Bab VI. Penutup
B. Kritik Teori a. Definisi Ta’zir
Pada bahasan tentang „mendidik melalui pemberian sanksi‟ hlm 118, penulis menyebutkan Ta‟zir sebagai istilah sanksi yang digunakan di PPST Ar- Risalah, tanpa memberikan keterangan tambahan tentang makna ta‟zir dan hal lain terkait ini. Menurut reviewer keterangan ini penting ditambahkan karena menjadi istilah inti dari pembahasan disertasi ini.
Berdasarkan hasil penelusuran literatur Islam, reviewer mendapatkan beberapa keterangan berikut tentang makna ta‟zir. Istilah ta‟zir menurut Wahbah Zuhaili secara bahasa adalah man’u wa radda yang berarti mencegah dan menolak. Ta‟zir diartikan demikian karena mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Dan secara istilah, ta‟zir adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan had atau tidak pula kifarat.
1 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2010), hal. 31
14 Emile Durkheim setuju dengan pemberian hukuman yang bertujuan untuk perbaikan kesalahan dengan menyatakan bahwa hukuman merupakan suatu cara untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap aturan. Misalnya, guru menghukum muridnya agar murid tersebut tidak mengulangi kesalahannya, juga untuk mencegah agar murid-murid yang lain tidak melakukan hal serupa2.
Sebagai salah satu lembaga pendidikan, setiap pondok pesantren menginginkan para santrinya agar dapat memiliki kemampuan dan kepribadian yang baik sebagai bekal untuk hidup ditengah-tengah masyarakat. Tak terkecuali Pondok Pesantren. Untuk membekali kemampuan dan pembentukan kepribadian santri, pihak pondok pesantren menerapkan pendidikan dengan berbagai pola dan metode pembelajaran. Selain itu, pihak pondok pesantren melakukan pembinaan pendisiplinan kepada santri guna tercapainya tujuan pendidikan di lingkungan pesantren. Tindakan pendisiplinan tersebut berupa pemberian hukuman, misalnya gundul, menghatamkan Al-Qur‟an dan lain sebagainya.
Tindakan pendisiplinan kepada santri pesantren merupakan cara dalam pendisiplinan pengurus pondok terhadap santri yang bermasalah agar taat kepada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh pihak pengelola pengurus pondok pesantren. Penerapan hukuman bertujuan untuk mendidik santri agar menimbulkan efek jera dan tidak mengulanginya kembali.
Adanya suatu bentuk peraturan pasti akan dibarengi dengan hukuman, peraturan sebagai bentuk usaha untuk mendisiplinkan santri sedangkan hukuman sebagai bentuk sanksi bagi santri yang melanggar peraturan tersebut. Jika santri selalu taat untuk menjalankan aturan di pondok pesantren maka santri juga akan selalu menaati aturan yang ada diluar seperti di masyarakat. Hal ini karena ada unsur kebiasaan yang sudah tertanam erat di dalam jiwa.
Salah satu hal terpenting dalam menerapkan sanksi adalah adanya keseimbangan antara sanksi dan penguatan (hadiah) sementara dalam penelitiannya penulis disertasi menyatakan bahwa Ar-Risalah memberikan ekstrinsik berupa sanksi dan penguatan, namun pemberian sanksi lebih dominan daripada penguatan, dilihat dari konsistensi Ar-Risalah memberikan sanksi dan tidak konsisten memberikan penguatan (hadiah). Ada schedule of punishment tapi tidak ada schedule of reinforcment. Setiap peraturan yang dilanggar selalu mendapatkan sanksi, sementara tidak setiap prestasi yang diperoleh mendapatkan pujian. Pemberian hadiah dan pujian juga penting, sebagaimana keterangan Imam Al-Ghazali bahwa “pemberian hadiah targhib merupakan suatu penguatan
2 Emile Durkheim, Pendidikan Moral; Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Erlangga, 1990), 116.
15 yaitu dengan memberikan hadiah atau pujian pada anak didik, sedangkan tarhib hukuman suatu alat untuk mendidik yang paling akhir untuk di terapkan”3. b. Pendidikan Humanis
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang dapat menumbuhkankembangkan potensi potensi yang ada dalam diri manusia sesuai dengan fitrah penciptaannya, sehingga mampu berperan dan dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan.4
Tujuan pendidikan Islam adalah membangun manusia menuju pencapaian nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan Islam juga bertujuan adanya keseimbangan antara akal, pikiran dan etika, sehingga tujuan pendidikan Islam adalah adanya keseimbangan antara kecerdasan akal, pikiran dan etika.5
Pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia.
Suatu pandangan yang mengimplikasikan proses kependidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik-biologis maupun ruhaniah-psikologis.6
Hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi. Hal ini berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek -aspek memanusiakan manusia baik aspek fisik-biologis maupun aspek rohaniah- psikologis. Pendidikan dengan memperhatikan aspek hakiki manusia dikenal dengan pendidikan humanis, yang bertujuan memanusiakan manusia, sehingga melalui pendidikan seluruh potensi baik dalam diri siswa dapat tumbuh secara penuh dan menjadi pribadi utuh yang bersedia memperbaiki kehidupan.
Salah satu metode pembelajaran dalam pendidikan humanistik Islami adalah metode pembiasaan. Pembiasaan merupakan upaya praktis dalam pendidikan dan pembinaan anak. Hasil dari pembiasaan yang dilakukan seorang pendidik adalah terciptanya suatu kebiasaan bagi anak didiknya. Seorang anak yang terbiasa mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam lebih dapat diharapkan dalam kehidupannya nanti menjadi seorang Muslim yang saleh.
Menurut penulis salah satu cara pembiasaan di pesantren bisa dilakukan dengan cara memberikan sanksi karena anak-anak pada masa SMP ke bawah sedang dalam tahap perkembangan dan membutuhkan arahan dari orang lain.
3 Muhammad Anas Ma'arif, Hukuman (Punishment) dalam Perspektif Pendidikan Pesantren,TA’ALLUM: Jurnal Pendidikan Islam Volume 05, Nomor 01, Juni 2017, Halaman 1-20
4 Syarifah Ismail, “Tinjauan Filosofis Pengembangan Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam,” At-Ta’dib: Jurnal Kependidikan Islam 8, No 2 (2013). 260.
5 Sobhi Rayan. “Islamic Philosophy of Education.” International Journal of Humanities and Social Science 2,19 (Special Issue, October, 2012), h. 155/ 150 -156
6 Muh. Idris, “Konsep Pendidikan Humanis Dalam Pengembangan Pendidikan Islam,” MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislamanl XXXVIII, No. 2 (2014). 432.
16 Dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan itu sangat penting, karena pembiasaan akan memberikan kesempatan kepada peserta didik agar terbiasa mengamalkan ajaran agamanya, baik secara individual maupun secara berkelompok dalam kehidupan seharihari. Berawal dari pembiasaan, peserta didik membiasakan dirinya melakukan sesuatu yang lebih baik.
Penanaman pembiasaan yang baik, sangat penting dilakukan sejak awal kehidupan anak. Agama Islam sangat mementingkan pendidikan pembiasaan, dengan pembiasaan itulah diharapkan peserta didik mengamalkan ajaran agamanya secara berkelanjutan. Pendidikan melalui pembiasaan dapat dilakukan dalam pendidikan humanistik Islami, yaitu pendidikan yang memperhatikan aspek manusia, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Pembiasaan dalam pendidikan humanis menurut Islam merupakan membiasakan santri melalui pendidikan humanis yang dilandasi pada agama Islam. Pendidikan humanis dalam perspektif Islam mempunyai pandangan, pada dasarnya manusia memiliki dua aspek dalam kehidupannya, yaitu aspek baik dan aspek buruk.
Penulis disertasi menyebutkan bahwa pendekatan humanistik merupakan pendekatan dengan teori pembelajaran konstruktivisme yaitu proses pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun materi yang telah dipelajari dengan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, dalam pembelajaran ini, siswa tidak hanya sebagai penerima pengetahuan, tetapi juga diberikan kebebasan untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.
Sementara dari hasil penelitian disebutkan oleh penulis disertasi bahwa pembelajaran di Ar-Risalah masih menggunakan teori behaviorisme dan konsep bank yang didefinisikan oleh Tropiano sebagai model pembelajaran dimana siswa diharuskan mengikuti aturan pembelajaran yang telah ditetapkan dan siswa yang belajar di bawah model bank merasa tidak mempunyai kekuatan karena mereka hanya menerima pengetahuan dari guru kepada siswa dalam suatu kerangka yang telah ditentukan. Hal ini bisa menjadi poin saran dan kritik kepada pesantren agar mengembangkan pembelajaran konstruktivisme dan pendekatan humanistik dalam pembelajaran.
Reviewer menyimpulkan dari hasil telaah penelitian penulis bahwa pola pendidikan Pondok Pesantren masih memiliki kelemahan-kelemahan dan perlu pembenahan-pembenahan, yakni pola pengajarannya yang bersifat teacher center, santri masih dianggap sebagai individu yang tidak atau kurang memiliki bekal/kemampuan sebelum masuk pesantren. Santri juga dianggap sebagai objek yang harus bersikap pasif, sehingga masih terjadi penyampaian ilmu secara indoktrinasi. Iklim pendidikannya masih belum memberikan kebebasan dengan metode pembelajaran yang terpaku pada orientasi penguasaan materi. Sehingga
17 menjadikan santri kurang mampu berpikir analitis. Berbagai larangan dan peraturan pesantren menjadikan santri terkooptasi oleh dirinya sendiri.
Kurikulum pesantren masih terlalu statis apalagi pesantren salaf, sehingga materi pendidikan kurang relevan dengan perubahan sosial yang selalu berubah setiap waktu. Fasilitas pendidikan dan teknologi informasi di pesantren juga masih terbatas.
Penanaman nilai-nilai humanistik pesantren diharapkan mampu mengantarkan santri menjadi manusia/pribadi yang utuh namun hendaknya pesantren tidak terlalu ketat sehingga santri tidak bisa mengaktualisasikan potensinya.