• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Aliran-Aliran dalam Pendidikan Islam

4. Konvergensi

Konvergensi melihat bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh faktor pembawaan dan lingkungan. Kedua-duanya (pembawaan dan lingkungan) mempunyai pengaruh sama besar bagi perkembangan anak. Pendapat ini, untuk pertama kalinya dikemukakan oleh William Stern. Pendapat ini semula bermaksud menghilangkan pendapat berat sebelah dari Aliran Nativisme dan Empirisme dengan mengkombinasikannya. Pada mulanya, pendapat ini diterima oleh banyak orang karena mampu menerangkan kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, banyak orang yang berkeberatan dengan pendapat tersebut dan mengatakan kalau perkembangan manusia itu hanya ditentukan oleh pembawaan dan lingkungan, maka hal ini tak ubahnya kehidupan hewan, sebab hewan itu pertumbuhannya hasil dari pembawaan dan lingkungan. Hewan hanya terserah kepada pembawaan keturunannya dan pengaruh-pengaruh lingkungannya.

Perkembangan pada hewan seluruhnya ditentukan oleh kodrat dan hukum alam. Pada sisi lain, manusia berbeda dengan hewan di samping dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, manusia aktif dan kreatif dalam mewujudkan perkembangannya itu. Dalam

kaitan ini Ngalim Purwanto (Purwanto, 1985 : 63) mengatakan sebagai berikut:

"Manusia bukan hasil dari pembawaannya dan lingkungannya belaka;

manusia tidak hanya diperkembangkan tetapi ia memperkembangkan dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk yang dapat dan sanggup memilih dan menentukan sesuatu yang mengenai dirinya secara bebas.

Karena itulah ia sertanggung jawab terhadap segala perbuatannya; ia dapat juga mengambil keputusan yang berlainan daripada apa yang pernah diambilnya. Proses perkembangan manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor pembawaan yang telah ada pada orang itu dan faktor lingkungan yang mempengaruhi orang itu. Aktivitas manusia itu sendiri dalam perkembangannya sendiri turut menentukan atau memainkan peranan juga. Hasil perkembangan seseorang tidak mungkin dapat dibaca dari pembawaannya dan lingkungannya saja".

Lahirnya aliran Empirisme dan nativisme yang memiliki pendapat yang bertolak belakang disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda terhadap faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia (anak didik). Perbedaan yang sangat ekstrim dari dua teori ini menyebabkan sulit untuk dipertemukan. Namun upaya ke arah pertemuan dua aliran ini terus diupayakan sehingga melahirkan aliran konvergensi. Aliran ini lahir sebagai upaya untuk mempertemukan kedua aliran tersebut atau sekaligus untuk mengcounter pendapat kedua aliran tersebut, maka pendapatnya tidak lebih sebagai penggabungan pendapat aliran empirisme dan nativisme (pengaruh faktor pembawaan dan lingkungan) tanpa memperhatikan faktor aktivitas manusia sendiri, yang justru sangat dominan dalam pengembangan manusia.

Sehubungan dengan varian aliran yang telah dikemukakan di atas, Islam menyatakan bahwa manusia lahir di dunia membawa

"pembawaan" yang disebut fitrah. Fitrah ini berisi potensi untuk berkembang. Potensi ini dapat berupa keyakinan beragama, perilaku untuk menjadi baik ataupun menjadi buruk dan lain sebagainya yang semuanya harus dikembangkan agar ia bertumbuh secara wajar

Di samping keturunan (pembawaan), Islam juga menekankan kepada pendidikan dan usaha diri manusia untuk berusaha agar mencapai pertumbuhan yang optimal. Dengan demikian, menurut Islam, perkembangan kehidupan manusia, bahkan bahagia atau celakanya, ditentukan oleh pembawaan, lingkungan dan usaha (aktifitas) manusia itu sendiri dalam mengusahakan perkembangannya.

Dalam pendidikan Islam, manusia dipahami sebagai zat theomorfis. ia berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak di antara dan titik yang ekstrem yakni: "Allah - Setan (Syari'ati, 1982 : 125) Tuhan menciptakan potensi atau daya-daya yang ada dalam diri manusia yang perkembangan selanjutnya diserahkan kepada manusia seutuhnya. Al-Jubba'i, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain, manusialah yang berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauan manusia itu sendiri. Daya-daya untuk mewujudkan kehendak itu, telah ada dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan (Nasution, 1983 : 102). Dalam hal ini, manusia mempunyai kehendak bebas, ia berpeluang untuk menjadi orang jahat bagaikan setan, dan menjadi orang saleh yang amat dekat dengan Tuhan.

Sebagai makhluk theoformis, manusia mampu menyadari bahwa alam semesta adalah suatu kesatuan yang utuh. Semua fenomena alam semesta bersifat kausal, utuh, dan kontinum, di mana setiap sesuatu mempunyai posisi dan peran secara otonom. Tetapi, ia menjadi bermakna hanya karena keterkaitannya dengan keseluruhan. Maka agar diperoleh kebenaran yang utuh, kita tidak boleh melihat sesuatu secara parsial, terlepas dari ikatannya dengan keseluruhannya.

Bagi orang yang benar-benar pasrah kepada Allah, ia mampu menerima setiap peristiwa, betapapun tragis dan menyakitkan, sebagai suatu hal yang tidak final. Sebab, hal ini merupakan bagian dari keseluruhan yang pada akhirnya kembali kepada penciptanya.

Karena itu pula diyakini akan berakhir pada tujuan yang baik, yang

pada saat itu belum diketahui tetapi telah diyakini kebenarannya (Faruqi, 1984 : 56-64).

Dengan demikian, perbedaan mendasar antara sistem pendidikan Islam dengan teori tabularasa John Locke, yang kemudian dikenal sebagai aliran empirisme dalam ilmu pendidikan umum adalah putihnya anak bukan berarti kosong, tidak membawa potensi apa-apa, tetapi justru berisi dengan daya-daya. perbuatan. Maka, peran pendidik dalam sistem pendidikan Islam lebih terbatas pada aktualisasi daya-daya fitrah ini, tidak sebebas sistem pendidikan empirisme yang tidak dibatasi oleh nilai-nilai tertentu.

Demikian pula dengan nativisme yang dipelopori oleh Schopenhauer yang terkenal dengan teori bakat. Menurut teori ini, anak lahir dengan pembawaan dasar yang cepat atau lambat nanti akan terbentuk. Oleh karena itu, posisi guru sebagai pendidik hanya berperan sebagai fasilitator dalam sistem pendidikan. ia hanya duduk sebagai pembantu bagi pemunculan bakat atau bawaan yang sudah melekat pada anak sejak lahir. Namun dalam sistem pendidikan Islam, seorang guru, selain duduk dan berdiri sebagai fasilitator, unsur bakat yang dibawanya juga sertanggung-jawab kepada Tuhan atas kerja pendidikan yang dilakukan. Namun demikian, jika anak telah dewasa, kemudian menetapkan sendiri agama apa yang akan dipeluknya, maka itu adalah urusan dirinya dengan Tuhan.

Sedangkan perbedaan antara sistem pendidikan Islam dengan teori konvergensi, yang mengawinkan faktor endogen (bakat yang dibawanya sejak lahir, nativisme), dan faktor eksogen (pengaruh- pengaruh luar, empirisme) sebagai dua faktor yang berjalan bersamaan dalam pembentukan masa depan anak didik adalah sistem pendidikan Islam menekankan pada pembentukan kepribadian yang berujung pada fitrah dasar manusia untuk ma'rifatu Allah dan bertakwa kepada-Nya (Jamaly, 1986 : 3).

Melengkapi pendapat pentingnya faktor pembawaan dan lingkungan dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak, Islam juga mengenal sistem pendidikan prenatal, di mana

yang haial, bertingkah laku sopan-santun, sabar, penuh kasih sayang, gembira, dan ramah serta mudah bergaul agar anaknya berkepribadian atau bertingkah laku terpuji. Dalam keluarga Islam, pada umumnya kedua orangtua calon bayi dianjurkan untuk sering- sering membaca surat Yusuf yang terkenal dengan cerita keistimewaan Nabi Yusuf, baik fisik maupun mentalnya: cerdas, sabar, jujur, dan memiliki bakat kepemimpinan yang tinggi. Hal itu, di satu sisi, merupakan doa dan sugesti melalui self-suggestion, agar sifat-sifat ini bisa masuk ke dalam jiwa ibu dan bapak. Di sisi lain, itu adalah pengakuan akan pentingnya faktor endogen yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menjadi positif dan negatif, dan faktor eksogen yang akan membentuk dan mengembangkan kepribadian anak.