• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI NILAI BUDAYA

Dalam dokumen MKDU4114 buku univ terbuka (Halaman 54-59)

Bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila telah ada dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sejak bangsa Indonesia itu ada. Keberadaan Pancasila masih belum terumuskan secara sistematis seperti yang sekarang dapat dijumpai. Pancasila pada masa tersebut identik dengan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia sebagai nilai budaya. Nilai budaya merupakan pedoman hidup bersama yang tidak tertulis dan merupakan kesepakatan bersama yang diikuti secara suka rela.

Nilai budaya merupakan suatu upaya untuk menjawab persoalan- persoalan yang cukup vital dalam kehidupan manusia. Nilai budaya merupakan cara manusia menjawab baik secara pribadi atau masyarakat terhadap masalah-masalah yang mendasar di dalam hidupnya. Nilai tersebut merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat luhur dan penting dalam hidup (Koentjaraningrat, 1974: 32). Nilai budaya akan mempengaruhi pandangan hidup, sistem normatif moral dan seterusnya hingga akhirnya pengaruh itu sampai pada tindakan manusia.

Teori Clyde Kluckhohn dan Florence Kluckhohn dapat dipakai untuk mengamati lebih dekat mengenai sistem nilai dan akan digunakan sebagai acuan pada tema ini dari segi kultural. Teori Clyde Kluckhohn pada mulanya belum selesai karena sang pengarang itu meninggal, oleh karena itu konsepsinya kemudian dikembangkan oleh istrinya Florence Kluckhohn yang dilanjutkan melalui penelitian-penelitian. Uraian tentang konsep Kluckhohn ini ditulis oleh Florence Kluckhohn bersama seorang sosiolog bernama F.L.

Strodtbeck dan diberi judul Variation in Value Orientions tahun 1961.

Clyde Kluckhohn dan Florence Kluckhohn membagi 5 masalah mendasar bagi hidup manusia yang menyangkut nilai budaya. Kluckhohn yakin bahwa semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia itu sebenarnya meliputi lima masalah pokok mendasar itu dalam kehidupan manusia:

1. Masalah hakikat hidup manusia.

2. Masalah hakikat karya manusia.

MKDU4114/MODUL 2 2.3

3. Masalah mengenai kedudukan manusia dalam ruang waktu.

4. Masalah hakikat hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

5. Masalah hakikat hubungan manusia dengan sesamanya.

Kelima masalah mendasar itu masing-masing disertai dengan orientasi nilai budaya yang memiliki kekhususan tersendiri dari masing-masing pendukung budaya. Cara berbagai kebudayaan mengkonsepsikan masalah- masalah universal tersebut di atas dapat berbeda-beda, walaupun kemungkinan untuk bervariasi sangatlah kecil.

Walaupun pada dasarnya masalah budaya dalam hidup manusia merupakan hal yang universal, akan tetapi setiap masyarakat memiliki orientasi nilai budaya sendiri-sendiri yang tentu saja berbeda satu dengan yang lainnya. Masalah hidup dikonsepsikan dengan perbedaan-perbedaan yang variatif. Suatu kebudayaan ada yang mempercayai bahwa hidup itu pada hakikatnya buruk dan menyedihkan, oleh karena itu harus dihindari.

Kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh oleh ajaran-ajaran Budha dapat diperkirakan memiliki konsepsi tentang hidup manusia di dunia sebagai sesuatu yang buruk. Pola-pola kelakuan manusia akan mementingkan segala upaya untuk menuju ke arah tujuan untuk bisa memadamkan keinginan- keinginan hidup itu yaitu nirvana, dan meremehkan kelakuan yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kembali (samsara). Kebudayaan- kebudayaan lain memandang hidup manusia itu pada hakikatnya merupakan hal yang buruk, tetapi manusia dapat mengupayakan untuk menjadikan hidup itu sesuatu hal yang baik dan menggembirakan, sehingga wajib ikhtiar mencapai kebaikan. Setiap bangsa dimanapun berada pasti memiliki kriteria tentang yang baik maupun yang buruk. Jika diajukan kedua pilihan itu, maka hampir semua akan sepakat untuk memilih yang baik menurut mereka sehingga setiap manusia mana pun dalam suatu kebudayaan akan mengejar sesuatu yang baik dalam arti memberi makna bagi hidupnya.

Permasalahan hakikat karya manusia, terdapat kebudayaan yang menganggap bahwa karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup, tetapi di lain kebudayaan ada yang beranggapan bahwa hakikat karya manusia itu adalah untuk memberikannya suatu kedudukan yang penuh kehormatan dalam masyarakat. Sisi lain ada juga yang menganggap hakikat karya manusia itu sebagai sesuatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi. Jadi masalah kerja berada pada

2.4 Pancasila

orientasi pilihan antara mencari nafkah, mendapatkan kehormatan, atau mengembangkan karya.

Masalah selanjutnya yakni mengenai kedudukan manusia dalam ruang dan waktu. Kebudayaan-kebudayaan tertentu ada yang memandang penting kedudukan kehidupan manusia adalah masa lampaunya. Jenis kebudayaan- kebudayaan semacam itu orang akan lebih sering mengambil contoh-contoh dan kejadian-kejadian masa lalu sebagai pedoman dalam tindakan. Banyak pula kebudayaan yang mempunyai suatu pandangan tentang waktu yang sempit saja. Warga dari kebudayaan semacam itu tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan jaman lampau maupun masa yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa sekarang ini. Suatu kebudayaan lain justru memiliki orientasi sejauh mungkin terhadap masa yang akan datang.

Kebudayaan serupa itu memandang perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting.

Masalah hubungan dengan alam sekitar, terdapat kebudayaan-kebudayaan yang memandang alam itu suatu yang begitu dahsyat. Karena kedahsyatan alam itu, maka manusia bersifat menyerah saja tanpa dapat berbuat banyak.

Kebudayaan lain sebaliknya memandang alam itu sebagai sesuatu yang dapat dilawan oleh manusia, sehingga manusia wajib berusaha untuk selalu menaklukkan alam. Suatu kebudayaan lain ada yang menganggap bahwa manusia itu hanya dapat berusaha mencari keselarasan dengan alam. Jadi dengan kata lain ada dua contoh perbandingan yang ekstrem saling bertentangan, yakni antara pandangan yang diwarnai ketundukan terhadap alam dengan pandangan yang melawan atau menundukkan alam sehingga akan mengekploitasinya.

Masalah yang kelima, mengenai hubungan manusia dengan sesamanya.

Kebudayaan-kebudayaan tertentu ada yang mementingkan hubungan vertikal dengan sesamanya. Pola kelakuan manusia yang hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada tokoh-tokoh, pemimpin, orang-orang senior, atau orang-orang atasan. Kebudayaan lain ada yang lebih mementingkan hubungan horisontal antar manusia dengan sesamanya. Orang akan merasa sangat tergantung kepada sesamanya, dan usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesamanya merupakan suatu hal yang amat berharga dalam hidup. Kecuali itu ada banyak kebudayaan lain yang tidak membenarkan anggapan bahwa manusia itu tergantung kepada orang lain dalam hidupnya, jadi harus berdiri sendiri. Kebudayaan-kebudayaan serupa itu mementingkan sifat individualistik, yang menilai tinggi anggapan

MKDU4114/MODUL 2 2.5

sedapat mungkin seseorang dalam mencapai tujuannya sesedikit mungkin menerima bantuan orang lain.

Nilai budaya dengan masing-masing orientasi budayanya di atas akan mempengaruhi pandangan hidup. Pandangan hidup adalah sesuatu yang dipakai oleh masyarakat dalam menentukan nilai kehidupan. Pandangan hidup sebenarnya meliputi bagaimana masyarakat memandang aspek hubungan dalam hidup dan kehidupan yakni hubungan manusia dengan yang transenden, hubungan dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan sesama makhluk lain. Konsep Notonegoro mengenalkan istilah-istilah kedudukan kodrat, susunan kodrat, sifat kodrat manusia. Kesimpulan, bahwa manusia mempunyai tiga kecenderungan mendasar yaitu theo-genetis, bio-genetis, dan sosio- genetis.

Theo-genetis berpandangan, bahwa manusia pada dasarnya percaya kepada Tuhan atau dengan kata lain ada kaidah kebenaran yang sampai pada kebenaran tertinggi yakni Tuhan itu sendiri. Pengalaman-pengalaman empirik tidak pernah lepas dari pengalaman-pengalaman meta-empirik. Pendapat lain memandang, bahwa kegagalan empirik tidak semata-mata diakibatkan oleh kurangnya ikhtiar, tetapi oleh faktor lain ‘x’ juga. Orang yang pasrah dalam arti mereka berpendapat bahwa kegagalannya, dalam ujian misalnya, memang sudah menjadi suratan takdir, yang bermakna Tuhan belum mengizinkan untuk lulus, walaupun dirinya sudah belajar. Hal-hal yang mungkin kita anggap cukup aneh yang menunjukkan adanya kecenderungan theo-genetis. Kita melihat sistem normatif moral di Indonesia didasarkan atas pandangan hidup yang mempercayai sepenuhnya terhadap hal yang transendental dan perwujudannya dapat dilihat dalam adat. Realitas bahwa sistem normatif moral bangsa Indonesia didasarkan atas norma berketuhanan (theo-genetis) yang merupakan satu hal yang dapat kita amati.

Bangsa Indonesia tidak memiliki pengalaman yang traumatis yang menyebabkannya tidak bertuhan sama sekali. Pengalaman traumatis di bidang agama misalnya biasanya muncul karena agama tidak berorientasi kepada kesejahteraan tetapi justru kepada tirani kekuasaan. Misalnya komunisme muncul sebagai reaksi terhadap agama namun sekarang juga menggunakannya sebagai legitimasi kekuasaan. Contoh sebagai bukti bangsa Indonesia memiliki peninggalan keagamaan yang sekarang tidak lagi menjadi milik agama yang bersangkutan tetapi dimiliki semua bangsa Indonesia, seperti candi Borobudur.

Manusia juga harus adil (kaidah keadilan) terhadap dirinya dalam memenuhi baik kebutuhan material maupun spiritual, fisik mental, jasmani dan

2.6 Pancasila

rohani. Hubungan dengan dirinya sendiri akan mempengaruhi pandangannya terhadap susunan kodrati manusia itu sendiri. Contoh kebutuhan biologis (fisik) harus dipenuhi tanpa meninggalkan kebutuhan rohani. Kecenderungan bio-genetis dalam arti ini bermakna pemenuhan secara seimbang antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Kenyataan hidup menunjukkan, disadari atau tidak disadari sering dijumpai orang yang hanya mementingkan jasmani atau rohani saja.

Kecenderungan dalam sosio-genetis, sifat kodrat individu-sosial di Indonesia itu didasarkan atas kebersamaan yang hangat yang berbeda dengan negara-negara Barat yang jelas masing-masing mempunyai tendensi sendiri- sendiri. Misalnya bayi di Indonesia kebanyakan senantiasa digendong, ini menunjukkan rasa memiliki dan kebersamaan. Bayi di negara-negara Barat, akan dibiarkan pada tempatnya (baby box) dan hal ini dianggap menunjukkan kemandirian. Jika bayi-bayi sekarang pada umumnya ditumbuhkan dengan tradisi baby box, maka kemungkinan akan ada perubahan mendasar dalam hal kemandirian pada generasi masa berikutnya. Demikian juga pada kasus transmigrasi. Contoh ada kendala yang cukup berat bagi pemerintah karena aspek kejiwaan kebersamaan itu. Banyak para transmigran mengalami home sick.

Dalam hal di atas dapat dilihat adanya rasa sosial yang menunjukkan kaidah kebaikan. Kaidah kebaikan berarti mengharuskan manusia berbuat baik terhadap sesamanya, terhadap alam sekitar untuk kepentingan manusia yang bersangkutan. Oleh karena itu di dalam sosio-genetis ada hipotesis yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia mengakui individu merupakan bagian dari sosialitas, menjadikan sebab keindividuannya tidak begitu menonjol, kebutuhan pribadinya tidak menonjol, sehingga dari sini kemudian muncul konsep-konsep yang tidak individualistik seperti gotong royong, keseimbangan makhluk sosial dan individu, musyawarah mufakat, tolong menolong dan lain-lain.

Ketiga kaidah itu tercermin dalam adat yang merupakan suatu kesepakatan masyarakat, kesepakatan bersama, sedangkan pada hukum positif nampak adanya keterputusan dengan nilai budaya sebab hukum di Indonesia masih banyak dibuat oleh orang-orang luar seperti misalnya orang Belanda sekalipun hukum adat masih tetap dipakai, di samping adanya dimensi perubahan saling pengaruh-mempengaruhi antarkebudayaan di dunia (globalisasi).

MKDU4114/MODUL 2 2.7

Hal-hal di atas dapat menjelaskan kedudukan, peran dan fungsi Pancasila dalam arti bahwa Pancasila sebenarnya secara budaya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang positif yang digali dari bangsa Indonesia sendiri. Disebut sebagai kristalisasi nilai-nilai yang positif, sebab nilai yang negatif juga pasti dimiliki yang harus ditinggalkan. Kelima sila dalam Pancasila merupakan serangkaian unsur-unsur tidak boleh terputus antara yang satu dengan yang lainnya, namun demikian terkadang ada pengaruh dari luar yang menyebabkan diskontinuitas antara hasil konkret dengan nilai budaya.

Dalam dokumen MKDU4114 buku univ terbuka (Halaman 54-59)