• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amelia Nuraisyah Quinsi Jemy

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 43-53)

E

ntah kapan mamaku memberlakukan peraturan aneh ini. Dua kali dalam satu semester, aku harus mengikuti tata tertib yang dengan semena-mena diputuskannya sendiri. Tanpa musyawarah untuk mufakat seperti yang diajarkan Bu Wiwit, guru PKn- ku. Aku menyebutnya “jam pembantaian kreatiitas”. Bagaimana tidak, aku harus meninggalkan apa yang aku sukai. Tidak ada game, tidak ada komik, tidak ada krayon, tidak ada kertas gambar, bahkan tidak ada seruling dan harmonika. Hal yang paling parah, tidak ada lagu-lagu Ost Naruto yang hampir tiap detik aku dendangkan! Oh..., sungguh penyiksaan! Dunia benar-benar bersikap tidak adil padaku dengan memberiku seorang mama yang suka memaksa. Bahkan di mataku, lebih kejam dari musuh bebuyutan Naruto yang dibenci semua orang. Arrggh....

“Cuma empat hari Dek, fokus dengan ujianmu. Apalagi ini UKK. Mama nggak mau kamu bikin mama malu. Bayangin, hampir tiap semester nama kamu dipanggil belakangan. Kamu tahu artinya?” Aku membayangkan wajah pemilik suara itu adalah Itachi, tokoh antagonis dalam komik Naruto, yang kini sedang berbicara padaku. Dan sebelum semakin lama mama berpidato, aku segera meneruskan kalimat yang berkali-kali mama ucapkan sampai aku bisa menghafalnya....

“Artinya kamu masuk dalam daftar siswa yang mempunyai nilai di bawah rata-rata kelas,” aku meneruskan kalimat yang diucapkan mama dengan logat yang membuat mama kesal.

“Mama nggak perlu mengulanginya berkali-kali!” jawabku sambil meninggalkan dia.

Aku melingkari kalenderku dari tanggal 11 sampai tanggal 14. Tak lupa kutuliskan kata “death” dengan menunjukkan anak panah pada tanggal-tanggal itu.

Hari penyiksaan sudah dimulai sejak Senin lalu. Mamaku meminta tambahan jam belajar pada guru lesku, khusus untuk menghadapi ujian ini. Bukan itu saja, aku harus tetap belajar di hari Sabtu, hari yang seharusnya tidak ada jadwal les. Benar-benar hari Sabtu yang menjengkelkan. Ini termasuk pelanggaran HAM. Aku akan mengadu pada papa jika papa pulang nanti.

teman-temanku yang setiap hari bisa berkumpul dengan ayah ibunya. Sedangkan aku harus menunggu hari libur, baru aku bisa melihat wajah papaku.

Sering aku bertanya pada papaku mengapa papa tidak tinggal disini saja. Papa bilang, “Tidak ada pekerjaan yang cocok untuk Papa di sini.” Dan ketika aku bertanya lagi mengapa papa tidak mengajak kami tinggal bersamanya, jawab papa, “Siapa yang menjaga rumah ini kalau kita pindah?”

Selama ini aku tinggal bedua di rumah peninggalan kakekku. Paman dan bibiku semua jauh di luar kota. Hanya setiap hari raya berkumpul di rumah ini. Itulah saat yang paling aku tunggu karena aku merasa kesepian di rumah besar ini.

Aku tidak begitu paham dengan urusan orang dewasa. Aku menduga papaku belum punya cukup uang untuk membeli sebuah rumah sebagai tempat tinggal kami. Kedengarannya memang kurang sopan, tapi begitulah aku menyimpulkannya. Buktinya mamaku harus bekerja untuk menambah penghasilan.

Mamaku membuka usaha katering di rumah. Tiap hari mama membuatkan pesanan makan siang untuk sebuah TK ternama yang tidak semua anak bisa menjadi siswanya kecuali anak-anak orang kaya. Begitulah kata mamaku. Untuk pendaftaran saja wali murid harus membayar biaya masuk yang tidak kalah mahalnya dengan biaya masuk Perguruan Tinggi. Itu juga kata mamaku. Dan tiap bulannya hampir sekitar 1 juta untuk mereka keluarkan sebagai uang SPP. Sungguh tidak masuk akal untuk keluarga kami. Bisa jadi gaji papaku per bulan. Aku tidak tau persis berapa gaji papa, tapi yang jelas papaku tidak sekaya wali murid anak-anak TK itu. Yang aku ingat orangtuaku menabung beberapa bulan untuk membelikan sepeda baru untukku ketika aku merengek memintanya. Aku benar-benar tidak mengerti pelajaran apa saja yang diberikan kepada anak-anak itu. Harus semahal itukah untuk bisa pintar? Untung saja aku tidak di sekolahkan di sana. Akan benar- benar mubadzir untuk anak pemalas sepertiku.

Mamaku mengawali hari sibuknya di dapur dibantu Mak Partini, tetangga kami yang menjadi asisten tetapnya. Jangan tanya hasil masakan mama. Kami tidak perlu pergi ke restoran mewah untuk makan

malam yang lezat ataupun sarapan yang sehat. Mama bisa menyulap jamur menjadi daging, membuat pizza jamur, sate jamur, omelet jamur, jamur krispi dan berbagai hidangan jamur. Itu salah satu rahasia mama memanjakan papa yang seorang vegetarian. Dan menurutku mama adalah pembuat brownies terbaik sepanjang masa. Agak berlebihan memang, tapi aku benar-benar kecanduan brownies buatan mama.

Selain itu mama juga mempunyai keahlian yang menurutku tidak ada lawan yang bisa mengalahkannya, andaikan ada sebuah perlombaan untuk hal yang satu ini. Mungkin ini termasuk hobi unggulan mamaku. Hampir tiap menit sepanjang hidupku aku bisa melihat mama memegang sapu. Begitu ada sesuatu yang dianggap mengotori lantai, mama langsung melesat secepat kilat membersihkannya dengan benda kesayangannya itu. Aku harus super hati-hati dengan barang- barang-barangku dan meletakkannya dengan rapi di tempat yang telah dipatenkan mamaku, atau mama dengan tanpa ampun membuangnya di tempat sampah.

Buka aku saja, papaku juga terganggu dengan kebiasaan mama ini. Bahkan pernah suatu saat papa menegurnya. Tapi tetap saja mamaku mempertahankan perjuangannya untuk terus bersih-bersih. Sampai kami sepakat pada hari ulang tahunnya memberikan sebuah kado berupa sapu. Mama tertawa geli menerimanya, dan kami merasa puas sudah mengerjai mama.

Dari percakapan telepon yang aku dengar kemarin, mama melarang papa membawa komik pesananku sampai ujian selesai. Mamaku mirip seorang provokator yang sedang beraksi. Aku berdoa semoga papa tidak mendengarkannya.

Kembali aku membolak-balik buku pelajaranku. Dari jendela kamarku aku bisa melihat anak-anak bermain sepeda di jalan depan rumahku. Bahaga sekali mereka, tidak harus belajar di hari Sabtu, tidak harus memikirkan ujian hari Senin.

“Imel...” suara mama mengejutkanku, “Buka pintunya Dek.”

Aku beranjak daritempat dudukku dan membuka pintu dengan malas.

“Wow...brownies,” begitulah reaksiku ketika melihat apa yang dibawakan mama untukku.

“Buat teman belajar,” kata mama, “Habis ini kamu mandi, jam 4 kamu les,” lanjut mama. “Mama mau ke dapur dulu, masih belum selesai. Tolong kamu buang sampah ini ke depan. Sudah penuh, “ kata mama sambil menunjuk tempat sampah di pojok ruangan, kemudian beranjak meninggalkanku. Tetap saja dimana pun berada mata mamaku selalu awas terhadap benda-benda kotor.

Aku meletakkan brownies di atas meja belajarku. “Mmmm... pasti enak!” pikirku sambil mulai menggigitnya. “Agenda berikutnya mandi kemudian berangkat les. Ups, hampir lupa, membuang sampah ke tempat sampah depan rumah. Oke Mom, aku anak baik yang selalu menuruti perintahmu, “ gumamku sedikit kesal.

Aku melangkah ke depan rumah membawa tempat sampah di tangan kananku, dan mebuka pintu pagar depan ketika tiba-tiba kudengar suara yang membuat hatiku luluh lantak. “BLUUUUM...!!!!!”

“Maamaaaaaaa...!” aku berteriak histeris. Para tetangga spontan keluar rumah dan mulai berlarian ke arah rumah kami. Beberapa ibu berusaha menenangkanku. Entah apa yang terjadi di sana. Asap nampak membumbung dari belakang rumah kami. Orang-orang mulai sibuk memadamkan api.

“Tabung gas meledak,” itulah kata sebagian orang.

“Mana Mamaku..., dimana Mamaku...?” tangisku pecah. Aku berusaha melepaskan diri dari entah siapa yang memegangiku. “Aku ingin Mamaku. Aku ingin melihatnya!” pekikku.

Aku tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi pada mamaku sampai aku melihat beberapa orang keluar dari pintu rumahku membopong sesosok tubuh. Sekilas aku masih bisa melihat wajah mamaku sebelum semuanya menjadi gelap.

Kepalaku masih berat ketika aku berusaha membuka mataku. Ingatanku langsung tertuju pada mamaku. Dimana mamaku...? Aku mulai menangis lagi ketika tiba-tiba bu Yul muncul di hadapanku. Aku baru menyadari kalau aku tdak sedang berada di kamarku. Bu Yul adalah tetangga depan rumah kami. Dari beliau aku tahu bahwa mamaku dibawa ke rumah sakit.

“Mamamu baik-baik saja, Nak...,” bu Yul memelukku. “Papamu sekarang menjaganya di sana.”

“Papa sudah datang?” tanyaku.

“Iya, sesaat setelah api berhasil dipadamkan petugas kebakaran. Untunglah api tidak meyebar. Hanya dapur saja yang hancur. Besok budhemu datang. Malam ini Imel bobok di sini sama bu Yul ya...!” Aku mengangguk pasrah.

“Bu Yul, boleh aku pulang sebentar? Aku ingin mengambil sesuatu.”

Bu Yul mengangguk sambil tersenyum. Aku segera beranjak menuju rumahku. Ada perasaan tidak enak saat aku tiba di depan pintu. Perlahan aku membukanya. Aku tak kuasa membendung air mataku. Apa yang baru saja terjadi seperti sebuah mimpi buruk. Semua terlihat berantakan. Aku menuju kamarku, mencari sisa brownies dari mamaku. Tangisku semakin menjadi saat aku mendapatinya.

“Teman belajar...,” isakku mengingat kembali ucapan mama.

Aku idak mau berlama-lama sendiri di sini. Segera kubereskan beberapa buku pelajaranku. Tak ketinggalan selimut merah kesayanganku dan sisa brownies tentunya.

Bu Yul sudah menantiku di ruang tamu saat aku kembali ke rumahnya. Beliau sudah menyiapkan makan malam untukku. Sebenarnya aku tidak berselera makan, tapi demi menghormati Bu Yul yang sudah sangat baik kepadaku, aku pun memakannya.

Keesokan harinya bersama budhe yang datang dari Madura aku menjenguk mama ke rumah sakit. Aku langsung menghambur ke arah mama begitu sampai di ruangan beliau dirawat. Air mataku tak terbendung melihat mama dengan luka bakar di tubuhnya.

“Ini akan sembuh, Sayang,” papa menenangkanku.

Mama benar-benar tidak banyak bicara. Beliau hanya berpesan supaya aku tidak nakal selama mama di rumah sakit. Aku ingin lebih lama menemani mama di sini, tetapi mama memintaku untuk pulang.

Rumah ini benar-benar aneh tanpa mama. Budhe mulai membersihkan rumah yang berantakan. Aku bermaksud membantunya tetapi Budhe tidak mengijinkanku.

“Kamu belajar saja, bukannya besok ujian?” Budhe mengingatkanku.

“Ya, aku harus belajar. Aku tidak mau mengecewakan Mama,” janjiku dalam hati. Kubuka kembali buku pelajaranku. Aku bisa menghafal

berpuluh-puluh nama tokoh dalam komik Jepang kesukaanku. Dengan mudah aku bisa memahami isi cerita semua komik yang aku baca. Aku bahkan bisa mencari notasi lagu Wind dari Akeboshi, Namikaze Satelite dari Nagareboshi dan masih banyak lagi dengan hanya beberapa kali saja mendengarkan lagunya dengan harmonikaku. Aku murid kesayangan Pak Giyo di kelas musik. Aku bukan anak bodoh. Aku pasti bisa! Begitulah aku menyemangati diriku sendiri. Dibantu guru lesku semua berjalan seperti keinginanku. Baru kali ini aku merasa benar- benar siap mengikuti ujian.

Empat hari telah berlalu. Ujian telah berakhir. Aku bisa lebih sering mengunjungi mamaku. Keadaan mama semakin membaik. Aku sangat bahagia melihat mama sudah mulai cerewet lagi, hal yang dulu kubenci.

Siang ini aku menghabiskan waktu membantu Budhe membersihkan rumah. Dapur kami sudah dibenahi. Ada perasaan sangat tidak nyaman ketika aku berada di dapur. Tapi aku berusaha menyingkirkannya. Aku tidak mau kejadian buruk itu menghantuiku, dan membuatku trauma.

Hari terus berganti. Aku sedang meminta Budhe supaya bersedia mengambil raportku besok ketika kabar baik itu datang. Papa memberitahu kami melalui telepon bahwa mama sudah diijinkan pulang hari ini. “Alhamdulillah,” aku berucap syukur. Aku juga sangat kasihan pada papaku yang setiap hari harus bolak-balik karena pekerjaannya di luar kota.

Aku memotong beberapa tangkai bunga mawar yang bermekaran di depan rumahku. Kumasukkan ke dalam vas berisi air dan meletakkannya di meja rias mama. Aku tidak sabar menunggu kedatangan mama.

Sebuah taksi berhenti di depan rumahku. Aku tersenyum bahagia melihat mama turun dari taksi. Aku berlari memeluknya. Kulit tangan mamaku terlihat berkerut-kerut. Sebagian bekas luka bakar tampak pada leher dan pipinya. Meskipun begitu mama tetap terlihat cantik di mataku. Bu Yul yang dari tadi ikut menunggu bersama kami menyalami mamaku. Para tetangga lainpun berdatangan. Semua bahagia melihat mama sudah pulang dari rumah sakit.

Keesokan harinya Budhe mengambilkan raport untukku. Ini untuk pertama kalinya aku berdebar-debar menunggu raportku. Budhe keluar dari ruang kelas V membawa buku bersampul biru. Beliau tersenyum

sambil memberikannya padaku.

“Aku naik kelas kan, Budhe?” Budhe hanya tersenyum. Segera kubuka raportku. Semua di luar dugaan. Aku berlari sekencang-kencangnya. Aku ingin segera menunjukkan raportku pada mamaku.

“Mama akan membuatkanku brownies spesial dengan taburan keju sebagai hadiahnya,” kata mama puas melihat hasil kerja kerasku. Aku bahagia mendengarnya.

Aktiitasku kembali normal minggu ini. Bermain musik, menggambar, bermain game, semua begitu menyenangkan. Dan seperti biasanya, setiap hari Sabtu papa pulang membawakanku beberapa komik yang sudah aku pesan sebelumnya. Dalam hati aku berjanji akan mengatur waktu antara belajar dan hobiku. Aku tidak mau mengecewakan mama dan papa karena aku tahu mereka sangat menyayangiku dengan cara mereka masing-masing. Dan aku juga sangat menyayangi mereka. [*]

Mengenal Lebih Dekat

Amelia Nuraisyah Quinsi Jemy

Halo, namaku Amelia Nuraisyah Quinsi Jemy, aku biasa dipanggil Imel. Aku lahir tanggal 13 Nopember 2001 di Kota Blitar, sebuah kota kecil di Jawa Timur yang tidak begitu ramai. Aku sangat bangga terlahir di kotaku ini karena disinilah tokoh Proklamator, Ir. Soekarno dimakamkan.

Aku tinggal di Kelurahan Rembang, Sananwetan. Lingkungan tempat tinggalku sangat nyaman. Rata-rata penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Hanya sekitar 500 meter dari tempat tinggalku, terdapat area persawahan. Jadi udaranya terasa segar. Disini juga terdapat Balai Benih Ikan ( BBI ). Tempat ini merupakan tempat pembudidayaan ikan di Kota Blitar. Salah satu jenis ikannya adalah ikan Koi, yang kemudian dijadikan lambang untuk kota kami.

yang besar. Kami tidak dipungut biaya apa pun untuk bersekolah disini, alias gratis. Guru-guruku sangat baik. Sekolahku pun terjaga kebersihannya. Ada 7 ruang kelas di sekolahku, yaitu ruang guru, ruang TU, ruang komputer, UKS, dan tempat favoritku perpustakaan. Selain itu ada koperasi sekolah dan kantin tentunya.

Aku berangkat sekolah berjalan kaki. Ada 3 benda wajib yang selalu kubawa ke sekolah, yaitu buku gambar, seruling, dan harmonika. Aku lebih sering menggunakan waktu istirahat sekolah untuk membaca di perpustakaan atau bermain alat musik yang kubawa. Teman-teman sering memintaku memainkan lagu kesukaan mereka.

Seperti anak-anak lainnya, aku sangat suka bermain. Aku punya sepupu bernama Putri. Umurnya 8 tahun. Dia teman bermainku sehari- hari. Putri hobi bermain sepakbola. Biarpun kecil tapi dia sangat gesit. Kami biasa bermain di lapangan bulu tangkis dekat rumahku dengan teman-teman lainnya.

Aku mempunyai hobi menggambar. Saat ini, aku sedang belajar membuat manga. Aku sangat senang apabila berhasil membuat tokoh dengan karakter baru. Aku bercita-cita suatu saat bisa menjadi seorang komikus terkenal seperti komikus idolaku, Masashi Kishimoto dan Hiro Mashima.

Di rumah aku tinggal bersama nenek dan mamaku. Mamaku bernama Suci, seorang ibu rumah tangga biasa. Mamaku hobi berkebun. Ia memiliki beberapa koleksi anggrek. Siang hari mama mengajari anak –anak di sekitar rumahku yang datang untuk belajar. Selain mama juga ada nenekku. Aku biasa memanggilnya Buk Titi. Jika mama mengajari anak-anak belajar pelajaran sekolah, nenekku mengajari anak-anak mengaji. Tak kurang dari 50 anak datang tiap hari ke rumahku. Sedangkan papaku bekerja di luar kota. Belum tentu sebulan sekali aku dapat bertemu dengannya. Papaku bernama Jemi. Papa punya kegemaran yang sama denganku, yaitu membaca komik. Ia juga senang bermain gitar. Dulu papaku pernah bekerja sebagai jurnalis di sebuah majalah musik. Akudan papa sering berkolaborasi memainkan alat musik. Papa dengan gitarnya, aku dengan harmonikaku. Sayang aku dan papa tidak setiap hari bertemu.

Aku mulai gemar menulis sejak kelas 4. Rata-rata aku menceritakan pengalamanku sehari-hari dan hal-hal yang terjadi di sekitarku. Semua

hanyalah koleksi pribadi. Saat ini aku baru membuat 4 cerpen termasuk cerita Brownies dari Mama.

Sudah puluhan buku aku baca dari perpustakaan sekolah. Mulai dari cerita iksi sampai ensiklopedia. Di rumah orangtuaku juga mempunyai banyak koleksi buku. Aku pun kadang membaca buku-buku mereka. Beberapa novel diperbolehkan kubaca. Ada 4 novel mereka yang selesai kubaca setahun ini. Tempat rekreasi favorit keluargaku adalah toko buku. Tak jarang aku mencuribaca buku yang belum disegel. Aku lebih banyak membaca komik. Setiap akhir pekan aku pergi ke persewaan komik. Dengan banyak membaca aku bisa mengetahui banyak hal dan menjelajahi dunia.

Persahabatan

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 43-53)