• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam pandangan Ruslan, kajian tentang masyarakat Islam secara komperhensif belum pernah dilakukan oleh para ulama‟ klasik.

Akan tetapi, pembahasan mengenai masyarakat Islam muncul di akhir abad kesembilan belas. Di antara pelopornya yakni Jamaluddin al-Afghani, Abduh, dll. Selain itu, ia juga memaparkan beberapa ulama‟ kontemporer yang juga mengkaji masyarakat Islam. Di ataranya adalah Yusuf Qardhawi, Abdul Halim Mahmud, dan Muhammad al-Bahiy (hlm.10).

BAB II

(Ajaran al-Quran tentang Masyarakat)

Dalam bab ini, Ruslan menitik beratkan pembahasannya pada tiga hal:

pertama, ayat-ayat tentang masyarakat, kedua, ayat-ayat

tentang masyarakat Islam, dan

ketiga, aspek-aspek kemasyarakatan

dalam al-Qur‟an.

Pertama, yang dimaksud dengan ayat-ayat yang terkait

dengan masyarakat adalah berbagai macam ayat atau term yang

memiliki makna masyarakat secara umum sebagaimana telah

5

disinggung sekilas di bab satu. Adapun term yang dipilih oleh Ruslan dalam penelitiannya adalah term-term seperti

ummah, qawm, sya’b, qabilah, firqah, thaifah, dan al-hizb. Selanjutnya, ia menguraikan

perbedaan makna dari setiap term di atas ketika digunakan al-Qur‟an.

meskipun ini masih bersifat umum, namun kemudian Ruslan cukup menyimpulkan bahwa al-Qur‟an secara terminologis mempunyai konsep dasar tentang masyarakat.

Kedua, ayat-ayat tentang masyarakat Islam. dalam hal ini

Ruslan mencoba mengklasifikasikan masyarakat Islam menjadi tiga hal: pertama, Ayat-ayat tentang lahirnya masyarakat Islam. misalnya tergambar dalam surat as-Shaffat (37): 168-169,

kedua, Ayat-ayat

tentang karakteristik masyarakat Islam, seperti tergambar dalam surat al-Baqarah (2): 143,

ketiga,

Ayat-ayat tentang hubungan kemasyarakatan yang kemudian ia bagi menjadi dua hal, yakni hubungan antara sesama muslim dan hubungan dengan non-muslim.

Ketiga, aspek-aspek kemasyarakatan dalam al-Qur‟an. Ruslan

membagi aspek kemasyarakat menjadi tiga hal: pertumbuhan masyarakat, ciri khas setiap masyarakat, dan hukum-hukum kemasyarakatan (hlm.35).

BAB III

(Keberadaan Masyarakat Islam dalam Pandangan al- Qur’an)

Dalam bab ini, Ruslan membagi pembahasannya menjadi dua

sub-bab utama, yakni proses lahirnya masyarakat Islam (sebagaimana

telah di singung sekilas di bab dua), dan karakteristik masyarakat

Islam dalam al-Qur‟an.

6

Terkait dengan proses lahirnya masyarakat Islam, pertama Ruslan menjelaskan bagaimana gambaran masyarakat Mekah sebelum kedatangan Islam. Dijelaskan bahwa Mekah waktu itu sudah sangat menginginkan adanya sebuah agama baru, seperti Yahudi dan Kristen. Hal ini tergambar dalalm ucapan musyrik Arab dalam surat as-Shaffat (37): 168-169.

ٍَ ِي ا ًشْكِر اَََذُِْع ٌََّأ ْىَن ٍَُِن َّوَ ْلْا

*

ٍ ِصَهْخًُْنا ِ َّاللَّ َداَبِع اَُُّكَن

Selanjutnya, Ruslan menjelaskan bahwa terdapat persamaan antara visi dan misi Nabi Muhammad dengan para Nabi terdahulu, yakni menyembah Allah. Adapun fenomena masyarakat Arab yang jauh melenceng, menjadi tugas berat Nabi Muhammad. Ruslan juga menjelaskan sejarah awal mula komunitas muslim pertama di Makkah, perjuangan mereka, sampai kemudian hijrah ke Madinah. Di Madinah inilah masyarakat muslim kemudian memperoleh perkembangan yang pesat karena dibangun atas fondasi ikatan iman dan akidah yang lebih tinggi daripada solidaritas kesukuan (ashabiyah) (hlm.44).

Pada sub-bab yang kedua, Ruslan menjelaskan secara spesifik

karakteristik apa saja yang dimiliki oleh masyarakat Islam. Semuanya

didasarkan atas pandangan al-Qur‟an. ia membagi karakteristik

masyarakat muslim menjadi enam hal, yakni masyarakat muslim itu

mempunyai sikap taat kepada Allah, moderat, menjunjung

persaudaraan (ukhuwah), memerintahkan sesuatu yang baik dan

menjauhi yang buruk, terdapat reformasi sosial yang positif,

mempunyai kekuatan atau kemuliaan (al-„Izzah), bermusyawarah

7

sebelum pengambilan keputusan, dan mempunyai semangat tinggi (Jihad).

Untuk memberikan gambaran sekilas tentang salah satu karakteristik di atas, penulis mencoba untuk memberikan salah satu contohnya, yakni terkait dengan reformasi sosial yang positif. Di antara ayat yang berbicara tentang hal ini terdapat dalam surat ar- Ra‟d (13): 11 yang berbunyi:

ْىِهِسُفََْأِب اَي او ُشَُِّغَُ ًَّتَح ٍو ْىَقِب اَي ُشَُِّغَُ َلَ َ َّاللَّ ٌَِّإ

Dalam menjelaskan ayat di atas, pertama Ruslan menelusuri asbab nuzulnya, kemudian diperjelas dengan ayat 53 dalam surat al- Anfal. Menurut Muhammad Izzat Darwazah ayat tersebut mengandung dorongan timbulnya perubahan-perubahan sosial dengan motivasi yang timbul dari dalam diri mereka sendiri sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an. Selain memaparkan beberapa pandangan tokoh, ia juga menjelaskan pemaknaan secara bahasa dan dilengkapi dengan hadist yang terkait (hlm.79).

BAB IV

(Hubungan Kemasyarakatan dalam al-Quran)

Dalam bab keempat ini, Ruslan membagi pembahasan

menjadi dua: hubungan sesama muslim dan hubungan muslim

dengan non-muslim. Hubungan sesama muslim atau persaudaraan

seagama selayaknya dapat melahirkan kerjasama dan tolong

menolong, sikap moderat, musyawarah, dan lainnya. Di sini Ruslan

membatasi hubungan sesama muslim dalam hal hubungan keluarga

muslim saja.

8

Sedangakan terkait hubungan muslim dengan non-muslim, ia membatasi pembahasannya pada hukum interaksi sosial antara muslim dan non-muslim (Yahudi dan Nasrani). Interaksi yang dimaksud adalah hukum kerjasama dalam melakukan kegiatan kemasyarakatan (bernegara). Oleh karena itu, tidak termasuk dalam konteks pembahasan hubungan muslim dengan non-muslim misalnya dalam hal perkawinan, wasiat, syahadah (saksi), kewarisan, dan

jinayat (pidana).

Terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan keluarga muslim, Ruslan membaginya menjadi beberapa hal berikut: pertama, persoalan perkawinan,

kedua, hak suami istri, ketiga, dan hubungan

orang tua dengan anak.

Adapun hal-hal yang terkait dengan interaksi antara muslim dan non-muslim, Ruslan mengawali pengkajiannya terlebih dahulu dari segi ideologi dan sikap mereka, seperti misalnya ahli kitab itu tidak beragama dengan agama yang benar, orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka menjadi tuhan selain Allah, dll. Kriteria ini seperti yang dijelaskan dalam surat at-Taubah (9): 29-35.

Selanjutnya, terkait hukum mengadakan hubungan dengan

mereka (khususnya dalam urusan kenegaraan) adalah diperbolehkan

selama kerjasama tersebut dalam bentuk tolong menolong dalam

kebaikan dan dan pelestarian harkat manusia. Hal ini tergambar

dalam surat al-Hujurat (49): 13. Adapun dalam hal menaruh

kepercayaan kepada orang-orang non-muslim, dijelaskan Ruslan

dalam beberapa ayat. Diantaranya adalah surat Ali Imran (3): 28, an-

9

Nisa‟ (4): 144, al-Maidah (5): 51, al-Maidah (5): 57, dan al- Mumtahanah (60): 1.

Dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya, Ruslan secara implisit menjelaskan bahwa hubungan dengan non-muslim itu boleh- boleh saja selama terjadi hubungan yang saling menguntungkan.

Akan tetapi terkait dengan pengangkatan mereka

wali (pemimpin)

masih tidak diterima, karena alasan kehati-hatian, dll (hlm.127).

BAB V