• Tidak ada hasil yang ditemukan

e book LMC SD MI 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "e book LMC SD MI 2012"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

13 Naskah Terbaik

Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) 2012

Pelangi Untuk Jingga

Sherina Salsabila, Naisa Nurul Izza, Ahmad Ali Ashshidiqi, Amelia Nuraisyah Quinsi Jemy, Ramadhani Ayu Wiguna, Laksita Judith Tabina, Nurmawulansari Rahadian, Keira Arviadita Sutantio, Saira Ulinnuha, Dita Aulia Firdiana, Tiara Indah Permata Hati, Devita Mayanda Heerlie, Gabriella Verencia

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR Gedung E Lantai 5, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan,

Jakarta 10270 Telp. (021) 5725616 Editor: Joni Ariadinata

Layout isi: Tri Isti Ilustrasi sampul & isi: Tri Isti Diterbitkan pertama kali oleh KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR Tahun Anggaran 2013

(3)

Kata Sambutan

Kebiasaan membaca dan menulis merupakan sebuah kegiatan kreatif yang perlu terus dikembangkan dan dibudayakan di kalangan para siswa. Karena kita semua tahu, penguasaan ilmu pengetahuan sejatinya lebih banyak ditentukan oleh seberapa besar minat dan kemauan seseorang dalam melakukan aktivitas membaca sekaligus menulis. Semakin banyak yang dibaca, tentulah akan semakin banyak yang diketahui dan dipahami serta semakin banyak karya yang bisa diciptakan. Namun realitas yang kita hadapi saat ini adalah masih rendahnya kemauan dan kemampuan para siswa untuk membaca, apalagi untuk mengekpresikannya ke dalam berbagai bentuk tulisan. Padahal kemauan dan kemampuan para siswa dalam hal membaca dan menulis tentu pada gilirannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mempengaruhi kemauan dan kemampuan ia dalam membaca dan menulis.

Di tengah keprihatinan akan rendahnya minat dan kemampuan “baca-tulis” inilah, Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar diharapkan dapat menjadi sebuah daya dorong untuk memacu dan mengarahkan para siswa untuk berkompetisi menampilkan pengalaman hasil membaca untuk kemudian mengekspresikannya dalam karya tulis khususnya cerita anak. Selain itu, ajang lomba ini juga diharapkan menjadi daya dorong bagi para siswa untuk unjuk kemampuan sekaligus meraih prestasi dan penghargaan. Karenanya kepada mereka yang terpilih menjadi pemenangnya diberikan berbagai penghargaan, baik dalam bentuk materi maupun nonmateri.

Buku yang kini di tangan pembaca ini merupakan 13 karya terbaik dari ajang Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) tahun 2012 berdasarkan hasil penilaian objektif para dewan juri. Setelah dikumpulkan dan disunting lantas diterbitkan menjadi buku yang enak dibaca. Tujuan menerbitkan buku ini, selain merupakan upaya dokumentasi dan publikasi juga merupakan sosialisasi kepada para siswa. Diharapkan dengan membaca karya-karya rekan sejawatnya yang terdapat dalam buku ini mereka akan termotivasi untuk mengikuti Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA) pada masa yang akan datang. Di samping itu, karenanya buku ini juga didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah diharapkan akan ikut menambah jumlah koleksi buku-buku bacaan yang telah ada.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar menyambut baik upaya penerbitan kumpulan tulisan karya-karya terbaik para siswa semacam ini. Diharapkan tradisi yang baik ini perlu terus dilanjutkan di masa-masa mendatang. Semoga publikasi hasil karya para siswa ini dapat menjadi pemicu dan pemacu semangat para siswa untuk terus berkarya secara kreatif dan inovatif.

Jakarta, Februari 2013

a.n. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Sekretaris Direktorat Jenderal,

(4)

Muara Kasih di Pangkuan Bunda

Joni Ariadinata

B

apak kita, sastrawan terkemuka Taufiq Ismail, mencucurkan air mata pada salah satu peserta lomba yang dengan sangat berat hati didiskualifikasi. Ia dipulangkan di tengah ketatnya wawancara serta presentasi seleksi final yang diikuti

oleh seluruh calon pemenang. Ia diberi sangsi teguran keras, serta pembinaan yang berpulang kepada guru serta orangtua. Rasa malu, harga diri, serta nama baik sekolah yang sejak awal menjadi taruhannya, pada hari itu tercoreng .

Taufiq Ismail memang pantas untuk bersedih hati. Sebab dari 14 naskah terbaik, satu peserta terpaksa harus gugur karena sedikit kecurangan yang dilakukan. Padahal sedikit kecurangan dalam bentuk apa pun (baik itu menjiplak, atau mendapat

bantuan dari guru serta orangtua dengan proporsi yang tidak bisa ditolelir), akan dengan sangat mudah diketahui. Sistem penjurian yang ketat dengan melibatkan 10 juri yang memiliki pengalaman serta keahlian di bidangnya, menjadi jaminan bahwa segala bentuk kecurangan tak akan mudah lolos. Alangkah disayangkan, karena ia

adalah putra terbaik yang diharapkan kelak akan mengemban amanat luhur sebagai pewaris tanah air di masa depan. Mereka adalah anak-anak negeri yang dicita-citakan memiliki kejujuran, kecerdasan, serta dedikasi dan tanggungjawab moral semenjak

usia dini. Para guru, orangtua, memiliki peran yang sungguh-sungguh mulia untuk ikut mewujudkannya.

Tapi baiklah, di tengah kesedihan lantaran satu peserta harus gugur dan

pulang membawa nama yang tidak terhormat, masih ada 13 peserta yang sungguh mewartakan berita baik. 13 peserta, yang dengan segala upayanya, telah berhasil menyisihkan ribuan peserta yang datang dari seluruh penjuru tanah air. Ada 6.000 naskah yang mencoba berkompetensi untuk menjadi yang terbaik, dan 13 diantaranya

telah lolos dengan sangat meyakinkan. Inilah 13 naskah cerita terbaik, yang dihimpun dan diterbitkan dengan penghargaan yang tinggi, sebagai upaya dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberi

sumbangan penting terhadap pendidikan karakter bangsa.

Pendidikan karakter bangsa bercita-cita mewujudkan anak negeri yang cerdas, kreatif, jujur, memiliki kepekaan (tenggang rasa), adil dipenuhi kasih sayang, serta

(5)

pendidikan kesusastraan, lewat media karya sastra. Mengapa karya sastra? Karena

karya sastra, di hampir semua negara maju, wajib diperkenalkan serta dipelajari dalam kurikulum sekolah semenjak usia dini. Kesusastraan merupakan salah satu pilar penting untuk menuju pada taraf keberbudayaan. Kesusastraan merupakan gerbang bagi anak usia dini, untuk mengenalkan mereka pada kecintaan terhadap buku,

yang merupakan syarat dari terbukanya ilmu pengetahuan. Maka tidak heran jika kesusastraan dianggap setara dengan kedokteran, matematika, fisika, biologi, serta sains, yang selalu mendapat anugerah tertinggi pada setiap penyerahan hadiah nobel

di tingkat dunia.

Sekarang marilah kita bayangkan seorang Sherina Salsabila, yang menjadi pemenang kali ini dengan judul cerita Pelangi untuk Jingga, yang sekaligus menjadi judul utama buku ini. Sherina ketika menulis cerita ini, memasuki usia 12, yakni usia anak yang hampir memasuki periode remaja. Tapi apa yang ditulis Sherina, adalah kegelisahan yang jauh melampaui batas umurnya. Ia mengambil pelajaran dari dunia kanak-kanak keseharian, dipadu dengan pengalaman baca yang luas, sehingga

menghasilkan sebuah “catatan pribadi” yang tidak saja menggetarkan akan tetapi menyisakan makna yang dalam terhadap pembacanya. Sherina, dalam usianya yang relatif belia, telah bersikap dan bertindak dalam format pikiran besar. Sebab di sanalah

letak kedalaman serta nilai dari sebuah karya sastra ditentukan. Cerita mungkin hanyalah sarana, akan tetapi sikap di balik cerita itulah nilai yang sesungguhnya. Siapakah Sherina? Mengapa dia bisa menulis dengan kegelisahan yang menggetarkan,

tidak saja jika cerita itu dibaca oleh anak-anak sebayanya, akan tetapi juga ketika cerita itu dibaca oleh orang dewasa?

Ada seorang anak penderita autis, yang bagi kebanyakan orang dijauhi karena tidak lazim dan cenderung mengganggu. Tapi tidak bagi tokoh utama yang ditulis

Sherina, ia menerimanya sebagai berkah. Maka lewat pertemanan yang tulus, ia telah menunjukkan kepada dunia, bahwa kasih sayang tanpa membeda-bedakan, memiliki kekuatan yang besar untuk mengubah kehidupan. Itulah sikap dari kebesaran jiwa

yang dituliskan Sherina lewat cerita Pelangi untuk Jingga. Ia menggali tema berdasarkan pengalaman, menambahnya dengan pengamatan, serta menyempurnakannya lewat berbagai referensi. Pengamatan, penelitian, serta penggalian referensi, adalah kerja

intelektual. Sementara menuliskan hasilnya, yang dikembangkan dengan kreatifitas imajinasi, adalah merangkai seluruh potensi kecerdasan yang dimiliki. Antara hati dan pikiran, menyatu dalam sebuah aliran, yang memunculkan sikap dan penilaian. Bisa dibayangkan seseorang seperti Sherina, yang telah menuliskan sesuatu yang besar

(6)

akan menjadi seorang pemimpin, seorang politisi, seorang praktisi hukum, atau

bahkan seorang dokter atau insinyur. Maka sikap yang telah dipahaminya semenjak usia belia, akan terbawa dalam setiap keputusan besarnya kelak. Bisa dibayangkan pula, seluruh pembaca yang tergetar oleh cerita yang ditulis Sherina (baik pembaca usia sebaya dengan Sherina, atau pembaca dewasa), maka mereka akan mengambil

sebuah pelajaran berharga, yang juga akan mempengaruhi sebuah keputusan besar ketika mereka memiliki kekuasaan untuk turut mengubah sesuatu. Itulah sejatinya karya sastra. Itulah pendidikan bagi pembangunan sebuah karakter.

Sherina adalah salah satu anak yang cukup beruntung. Ia diperkenalkan pada buku-buku cerita oleh keluarganya, semenjak usia 4 tahun. Semakin bertambah umur, semakin besar pula minatnya pada buku. Buku-buku itulah yang membuka gerbang

kecerdasan bagi Sherina, sehingga beberapa penghargaan sempat ia raih. “Cita-citaku yang belum terlaksana, adalah memiliki perpustakaan pribadi di rumah,” begitu ucap Sherina. Andaikan semua anak di negeri ini memiliki semangat dan keinginan yang serupa dengan Sherina, maka terbayang betapa leganya para pendiri bangsa melihat

masa depan negeri ini kelak.

Jika masih belum cukup dengan contoh Sherina, maka marilah kita tengok cerita yang mendapat peringkat dua. Sebuah cerita dengan judul Cerita Bringbun dan Chikuita, yang ditulis oleh Nafisa Nurul Izza. Kecintaan Nafisa pada alam, menghasilkan sebuah kisa pedih tentang sebatang pohon beringin yang terluka akibat kekejaman manusia. Pohon beringin yang berdiri kokoh dan rimbun di pojok alun-alun, yang

selalu menjadi tempat berteduh dan berlindung tidak saja bagi manusia akan tetapi juga burung-burung. Nah, pada suatu ketika, pohon beringin itu merasakan dirinya sakit. Sakit yang semakin hari semakin parah. Beberapa dahan mulai mengering, serta daun-daunnya berguguran. Pohon beringin itu (yang dalam cerita dipanggil dengan

nama Bringbun), menderita lantaran seluruh tubuhnya dipenuhi paku-paku. Paku-paku berkarat, Paku-paku-Paku-paku jahat, yang ditancapkan oleh manusia untuk kepentingan pemasangan reklame. Ditambah sayatan-sayatan pisau dari mereka yang menuliskan

sesuatu untuk kenang-kenangan, maka lengkaplah sudah siksaan yang dialami Bringbun. Setiap hari, daun-daun yang bergururan semakin banyak, dan Bringbun terancam mati. Kondisi seperti itulah, yang kemudian diketahui oleh Chikuita, seekor

burung yang selalu menjadikan Bringbun sebagai tempat singgah sebelum ia pulang. Dialog antara Bringbun dan Chikuita, menggambarkan nyanyian kepedihan penulisnya (Nafisa) pada kejahatan manusia dalam merusak alam. Pohon-pohon, burung-burung, yang seharusnya mendapat perlindungan karena jasa-jasanya, telah dengan sengaja

(7)

binatang juga bisa merintih, dan merasakan kesakitan seperti manusia,” begitu ungkap

Nafisa dalam wawancara dengan para juri. “Di rumah saya memiliki pohon nangka dan mangga, yang saya rawat dengan sebaik-baiknya. Saya suka membayangkan bisa berbicara dan berdialog dengan mereka, untuk mengucapkan terima kasih. Sebab mereka telah memberi kami sekeluarga buah mangga dan nangka yang manis,

yang tidak saja cukup untuk dimakan sekeluarga, akan tetapi juga bisa dibagikan ke tetangga. Daunnya membuat sejuk pekarangan, sedangkan akarnya menjadi penahan hujan sehingga sumur di rumah tak pernah kering. Saya suka membuka jendela kamar,

dan melihat sawah. Beruntung di lingkungan perumahan tempat saya tinggal, masih ada sawah tersisa.”

“Hal yang paling tidak saya sukai adalah melihat anak-anak di kampung

seberang. Banyak anak-anak yang kerjanya hanya nongkrong, bermain play station, merokok, serta seringkali mengeluarkan kata-kata kasar. Mereka sepertinya tidak memiliki rencana untuk masa depan. Mau jadi apa mereka, kalau kebiasaannya terus-menerus seperti itu?”

Berapakah usia Nafisa? Pandangannya yang kritis, keinginannya yang besar, serta sikapnya yang tegas, seperti melampaui batas usia yang sesungguhnya. Padahal usia Nafisa tidak berbeda dengan Sherina, yakni 12 tahun. Buku-bukulah yang

membuka keluasan pandangan Nafisa terhadap beragam persoalan yang terjadi di lingkungannya. Nafisa memiliki perpustakaan pribadi, dan ratusan judul buku cerita menjadi koleksi kesayangan.

Seperti halnya Sherina, ia beruntung sejak kecil diperkenalkan pada buku-buku cerita oleh orangtuanya. Kesukaan pada buku cerita, yang mendorong Nafisa untuk menulis. “Beberapa tulisan saya dimuat di harian Pikiran Rakyat. Saya ingat honor pertama ketika tulisan itu dimuat, saya menerima uang 50.000,- rupiah. Sungguh saya

sangat senang, dan saya bermimpi suatu ketika bisa menerbitkan tulisan-tulisan saya dalam sebuah buku.” Apakah Nafisa ingin menjadi seorang penulis?

“Cita-cita saya menjadi guru.”

Ada yang bercita-cita menjadi guru, menjadi dokter, menjadi insinyur, pengusaha, tentara, bahkan ada yang dengan tegas mengatakan, “bercita-cita menjadi astronot.” Hanya sedikit yang murni bercita-cita menjadi penulis.

Kesukaan pada menulis memang tidak harus mengarahkan seseorang menjadi penulis. Menulis hanyalah sebuah tahapan dari aktualisasi kegelisahan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran kritis dari pengamatan, serta bertambahnya wawasan dari sejumlah bacaan. Seseorang yang telah terpicu kesukaannya terhadap membaca, akan

(8)

ketika direspon dengan sedikit sentuhan motivasi (lewat sebuah lomba misalnya),

seorang pembaca yang baik akan dengan mudah menjadi penulis yang baik.

Pada dasarnya, semua bidang dari setiap profesi, pasti membutuhkan proses menulis. Seorang dokter pada akhirnya harus menuliskan ilmunya, agar ilmu kedokteran semakin berkembang. Begitupun seorang insinyur, seorang politisi,

seorang praktisi hukum, bahkan bagi seorang pejabat, atau pemimpin negara. Sebuah negeri membutuhkan lahirnya para penulis dari berbagai profesi, agar negeri itu semakin maju dan dihargai. Bukankah sejarah telah mencatat, bahwa hampir semua

pendiri bangsa (seperti Sukarno, Hatta, Muhammad Yamin, Syahrir, Ki Hajar Dewantoro, dan lain sebagainya), adalah seorang penulis? Sukarno adalah seorang insinyur, tapi ia adalah insinyur yang melahirkan banyak buku. Sementara Hatta adalah seorang ahli di

bidang ekonomi, tapi ia pun menulis. Mereka semua menuliskan gagasan-gagasannya dalam bentuk buku, yang bisa dibaca oleh para penerusnya. Mereka mencintai buku, dan memulai kecintaannya pada buku, melalui karya sastra.

Peran orangtua, sangat dominan dalam dalam mengawali kecintaan anak pada

buku. Kemudian barulah lingkungan sekolah, serta lingkungan pergaulan. Beberapa sekolah tercatat memiliki kepedulian yang tinggi, lebih-lebih pada sekolah-sekolah swasta unggulan, yang menyediakan perpustakaan lengkap. Bahkan beberapa sekolah

memiliki perpustakaan kelas, disamping perpustakaan utama yang disediakan untuk seluruh murid. Kefira A. Sutantio dan Gabriella Venecia misalnya, mereka adalah dua pemenang yang beruntung memiliki lingkungan sekolah dengan perpustakaan

lengkap. Masing-masing sekolahnya, menyediakan perpustakaan kelas dengan ratusan buku cerita. “Guru kami selalu memotivasi murid-murid dengan beragam buku cerita. Semua buku yang disarankan guru untuk dibaca, disediakan di perpustakaan kelas.”

Kefira A. Sutantio menulis cerita dengan judul Biar Kuno Tapi Keren. Sebuah cerita yang sangat kritis tentang seorang tokoh yang lebih mencintai kebudayaan bangsa lain dibandingkan kebudayaan milik bangsa sendiri. Tokoh yang lebih merasa keren

dengan mengenal kesenian berbau Amerika dibandingkan reog, lenong, serta

kesenian-kesenian berbau daerah yang dianggapnya kuno. Hingga dalam sebuah kesempatan, tokoh utama yang ditulis Kefira mengunjungi Amerika, dan mendapat kenyataan bahwa setiap delegasi dari berbagai negara dengan bangga memperkenalkan budaya

(9)

seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Akan tetapi, Gabriella mengemasnya

dengan cara yang betul-betul berbeda.

Ada yang dominan pada tema-tema yang dipilih oleh para pemenang pada tahun ini. Mereka rata-rata lebih tertarik pada penggalian tema kasih sayang, daripada tema kejujuran seperti pada tahun lalu. Ahmad Ali Ashshidiqi, yang merupakan

pemenang urutan tiga dengan judul Maafkan Aku, …Kek, menulis tentang bagaimana pahit getir hubungan kasih sayang antara tokoh utama dengan kakeknya yang mulai pikun. Amelia Nuraisyah Quinsi Jemy, dengan cerita berjudul Brownies dari Mama, menggambarkan bagaimana lembut dan agungnya kasih sayang seorang ibu, yang dilambangkan oleh keindahan kenangan tentang sebuah kue brownies. Ramadhani Ayu Wiguna, lewat cerita Persahabatan Si Betung, mengangkat cerita persahabatan antara rumpun bambu, burung pipit, dan tikus tanah. Laksita Judith Tabina, mengangkat cerita dengan judul Pengorbanan Bu Ilma, yang menggambarkan bagaimana tulusnya perjuangan seorang guru dalam mengantarkan muridnya meraih prestasi. Nurmawulansari Rahadian, menulis cerita dengan judul Kutemukan Pelajaran dalam Perjalanan, yang menggambarkan betapa pentingnya bersatu dalam sebuah ikatan persahabatan. Safira Ulinnuha, menulis cerita dengan judul Bidadari Penjaga Hati, yang menggambarkan perjuangan seorang kakak dalam menjaga adik tercintanya. Tiara Indah Permata Hati, menulis cerita dengan judul Nisa Sayang Bunda, yang menggambarkan penyesalan seorang anak yang selalu menyepelekan pentingnya kehadiran seorang ibu. Kemudian Devita Mayanda Heerlie, menulis cerita

dengan judul Satu Hari Bersama Adikku, yang menggambarkan kemesraan hubungan antara kakak beradik yang kadangkala disertai pertentangan.

Sedangkan Dita Aulia Firdiana, lewat cerita dengan judul Malaikat Sekolah Hutan, memilih tema yang hampir sama dengan pemenang ke dua Nafisa Nurul Izza, yakni keberpihakannya terhadap kelestarian lingkungan alam. Keduanya sama-sama mengemas cerita dalam bentuk fabel.

Demikianlah beragam teknik dan cara bertutur telah ditunjukkan dengan

kekhasan masing-masing penulis dalam menuliskan ceritanya. Sesungguhnya masih ada banyak hal istimewa yang bisa dicatat dari hasil perjuangan mereka, hingga kemudian diundang sebagai finalis ke Jakarta, dan ditetapkan sebagai pemenang.

Seperti Laksita Judith Tabina misalnya, yang tinggal di kampung terpencil di lereng gunung Dieng, Wonosobo. Siapa menyangka dengan minimnya fasilitas yang disediakan sekolah, dengan sulitnya menjangkau toko buku, tapi ia telah menerbitkan puluhan buku serta meraih belasan penghargaan di tingkat nasional? Kemudian

(10)

Temanggung, yang dengan upaya kerasnya dalam mendapatkan buku-buku bacaan

secara mandiri, telah berhasil menerbitkan beberapa buku serta penghargaan dari penerbit besar di negeri ini.

Terakhir adalah catatan istimewa dari peraih beberapa kali penghargaan sains

dan matematika, Devita Mayanda Heerlie, yang datang dari Pontianak, Kalimantan Barat. Devita Mayanda Heerlie, yang juga peraih puluhan penghargaan melukis dari berbagai lembaga internasional, bercita-cita menjadi seorang pengusaha. “Saya telah

merintis usaha dengan membuka beberapa toko di Pontianak. Saya merancang sepatu, merancang kaos, serta beragam hiasan rumah yang dilukis dengan tangan saya sendiri. Saat sekarang memang omsetnya masih terbilang kecil, akan tetapi suatu saat saya akan mengembangkan usaha ke kota-kota lain yang lebih besar.” Predikat sebagai

“pengusaha kecil” telah membawa Devita menjadi tamu istimewa dalam acara Kick-Andy, sebuah acara yang memiliki peringkat cukup tinggi di sebuah statsiun televisi di Jakarta. Berapakah usia Devita sekarang? Ia lahir pada Mei 2003. Maka jika dihitung

pada hitungan 2013 di tahun ini, usia Devita baru memasuki tahun ke 10. Kegemaran pada buku-buku bacaan, telah meluaskan wawasan Devita dalam menyerap berbagai hal positif dalam memandang masa depan.

13 pemenang telah mencatatkan keistimewaannya masing-masing. Mereka adalah para pecinta buku, para pejuang gigih, penerus generasi yang kelak akan menjadi bagian penting dari perubahan negeri ini. Selamat untuk para pemenang. Penghargaan yang tinggi kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan, dalam upaya menjaring mereka-mereka yang berprestasi.

(11)

Tim Juri

Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA)

No. N a m a Unit Kerja Jabatan

Dalam Tim

1 Dr. Taufiq Ismail Sastrawan/Majalah Horison Ketua

2 Dr. Yetty Mulyati, M.Pd UPI Bandung Anggota

3 Dra. Nenden Lilis Aisyah, M.Pd UPI Bandung Anggota

4 Drs. Khalid A. Harras, M.Pd UPI Bandung Anggota

5 Joni Ariadinata, S.Pd Sastrawan/Majalah Horison Anggota

6 Dra. Priscila Fitriasi Limbong, M.Hum UI Depok Anggota

7 Drs. Adi Wicaksono Sastrawan Anggota

8 Dr. Ganjar Harimansyah, M.Hum BPP Bahasa Anggota

9 Rayani Sri Widodo Sastrawan Anggota

10 Drs. Sori Siregar Sastrawan Anggota

11 Syahrial, M.Hum UI Depok Anggota

(12)

Kata Sambutan iii

Muara Kasih di Pangkuan Bunda

Joni Ariadinata iv

Tim Juri xi

Pelangi untuk Jingga (Sherina Salsabila) 1

Cerita Bringbun dan Chikuita (Nafisa Nurul Izza) 12

Maafkan Aku, … Kek (Ahmad Ali Ashshidiqi) 23

Brownies dari Mama (Amelia Nuraisyah Quinsi Jemy) 31

Persahabatan Si Betung (Ramadhani Ayu Wiguna) 41

Pengorbanan Bu Ilma (Laksita Judith Tabina) 52

Kutemukan Pelajaran dalam Perjalanan (Nurmawulansari Rahadian) 61

Biar Kuno Tapi Keren (Kefira Arviadita Sutantio) 69

Bidadari Penjaga Hati (Safira Ulinnuha) 88

Malaikat Sekolah Hutan (Dita Aulia Firdiana) 98

Nisa Sayang Bunda (Tiara Indah Permata Hati) 106

Satu Hari Bersama Adikku (Devita Mayanda Heerlie) 116

(13)

Pelangi untuk

Jingga

(14)

P

ulang sekolah siang itu, aku turun dari becak. Membayar ongkos, dan segera membuka pintu pagar. Tiba-tiba pita rambutku ditarik oleh seseorang dari belakang. Tapi aku sudah tidak kaget lagi, karena pastilah itu si Jingga. Aku menoleh padanya sambil tersenyum. Jingga pun tertawa dengan girang, sembari berlari menuju rumahnya.

Usia Jingga sebaya denganku. Seandainya dia normal, barangkali saat ini Jingga juga telah duduk di kelas 6 sepertiku. Wajahnya cantik, dengan mata sedikit sipit. Muka cantik itu selalu terlihat polos, apalagi kalau ia sedang diam. Tak seorang pun akan menyangka kalau Jingga adalah anak yang berkebutuhan khusus.

Jingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Ia hanya bisa mengucapkan beberapa kata, dan kata yang sama selalu diucapkan berulang-ulang. Aku dan Jingga berkawan baik. Kami bertetangga, dan sama-sama tinggal di komplek perumahan yang padat penduduk.

Jingga jarang keluar dari rumah. Kedua orangtuanya melarang Jingga untuk sering bermain di luar. Karena selalu saja ia menjadi bahan olok-olok, diejek, bahkan dijauhi. Tidak hanya anak-anak saja, bahkan para orangtua mereka pun, seringkali tak mau anaknya bermain dengan Jingga.

Tapi tidak demikian halnya denganku. Aku selalu tetap berusaha untuk menerima Jingga apa adanya. Bahkan Mama dan Papa sangat senang ketika aku bisa bermain dan tertawa bersama Jingga. Kata Mama, alangkah baiknya jika kita bisa menemani Jingga. Mengajari ia untuk mengenal hal-hal unik diluar sana, yang mungkin belum Jingga ketahui.

(15)

lukisanku, untuk mandi dan berwudhu lantaran harus menunaikan sholat.

Ketika kembali ke ruang belajar itulah, aku melihat Jingga sedang tertawa gembira. Tak ada yang aneh dengan kebiasaan Jingga yang seperti itu. Tapi..., seketika kakiku terasa lemas. Kepalaku langsung pusing seketika. Lukisanku! Ya Allah, lukisan itu. Aku melihat Jingga tengah mencorat-coret lukisanku, menyembur-nyemburkan cat air dengan kuas, sambil tertawa gembira! Lukisan yang telah susah payah aku kerjakan beberapa hari ini, hancur dalam sekejap. Rusak akibat goresan cat air yang ditorehkan Jingga di atasnya....

Aku segera meraih lukisan itu, dan berlari menuju kamar Mama. Aku berlari sambil menangis, dengan air mata tak terbendung. Jingga juga ikut berlari dan tertawa senang di belakangku. Barangkali ia mengira aku mengajaknya bermain petak umpet seperti biasanya.

Dalam pelukan Mama, aku menangis sejadi-jadinya. Aku mengadu sambil memperlihatkan lukisan yang telah dirusak Jingga.

Mama menghiburku dan mengajakku untuk memperbaiki lukisan itu. Tapi mana mungkin? Aku tak akan mungkin sanggup mengulangnya lagi dari awal. Karena lukisan itu harus diserahkan besok pagi kepada Panitia Lomba. Ah, percuma saja aku menghabiskan tenaga, mengeluarkan semua emosiku berhari-hari. Kini yang tinggal hanyalah balasan tawa geli dari Jingga. Bahkan sepertinya ia mengejek, dan ikut memberi saran mustahil, dengan mengacung-acungkan tangannya ke atas. Huhhh..., aku benar-benar sangat kesal pada kamu, Jingga!!

Sepertinya Mama memahami perasaanku pada Jingga. Dengan lembut Mama membujuk Jingga agar menjauh dariku. “Pulanglah Jingga, besok pagi boleh bermain lagi.”

Setelah Jingga pulang, aku memandang lukisan yang hampir sempurna itu dengan perasaan hancur. Betapa tidak, di balik gunung yang berwarna hijau bersih itu, seharusnya adalah langit biru cemerlang. Tapi kini telah diubah oleh Jingga, menjadi warna-warni yang tak beraturan. Sedih, marah, dan sangat kecewa.

(16)

Papa. Dengan lembut Papa memberi semangat padaku, agar mau memaafkan Jingga, dan menghiburku agar bisa memperbaiki lukisan itu tanpa membuatnya dari awal lagi. Papa meyakinkanku bahwa aku pasti bisa mengolah lukisan itu menjadi lebih indah lagi, karena kata Papa aku memiliki jiwa seni yang bagus. Setelah mengecup keningku, Papa meninggalkan aku diruang belajar itu sendirian.

Papa saja yakin aku bisa membuatnya jadi lebih bagus, mengapa aku tidak? Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Lalu aku meletakkan lukisan itu diatas meja gambar, mengeluarkan peralatan dengan lengkap, dan mulai berimajinasi dengan lukisanku. Aku melihat coret-coretan Jingga, mematut gradasi warna-warni itu..., aha...!! Aku tahu bahwa semburat pelangi di balik bukit itu akan membuat langit biru menjadi sangat indah. Yup.., pelangi yang indah seperti namaku, Pelangi.

Aku mengerjakan lukisanku sambil membayangkan wajah Jingga yang sedang tersenyum manis. Huffttttt, akhirnya selesai juga. Sekarang lukisan itu menjadi jauh lebih hidup. Aku tersenyum puas. Kemudian memperlihatkan lukisan itu kepada Mama dan Papa yang berada di ruang tamu. Mama memuji karyaku, Pelangi.

“Ini benar-benar jauh lebih indah dari yang tadi, Sayang...,” Mama memelukku. Papa menyambung pujian Mama, “Betul sekali. Itu semua karena ada sebuah pelangi yang cantik menghiasi langitnya.” Aku pun mencium pipi Mama dan Papa seraya berterimakasih telah memuji karyaku ini.

Aku segera masuk kamar dan tidur. Rencananya besok pagi setelah mengirim lukisan itu ke Kantor Pos, aku akan membelikan es krim buat Jingga. Sebagai tanda permintaan maafku padanya. Sungguh aku menyesal telah memarahi Jingga.

***

(17)

Dengan tak sabar aku membukanya. Dengan perasaan gemetar aku membaca isi surat, yang ternyata adalah sebuah pemberitahuan. Ya Tuhan! Dalam surat itu tertulis bahwa aku, menjadi pemenang Lomba Melukis Tingkat Kotamadya!! Dan hebatnya lagi, aku menjadi juara satu.

Betapa senangnya hatiku. Aku langsung berlari menemui Mama. Mama sangat senang sekali, dan berkata bahwa kemenanganku ini adalah berkat andil Jingga. Aku pun memeluk sahabatku itu dengan bahagia, dan bertekad dalam hati akan mengajari Jingga melukis.

Sejak saat itu, setiap Jingga bermain ke rumahku, aku selalu menyediakan kertas serta krayon. Sambil menggoreskan krayon di atas kertas, aku mengajari Jingga nama-nama warna. Juga tak lupa mengeja warna-warna itu dalam bentuk kata. Hari demi hari berlalu bersama Jingga, kami gembira kala menggambar dan belajar mengucapkan nama benda yang kami warnai. Ternyata Jingga anak yang luar biasa berbakat. Lihatlah sekarang, dia sudah tahu nama semua warna. Bahkan Jingga juga sudah mampu mengucapkan banyak kata.

Suatu sore, hujan baru saja berhenti Jingga berlari menuju rumahku sambil membawa peralatan gambarnya. Tapi dia tidak segera masuk seperti biasanya, hanya berdiri di pinggir pagar rumahku. Dari sana dia berteriak dan meloncat-loncat gembira seraya memanggilku dengan gerakan tangannya. Aku pun keluar menemuinya.... Tahukah kamu teman, apa yang diperlihatkan Jingga padaku?

Dia menunjuk ke arah langit dan memperlihatkan gambar yang telah dibuatnya. Karena ia begitu heboh, beberapa teman lain di komplek itu juga ikut mendekati kami. Lalu dengan sangat jelas Jingga berkata, “P E L A N G I..!”

(18)

Semakin hari Jingga semakin ceria. Sekarang Jingga sudah tidak lagi seperti Jingga yang dulu, Jingga yang dijauhi dan dibenci oleh semua orang, perlahan-lahan sirna. Kini Jingga sudah memiliki banyak teman, dan sudah bisa bergaul dengan siapa saja.

Kegembiraan kami di sore itu meyakinkan aku akan satu hal. Bahwa kasih dan sayang yang tulus, akan menghantarkan banyak kebahagiaan dalam hidup kita.

Aku melihat langit. Sebuah pelangi muncul di antara deretan awan. Indah sekali, seperti mewakili persahabatan kami. Aku dan Jingga. [*]

Mengenal Lebih Dekat

Sherina Salsabila

Asalamualaikum. Hai..., kenalan yuuk. Namaku Sherina Salsabila, biasa dipanggil Sherina atau Sher. Aku lahir di Padang, 29 Oktober 2000. Sekarang aku akan menceritakan keseharianku.

Aku tinggal bersama kedua orangtuaku, di sebuah rumah sederhana di tengah perumahan yang padat penduduk. Rumahku tidaklah besar, tapi sangat nyaman buat aku dan kedua adikku. Kami senang karena punya banyak teman bermain. Teman-teman disekitar rumah kami berasal dari latar belakang suku yang berbeda-beda. Ada yang dari Padang, Manado, Jawa, Batak, Ambon juga Bali dan Aceh. Kami hidup rukun dan saling membantu satu sama lain. Biasanya kami bermain kejar-kejaran atau main sepeda dan petak umpet di lapangan berumput dekat mesjid.

Rumahku tidak begitu jauh dari SD-ku yang dulu. Kami bertiga bersekolah di sana. Kami biasa berangkat sekolah terkadang berjalan kaki, atau naik sepeda, tapi yang lebih sering dibonceng sepeda motor diantar Papa.

(19)

SDN Jatirahayu VIII Bekasi. Di SD ini jugalah, guruku menemukan bakat terpendamku sebagai penulis. Sekolah memberi banyak masukan, informasi penting juga kritik dan saran. Seperti Lomba Menulis Cerita (LMC) yang diadakan oleh Kemendiknas ini, aku diberitahu oleh pihak sekolah, dan pada saat mengikuti lomba sekitar bulan Juni 2012 aku masih tercatat sebagai siswa kelas 6 SDN Jatirahayu VIII Bekasi.

Ibu Kepala Sekolah beserta guru-guruku di sini turut mendorong dan sangat memotivasi kemajuanku untuk terus berkarya. Seperti pada saat meminta tandatangan Kepala Sekolah sebagai salah satu persyaratan LMC, beliau dengan senang hati meluangkan waktunya yang sibuk untukku.

Pernah juga ketika aku memenangkan Children Helping Children, lomba menulis tingkat Nasional yang diadakan oleh Tupperware Indonesia pada tahun 2010, Kepala Sekolah memberikan izin kepadaku selama 4 hari untuk mengikuti karantina di acara itu. Tidak itu saja, bahkan beliau menyediakan satu bus besar untuk membawa rombongan 50 orang teman-temanku beserta 3 orang guru pendamping untuk menyemangati aku diacara penyerahan penghargaannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Aku senang berteman dan aku punya banyak sahabat. Temanku ada di sekolah, di dunia maya, bahkan aku punya teman dari luar negeri yang sering berkomunikasi denganku via email dan internet. Dan teman-teman bermainku di rumah, paling suka berkumpul di rumahku, seperti Raif, Aang, Tauik, Daniel, Alda, Yunita, Rio juga Rachel. Mereka semua adalah sahabatku diwaktu SD, walaupun sekarang kami semua sudah SMP dan tidak sekolah di tempat yang sama lagi. Tapi kami masih sering bermain bersama, atau sekedar janjian berkumpul lagi di SD kami, karena SD Jatirahayu VIII tempat kami menuntut ilmu selama 6 tahun itu letaknya strategis dan juga nyaman. Selain mereka, aku juga punya teman bermain yang lain yaitu Dohar, seorang anak perempuan seusiaku yang berkebutuhan khusus. Dohar jugalah yang menjadi inspirasi dari ceritaku.

(20)

sangat suka membaca. Sejak dari usia 4 tahun aku sudah sangat tertarik pada cerita yang ada gambarnya. Memang pada waktu itu aku belum bisa membaca, tapi suka dan tertarik pada Majalah Bobo, Donal Bebek dan buku-buku cerita bergambar lainnya. Semakin usiaku bertambah, kegemaranku membaca semakin besar. Buku-buku yang aku koleksi mulai beragam, ada cerita anak, komik Jepang, serial Barbie, dongeng, cerita fantasi seperti Harry Potter atau novel-novel remaja bahkan novel dewasa koleksi mama seperti Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata dan Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Semua buku itu aku suka, karena banyak memberiku semangat untuk meraih cita-cita dan impianku di masa depan. Semua buku-buku yang aku baca itu menginspirasiku untuk bisa membuat sebuah cerita yang juga asyik dibaca.

Maka mulailah aku menulis di diary yang selalu saja cepat habis halamannya. Atau aku mencoba menulis cerita di atas selembar kertas, kemudian memperlihatkannya kepada mama, papa, dan adik-adikku. Ide-ide cerpenku banyak terinspirasi dari kehidupanku sehari-hari. Ternyata cerita-cerita pendek yang aku tulis sangat disukai dan digemari oleh kedua adikku yang juga senang membaca. Karena aku dan keluargaku adalah keluarga yang sederhana, maka untuk membeli sebuah buku yang harganya lumayan mahal, kami harus bersabar menunggu uang tabungan cukup.

Aku menyisihkan sedikit demi sedikit uang saku yang diberi mama, yang jumlahnya juga tidak banyak. Setelah terkumpul baru kami ke toko buku untuk membelinya. Tapi.., tak jarang juga saat uang untuk membeli buku sudah terkumpul, ehh... malah bukunya sudah habis, hehehehe....

Tapi setelah aku pikir-pikir, justru hambatan-hambatan dan seperti itulah yang membuatku tidak kehabisan akal, agar adik-adikku bisa membaca cerita yang baru. Kenapa tidak aku saja yang membuatkan mereka cerita? Yaaa, itulah awalnya aku mulai membuat cerita pendek. Aku tulis yang rapi lalu aku ketik di komputer sekolah atau warnet, diberi judul yang menarik serta ditambahi beberapa gambar yang aku buat sendiri.

(21)

di sebuah perusahaan swasta. Beliau berdua selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan kami, terutama untuk kepentingan sekolah dan buku-buku.

Adik-adikku juga memiliki bakat yang luar biasa, Queen Aura yang sekarang duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar. Dia tomboy dan juga sangat suka membaca, dan berbakat sekali membuat cerita bergambar. Sudah pernah ikut lomba juga, walau belum pernah menang.

Adikku yang bungsu Princeyla Aughea baru duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Dia adalah anak yang luar biasa karena dari bayi sudah terbiasa dikelilingi oleh banyak buku. Tahukah kawan, di usia 3 tahun adikku ini telah lancar membaca. Mereka berdua juga sudah mulai menulis, walau masih sebatas diary dan cerita-cerita tentang keseharian.

Kedua orangtuaku sangat mendukung hobi dan kesenangan kami membaca. Demi melihatku yang senang menulis, dan selalu bolak-balik ke warnet untuk mengetik, akhirnya mamaku mengusahakan membelikan aku seperangkat komputer. Walau tidak baru, tapi lengkap dengan printer dan modemnya. Aku sangat senang sekali, karena komputer itu sangat banyak manfaatnya buat kemajuanku menulis.

Prestasi yang aku raih dalam bidang menulis ini belumlah banyak, namun demikian beberapa judul karanganku seperti “Aku dan Siti Sahabat Abjad” menjadi Juara III Nasional Tingkat SD, Children Helping Children Tupperware Indonesia pada 2010.

Beberapa waktu yang lalu karyaku yang berjudul “2 Sahabat, 7 Pohon dan 7 Impian” juga berhasil menjadi Juara I Nasional Tingkat SD, Children Helping Children Tupperware Indonesia pada bulan Juni 2012.

Dan sampai hari ini, karyaku yang aku beri judul “Pelangi untuk Jingga” menghantarkan aku sampai ke sini, menjadi 15 Finalis Terbaik LMC Kemendiknas SD/MI 2012.

Bercerita tentang proses kreatifku membuat “Pelangi untuk Jingga” ini, cukup singkat. Setelah aku melihat tema LMC aku memilih tema ‘kasih sayang’ dan memang latar belakang cerita ini adalah kisah keseharianku bermain dengan teman yang bernama Dohar. Dohar adalah seorang anak yang berkebutuhan khusus yang dalam istilah medisnya disebut dengan Autis.

(22)

dia membuat semua orang jengkel. Tapi berbeda dengan keluargaku, orangtuaku dapat memahami bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus seperti Dohar juga berhak mendapatkan penerimaan yang sama seperti anak lainnya. Maka mama dengan senang hati menerima semua keonaran yang dibuat Dohar di rumah kami. Aku juga berusaha menempatkan Dohar sebagai teman yang sama normalnya denganku, mengajaknya bermain, mengajarkannya mewarnai, bermain alat musik, mengajaknya dan mengajarkannya membaca buku-buku cerita bergambar. Semua pengalamanku bersama Dohar itulah yang akhirnya melahirkan sebuah cerpen yang berjudul “Pelangi untuk Jingga”. Kenapa judulnya begitu? Karena Dohar sangat suka sekali menyanyikan lagu Pelangi-Pelangi, dan warna kesukaannya adalah warna jingga.

Kalau ditanya berapa jumlah buku yang pernah aku baca antara tahun 2011 dan 2012, aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti, karena begitu banyaknya buku yang aku baca. Barangkali ada lebih dari 30 buku.

Aku punya impian yang belum kesampaian, yaitu memiliki perpustakaan sendiri di rumah, agar buku-buku koleksi kami juga bermanfaat buat teman dan orang-orang di sekitarku. Tapi untuk mewujudkannya mungkin masih butuh waktu, mengingat kondisi rumahku yang masih mengontrak dan kecil.

Untunglah aku memiliki papa yang kreatif, papa membuatkan “rumah yang nyaman” untuk semua koleksi bacaan kami yaitu sebuah peti yang antik dari kayu bekas packingan. Peti itu unik sekali kalau ditutup dia berubah jadi sebuah meja, dan ketika dibuka berubah menjadi kotak harta karun kami, hehehehe....

Tapi aku tidak pernah patah semangat untuk mewujudkan imipianku. Karena aku pernah membaca sebuah kalimat dari sebuah novel bahwa ‘Jangan pernah meremehkan mimpi setinggi apapun, karena Allah Maha Mendengar’ dan mengamini. Kalimat itu itu saya dapat dari novel Negeri 5 Menara “Man jadda wajadda Man shabara zhaira..!” Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil, dan siapa yang bersabar akan beruntung. Juga aku selalu ingat pesan dari mamaku, bahwa “bila kamu melakukan segala hal dengan baik, maka hasil yang akan kamu dapat adalah hasil terbaik”

(23)

banyak impian yang ingin diraih. Tentu dengan segudang kegiatan ekskul juga tugas-tugas sekolah yang menumpuk, karena aku di kelas 7 ini, Alhamdulillah lulus tes masuk kelas unggulan. Juga terpilih menjadi pengurus Osis, ditunjuk sebagai Ketua Bidang Berbangsa dan Bernegara. Aktif sebagai Paskibra di sekolahku dan juga sekarang bergabung dalam beladiri Pencak Silat. Semua kegiatan positif yang aku ikuti itu semakin menunjang kemampuanku dalam menulis. Karena banyak hal dari keseharianku itu, yang bisa aku tuangkan dalam tulisanku.

Aku juga sangat peduli dengan teman-temanku sesama pelajar di negeri ini. Aku prihatin dengan banyaknya tawuran pelajar antar sekolah yang banyak memakan korban nyawa. Menurutku sekarang ini, anak-anak sekolah terlalu banyak mengkonsumsi informasi yang tidak sehat dari media televisi juga internet. Pihak sekolah juga harus menambahkan lagi tentang budi pekerti, kasih sayang, etika dan kegiatan sosial yang membangkitkan rasa welas asih dan empati buat sesama. Tapi tentunya semua itu juga harus didukung secara penuh oleh keluarga dan orangtua di rumah. Karena menurutku, anak yang mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari keluarganya akan mempunyai rasa simpati dan empati yang kuat untuk lingkungan diluar dirinya.

(24)

Cerita Bringbun

dan Chikuita

(25)

K

utilang. Begitu nama yang diberikan bangsa manusia kepada kami. Sedangkan sahabat-sahabatku biasa memanggil aku Chikuita. Ya, Chikuita, yang artinya si Kutilang yang suka bercerita.

Hobiku jalan-jalan. Aku suka pergi ke pinggiran hutan. Aku juga suka pergi ke, persawahan, kebun, atau pepohonan rimbun di taman-taman kota ini. Di sana aku biasanya bercerita tentang apa saja pada semua sahabatku bangsa lora dan fauna.

Seperti itulah yang aku lakukan pagi ini. Aku mengunjungi sahabatku Bringbun (Beringin rimbun). Bringbun tumbuh di salah satu pojok Balaikota. Saat aku berkunjung seminggu lalu, buah Bringbun masih kecil-kecil dan mentah. Mudah-mudahan saat ini sudah banyak yang matang. Jadi aku bisa menikmati buahnya sambil bercerita dengan dia.

O ya, Bringbun sahabatku ini termasuk pohon yang pintar dan tahu banyak hal. Mungkin karena letak Bringbun di pojok Balaikota. Kata Bringbun, setiap hari banyak sekali orang yang duduk-duduk di bawahnya. Mereka ada yang ngobrol, ada yang berdiskusi, ada yang membaca koran, majalah, buku, atau internet di laptop yang mereka bawa. Jadi, secara tidak sengaja Bringbun suka mendengarkan diskusi orang-orang itu, atau menguping saat mereka sibuk ngobrol. Bahkan, seringkali Bringbun ikut membaca buku, majalah, koran, atau informasi-informasi yang ada di internet tersebut. Nah, karena aku juga ingin pintar seperti dia, makanya aku sering sekali mengunjungi Bringbun. Selain ingin mendengarkan berita-berita terbaru dari dia, aku juga bisa menikmati buahnya yang lumayan enak.

Tidak sampai tiga puluh menit meluncur dari markasku di Taman Hutan Raya Kota, aku sudah sampai di salah satu dahan Bringbun. Setelah mengucapkan salam dan menanyakan kabar, aku minta ijin menikmati buahnya yang telah matang. Sambil makan buahnya, dalam hati aku heran dengan sikap sahabatku ini. Tidak seperti biasanya, pagi ini Bringbun sangat pendiam. Padahal biasanya, setiap aku datang dia langsung nyerocos bercerita tentang berbagai hal. Kini Bringbun terlihat kaku dan hanya membisu. Salamku saat datang tadi, juga hanya dijawabnya dengan singkat saja. Ada apa ini, kataku dalam hati.

(26)

itu. Tadinya Bringbun tampak ogah-ogahan bercerita. Tapi setelah aku desak, akhirnya dia mau juga curhat kepadaku.

“Tadi malam seseorang hendak membakarku, Chikuita. Dia mengatakan, bahwa tak ada gunanya pohon tumbuh di sini. Untunglah ada yang mencegah.”

“Syukurlah kalau begitu. Tetapi kenapa engkau masih sedih? Bukankah engkau telah selamat?”

“Sahabatku Chikuita, aku sedih karena masih saja ada manusia yang tidak mengerti. Tahukah kamu, Chikuita, bahwa selama ini kamilah bangsa pepohonan di kota ini, yang paling menderita?” tanya Bringbun.

“Kenapa kau berkata seperti itu Bringbun?” Aku balik bertanya. “Begini Chikuita. Tiap hari, kami bangsa pepohonan, dari pagi hingga larut malam harus bekerja keras menyerap polusi udara. Udara-udara kotor penuh racun itu, dikeluarkan dari berbagai kendaraan milik bangsa manusia. Setiap hari jumlah kendaraan semakin bertambah banyak, sementara jumlah pepohonan semakin sedikit. Padahal kami harus mengubah udara yang kotor dan beracun tersebut, menjadi oksigen bersih yang dibutuhkan manusia,” demikian Bringbun mengawali curhatnya. Aku hanya mengangguk-angguk, mendengarkan curhat Bringbun yang panjang lebar. Sambil terus menikmati buahnya.

“Kamu tahu Chikuita. Walaupun pekerjaan rutin semacam ini melelahkan, tapi kami tulus dan ikhlas melakukannya. Karena memang begitulah tugas utama kami, ketika diciptakan Tuhan. Kami bahagia bisa memberikan manfaat kepada bangsa manusia.” Suara Bringbun terdengar ditekan, seolah-olah seluruh kesedihan hendak ia tumpahkan. Aku mengangguk setuju, dan menunggu cerita selanjutnya.

“Tapi tahukah balasan apa yang kami terima? Balasan dari sebagian besar bangsa manusia penghuni kota ini, kepada kami?”

Aku terdiam dan menunggu.

“Semakin padat dan kotor kota mereka, maka semakin banyak bangsa kami dianiaya, dirusak, bahkan dibantai!” kini suaranya terdengar marah dan kesal.

“Masukdmu bagaimana, Bringbun?” tanyaku tidak paham.

(27)

Bringbun berhenti berbicara. Aku sungguh terkejut mendengar hal ini. “Sekarang ini aku mulai sakit, Chikuita,” kata Bringbun melanjutkan. “Paku-paku itu, lama-lama berkarat, dan mengotori aliran getahku. Menghambat suplai makanan dari akar menuju daun. Kemarin-kemarin aku masih bisa berusaha bertahan.”

“Kenapa mereka tega melakukan itu, Bringbun?” aku spontan kembali bertanya.

“Karena bangsa manusia selalu meremehkan yang lain. Selalu ingin mudah, dan murah. Mereka memasang poster, pengumuman, iklan-iklan, bahkan bendera-bendera, dengan memaku dan memotong dahan-dahan seenaknya. Bahkan memaku tubuh-tubuh kami dengan besi, lalu meninggalkan besi-besi itu, untuk mereka pergunakan kembali pada saat dibutuhkan.”

Aku segera menghentikan makanku, dan melihat-lihat dahan Bringbun. O la la.., Aku hitung, hanya dalam satu dahan saja, hampir ada tiga puluhan paku berbagai ukuran yang menancap. Belum pada batangnya, aku melihat ratusaan paku, hingga besi-besi yang menonjol, sungguh mengerikan. Aku bergidik dan membayangkan betapa sakitnya.Karena mungkin sudah lama, sebagian besar paku-paku tersebut sudah berkarat.

“Dengan banyaknya paku yang menancap itu, tubuhku jadi luka-luka dan sakit. Pembuluh getahku banyak yang terputus. Akibatnya jalur saluran makananku menjadi terhambat. Untungnya batangku cukup besar, jadi aku masih bisa bertahan. Tapi bagaimana coba, dengan teman-temanku pohon-pohon yang masih kecil itu? Kalau di tubuhnya penuh paku, dia bisa kering dan akhirnya banyak yang mati sia-sia!”, ujar Bringbun kembali terlihat marah dan kesal.

“Ya, ya, kamu benar Bringbun,” kataku membenarkan.

“Selain melukai kami dengan paku dan besi, tangan-tangan jahil bangsa manusia juga tega-teganya menyayati kulit batang tubuh kami dengan belati dan pisau kater. Mereka mencoba menuliskan namanya, atau nama gengnya, di tubuh kami. Mereka menyayati kulit tubuh kami, tanpa berpikir bahwa perbuatan itu membuat kami sakit. Betapa kejamnya mereka, bukan? Dikiranya dengan melakukan hal itu, nama mereka akan terkenal. Sungguh-sungguh biadab.”

(28)

pohonnya yang kering. Lebih banyak daun Bringbun yang mulai berwarna kuning

“Masih ada satu lagi perbuatan biadab yang menyiksa. Banyak manusia yang tidak pernah berpikir, dengan tega membakar sampah di dekat kami! Benar-benar tidak memiliki perasaan. Alasan mereka sungguh sederhana sekali. Hanya karena mereka tidak ingin repot membuang daun-daun kering bangsa kami, ke tempat sampah. Mereka tega membakar daun-daun itu, di dekat kami,” kini suara Bringbun memelas dan menyayat hati.

“Akibat perlakuan itu, aku dengar banyak teman-temanku di sepanjang jalan kota ini yang mati. Daun-daunnya meranggas, batangnya melepuh, lalu kering dan tumbang. Kalau sudah demikian, mereka dengan gembira menjadikannya kayu bakar. Bayangkanlah Chikuita, kami pepohonan di kota ini, yang telah banyak berjasa pada manusia, akhirnya hanya menjadi kayu bakar,” kali ini Bringbun meneteskan air mata. Aku pun jadi ikut terharu.

“Aku tahu penderitaanmu, sahabatku Bringbun. Kami juga, bangsa burung, sesungguhnya juga sangat menderita. Semakin padat dan kotor kota ini, semakin banyak kami mengalami musibvah. Kami banyak ditangkapi dan diperjualbelikan,” kataku balik bercerita kepada Bringbun.

“Memang sebagian dari kami diberi sangkar, bahkan ada yang sangkarnya sangat indah. Selain itu kami juga diberi makanan yang enak-enak. Tapi apa artinya diberi sangkar yang indah, serta makanan yang enak-enak, jika setiap hari kami dikurung?”, kataku melanjutkan cerita. Bringbun tampak mulai tertarik mengikuti ceritaku.

“Selain diperjualbelikan, kami juga ramai-ramai dibunuh. Bukan untuk diambil dagingnya, tapi dibunuh untuk kesenangan. Kami diketapel, atau ditembaki menggunakan senapan angin, betul-betul semata-mata hanya untuk kesenangan saja. Padahal katanya, kami dilindungi undang-undang. Tapi kenyataannya, para penembak, pemburu, dan penjual burung, tak pernah mendapat hukuman. Jadi, nasib kita sesungguhnya sama, Bringbun...,” kataku.

(29)

Katanya, di bawah ada dua orang remaja yang mencoba memburuku dengan ketapelnya. Aku jadi kaget dan panik.

Belum lagi aku mencoba terbang, tiba-tiba benda keras kembali menyerempet tubuhku. Bringbun kembali berteriak-teriak menyuruh aku segera kabur. Bahkan, ia kini menggoyang-goyangkan seluruh cabang, dahan dan ranting-rantingya. Akibatnya, daun-daun kering dan debu-debu yang menempel di Bringbun serentak berjatuhan dan membuat mata kedua pemburu itu kelilipan. Keduanya terdengar berteriak-teriak kesakitan sambil menguceki matanya.

Bringbun kembali berteriak memintaku agar segera kabur. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Walaupun sayapku sedikit pegal, aku segera mengambil kepak seribu. Aku pamitan dan langsung kabur meninggalkan sahabatku Bringbun yang masih terus menggoyang-goyangkan seluruh tubuhnya. Sedangkan di bawah Bringbun, kedua pemburu jahat itu masih berteriak-teriak kesakitan. Karena selain keduanya matanya kelilipan, juga tubuhnya tampak bentol-bentol akibat kejatuhan ulat bulu. Keduanya terus berteriak-teriak dengan kedua tangannya sibuk menggaruki tubuhnya yang gatal.

Sambil aku pulang kembali ke markasku di Taman Hutan Raya, dalam hati aku bersyukur dan yakin bahwa masih ada Tuhan Maha adil. Segala perbuatan pasti akan mendapatkan balasannya. Jika kita berbuat baik akan berbuah kebaikan, dan jika kita jahat akan berbuah keburukan pula. [*]

Mengenal Lebih Dekat

Naisa Nurul Izza

(30)

Alamat rumah di jalan Alamanda IX no.4, Gempolsari Indah, Bandung. Di sini, nama-nama blok berasal dari nama bunga, seperti, Alamanda, Tulip, Mirabilis, Bougenville, dan lain-lain. Lingkungan tempat tinggal saya cukup luas, karena termasuk komplek perumahan yang padat. Rumah saya memiliki 5 kamar tidur, perpustakaan, 1 mushala kecil, ruang tamu, dan ruang keluarga yang menyatu dengan meja makan. Di samping halaman depan ada taman mini yang tumbuh pohon Mangga dan Nangka, plus 1 kolam ikan. Nangka disamping buahnya kami makan, juga untuk menjernihkan sumur resapan air hujan yang ternyata dapat kami gunakan untuk keperluan sehari-hari. Karena air hasil resapan itu cukup jernih untuk digunakan.

Pinggir taman dipasangi beberapa kawat untuk menjemur pakaian. Mangga yang berbuah, kami makan, dan saking banyaknya, kami sering membagikannya pada tetangga. Bahkan pedagang yang lewat, juga seringkali kebagian rezeki mangga yang matang.

Sehari-hari kami menggunakan air sumur resapan, hingga jarang menggunakan air PDAM. Di belakang rumah terdapat sawah yang terbentang, cukup luas. Pagi-pagi, saya biasa membuka jendela dan melihat matahari bersinar amat cerah. Sedangkan kamar Teteh berada tepat di depan sawah. Kami bisa melihat bagaimana pak Tani membajak sawah dengan kerbaunya, dan melihat bu Tani serta pak Tani menumbuk padi.

Saya sangat senang tinggal disini. Semua tetangga saya baik-baik dan ramah. Dari komplek saya tinggal, ke mana-mana cukup dekat. Mau ke supermarket, warung, sekolah, toserba, tempat photocopy, tempat sablon, atau ke tempat-tempat penjual makanan yang enak.

(31)

Seperti, mulai dari cara berpakaian ala anak Rock, Punk, Rock n Roll, dan lain-lain. Baju memakai kaus yang kotor, kumal, serta celana boxer atau celana jeans yang kedodoran sehingga tak jarang boxer yang dipakai kelihatan. Rambut diwarnai sedemikian rupa dan bermodel Mohawk, yang sedang trend di masa anak muda sekarang. Kulit dihiasi oleh luka gores yang belum kering, akhirnya meninggalkan bekas luka yang banyak. Penampilan dan lingkungan sekitar rumah di perkampungan kota itu, juga jauh dari namanya bersih dan rapi. Biasanya ke mana-mana mereka bergerombol, membentuk gengnya sendiri.

Rutinitas sehari-hari mereka adalah berkumpul, mengobrol hal-hal yang menurutku tidak penting dan sangat tidak bermutu. PS, Game Online adalah santapan yang mambuat ketagihan setiap hari. Game Online tak jauh dari Point Blank, AyoDance, Striker Strike dan entah apa lagi. Warnet menjadi tidak nyaman akibat makian dan umpatan kasar para pemain, juga kepulan asap rokok yang sangat mengganggu. Malah, lebih parah lagi adalah kelayapan malam-malam adalah sudah dianggap biasa. Paling mereka hanya nongkrong disuatu tempat, mengobrol atau berpacaran sampai larut malam. Merokok juga sudah menjadi bagian dari hidup. Memang tidak semuanya merokok, tapi sedikit demi sedikit kegiatan merokok ini menyebar ke segala usia. Sering kuintip mereka merokok di tempat yang sepi bersama gengnya masing-masing. Rokok sudah menyelip di belakang telinga. Sehingga hanya perlu pemantik atau korek api, maka kepulan asapnya sudah tidak dapat dihindari lagi. Sungguh memprihatinkan, sehingga saya suka malas pulang melewati daerah itu pada sore atau malam hari.

(32)

dinamai Cheers Little, dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok senior dan junior. Senior biasanya jika sudah ada junior (anak baru) dan sudah lama, biasanya kelas 4 sampai kelas 6. Sedangkan junior biasanya kelas 1 sampai kelas 3 SD.

Prestasi saya di sekolah cukup membanggakan. Meski tak selalu ranking di setiap tahun ajaran, namun saya selalu bisa masuk 5 atau 10 besar. Mata pelajaran yang saya sukai adalah IPA, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, olahraga, kesenian, dan komputer. Rata-rata nilai saya selalu bagus pada semua mata pelajaran ini. Sedangkan untuk mata pelajaran lain, nilai saya hanya terbilang cukup.

Saya memiliki banyak teman baik di kelas. Meskipun di antara mereka, terutama teman laki-laki, ada yang memiliki sifat jahil. Ada juga yang (menurut saya) tak memiliki sopan santun kepada teman. Dia sangat senang mengatai temannya sendiri dengan kata-kata pedas. Teman-teman saya yang perempuan juga sering diejeknya. Tapi ia kemudian mendapat hukuman, karena rata-rata semua teman sebal padanya.

Menurut saya, lebih menyenangkan duduk di bangku kelas 6 SD. Dibanding kelas sebelummnya, di kelas 6 SD kami lebih disiplin belajar, serta memiliki guru yang semuanya menyenangkan. Juga yang terutama, karena di kelas 6 ini kami masuk jadwal pagi. Sebelumnya, yakni di kelas 3-5 kami mendapat kelas siang. Kami semua senang bisa menikmati sekolah pagi.

Setiap hari, saya bangun pada pukul setengah empat, atau terkadang jam lima pagi. Menunaikan shalat dan siap-siap pergi ke sekolah. Lalu, siangnya sehabis berganti baju dan makan, saya sempatkan untuk tidur siang. Menonton TV, lalu pergi mengaji bakda maghrib dan menunaikan shalat berjamaah bersama di pengajian. Pulang pada saat Isya, shalat, mengerjakan PR, menonton televisi sebentar sampai mengantuk lalu tidur. Tak lupa menyikat gigi dan mencuci muka. Begitu setiap hari. Pada hari minggu, saya dan teman-teman biasanya mengadakan janjian lari pagi ke Sumbersari. Karena di sanalah tempat tujuan orang lari pagi yang paling dekat dari rumah kami.

(33)

biasa bermain karet, sondah, bermain boneka BP, guru-guruan, rumah-rumahan, petak umpet, dan lain-lain. Dulu, pada waktu kelas 3, saya dan teman-teman di rumah suka mencari sampah yang bisa dibakar, dikumpulkan di depan taman. Kami membakar sampah-sampah itu sambil menari-nari seperti suku Indian. Ramai sekali. Sampai, orangtua kami sering melarang karena khawatir akan terjadi kebakaran.

Terkadang kami bermain dengan anak-anak dari wilayah lain. Biasanya kami bermain bancakan, boy-boyan, atau ucing bola. Bancakan adalah permainan yang menggunakan batu besar sebagai pijakan, serta pecahan keramik atau genteng yang disusun. Boy-boyan hampir sama dengan bancakan, sedangkan ucing bola adalah permainan saling rebut antara kucing dan bola. Semua permainan itu, adalah permainan khas anak-anak suku Sunda di tempat saya tinggal.

Di rumah, saya mendapat tugas untuk menyiram tanaman, menyapu halaman depan, dan mencuci piring. Terkadang, saya suka malas hingga dimarahi. Entah karena capek, atau sedang badmood hingga suka malas bekerja. Sam pai kelas 5 SD, saya memang lebih suka bermain di luar. Kadangkala, menjelang maghrib baru pulang. Sekarang saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Seluruh pembagian pekerjaan, kini saya kerjakan dengan senang hati.

Hobi saya salah satunya adalah menulis. Saya sangat suka menulis cerita. Dari kecil, ayah selalu mendorong saya untuk menulis. Saya iri dengan kakak (teteh) yang sudah memiliki banyak prestasi di bidang ini. Bahkan karya teteh telah berkali-kali dimuat di koran.

Saya juga sangat suka membaca. Waktu kecil, saya biasanya melihat dari sampul buku, gambar dan judulnya. Kalau kira-kira menarik, saya baca dulu depannya. Kalau asyik, pasti saya habiskan buku dengan cepat. Saya memang selalu haus akan bacaan.

(34)

Hingga kemudian saya memutuskan untuk mengikuti LMCA ini. Awal saya menulis Bringbun dan Chikuita ini, karena saya sangat bersimpati dengan penderitaan pohon. Banyak sekali pepohonan yang berada di perkotaan yang kokoh menjulang, seperti akasia, angsana, serta beringin, yang tidak terurus. Lebih-lebih pohon-pohon yang berada di tepi jalan raya. Banyak pohon yang daunnya sedikit , berguguran, hingga mengering dan tumbang. Kemungkinan karena di sekitar akarnya, telah dipadatkan dengan semen dan trotoar. Tentu saja air hujan tidak bisa meresap, ditambah tak ada kepedulian orang-orang untuk memeliharanya. Yang paling memprihatinkan lagi, pada batangnya seringkali ditempeli iklan, bahkan poster-poster, serta bendera-bendera. Karena dianggap gratis dan murah, maka pohon-pohon itu banyak dipaku. Paku-paku itu, tentu saja lama kelamaan akan berkarat. Sangat miris sekali. Mengingat jasa pohon itu sesungguhnya begitu besar. Mereka bertugas menyerap karbondioksida, termasuk racun-racun dari asap kendaraan, menjadi oksigen yang dapat kita hirup. Belum lagi kalau pohon itu berbuah, belum lagi fungsi pohon sebagai peneduh. Apalagi jika mengingat bahwa sekarang jarang sekali ada hutan yang lebat. Padahal hutan adalah penyelamat dunia. Mereka berfungsi sebagai paru-paru bumi.

Lalu saya tambahkan Chikuita sebagai penambah saksi kekejaman manusia. Burung-burung semakin langka karena diburu, di ketapel, diperjualbelikan. Sehingga, beberapa waktu lalu, berita tentang ulat bulu menyerang beberapa desa di Jawa Tengah. Itu karena faktor kelangkaan burung yang biasa memakan ulat.

Nama Chikuita ini saya dapatkan ketika mama saya mendengarkan lagu-lagu dari kelompok musik ABBA. Salah satu lagu yang diputar itu begitu indah, dan saya menyukainya. Ketika saya tahu bahwa judul lagu itu adalah Chikuita, maka saya kemudian menjadikannya tokoh dalam cerita saya.

(35)

Maafkan Aku, … Kek

(36)

A

ku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Namaku Anggito Wiryawan. Aku biasa dipanggil ‘Tito’. Aku dilahirkan di Sorong, 10 Februari 2001. Aku adalah siswa kelas enam di SD Al Irsyad Kota Sorong, Papua Barat. Dua kakak perempuanku telah kuliah dan tidak tinggal serumah dengan orangtuaku. Kakak pertama bernama Paramitha Wiryawan. Dia kuliah di STIS Jakarta. Kakak kedua bernama Maharani Wiryawan. Dia kuliah di AMG Jakarta. Kakak perempuan ketiga bernama Windyani Wiryawan. Dia biasa dipanggil ‘Windy’, dan masih tinggal serumah dengan orangtuaku karena masih kelas 2 SMA.

Ayahku bernama Wiryanto. Dia seorang pelaut yang bekerja di kapal udang. Dia sering berlayar meninggalkan kami selama 2 – 3 bulan. Ibuku bernama Wantini seorang guru di sebuah SMPN di Kota Sorong. Nama belakangku dan kakakku adalah gabungan antara nama ayah dan nama ibu. Selain itu tinggal pula kakek di rumahku. Dia adalah orang tua dari ayahku. Dahulu kakek juga seorang pelaut. Dia seorang prajurit Angkatan Laut. Sedang nenek sudah meninggal lebih dulu. Rumah kakek telah dijual oleh anak-anaknya. Kakek tidak mempunyai rumah lagi. Kakek meminta tinggal di rumah kami, karena rumah kamilah yang paling besar.

Seperti biasa ayah pergi berlayar dengan kapal udangnya. Suasana rumah serasa sunyi. Jika ayah di rumah, ayah pasti orang yang sering menegurku kalau aku terlalu lama bermain. Misalnya bermain Play Station, Online, dan nonton televisi. Jika ayah pergi, ibu yang menegurku, tetapi tidak sekeras ayah. Suatu hari sepulang sekolah, ibu membawa kabar yang mengejutkan. Ibu mengatakan, ”Ibu mendapat tugas untuk penataran ke Jakarta”. Aku bertanya, ”Berapa lama, Bu?”

“Hanya dua minggu,” jawab ibu.

Kepalaku langsung pusing. “Apa jadinya kalau dirumah tanpa ibu selama dua minggu?” tanyaku dalam hati. Sehari sebelumnya, Kak Windy juga berangkat ke Bandung untuk mengikuti pekan karya ilmiah. Aku bingung membayangkan harus menjaga kakek yang telah pikun. Ingin rasanya kularang ibu agar tidak pergi, kataku dalam hati. Tetapi tidak bisa, karena ini adalah salah satu tugas ibu sebagai guru.

(37)

adalah tetangga sebelahku yang sangat dipercaya ibuku. Bude Ning juga adalah teman SMA ibuku. Jadi, wajar jika ibu meminta tolong pada Bude Ning.

Tiga hari kemudian, ibu berangkat ditemani oleh rekan guru dari sekolah ibu. Aku tidak mengantar karena harus sekolah. Di sekolah, aku berpikir bagaimana menjaga kakek yang pikun. Melihat wajahku yang bingung, Fandi memanggilku. Fandi adalah sahabat yang sangat kupercaya walau dia penganut agama Kristen Protestan.

“Mengapa kamu melamun?” tanya Fandi.

“Aku ditinggal ibuku. Terpaksa aku harus menjaga kakek yang pikun.” jawabku.

“Kamu harus sabar,....” kata Fandi.

Aku sedikit bingung dengan perkataan Fandi. Sepertinya masih ada kata-kata yang akan diucapkannya. Jam satu siang aku pulang sekolah. Setelah mengganti baju, kemudian aku makan siang. Kulihat piring bekas kakek makan siang. Nasi putih, sayur rebung dan ikan goreng kusantap dengan cepat karena lapar. Tiba-tiba aku mendengar suara kakek. “Tito ambilkan piring, Kakek mau makan.” kata kakek.

Aku terkejut. “Bukankah Kakek sudah makan?” tanyaku. “Kakek belum makan, dari tadi Kakek tidur”, jawab kakek. Aku mengambil piring dengan pikiran bingung.

“Mana ikan kuah kuningnya? Kenapa kamu habiskan, itu makanan kesukaan Kakek?” tanya kakek sambil marah.

“Kek, hanya ada ikan goreng, bukan ikan kuah kuning”, jawabku. Kakek tetap membantah. Kakek menyuruhku meminta di Bude Ning. Aku menjawab, ”Tidak mau, aku malu. Bude kan punya tiga anak laki-laki yang sudah besar, pasti makannya juga banyak”. Walaupun begitu kakek tetap memaksaku. Aku mengalah. Aku teringat kata-kata Fandi, kita harus sabar kepada orang tua.

(38)

menelpon dan menceritakan kejadian tadi kepada ibu. Ibu menasihatiku agar sabar. Ibu menyuruhku shalat dzuhur karena waktu shalat sudah hampir habis.

Hari ini libur sekolah, karena para guru mengikuti KKG yang diadakan di sekolahku. Setelah shalat subuh aku tidur lagi. Jam delapan pagi, kakek membangunkanku untuk pergi sekolah.

“Aku libur, Kek” jawabku lalu tidur lagi.

Tetapi akhirnya, aku bangun juga karena kakek terus menepuk-nepuk punggungku. Setelah makan pagi, aku menonton televisi. Saat itu di Trans TV sedang ditayangkan Islam Itu Indah bersama Ustadz M. Nur Maulana yang terkenal dengan sapaan, ”Jamaaah... Alhamdulillah.” Ustadz sedang membahas masalah merawat orang tua. Beliau berkata, ”Merawat anak lebih mudah daripada merawat orangtua, karena merawat anak semakin lama semakin pintar. Sebaliknya merawat orang tua semakin lama semakin menjengkelkan. Tetapi kalau kita sanggup dan sabar dalam merawat orangtua, maka Allah SWT menjanjikan pahala surga”.

Nyaris saja aku menitikkan air mata. Aku hampir tidak mau lagi merawat kakek yang pikun. Aku pun berdoa kepada Allah SWT agar kakek tetap sehat dan daya ingatnya masih baik. Aku harus membalas budi karena kakek yang menjaga aku ketika ibu dan ayah bekerja. Aku juga berdoa, semoga anakku dan cucuku akan merawatku dan tidak kesal jika aku sedikit pikun dan pelupa. Kakek, maafkan kesalahanku, doaku dengan sangat khusyuk.

Tiba-tiba terdengar suara, ”Braak”. Aku segera berlari ke kamar kakek. Aku melihat kakek terlentang di lantai. Aku menangis dan berteriak meminta tolong. Aku menggoyang-goyang tubuh kakek, tetapi kakek diam saja. Suami Bude Ning, Pakde Anton, datang ke rumah. Aku melihat ia menelpon seseorang. Beberapa saat setelah Pakde Anton menelpon seseorang, ada mobil datang dan Pakde membawa kakek ke rumah sakit. Aku masih menangis ketika Bude Ning datang ke rumah. Bude menceritakan kalau kakek harus dirawat di rumah sakit. Bude berkata, “Pakde sudah menelpon ayah, mungkin besok lusa ayah baru tiba. Mas Bin akan menemani kamu”.

(39)

masuk, kakek sedang berbicara dengan orang yang datang menjenguk kakek. Mungkin teman lama kakek . “Ini cucu laki-laki saya, ganteng ya, dia selalu ranking satu”, kata kakek sambil tertawa membanggakanku didepan teman kakek. Dalam hati aku berkata, “Ternyata kakek sangat bangga dan sayang kepadaku”. Aku jadi sedih mengingat kelakuanku pada kakek selama ini. Walau aku memperlakukan kakek dengan tidak baik, tetapi kakek membanggakan aku di depan teman-temannya.

Siang itu, ayah dan aku pergi ke Bandara. Kami menjemput Kak Windy yang tiba dari Bandung. Setelah membawa koper ke rumah, kami langsung menuju ke rumah sakit. Di depan kamar kakek, kami mendengar kakek sedang mengaji. Kami mengetuk pintu, lalu kami masuk. Kakek tersenyum lebar ketika melihat kak Windy.

“Apakah kamu mendapat juara?” Tanya kakek. Kak Windy menggelengkan kepala dengan lemas. Kak Windy terlihat sangat lesu.

“Tidak apa-apa, kegagalan itu biasa. Kamu harus lebih giat belajar.” Tiba-tiba aku dikejutkan dengan tepukan kakek pada bahuku, ”Tito juga harus rajin belajar dan lebih sayang kepada orangtua. Hiburan boleh saja tetapi tidak boleh berlebihan”.

Kemudian kakek mengatakan kalau kakek ingin tidur. Kami pun pergi ke warung makankarena kak Windy belum makan. Sepulang dari warung makan, kami membawa makanan kesukaan kakek, papeda dan ikan kuah kuning. Aku menepuk bahu kakek dengan perlahan agar kakek bangun. Tetapi kakek tidak kunjung bangun. Wajahnya terlihat damai saat tidur.

Ayah menyuruh seorang suster agar melihat keadaan kakek. Bagai disambar petir, ketika suster berkata kakek telah meninggal dunia.

Aku sangat menyesal. Aku merasa akulah yang menyebabkan kakek meninggal karena kelakuanku yang tidak baik. Aku begitu sedih dan menyesal dengan apa yang kulakukan. Air mataku terus berlinang sambil memohon maaf kepada kakek. “Maafkan Tito, ya Kek. Tito menyesal tidak berbuat baik kepada Kakek selama ini. Ya Allah Ampunilah salah dan dosaku. Belum sempat aku berbuat baik kepada Kakek, tetapi mengapa Engkau telah memanggilnya? Ampuni juga dosa Kakek.Terimalah amal ibadahnya. Tempatkanlah Kakek di surga-Mu, amiien, amiien yaa robbal alamin” pintaku dalam doa.

(40)

Di suatu sore yang cerah, kami berempat duduk-duduk. Bunga eforbia telihat mekar dengan indah. Aku ingat, kakek paling senang melihat bunga ini saat mekar. Setelah aku melihat bunga eforbia, ayah mengajakku ke bandara. Ternyata, sekarang ibu akan pulang.

Kami menjemput ibu. Kulihat wajah ibu campur aduk antara sedih dan senang. Tanpa sepengetahuanku, kak Windy memberitahu ibu jika kakek telah meninggal. Setelah pulang dari bandara, aku ke ruang keluarga, kubuka album foto. Ada foto kakek sedang menggendongku. Ada juga foto kakek bersama kakak-kakak perempuanku. Kalau diperhatikan, wajahku mirip dengan wajah kakek.

Biasanya anak mirip dengan orangtuanya, namun aku berbeda. Aku lebih mirip dengan kakekku daripada orangtuaku. Tidak terasa air mata telah mengalir di pipiku. Aku harus merelakan kepergian kakek. Aku sekarang mengerti apa yang dirasakan Fandi ketika dia menasehatiku. Ternyata kakek Fandi juga telah meninggal.

Adzan magrib terdengar ditelingaku. Aku pun ke masjid dan berdoa agar kakek dirahmati Allah SWT dan orangtuaku tidak meninggal begitu cepat.

Tak beberapa lama libur berakhir. Kehidupanku kembali seperti dulu, walau kakek telah meninggal. Kita harus menjaga orangtua dengan sabar, karena hidup mereka tidak lama lagi dan mereka bisa saja akan pikun. Kata-kata yang terakhir kuucapkan untuk kakek, “Selamat tinggal, Kek.” [*]

Keterangan: papeda adalah makanan pokok di Papua, terbuat dari sagu.

Mengenal Lebih Dekat

Ahmad Ali Ashshidiqi

(41)

burung kasuwari yang teramat indah dengan bulu-bulunya, juga merak burung yang megah.

Sayangnya, aku tidak tinggal di pedalaman, atau pedesaan yang memiliki alam seperti itu. Aku memang lahir di Sorong, Papua Barat, pada 15 Oktober 2001. Tapi aku tinggal di kota, dan seperti kota-kota lainnya, memiliki pemandangan yang tidak bagus.

Lingkungan di sekitar tempat tinggalku sangat bervariasi. Di depan rumah, ada sungai. Bukan sungai besar seperti di hutan-hutan, akan tetapi sungai kota yang semakin lama semakin kotor. Banyak orang membuang sampah di sana . Di sebelah rumah, ada para tetangga. Sebelah kiri keluarga Pak Tarno, di sebelah kanan keluarga Pak Banjarnahor, sedangkan di belakang, keluarga Pak Patimura. Bisa dibayangkan, bahwa sekeliling rumahku sudah rapat dibatasi rumah. Masih beruntung ayahku sempat menanam pohon, hingga sekarang aku memiliki 4 buah pohon. Ada dua pohon mangga, satu pohon rambutan, serta satu pohon jambu. Daun-daun dari pohonku seringkali berjatuhan di jalan. Rumahku, selain di depannya ada sungai, akan tetapi juga diapit jalan. Aku membayangkan, sebetulnya lingkunganku tinggal bisa sangat permai jika setiap orang bisa memeliharanya.

Aku bersekolah Di SDI al Irsyad / VI, Sorong. Sekolahku memiliki 12 kelas, dengan bangunan yang di sekelilingnya ditumbuhi bermacam-macam tanaman. Ada yang ditanam di dalam pot, dan ada yang ditanam di halaman. O ya, saat ini halaman lapang tempat bermain tengah sedang dipasang paving blok. Paving blok dipasang, supaya halaman tidak becek. Soalnya, saat hujan, biasanya halaman sekolahku becek, dan lengket penuh lumpur. Sehingga jika tiba saatnya melakukan Upacara Bendera, seringkali sangat mengganggu. Paving

Referensi

Dokumen terkait

Maraknya kegiatan penangkapan ikan secara ilegal yang terjadi di laut Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dilansir Kementerian Kelautan dan

4.1.2.3 Pelaksanaan Pengarahan (Actuating) di Wahana Rekreasi Air Pancasan Dream Land Park Banyumas. Proses pengarahan dalam manajemen yang ada di Pancasan Dream Land

Masjid Nurul Amal – Komplek Perguruan Muhammadiyah Kebayoran

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prediksi Struktur Sekunder Protein menggunakan Hidden Markov Model pada Imbalanced Data adalah benar karya saya

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)

Pada sistem yang berjalan untuk melakukan controlling data penjualan terdapat beberapa kendala mulai dari proses pelayanan customer masih dilakukan dengan manual

Tabel I.3 Data Hasil Survei Pendahuluan pada Pegawai Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pangkalpinang .... Tabel I.4 Data Spesifikasi Jabatan Pegawai Struktural di

Panggabean (2017), meneliti tentang The Effect of Good Corporate Governance and Environmental Performance on Financial Performance of the Proper Listed Compan on