• Tidak ada hasil yang ditemukan

Safira Ulinnuha

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 100-106)

K

upandangi sosok yang terduduk sambil melamun di kursi kayu usang. Makin hari tubuhnya makin kurus. Bibirnya pucat dan matanya sayu.

Namanya Soi. Dia adikku. Setahun yang lalu dia divonis sakit ginjal, sehingga ia tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang berat- berat. Sejak itu dia sering melamun dan menyendiri, seperti kehilangan semangat hidup. Tak pernah lagi kulihat senyum yang indah merekah di wajah manisnya.

Sebenarnya dokter menyarankan Soi dirawat secara intensif di rumah sakit. Namun kondisi ekonomi keluaga kami yang tidak memungkinkan, memaksa Soi harus menahan rasa sakitnya dengan hanya beristirahat di rumah. Sering sekali kudengar ia mengeluhkan nyeri di pinggangnya. Namun, apa yang bisa kuperbuat? Sepeser uangpun aku tidak punya.

“Apa pinggangmu masih sering nyeri?” tanyaku suatu saat.

Soi hanya mengangguk lemas sambil menatap hujan dari balik jendela.

Aku ikut memandangi hujan yang turun dengan derasnya. “Hujannya lebat sekali. Pasti atap kamarku bocor,” gumamku sambil beranjak ke dapur untuk mengambil ember dan meletakannya di bawah atap kamarku yang bocor. Jika dibiarkan, pasti lama kelamaan lantai kamarku yang hanya terbuat dari tanah akan basah, dan dapat menyebabkan seseorang tergelincir.

Dari dalam kamar kulihat Soi tengah memegang pinggangnya sambil meringis kesakitan.

“Sakit lagi?” tanyaku. Soi hanya mengangguk untuk membenarkan.

Aku menghela napas panjang. Terlintas di benakku uang SPP yang belum sempat kubayarkan karena pegawai administrasi tidak hadir waktu itu. Bagaimana kalau kugunakan untuk membeli obat buat Soi? Apakah nanti Ibu akan marah? Semoga saja tidak. Niatku kan baik.

“Tunggu sebentar, Kakak belikan obat di warung.” kataku pada Soi.

Aku langsung pergi sebelum Soi sempat menahanku. Segera kusambar payung dan berangkat ke warung Bu Etti.

tergesa-gesa tanpa memandang orang-orang di sekitarku. Sehingga sempat beberapa kali menubruk orang. Tak peduli jalanan becek, sebab yang ada di pikiranku sekarang hanya Soi.

“Suci, kamu kok buru-buru. Beli apa?” tanya Bu Etti ramah.

Ya ampun! Obat apa yang harus kubeli? Apakah jika kujawab, “Obat untuk sakit ginjal,” itu akan masuk akal? Mana ada warung dipinggir jalan seperti ini menjual obat ginjal?

“Obat penahan rasa sakit,” jawabku sekenanya saja.

“Penahan rasa sakit?” Bu Etti mengernyitkan dahinya. Tapi kurasa ia mengerti karena sedetik kemudian ia mengobrak-abrik rak dagangannya, dan menarik sesuatu.

“Dua belas ribu rupiah,” ujar Bu Etti.

Aku mengulurkan uang dari saku bajuku dan langsung berlari pulang.

“Minumlah ini, Sof!” perintahku pada Soi sesampainnya di rumah.

Soi memandangku heran. “Darimana Kaka k dapat uang?” tanyanya.

Aku tertegun. Sebaiknya tak usah kukatakan hal ini pada Soi. “Sudah, cepat minum!”

***

Sarapan pagi ini hanya nasi putih, ikan asin, dan tumis kol. Tapi semua ini kurasa sudah lebih dari cukup.

“Suci, uang SPP-nya sudah dibayarkan, kan?” tanya Ibu memastikan.

GLEK! Kutelan ludahku. Haruskah aku berbohong? “S...s...su...sudah, Bu!” jawabku kemudian.

Ibu tersenyum sambil mengambilkan nasi untuk Soi. Kuputuskan untuk menghabiskan sarapan secepatnya dan langsung berangkat sekolah.

***

“Suci, segera bayar uang SPP-mu, ya!” ujar Bu Nisa, pegawai administrasi saat kami berpapasan di koridor sekolah.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum masam. Bagaimana bisa aku mendapatkan ganti dua belas ribu rupiah yang sudah kugunakan

untuk membeli obat, sementara sehari harinya aku tak pernah diberi uang saku oleh ayah dan ibu?

Aku berlari ke kelas. Tas Farah tak ada dibangkunya. Mungkin dia tidak masuk sekolah hari ini. “Di mana Farah?” tanyaku pada siapa saja yang kutemui.

“Dia sakit,” jawab Mella.

“Sakit? Sakit apa? Jarang sekali Farah sakit. Dia, kan, tahan banting,” sanggahku.

“Dia kehujanan,” jawab Mella lagi.

“Maksudmu dia hujan-hujanan, begitu? Seperti anak kecil saja,” gumamku.

“Bukan karena hujan-hujanan! Tapi dia ngojek payung kemarin,” jawab Mella lagi.

Kalimat terakhir Mella membuatku terdiam. AH, YA! ***

Aku berharap hujan turun lagi sore ini. Dan seperti yang kuharapkan, hujan benar-benar turun. Segera kusambar payungku dan berlari ke lampu merah. Aku memutuskan mengojek payung untuk mengganti uang SPP yang kugunakan waktu itu.

“Dik, warung depan,” ujar seorang ibu sambil menghampiriku. Aku mengulurkan sebuah payung lalu mengikutinya sampai ke warung seberang, dan ibu itu memberiku dua lembar uang seribuan.

“Pangkalan ojek,” “Halte seberang,” “Warung bakso,” “Apotek,”

Alhamdulillah... akhirnya uang terkumpul, bahkan lebih dari dua belas ribu. Ya, sisanya bisa kugunakan untuk membeli lauk makan malam.

Aku pulang setelah membeli dua potong ayam goreng di warung makan ujung gang. Dari tadi sudah kubayangkan betapa lahapnya keluargaku menyantap ayam yang lezat ini. Pasti mereka sangat senang.

Baru saja kulangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah, terdengar teriakan melengking Ibu meminta tolong. Ya Allah, ada apa?

rumah dan mendapati Soi terkulai lemas di lantai. Di sampingnya ada Ibu yang memeluk sambil menangis.

“S...Sof... Soi tiba-tiba pingsan saat ibu masak di dapur,” ucap Ibu sesenggukan.

“Cepat bawa ke rumah sakit!” aku meminta Ibu mengambil payung dan segera kugendong soi ke rumah sakit —di tengah hujan yang begitu lebat.

“Suster! Tolong adik saya!” seruku begitu kami sampai di rumah sakit. Tak peduli semua orang memandang kami dengan tatapan aneh. Baju kumal, basah kuyup, dan muka yang lusuh.

Dua orang suster tampak sigap membantuku menidurkan Soi di tempat tidur dorong, lalu membawanya ke ruang IGD. Sampai di ruang IGD suster menahan kami sambil berkata ramah,“Silahkan tunggu di luar, biar dokter memeriksanya.”

Setelah cukup lama menunggu...

“Anda keluarganya?” seorang dokter berpakaian putih keluar dari ruang IGD menghampiri kami.

“Ya, saya ibunya. Bagaimana kondisi anak saya, Dokter? saya mohon lakukan apapun untuk kesembuhan anak saya,” pinta Ibu memohon

“Anak Ibu perlu cuci darah,” sang dokter menatap kami. “Saya tinggal dulu, beri kami keputusan secepatnya!” lanjutnya sambil berlalu.

Aku dan ibu saling tatap pasrah. Cuci darah? Secepatnya? Dari mana kami mendapatkan biayanya yang pasti sangat mahal? gumamku dalam hati.

***

“Di mana Ibu?” adalah kalimat pertama yang diucapkan Soi setelah sadar.

“Sedang keluar sebentar. Kamu makan dulu, ya? Ibu suruh Kakak menjagamu, jangan bantah Kakak!” kataku sambil mendekatkan sesendok bubur nasi ke mulutnya.

CKLEK! Kulihat Ibu masuk ditemani Ayah. Matanya memerah, mungkin habis menangis. Ayah terlihat begitu tegar, langsung menghampiri Soi di ranjangnya.

“Sudah baikan, Nak?” tanya Ayah. Sebagai jawabannya Soi mengangguk.

suasana. Soi tersenyum tipis.

Beberapa menit kemudian, seorang suster masuk menenteng sebuah map. Ia menyerahkan map itu, “Silahkan dilunasi ya, Bu!” ujarnya ramah

“Masya-Allah... banyak sekali yang harus dibayar...,” gumamku seraya melongok isi map itu. Total biayanya satu setengah juta rupiah, ucapku dalam hati

Aku menatap Ayah dan Ibu. Ayah menghela napas panjang. Seolah mengerti, Ayah berkata, “Insya-Allah, akan ayah usahakan,” Sebisa mungkin Ayah tersenyum dan terlihat sekali senyum yang dipaksakan.

***

Ibu menyuruhku pulang karena esoknya harus sekolah. Aku pulang dengan berjalan kaki. Tak perlu terburu-buru karena tak ada yang menungguku di rumah. Kutendang kerikil-kerikil di taman yang kulewati. Aku memutuskan untuk duduk dulu di bangku taman.

Kuraih dan kubaca selebaran yang tergeletak di sampingku. Isinya pengumuman lomba menyanyi tingkat kabupaten yang akan diadakan empat hari lagi. Hadiahnya lumayan.

“Apa sebaiknya aku ikut, ya? Apabila menang uangnya bisa kugunakan untuk biaya rumah sakit Soi. Banyak orang bilang suaraku bagus,” gumamku sambil menatap selebaran itu serius.

Aku melangkah pulang. Senja datang. Suara-suara malam mulai terdengar.

***

Gedung tempat lomba penuh sesak dengan para peserta dan pendukungnya. Gemuruh suara pendukung yang riuh rendah seolah mampu menjebol gedung yang super besar ini. Kutatap semua mata juri sebelum perlombaan ini resmi dibuka oleh bapak Bupati. Nyaliku langsung ciut. Tatapan para juri itu begitu tajam, seperti sudah siap menelanku hidup-hidup bila suaraku yang melengking membuat gendang telinga mereka pecah. Kutatap diriku sekali lagi. Pakaian sederhana, dengan wajah tanpa dipoles make up.

Bukan penampilan yang akan membuatmu menang, Suci. Batinku meyakinkan diri.

peserta bernama Karunia Suci Azizah dipanggil. Sejenak kusempatkan berdoa memohon kepada Allah agar diberi kekuatan.

Setelah benar-benar yakin siap, kuambil microphone dari meja juri dengan berusaha tersenyum. Kunaiki tangga panggung dengan lutut gemetar. Kuhirup napas dalam-dalam, dan kuhembuskan perlahan. Kucoba menyanyi sebaik mungkin.

Kulemparkan senyum ke semua penonton sebelum turun dari panggung. Aku duduk di deretan bangku paling belakang menunggu pengumuman.

“Baiklah, sekarang saat yang paling ditunggu-tunggu! Pengumumam lomba!” kata pembawa acara. “Langsung saja kita mulai dari juara ketiga... diraih oleh... Siti Melidinar!” gemuruh suara tepuk tangan diberikan pada Siti Melidinar.

“Juara kedua... diraih oleh... Karunia Suci Azizah!” imbuh pembawa acara itu. Ya Allah, apa aku tidak salah dengar? Aku jadi juara kedua? Alhamdulillah... tak kudengar lagi siapa yang menyandang juara pertama. Menjadi juara dua saja aku sudah sebahagia ini.

Aku naik ke atas panggung untuk menerima trophy dan uang tunai. Selesai acara aku berlari ke rumah sakit. Tak sabar ingin segera kuberikan uang itu kepada Ayah dan Ibu.

Kontan saja mereka terkejut. Soi pun tak kalah terkejutnya. Ia memelukku sambil menangis sesenggukan.

Ini hanya sedikit yang bisa kuberikan untuk keselamatan nyawa adikku. Seandainya bisa kaubagi ingin rasanya kakak meringankan rasa sakitmu. Ya Allah..., jangan Kau pisahkan kami. Biarkan kami tetap bersama berbagi suka dan duka. [*]

Mengenal Lebih Dekat

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 100-106)