Gambar 2.7. Pterigium Ganti gambarnya .
Litiasis
Deposit kalsium pada konjungtiva palpebra orang tua.
Asimptomatik, kadang-kadang mengerosi epitel sehingga timbul sensasi benda asing. Dapat dihilangkan dengan jarum.
Kista Retensi
Asimptomatik. Benjolan dengan dinding tipis, berisi cairan jernih. Bila cukup besar bisa menyebabkan iritasi atau mengganggu penggunaan kontak lensa. Terapi: eksisi.
Pemeriksaan kornea penting dilakukan dalam semua kasus, karena fungsi kornea sebagai alat transmisi, alat refraksi dan dinding bola mata. Mencari letak kelainan di kornea sangat penting karena penyakit kornea sangat serius akibatnya, dari pengurangan penglihatan sampai kebutaan yang permanen. Pemeriksaan ini dilakukan di ruang gelap (dengan loupe binokular dll).
Keratoskop placido, untuk melihat kerataan lengkungan kornea. Alat ini berbentuk piringan hitam dengan tepi berwarna putih setebal 0,5 cm, di tengahnya berlubang untuk melihat kornea pasien. Interpretasi hasilnya antara lain: ulkus (gambaran garis putih putus-putus), edema (gambaran garis putih bergerigi), sikatriks (garis putih penyok ke arah lokasi sikatrix).
Gambar 2.8. Pemeriksaan dengan keratoskop Placido
Uji fluoresensi (larutan fluoresen 2%), untuk memeriksa kontinuitas kornea, seperti adanya ulkus. Kornea dioles cairan fluoresens dengan strip steril, lalu disinari dengan slitlamp yang telah diberi filter biru, permukaan kornea yang rusak akan terlihat lebih terfloresensi karena area tersebut terisi cairan fluorescein.
Pemeriksaan sensitifitas kornea dilakukan dengan menyentuhkan kapas pada kornea dengan lembut. Pada kornea yang normal akan terjadi refleks mengedip. Refleks kornea yang negatif diakibatkan menurunnya sensitifitas saraf sensoris setelah infeksi, biasanya virus. Pada pemeriksaan dengan senter atau biomikroskop diperhatikan mengenai bentuk, kecembungan (sinar senter disorot dari samping), limbus, permukaan kornea, parenkim kornea, dan permukaan belakang kornea.
Kelainan Ukuran Kornea
Diameter kurang dari 11 mm ditemukan pada mikrokornea, mikroftalmus, maupun atrofi bulbi. Kadang-kadang pengecilan ini dikacaukan oleh adanya kekeruhan kornea yang letaknya marginal dan adanya arkus senilis (degenerasi lemak familial di limbus menyerupai gambaran arkus senilis). Diameter lebih dari 12,5 mm ditemukan pada megalokornea (sifatnya kongenital) di mana korneanya tetap jernih. Diameter yang lebih besar lagi ditemukan pada hidroftalmos dan buftalmos.
Kelainan Kecembungan Kornea
Kornea mempunyai kecembungan dengan jari-jari 7,8 mm dengan kornea bagian tengah hampir bulat. Kurvatur yang menonjol ditemukan pada keratokonus (bentuk permukaan seperti kerucut); keratoglobus (penonjolan seluruh permukaan kornea);
keratektasia (kenaikan tekanan intraokular dalam waktu yang lama menyebabkan peregangan dan penipisan sklera juga kornea);
stafiloma (penonjolan kornea karena ada penonjolan uvea); dan Descemetokel.
Gambar 2.9. Keratokonus
Kurvatura kornea yang lebih mendatar ditemukan pada kornea plana dan kurvatura kornea yang agak mendalam ditemukan pada ftisis bulbi. Pada ftisis bulbi kornea mengerut, akibat ulkus kornea yang luas mengalami perforasi, atau bekas trauma tembus kornea.
Pada ftisis dinding bola mata masih bulat.
Kelainan Permukaan Kornea
Bisa mencakup atau diakibatkan oleh benda asing yang menempel atau yang menembus (logam, gelas, serangga dll);
permukaan yang kasar (bula dan vesikula, disebabkan karena
tekanan intraocular yang terus meninggi); adanya defek epitel (trauma, ulkus); kornea yang edema (dengan alat Placido tampak lingkaran “bergerigi” atau bergetar); dan astigmatisma yang irregular.
Kelainan di Limbus Kornea
Arkus senilis (gerontokson), biasa terjadi pada usia di atas 50 tahun, bila di bawah 50 tahun ada hubungannya dengan hiperkolesterolemia mengakibatkan terjadi degenerasi lemak di kornea perifer. Infiltrat di limbus: ulkus marginalis, ulkus kataralis,
keratitis trakomatosa, dan flikten. Parut di limbus. Tumor dapat berupa epitelioma, nevus pigmentosus, dan lipodermoid. Pterigium, tumbuh lambat, biasanya pertumbuhannya berhenti di limbus, tapi bisa juga tumbuh sampai melewati kornea.
Ulkus mooren’s Degenerasi terrien’s
Kekeruhan Kornea
Berdasarkan tingkat kekeruhan-nya bisa dibedakan antara nebula, lekoma, dan makula. Nebula merupakan kekeruhan kornea yang hanya bisa terlihat dari dekat. Leukoma bisa terlihat pada jarak sekitar 50 cm, dan makula sudah bisa terlihat pada jarak 100 centimeter. Infiltrat, memberi gejala klinik mata merah, kabur, fotofobia, epifora, blefarospasme dan ada injeksi perikorneal. Parut, mata dalam keadaan tenang; tergantung kepadatannya digolongkan menjadi nebula, makula, leukoma, dan stafiloma. Vaskularisasi, menunjukkan adanya proses kronis. Degenerasi amiloid, lipid dan impregnasi logam. Kelainan di permukaan belakang: presipitat keratik merupakan tanda adanya radang di iris/badan siliar (uveitis) dan menimbulkan akumulasi sel-sel inflamasi di posterior kornea.
Radang Kornea (Keratitis)
Keratitis memberi gejala dan tanda-tanda berupa epifora, fotofobi, penglihatan kabur, mata merah, kadang sakit, blefarospasme dan injeksi perikorneal. Injeksi perikornea adalah bila pembuluh darah lurus radial ke arah limbus terlihat jelas dan jika kornea digerakkan vasanya tidak ikut bergerak karena ber-asal dari vasa-vasa yang lebih profunda. Injeksi konjungtiva berwarna merah kehitaman, pembuluh darah ber-kelok-kelok di permukaan luar, dan jika konjungtiva digerakkan vasa-nya ikut bergerak karena berasal dari vasa-vasa superfisial.
Perbedaan klinis antara keratitis dan konjungtivitis adalah sebagai berikut. Pada keratitis merahnya tidak begitu berat, ada injeksi perikornea, sekretnya sedikit atau tidak ada, tapi pasien merasa sangat silau (fotofobia) dan untuk mengkompensasi rasa silau makanya bisa terjadi blefarospasme, karena palpebra terus menerus menyipit. Pada konjungtivitis mata sangat merah, sekretnya bisa sangat banyak, dan ada injeksi konjungtiva.
Iritasi pada keratitis dapat ringan sampai berat. Ketajaman penglihatan dapat menurun sampai buta, tergantung letak dan kepadatan kekeruhan kornea. Keratitis dibedakan menurut letak infiltrat, bentuknya, adanya defek epitel, cara terjadi dan penyebabnya. Kesembuhan dapat menimbulkan parut. Kalau defek hanya di epitel bisa sembuh sempurna, tapi jika sampai lapisan dalam maka akan terbentuk jaringan parut.
Untuk ulkus kornea, penyebabnya terutama berasal dari golongan bakteri dan jamur. Jenis bakteri yang dominan adalah basil gram negatif diikuti kokus gram negatif.
Keratitis Superfisial
Radang epitel/subepitel, yang dapat disebabkan oleh infeksi, keracunan, degenerasi, maupun alergi. Gambaran klinis: tampak titik-titik putih atau pungtat yang merata, infiltrat di bagian atas (pada trakoma), di celah mata (keratitis sika) atau akibat sinar ultraviolet, dan di bagian bawah (blefarokonjungtivitis stafilokokus).
Keratitis Virus Herpes Simpleks
Keratitis ini bisa digolongkan menurut lokasi dan bentuknya.
Keratitis epitelialis (keratitis dendritika, keratitis geografika), di mana virus menyerang epitel basal. Keratitis metaherpetik atau pascainfeksi, bentuk linear tidak teratur sehingga hampir sama
dengan keratitis geografika, kesembuhan sangat lambat ( 8-12 minggu). Keratitis interstitialis virus, putih seperti keju (nekrosis), ada radang limbus, harus dibedakan dengan keratitis karena infeksi sekunder atau jamur. Keratitis diskiformis, kekeruhan bentuk cakram di parenkim kornea yang edema tanpa nekrosis.
Gambar 2.10. Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis herpes simplex dengan Keratitis epithelial herpes simplex sekunder infeksi bakteri
Dalam suatu penelitian di RS Dr. Sardjito, Yogyakarta, kebanyakan penderita ulkus kornea datang dalam tingkat keparahan derajat sedang sampai berat (66,3%). Sebanyak 63% penderita pertama kali diobati bukan oleh dokter mata, yang sangat mungkin tidak tepat untuk kasus ulkus kornea. Tingkat kesadaran penderita akan risiko komplikasi ulkus kornea ternyata masih rendah.
Keratitis Virus Herpes Zoster
Infeksi akut yang mengenai ganglion Gasseri, jarang bilateral, sakit saat awal, timbul vesikula pada kulit dahi, kelopak mata sampai ujung hidung, konjungtiva hiperemis, sensitivitas kornea menurun.
Keratitis Jamur
Keratitis jamur lebih sering ditemukan pada petani, sukar sembuh, infiltrat abu-abu, kadang ada hipopion, gejala inflamasinya
berat dimulai dengan
ulserai superfisial,
disertai infiltrat
satelit ditempat lain
seperti induk- anak ayam,
ada satu tumpukan
infiltrate yang luas dan di
sekitarnya ada infiltrate
kecil-kecil, ulkus meluas
sampai endotel, tepi
ulkus tidak teratur
(banyak karena Candida).
Keratitis jamur Ulkus Kornea Bakterial
Ulkus sentral (etiologi: Staphylococcus aureus, streptokokus, pneumokokus, pseudomonas, dan moraxella). Apabila disebabkan oleh pneumokokus maka ulkusnya tampak menggaung (berbatas tegas berwarna abu-abu) disertai hipopion (adanya pus pada kamera okuli anterior). Apabila penyebabnya pseudomonas, nekrosis cepat terjadi karena bakteri ini menghasilkan enzim proteolitik, dengan eksudat mukopurulen berwarna hijau kebiruan (eksudat patognomonik infeksi P. aeruginosa) disertai nyeri hebat.
keratitis Bakterial (Pseudomonas)
Ulkus marginal, biasanya karena stafilokokus, ada kemungkinan karena reaksi hipersensitifitas antara antigen produk bakteri dengan antibodi dari vasa limbal. Pada pemeriksaan kerokan kornea tidak ditemukan bakteri penyebabnya. Ulkus kornea marginal harus dibedakan dengan ulkus Mooren.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan secara rutin pada ulkus kornea, dengan pengecatan Gram atau Giemsa. Medium kulturnya berupa agar darah, agar coklat atau Sabouraud, dan penting dilakukan uji sensitifitas. Tindakan awal pada kasus ulkus kornea.
Penanganan ulkus bakterial sebaiknya dilakukan segera, dan pengobatan dapat berubah apabila terdapat hasil kultur bakteri.
Kasus ulkus kornea bacterial apabila masih ringan biasanya cukup diberikan tetes mata kloramfenikol 6 kali sehari selama kurang lebih 3 hari. Selain itu, dapat juga dilakuakn terapi awal ulkus bacterial dengan pemberian antibiotik berspektrum luas. Pemberian Ofloksasin 0,3% juga efektif untuk ulkus kornea yang disebabkan oleh pseudomonas.
Risiko rendah (infiltrate perifer kecil)
Risiko sedang (Infiltrat sedang 1 – 1,5
mm)
Risiko tinggi (Infiltrat besar
> 1,5 mm)
Bukan pemakai lensa kontak
Polimiksin B/
basitrasin salep 4 kali sehari
Fluorokuin olon tetes tiap 2 – 6 jam Pemakai lensa kontak
Fluorokuinolo n tetes tiap 2 – 6 jam Tobramisin/
siprofloksasin salep
sebelum tidur
Fluorokuinolon
tetes tiap jam Tobramisin/
gentamisin forte 15 mg/ml
tiap jam
berselang- seling dengan sefazolin forte 50 mg/ml atau vankomisin 25 mg/ml tiap jam
Tabel 2.1. Antibiotik topical untuk ulkus kornea bacterial berdasarkan risiko ancaman penglihatan
Ulkus Mooren
Gambar 2.11. Ulkus kornea sentral karena Pseudomonas
Penyebab ulkus Mooren masih belum diketahui dan diduga karena proses autoimun. Beberapa kasus ulkus mooren dihubungakn dengan infeksi sistemik virus hepatitis C. Pada pasien dengn ulkus mooren ditemukan defisiensi sel T supresor, kenaikan kadar IgA, kenaikan sel plasma dan limfosit di konjungtiva sekitar lesi, dan adanya immunoglobulin menetap di jaringan dan komplemen di epitel konjungtiva dan kornea perifer. Ulkus ini 60- 80% bilateral, letaknya marginal, sakit dan ada ekskavasi progresif di limbus dan kornea perifer.
Hingga saat ini, belum ada terapi spesifik yang efektif dalam tatalaksana ulkus mooren. Ulkus ini tidak berespon baik terhadap antibiotika dan kortikosteroid (berbeda dengan ulkus marginal stafilokokal). Tujuan utama pemberian antibiotic adalah untuk mencegah infeksi sekunder. Tetes mata Siklosporin A bisa digunakan. Pada pasien yang disertai dengan infeksi virus hepatitis C mendapat manfaat dengan terapi interferon sistemik. Penggunaan kortikosteroid topikal, lensa kontak, asetilsistein telah diteliti dengan berbagai tingkat keberhasilan. Oleh karena itu, ulkus mooren biasanya dikelola lebih lanjut dengan eksisi limbus konjungtiva diikuti krioterapi maupun keratoplasti (transplantasi kornea). Lem jaringan sianoakrilat atau bedah kornea dapat digunakan untuk menanggulangi kasus dengan perforasi kornea iminen.
Ulkus Kornea Jamur
Diagnosis ulkus kornea karena jamur lebih banyak sebagai diagnosis ex juvantibus, didukung oleh proses progresifitas yang lambat, serta adanya riwayat trauma tumbuh-tumbuhan.
Kebanyakan jamur dapat ditumbuhkan di laboratorium dengan teknik yang pada dasarnya sama dengan bakteri. Media sangat asam digunakan mengandung karbohidrat, nitrogen anorganik, sulfur, fosfor, kalium, magnesium, besi, dan trace element.
Gambar 2.12. Ulkus karena jamur
Kelainan Kongenital Kornea
Mikrokornea adalah kornea dengan diameter kurang dari 11 mm, biasanya disertai abnormalitas mata lainnya. Kornea plana
Gb. Keratokonus Gb.keratoglobus
adalah kornea yang datar, batas limbus kabur, dengan stroma keruh. Megalokornea adalah kornea dengan diameter 12-16 mm, tidak disertai glaukoma, atau kelainan lain, serta fungsi mata tidak terganggu. Keratokonus adalah kornea yang seperti kerucut, sifatnya progresif, diderita sejak umur 10 tahun, banyak pada
wanita. Patofisiologinya berupa gangguan membran Bowman’s layer dengan degenerasi keratosit, rupture membran Descemet, iregular, lalu jaringan parut superficial seperti kerucut terbentuk. Gejalanya penglihatan kabur. Kelainan kongenital kornea keratoglobus
Proses degenerasi kornea
Degenerasi kornea bersifat unilateral, asimetri, letak di tepi atau parasentral disertai vaskularisasi, pada orang tua, tidak diwariskan. Arkus senilis merupakan degenerasi lipoid di tepi kornea, melengkung atau melingkar sebagai garis putih. Adapun distrofi bersifat bilateral, kekeruhan simetris, di tengah dan avaskular, diwariskan, dominan autosom, muncul awal lambat, tidak ada penyakit sistemik. Diagnosis banding kekeruhan pada degenerasi dan distrofi dilihat dari kausa, perjalanan, letak, bentuk, dan prognosis.
Proses degenerasi kornea Band keratopathy