• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ahmad Ali Ashshidiq

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 35-43)

A

ku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Namaku Anggito Wiryawan. Aku biasa dipanggil ‘Tito’. Aku dilahirkan di Sorong, 10 Februari 2001. Aku adalah siswa kelas enam di SD Al Irsyad Kota Sorong, Papua Barat. Dua kakak perempuanku telah kuliah dan tidak tinggal serumah dengan orangtuaku. Kakak pertama bernama Paramitha Wiryawan. Dia kuliah di STIS Jakarta. Kakak kedua bernama Maharani Wiryawan. Dia kuliah di AMG Jakarta. Kakak perempuan ketiga bernama Windyani Wiryawan. Dia biasa dipanggil ‘Windy’, dan masih tinggal serumah dengan orangtuaku karena masih kelas 2 SMA.

Ayahku bernama Wiryanto. Dia seorang pelaut yang bekerja di kapal udang. Dia sering berlayar meninggalkan kami selama 2 – 3 bulan. Ibuku bernama Wantini seorang guru di sebuah SMPN di Kota Sorong. Nama belakangku dan kakakku adalah gabungan antara nama ayah dan nama ibu. Selain itu tinggal pula kakek di rumahku. Dia adalah orang tua dari ayahku. Dahulu kakek juga seorang pelaut. Dia seorang prajurit Angkatan Laut. Sedang nenek sudah meninggal lebih dulu. Rumah kakek telah dijual oleh anak-anaknya. Kakek tidak mempunyai rumah lagi. Kakek meminta tinggal di rumah kami, karena rumah kamilah yang paling besar.

Seperti biasa ayah pergi berlayar dengan kapal udangnya. Suasana rumah serasa sunyi. Jika ayah di rumah, ayah pasti orang yang sering menegurku kalau aku terlalu lama bermain. Misalnya bermain Play Station, Online, dan nonton televisi. Jika ayah pergi, ibu yang menegurku, tetapi tidak sekeras ayah. Suatu hari sepulang sekolah, ibu membawa kabar yang mengejutkan. Ibu mengatakan, ”Ibu mendapat tugas untuk penataran ke Jakarta”. Aku bertanya, ”Berapa lama, Bu?”

“Hanya dua minggu,” jawab ibu.

Kepalaku langsung pusing. “Apa jadinya kalau dirumah tanpa ibu selama dua minggu?” tanyaku dalam hati. Sehari sebelumnya, Kak Windy juga berangkat ke Bandung untuk mengikuti pekan karya ilmiah. Aku bingung membayangkan harus menjaga kakek yang telah pikun. Ingin rasanya kularang ibu agar tidak pergi, kataku dalam hati. Tetapi tidak bisa, karena ini adalah salah satu tugas ibu sebagai guru.

“Soal makan, kamu tidak usah khawatir,” kata ibu. “Ibu sudah titip Bude Ning memasak untuk kamu dan kakek”, lanjutnya. Bude Ning

adalah tetangga sebelahku yang sangat dipercaya ibuku. Bude Ning juga adalah teman SMA ibuku. Jadi, wajar jika ibu meminta tolong pada Bude Ning.

Tiga hari kemudian, ibu berangkat ditemani oleh rekan guru dari sekolah ibu. Aku tidak mengantar karena harus sekolah. Di sekolah, aku berpikir bagaimana menjaga kakek yang pikun. Melihat wajahku yang bingung, Fandi memanggilku. Fandi adalah sahabat yang sangat kupercaya walau dia penganut agama Kristen Protestan.

“Mengapa kamu melamun?” tanya Fandi.

“Aku ditinggal ibuku. Terpaksa aku harus menjaga kakek yang pikun.” jawabku.

“Kamu harus sabar,....” kata Fandi.

Aku sedikit bingung dengan perkataan Fandi. Sepertinya masih ada kata-kata yang akan diucapkannya. Jam satu siang aku pulang sekolah. Setelah mengganti baju, kemudian aku makan siang. Kulihat piring bekas kakek makan siang. Nasi putih, sayur rebung dan ikan goreng kusantap dengan cepat karena lapar. Tiba-tiba aku mendengar suara kakek. “Tito ambilkan piring, Kakek mau makan.” kata kakek.

Aku terkejut. “Bukankah Kakek sudah makan?” tanyaku. “Kakek belum makan, dari tadi Kakek tidur”, jawab kakek. Aku mengambil piring dengan pikiran bingung.

“Mana ikan kuah kuningnya? Kenapa kamu habiskan, itu makanan kesukaan Kakek?” tanya kakek sambil marah.

“Kek, hanya ada ikan goreng, bukan ikan kuah kuning”, jawabku. Kakek tetap membantah. Kakek menyuruhku meminta di Bude Ning. Aku menjawab, ”Tidak mau, aku malu. Bude kan punya tiga anak laki- laki yang sudah besar, pasti makannya juga banyak”. Walaupun begitu kakek tetap memaksaku. Aku mengalah. Aku teringat kata-kata Fandi, kita harus sabar kepada orang tua.

Kemudian aku ke rumah Bude Ning meminta ikan kuah kuning. Tetapi Bude Ning tidak memasaknya. Bude menyuruhku untuk membeli ikan kuah kuning di warung. Sesampai di rumah, aku menyuruh kakek untuk makan. Sungguh aku sangat kesal ketika kakek berkata, ”Kakek tidak lapar, Kakek mau menonton televisi”. “Aaaagh”, sambil meletakkan mangkok berisi ikan kuah kuning kesukaan kakek. Tiba-tiba ibu mengirim SMS. Di pesan masuk tertulis, ‘Ibu sedang transit di Makassar’. Aku

menelpon dan menceritakan kejadian tadi kepada ibu. Ibu menasihatiku agar sabar. Ibu menyuruhku shalat dzuhur karena waktu shalat sudah hampir habis.

Hari ini libur sekolah, karena para guru mengikuti KKG yang diadakan di sekolahku. Setelah shalat subuh aku tidur lagi. Jam delapan pagi, kakek membangunkanku untuk pergi sekolah.

“Aku libur, Kek” jawabku lalu tidur lagi.

Tetapi akhirnya, aku bangun juga karena kakek terus menepuk- nepuk punggungku. Setelah makan pagi, aku menonton televisi. Saat itu di Trans TV sedang ditayangkan Islam Itu Indah bersama Ustadz M. Nur Maulana yang terkenal dengan sapaan, ”Jamaaah... Alhamdulillah.” Ustadz sedang membahas masalah merawat orang tua. Beliau berkata, ”Merawat anak lebih mudah daripada merawat orangtua, karena merawat anak semakin lama semakin pintar. Sebaliknya merawat orang tua semakin lama semakin menjengkelkan. Tetapi kalau kita sanggup dan sabar dalam merawat orangtua, maka Allah SWT menjanjikan pahala surga”.

Nyaris saja aku menitikkan air mata. Aku hampir tidak mau lagi merawat kakek yang pikun. Aku pun berdoa kepada Allah SWT agar kakek tetap sehat dan daya ingatnya masih baik. Aku harus membalas budi karena kakek yang menjaga aku ketika ibu dan ayah bekerja. Aku juga berdoa, semoga anakku dan cucuku akan merawatku dan tidak kesal jika aku sedikit pikun dan pelupa. Kakek, maafkan kesalahanku, doaku dengan sangat khusyuk.

Tiba-tiba terdengar suara, ”Braak”. Aku segera berlari ke kamar kakek. Aku melihat kakek terlentang di lantai. Aku menangis dan berteriak meminta tolong. Aku menggoyang-goyang tubuh kakek, tetapi kakek diam saja. Suami Bude Ning, Pakde Anton, datang ke rumah. Aku melihat ia menelpon seseorang. Beberapa saat setelah Pakde Anton menelpon seseorang, ada mobil datang dan Pakde membawa kakek ke rumah sakit. Aku masih menangis ketika Bude Ning datang ke rumah. Bude menceritakan kalau kakek harus dirawat di rumah sakit. Bude berkata, “Pakde sudah menelpon ayah, mungkin besok lusa ayah baru tiba. Mas Bin akan menemani kamu”.

Dua hari kemudian ayah tiba di rumah. Ayah mengajakku ke rumah sakit. Aku sedikit lega. Kakek terlihat lebih sehat. Ketika aku

masuk, kakek sedang berbicara dengan orang yang datang menjenguk kakek. Mungkin teman lama kakek . “Ini cucu laki-laki saya, ganteng ya, dia selalu ranking satu”, kata kakek sambil tertawa membanggakanku didepan teman kakek. Dalam hati aku berkata, “Ternyata kakek sangat bangga dan sayang kepadaku”. Aku jadi sedih mengingat kelakuanku pada kakek selama ini. Walau aku memperlakukan kakek dengan tidak baik, tetapi kakek membanggakan aku di depan teman-temannya.

Siang itu, ayah dan aku pergi ke Bandara. Kami menjemput Kak Windy yang tiba dari Bandung. Setelah membawa koper ke rumah, kami langsung menuju ke rumah sakit. Di depan kamar kakek, kami mendengar kakek sedang mengaji. Kami mengetuk pintu, lalu kami masuk. Kakek tersenyum lebar ketika melihat kak Windy.

“Apakah kamu mendapat juara?” Tanya kakek. Kak Windy menggelengkan kepala dengan lemas. Kak Windy terlihat sangat lesu.

“Tidak apa-apa, kegagalan itu biasa. Kamu harus lebih giat belajar.” Tiba-tiba aku dikejutkan dengan tepukan kakek pada bahuku, ”Tito juga harus rajin belajar dan lebih sayang kepada orangtua. Hiburan boleh saja tetapi tidak boleh berlebihan”.

Kemudian kakek mengatakan kalau kakek ingin tidur. Kami pun pergi ke warung makankarena kak Windy belum makan. Sepulang dari warung makan, kami membawa makanan kesukaan kakek, papeda dan ikan kuah kuning. Aku menepuk bahu kakek dengan perlahan agar kakek bangun. Tetapi kakek tidak kunjung bangun. Wajahnya terlihat damai saat tidur.

Ayah menyuruh seorang suster agar melihat keadaan kakek. Bagai disambar petir, ketika suster berkata kakek telah meninggal dunia.

Aku sangat menyesal. Aku merasa akulah yang menyebabkan kakek meninggal karena kelakuanku yang tidak baik. Aku begitu sedih dan menyesal dengan apa yang kulakukan. Air mataku terus berlinang sambil memohon maaf kepada kakek. “Maafkan Tito, ya Kek. Tito menyesal tidak berbuat baik kepada Kakek selama ini. Ya Allah Ampunilah salah dan dosaku. Belum sempat aku berbuat baik kepada Kakek, tetapi mengapa Engkau telah memanggilnya? Ampuni juga dosa Kakek.Terimalah amal ibadahnya. Tempatkanlah Kakek di surga- Mu, amiien, amiien yaa robbal alamin” pintaku dalam doa.

Di suatu sore yang cerah, kami berempat duduk-duduk. Bunga eforbia telihat mekar dengan indah. Aku ingat, kakek paling senang melihat bunga ini saat mekar. Setelah aku melihat bunga eforbia, ayah mengajakku ke bandara. Ternyata, sekarang ibu akan pulang.

Kami menjemput ibu. Kulihat wajah ibu campur aduk antara sedih dan senang. Tanpa sepengetahuanku, kak Windy memberitahu ibu jika kakek telah meninggal. Setelah pulang dari bandara, aku ke ruang keluarga, kubuka album foto. Ada foto kakek sedang menggendongku. Ada juga foto kakek bersama kakak-kakak perempuanku. Kalau diperhatikan, wajahku mirip dengan wajah kakek.

Biasanya anak mirip dengan orangtuanya, namun aku berbeda. Aku lebih mirip dengan kakekku daripada orangtuaku. Tidak terasa air mata telah mengalir di pipiku. Aku harus merelakan kepergian kakek. Aku sekarang mengerti apa yang dirasakan Fandi ketika dia menasehatiku. Ternyata kakek Fandi juga telah meninggal.

Adzan magrib terdengar ditelingaku. Aku pun ke masjid dan berdoa agar kakek dirahmati Allah SWT dan orangtuaku tidak meninggal begitu cepat.

Tak beberapa lama libur berakhir. Kehidupanku kembali seperti dulu, walau kakek telah meninggal. Kita harus menjaga orangtua dengan sabar, karena hidup mereka tidak lama lagi dan mereka bisa saja akan pikun. Kata-kata yang terakhir kuucapkan untuk kakek, “Selamat tinggal, Kek.” [*]

Keterangan: papeda adalah makanan pokok di Papua, terbuat dari sagu.

Mengenal Lebih Dekat

Ahmad Ali Ashshidiqi

Tahukah kawan, bahwa Papua itu begitu cantik, dengan gunung dan lembah yang sangat menakjubkan? Di sana ada salju abadi, ada danau yang jernih, ada hutan lebat dipenuhi margasatwa yang beraneka ragam. Hanya di Papua kalian bisa menjumpai

burung kasuwari yang teramat indah dengan bulu-bulunya, juga merak burung yang megah.

Sayangnya, aku tidak tinggal di pedalaman, atau pedesaan yang memiliki alam seperti itu. Aku memang lahir di Sorong, Papua Barat, pada 15 Oktober 2001. Tapi aku tinggal di kota, dan seperti kota-kota lainnya, memiliki pemandangan yang tidak bagus.

Lingkungan di sekitar tempat tinggalku sangat bervariasi. Di depan rumah, ada sungai. Bukan sungai besar seperti di hutan-hutan, akan tetapi sungai kota yang semakin lama semakin kotor. Banyak orang membuang sampah di sana . Di sebelah rumah, ada para tetangga. Sebelah kiri keluarga Pak Tarno, di sebelah kanan keluarga Pak Banjarnahor, sedangkan di belakang, keluarga Pak Patimura. Bisa dibayangkan, bahwa sekeliling rumahku sudah rapat dibatasi rumah. Masih beruntung ayahku sempat menanam pohon, hingga sekarang aku memiliki 4 buah pohon. Ada dua pohon mangga, satu pohon rambutan, serta satu pohon jambu. Daun-daun dari pohonku seringkali berjatuhan di jalan. Rumahku, selain di depannya ada sungai, akan tetapi juga diapit jalan. Aku membayangkan, sebetulnya lingkunganku tinggal bisa sangat permai jika setiap orang bisa memeliharanya.

Aku bersekolah Di SDI al Irsyad / VI, Sorong. Sekolahku memiliki 12 kelas, dengan bangunan yang di sekelilingnya ditumbuhi bermacam- macam tanaman. Ada yang ditanam di dalam pot, dan ada yang ditanam di halaman. O ya, saat ini halaman lapang tempat bermain tengah sedang dipasang paving blok. Paving blok dipasang, supaya halaman tidak becek. Soalnya, saat hujan, biasanya halaman sekolahku becek, dan lengket penuh lumpur. Sehingga jika tiba saatnya melakukan Upacara Bendera, seringkali sangat mengganggu. Paving blok ini diberi pasir yang sedikit berkerikil, karena paving blok memang dipasang tidak memakai semen. Kerikil serta pasir itu akan mengisi lubang-lubang yang ada, sehingga air hujan masih bisa meresap.

Aku mempunyai teman yang sangat dekat, namanya Ido. Dia tinggal di sebelah rumahku. Ido usianya jauh lebih lebih muda dariku, tapi dia adalah teman yang sangat baik . Selalu mengajak bermain dan membawaku ke lantai atas rumahnya. Rumah Ido bertingkat dua. Dari lantai dua rumah Ido, aku seringkali memandang lingkungan rumah kami.

Tak ada Kebiasaanku yang melebihi asyiknya membaca buku. Aku memiliki buku-buku di rumah, dan juga komputer yang dilengkapi dengan modem. Kadangkala sesekali aku bermain internet, dengan mengunjungi sahabat-sahabatku lewat facebook., akan tetapi lebih sering aku mencoba berlatih menulis.

Ayahku adalah seorang penceramah. Dia suka berkeliling ke mesjid- mesjid, dan banyak memiliki buku-buku agama. Tapi di samping itu, ayahku adalah seorang guru bahasa Inggris. Aku senang memiliki ayah yang pandai berbahasa Inggris, sehingga aku bisa belajar padanya. Juga ibuku, dia adalah seorang guru. Keduanya sama-sama suka membaca, dan dari merekalah aku menyukai bacaan.

Ada pengalaman unik mengenai diriku, yakni dimulai sejak duduk di bangku kelas 3 SD. Entah mengapa, aku sangat senang sekali berbicara dengan benda-benda yang ada di sekelilingku. Benda-benda apa saja yang kulihat dan kupegang, seakan-akan mereka bisa berbicara. Misalnya saja berbagai macam mainan, staples, pensil, dan lain-lain. Senang sekali karena aku memiliki ayah dan ibu yang mengerti. Mereka tidak pernah mengganggu ketika aku tengah asyik dengan duniaku sendiri.

Saat itulah ibu menyarankan agar aku menuliskan pengalamanku berbicara dengan benda-benda, dalam diary. Ibu kemudian membelikan aku buku diary. Dan aku senang menulis berbagai pengalamanku sehari- hari dalam diary.

Sampai suatu hari, Pak guru Sangaji memberiku fotocopy LMC SD/MI 2012, dan meminta aku dan teman teman untuk mencoba. Aku tertarik untuk ikut serta, terutama karena disemangati ibuku agar mengikuti lomba itu. Menuliskan cerita dengan bebas, dan mengambil inspirasi dari orang orang yang dekat dengan sekelilingku, ternyata sangat menyenangkan. Suatu hari nanti, aku ingin menjadi seorang penulis.

Brownies dari

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 35-43)