• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kefira Arviadita Sutantio

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 81-89)

A

drian duduk di bangku perpustakaan. Perpustakaan sekolahnya memang selalu sepi. Kebanyakan murid kurang tertarik dengan keadaan perpustakaan sederhana itu. Catnya sudah banyak yang mengelupas, karena tidak pernah di perbaiki sejak sekolah pertama dibuka. Beberapa bangku sudah tidak terlalu kokoh. Tak heran perpustakaan ini selalu sepi.

Adrian membuka buku biograi tentang penyanyi barat favoritnya. Adrian suka segala sesuatu yang kebarat-baratan. Mau ditanya tentang artis, budaya, tarian, apapun yang dari barat khususnya Amerika, pasti dia tahu. Bahkan, dia koleksi CD-CD lagu barat dan ilm-ilmnya. Sedangkan pengetahuannya tentang budaya Indonesia sangat sempit. Tari Kecak saja tidak tahu. Padahal, banyak warga mancanegara sudah mengenal budaya kita yang satu ini.

Tiba-tiba keheningan pecah. Kinar si ketua kelas menyerbu bangku yang diduduki Adrian. “Dri, sudah ada ide mau menampilkan apa untuk pentas seni kali ini?” Kinar bertanya pada Adrian, yang merupakan wakil ketua kelas. Adrian terbelalak dan buku yang ia pegang terlempar. “Belum ada ide, tuh. Bukanya pentas seni masih sesudah liburan?” Adrian membenarkan posisi duduknya dan mengambil buku biograi yang jatuh itu.

Bibir Kinar membentuk senyuman lebar, lalu ia berkata dengan penuh semangat, “Aku dan beberapa teman sudah berencana untuk membuat Lenong Betawi. Pasti lucu kan? Aku sudah bisa membayangkan wajah teman-teman saat melihat aksi kita nanti.” Adrian menatap Kinar dengan kebingungan: “Lenong itu apaan sih?” Kinar terbelalak lalu menjawab Adrian sambil setengah berteriak; “Itu loh, acara lawakan Betawi! Masa kamu tidak tahu?”

“Sst!” Pustakawan segera mendiamkan Kinar dan Adrian. Mereka lupa kalau itu adalah perpustakaan. “Maaf, Pak,” Adrian dan Kinar mengucapkan maaf lalu segera keluar. Di sana mereka melanjutkan percakapan. “Yang benar saja, kamu tidak tahu, Dri?” Giliran Kinar yang kebingungan. “Memang aku tidak tahu kok, lalu, kenapa kalau aku tidak tahu?” Adrian menjawab sambil mengangkat bahunya. “Aduh! Di pelajaran PLBJ kan ada! Itu termasuk salah satu kesenian khas dari daerah DKI Jakarta! Tempat tinggal kita! Ampun deh… Masak kamu tidak tahu?” Kinar menjelaskan sambil berteriak.

“Ah… kesenian dari Indonesia kuno! Enggak keren! Aku nggak suka! Kalau bukan budaya Amerika aku nggak mau ikut!” Adrian segera memutar badannya, lalu bergegas pulang meninggalkan Kinar. Kinar masih berdiri tertegun. Tidak tahu harus berbuat apa. Dengan berat hati ia pun akhirnya berjalan pulang.

Sesampainya di rumah, Adrian segera menyetel musik sekencang- kencangnya. Lagu Barat mulai mengalun, seraya Adrian mengeluarkan buku PR Matematikanya. “Seandainya aku tinggal di Amerika. Pasti orang-orang di sana tidak sekuno di sini. Contohnya, tuh si Kinar.” Adrian bergumam kesal. Dia memutar otak bagaimana caranya agar dia bisa pergi ke sana. “Kesenian Indonesia payah.” Lanjutnya.

“Adrian…Adrian..!” Ibunya memanggil. Adrian menutup bukunya, lalu segera menemui ibunya di dapur. “Ya, Bu. Ada apa?” Adrian menjawab “Tolong belikan ibu margarin dan minyak goreng di toko Pak Budi! Sepertinya kita kehabisan. Uangnya ada di laci samping televisi.” Ibunya berkata kepada Adrian. Adrian segera membuka laci lalu mengambil uang. Tanpa membuang waktu, ia segera mengambil sepeda birunya dan pergi ke toko.

Baru separuh jalan, bau sampah menusuk hidung Adrian. “Ukh… baunya…,” Adrian bergumam kesal sambil mengayuh sepedanya cepat- cepat. Hal ini semakin membulatkan tekadnya untuk pergi ke Amerika. Ia percaya kalau di sana pasti udaranya lebih baik dan tingkat polusinya lebih rendah. Tak lama, seorang pengemis tua menghampiri Adrian. “Minta sedekah, Nak…” pengemis itu memohon belas kasihan.

“Belum lagi tingkat kemiskinan tinggi dan pendidikannya rendah,” Adrian bergumam lagi. Adrian terus mengayuh sepedanya menuju toko Pak Budi dekat rumahnya. Setibanya di toko, Pak Budi langsung menyapa Adrian dengan ramah, “Sore, Dri! Mau beli apa?” “Mentega dan minyak goreng, Pak. Titipan Ibu.” Adrian menjawab sambil menyodorkan uang titipan ibunya. Setelah mentega dan minyak goreng di tangan, Adrian iseng bertanya pada Pak Budi “Pak, aku tuh sebetulnya ingin sekali pergi ke luar negeri. Kalau bisa sih ke Amerika. Ada nggak ya, yang tahu informasi soal ini. Bapak kan pasti sering dengar obrolan banyak orang. Iya kan?”

Pak Budi tertawa, tapi kemudian ia menjawab, “Ah, kamu itu ada-ada saja. Tapi sebentar, kayaknya sih pernah denger dari Mika. Tetanggamu

itu loh…,” Pak Budi berpikir, seperti mengingat-ingat sesuatu.

“Mika? Mika pernah cerita apa?” Adrian kembali bertanya dengan rasa penasaran.

“Katanya sih Mika pernah ke Amerika, dengan program homestay dari sekolahnya gitu…,” Pak Budi berusaha mengingat apa yang dikatakan Mika.

“Oh ya? Homestay? Ooo... iya, tantenya Mika kan pemilik lembaga kursus bahasa Inggris yang terkenal itu,” Adrian berseru gembira. Ia sangat senang mendapatkan informasi yang begitu berharga.

“Wah, terima kasih Pak Budi. Saya akan segera tanya-tanya ke sana.”

Adrian mengayuh sepedanya pulang dengan penuh semangat. Ia akan minta izin. Mau bagaimanapun caranya. Adrian sangat penasaran ingin melihat langsung negeri impiannya itu.

Sesampainya di rumah, Adrian segera mengutarakan keinginanya. Ibunya berjanji akan membantu jika informasi itu benar, asalkan nilai akhir semesternya baik. “Harus diatas nilai 9,” begitulah syarat yang diajukan ibunya.

Adrian pun dengan penuh semangat belajar dan berkonsentrasi penuh agar mendapatkan nilai memuaskan.

Hari pembagian rapor pun tiba. Adrian sangat tegang dan gugup. Ibu guru menyerahkan rapor kepada Adrian. Adrian segera membuka lembar rapornya, dan tertera dua kata, naik kelas dan tertera nilai rata- rata 9.2 . Adrian senang sekali! Ia dengan bangga menunjukkan hasil jerih payahnya selama setahun duduk di kelas lima kepada kedua orangtuanya. “Bagus Dri. Kalau begini, kamu boleh ikut program homestay. Ibu akan segera membicarakannya dengan tantenya Mika,” ibu Adrian menepuk pundak Adrian dengan penuh rasa bangga. Adrian tersenyum lebar. Impiannya akan segera terwujud.

Minggu pertama liburan telah lewat. Sekarang tanggal 25 Juni. Adrian sudah mempersiapkan segala kebutuhanya. Ia akan mengikuti program homestay selama 15 hari di Amerika, tepatnya di kota New York. Di sana ia akan tinggal di rumah keluarga Mr Jones. Adrian sudah berlatih bahasa Inggris dengan gigih, termasuk mengingat serta mempergunakan kata-kata yang umum digunakan di sana. Ia juga sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi 22 jam penerbangan.

Setelah lama duduk di pesawat, Adrian menjejakan kaki di kota New York, Amerika. “Wah! Bandaranya besar sekali!” Adrian terkagum- kagum sambil menengok ke sekeliling. Tak lama ia bertemu dengan seorang Bapak tinggi-besar. Dia memperkenalkan diri sebagai Mr Jones. Adrian berjabat tangan dengannya, lalu segera masuk ke mobil pribadi Mr. Jones.

Adrian terkagum-kagum melihat pemandangan kota New York di malam hari. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahaya warna-warni. Dari kejauhan ia juga melihat Empire State Building yang terkenal. Adrian sangat kagum, akhirnya ia melalui jalan di Times Square yang sudah sangat ia inginkan.

Tetapi, kenyataan ia tidak hanya melihat gedung-gedung tinggi yang indah. Terlihat juga banyak hal-hal tak terduga yang semrawut, seperti papan reklame yang menawarkan berbagai produk dengan model berpakaian seksi. Juga terdapat toko-toko yang menjual produk dewasa yang tidak lazim dijual di Indonesia. Keadaan lalulintasnya juga tak seberapa berbeda dengan di Jakarta. Di pinggir jalan, ia juga sering melihat gelandangan. Sungguh ia tidak menyangka, kalau keadaan Amerika ternyata tidak begitu berbeda dengan keadaan di Indonesia.

Sesampainya Adrian di rumah Mr. Jones, tidak ada satupun anggota keluarga yang menyambutnya. Ketika ia masuk, tidak ada satupun orang yang menyapa Adrian dengan ramah. Mereka hanya menatap Adrian, memberikan senyuman kecil, lalu kembali pada kesibukannya masing- masing. Adik memanggil kakak langsung dengan nama. Bahkan seorang anak memanggil ayah dan ibunya, juga seringkali langsung menyebut nama. Bukankah menurut adat isitiadat Indonesia, hal ini dinilai tidak sopan? Sungguh Adrian mulai merasa kurang nyaman. Padahal baru beberapa jam ia tiba di negeri impian.

Saat malam tiba, ia tidur di kamar tamu Mr.Jones. Samar- samar ia mendengar suara Mr Jones bertengkar dengan istrinya. Ia membayangkan apabila ayah dan ibunya bertengkar. Pasti suasana di rumah sangatlah tidak enak.

Esok harinya, Adrian dengan penuh semangat membereskan tasnya. Hari itu adalah hari pertama kegiatan program homestay dilakukan. Mr. Jones mengantar Adrian ke Kaplan School, tempat Adrian akan bertemu dengan anak-anak program homestay lainya dari

seluruh dunia. Adrian tidak sabar untuk bertemu dengan teman-teman barunya.

Ketika Adrian sampai di ruang kelas, ia melihat beberapa anak sudah hadir. Tak lama, seorang anak berkebangsaan Thailand menyapa Adrian: “Hello, my name is Chailai. I come from Thailand. How about you?” Anak perempuan itu menyodorkan tangannya. Adrian membalasnya: “I’m Adrian. I come from Indonesia.” Tak lama setelah Adrian mengucapkan kata Indonesia, seorang anak laki-laki menghampiri Adrian dan Chailai.

“You’re from Indonesia? Awesome! My name is Kim Bae Chin. Call me Bae Chin. I have heard a lot of Indonesia!” Anak laki-laki itu ternyata berkebangsaan Korea. “Yes, I am.” Adrian menjawab Bae Chin, sedikit kebingungan. Apa yang hebat dari Indonesia sampai dia senang begitu? Chailai menimpali Bae Chin: “Indonesia is a beautiful country, and known for their culture right? I’ve already learned about Bali, it’s like a paradise island, and the Pendet dance is very cool dance.” Adrian masih terpana. Kok mereka bisa tau tentang tarian Pendet segala. Apa yang hebat dari kebudayaan Indonesia? Tari pendet saja dia malah tidak tahu.

Adrian, Chailai, dan Bae Chin duduk bersebelahan. Begitu kelas dimulai, guru menyuruh murid-muridnya untuk berkenalan dan menceritakan sedikit mengenai negaranya masing-masing. Adrian sangat terkejut, karena semua anak yang hadir mengerti tentang kebudayaan negara mereka masing-masing dengan baik, dan mereka terlihat bangga sekali. Adrian merasa malu. Teman-temanya mengenal dan memuji-muji kebudayaan negara mereka masing-masing, sementara Adrian tidak bisa bercerita banyak bahkan dalam hatinya malah menghina-hina.

Keesokan harinya, seluruh peserta program homestay mengikuti kelas bahasa Inggris. Adrian melewati kelas demi kelas dengan mudah. Di sekolahnya di Indonesia, ia sudah diajarkan bahasa Inggris. Adrian juga cepat menangkap pelajaran demi pelajaran yang diajarkan. Semua kelas bahasa Inggris dapat dilewati dengan mudah, bahkan ia membantu Bae Chin mengerjakan tugasnya.

Hari demi hari Adrian lewati di New York. Ia sudah melihat Central Park, dan Patung Liberty. Ia juga mengunjungi Bronx Zoo, kebun binatang yang terkenal di New York. Menyebrangi Brooklyn Bridge pun sudah ia rasakan. Tak terasa sudah hari ke-14. Hari itu adalah malam perpisahan,

dimana semua peserta diminta untuk menampilkan kebudayaan masing-masing. Saat pembimbing mengucapkan kalimat itu, Adrian benar-benar bingung. Ia tidak tahu harus menampilkan apa. Sang pembimbing mulai memanggil anak-anak untuk tampil ke depan.

“Kazuki, you may perform.” Pembimbing memanggil seorang anak laki-laki berkebangsaan Jepang. Ia menampilkan kesenian origami, yaitu kesenian melipat kertas. Ia mengeluarkan kertas khusus dari tasnya lalu mulai melipat. Dalam hitungan menit, kertas itu berubah menjadi bunga. Lalu ia mengeluarkan kertas lainya dan melipatnya menjadi burung. Semua yang hadir bertepuk tangan.

Setelah Kazuki, giliran Chailai. Ia menampilkan tarian khas Thailand, yaitu Sri Nuan. Setelah Chailai, Bae Chin maju dan ia memainkan alat musik khas Korea, yaitu taepyeongso yang bentuknya menyerupai terompet kecil. Satu persatu anak maju. Adrian bingung sekali. Apa yang harus ia tampilkan. Tarian? sudah pasti tidak bisa. Nyanyian? jangankan lagu daerah, lagu pop Indonesia saja tidak ada yang tahu. Waduh gawat nih, Adrian berpikir keras sampai keluar keringat dingin, Akhirnya…ting! dalam keadaan terjepit keluarlah satu ide cemerlang. Ya, aku tahu ada satu lagu Indonesia yang aku bisa, dalam hati Adrian bergumam dan mulai muncul semangatnya.

“Next is… Adrian from Indonesia.” Pembimbing memanggil Adrian untuk maju. Dengan gugup, Adrian berjalan menuju panggung. Ia membenarkan letak mic, lalu ia mulai bernyanyi lagu Indonesia Raya. Itu adalah satu-satunya lagu Indonesia yang ia bisa.

“Hiduplah Indonesia Raya…,” kalimat terakhir selesai ia nyanyikan. Tepuk tangan riuh membahana. Setelah Adrian duduk, Bae Chin mengomentari penampilan Adrian: “Was that your national song? Wow, so good!” Adrian hanya mengangguk. Dalam hati, ia merasa malu. Hanya ia yang tidak bisa menampilkan kebudayaan negaranya. Ia bertekad. Ia harus bisa menguasai kebudayaan Indonesia. Masa orang dari negara lain lebih tahu dan mengagumi kebudayaan Indonesia daripada dirinya sendiri yang sejatinya memang bangsa Indonesia. Semakin dipikir dan direnungkan, Adrian semakin malu pada dirinya sendiri atas pemikirannya selama ini.

Lagipula, setelah ia lihat-lihat lagi, kebudayaan Indonesia tidak kalah keren dari kebudayaan Amerika. Bahkan, banyak orang sudah

mengakui kebudayaan Indonesia. Menurutnya, orang Indonesia masih lebih banyak berjalan di jalan yang benar. Maksudnya, tingkat penggunaan narkoba, pergaulan bebas, pakaian yang terbuka, masih lebih rendah dari Amerika. Perlahan-lahan, Adrian mulai bangga terhadap tanah airnya.

Limabelas hari telah berlalu dan sudah saatnya Adrian pulang ke Indonesia. Adrian sudah tidak sabar untuk pulang dan bertemu kedua orangtuanya. Ia berpamitan pada Chailai dan Bae Chin. Mereka juga sudah berjanji untuk saling berhubungan. Selain itu, ia juga harus minta maaf pada Kinar karena menolak usulnya. Walaupun Adrian merasa kalau ide lawakan Betawi itu pasti sangat menarik. Setelah perjalanan panjang, Adrian kembali ke Indonesia. Betapa senangnya Adrian bertemu dengan kedua orangtuanya.

Liburan berlalu dan pentas seni semakin dekat. Kinar kembali bertanya kepada Adrian, “Dri, lenong kita kekurangan orang loh…. Kamu mau ikut tidak?” tanpa ragu-tagu, Adrian menjawab, “Ya! Saya mau ikut. Kapan latihannya? Sekarang? ”. Kinar sangat terkejut sekaligus senang dengan perubahan Adrian ini. “Wah kamu salah makan apa Adrian, kok tiba-tiba jadi bersemangat sekali ingin latihan Lenong Betawi-nya.”

Adrian hanya tersenyum lebar menanggapi keheranan Kinar. Dengan penuh semangat, Adrian pun mulai berlatih Lenong Betawi bersama teman-temannya. Lenong yang mereka tampilkan menarik sekali.

Adrian sudah mengubah pandanganya tentang kesenian Indonesia. Walaupun terkesan kuno, tapi warisan budaya ini perlu dilestarikan. Dan ternyata tidak jelek juga. Adrian sangat menikmati proses berlatih dengan teman-temanya. Ia berlatih dengan giat. Terkadang, ia juga menyemangati teman-temannya yang lain agar tidak putus asa.

Hari pentas seni pun tiba, Adrian dan teman-teman yang berpartisipasi dalam pentas seni sangat gugup, sekaligus senang. Mereka yakin mereka akan tampil dengan baik hari ini. Kostum dan segala perlengkapan untuk mendukung pertunjukan sudah disiapkan dengan baik. Tata rias juga sudah dipersiapkan oleh ibu Kinar. Pembawa acara melangkah memasuki panggung dan gong dibunyikan tanda acara dimulai. Kelompok demi kelompok menampilkan kebolehannya masing-masing dengan indah dan rapi.

Tak terasa sudah tiba giliran kelas Adrian. Mereka segera bersiap di posisi masing-masing. Ada yang masih mengingat dialog, ada yang membetulkan kostum, ada juga yang diam terpaku menunggu lampu dinyalakan.

“Ya, sekarang tiba giliran penampilan dari murid-murid kelas 5!” suara Pembawa Acara berkumandang, tanda dimulainya lenong betawi dari kelas 5.

Adrian membawakan peranya dengan jenaka. Celotehan yang dilontarkannya sukses membuat penonton tertawa. Bagian demi bagian ia lewati dengan baik. Akhirnya acara pentas seni pun selesai dengan sukses. Semua pemain membungkukan badan, lalu menghilang ke belakang panggung. Adrian pun mulai menyadari bahwa kesenian Indonesia tidak kalah dari kesenian barat. Ternyata kebudayaan Indonesia yang beragam ini, biar kuno tapi keren. [*]

Mengenal Lebih Dekat

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 81-89)