• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laksita Judith Tabina

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 64-73)

F

ira menatap bayangan tubuhnya di cermin. Bajunya tampak rapi. Wajah dan rambutnya juga. Ia kemudian meraba dadanya. Debaran jantungnya masih saja kencang. Fira kemudian mengambil napas panjang seperti yang diajarkan oleh Bu Ilma, guru Bahasa Indonesia sekaligus pembimbing pidatonya. Hingga akhirnya ia merasa tenang kembali.

“Ayo, Fira! Kamu pasti bisa!” gumamnya menyemangati dirinya sendiri.

“Fira!” panggil ibunya tiba-tiba dari luar kamar.

“Iya, Bu,” sahut Fira sambil mengambil tas sekolahnya dari atas tempat tidur.

Fira bergegas keluar kamar. Di ruang tamu Ibunya sedang berbincang dengan Bu Ilma. Mereka tampak begitu akrab.

“Bu Ilma sudah datang, Nak,” kata ibunya saat melihat Fira.

Fira mendekati gurunya, “Selamat pagi, Bu Ilma,” sapanya ramah sambil mencium tangan beliau.

“Selamat pagi,” balas Bu Ilma sambil menatap Fira penuh kasih sayang. “Kamu sudah siap?” tanyanya kemudian.

Fira mengangguk mantap, “Sudah, Bu.”

“Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang,” ajak Bu Ilma. Fira kemudian mencium tangan ibunya, “Fira berangkat dulu ya, Bu,” pamitnya. “Tolong doakan Fira.”

“Tentu, Nak,” jawab Ibu lalu mencium keningnya. “Hati-hati, ya.” Sebentar kemudian Fira dan Bu Ilma meninggalkan rumah diiringi lambaian tangan ibunya.

Sepanjang perjalanan Fira lebih banyak diam. Ia sibuk merenung. Akhirnya hari ini tiba juga. Hari di mana ia akan maju untuk mengikuti lomba pidato. Hampir 2 bulan lamanya Bu Ilma membimbing Fira dengan tekun. Hingga Fira mampu mengikuti semua petunjuk beliau dengan baik. Bu Ilma sangat puas dengan hasil latihannya. Dan Fira berharap saat lomba nanti ia tidak akan mengecewakan Bu Ilma.

Sebenarnya Fira bukan anak yang pintar bicara di depan kelas. Ia bahkan pemalu. Tapi Bu Ilma memilih dirinya untuk mengikuti lomba pidato karena menurut beliau Fira memiliki suara yang bagus dan kuat. Bu Ilma memang tidak pernah membeda-bedakan semua muridnya. Beliau selalu adil, lembut dan penuh kasih. Hingga seluruh sekolah sangat hormat serta sayang padanya.

Setiap pulang sekolah Bu Ilma melatih Fira. Waktunya tidak lama hanya sekitar 1 jam saja. Sebab Fira masih harus membantu Ibunya berjualan kue. Tapi Bu Ilma mau mengerti keadaannya. Bahkan dengan sukarela gurunya itu mengantar Fira pulang setiap habis latihan. Agar ia tidak terlambat melayani pembeli kue-kue buatan Ibunya.

Dan hari ini Fira bertekad untuk tampil dengan baik. Ia ingin membalas semua kebaikan serta kasih sayang Bu Ilma. Fira tak ingin menyia-nyiakan seluruh perjuangan dan bimbingan Bu Ilma padanya.

***

Perlahan-lahan motor yang dikendarai Bu Ilma memasuki halaman Gedung Serba Guna tempat lomba pidato diadakan. Suasana tampak ramai. Sepertinya peserta lomba kali ini banyak sekali. Fira merasa gugup hingga jantungnya berdetak kencang. Ia berjalan dengan takut- takut di samping Bu Ilma. Melihat itu Bu Ilma langsung menggenggam tangannya. Dan kehangatan tangan Bu Ilma membuat jantung Fira kembali tenang. Mereka berdua lalu menuju tempat pendaftaran. Tak lama kemudian Bu Ilma menerima sebuah nomor urut peserta untuk Fira.

“Ini nomer pesertamu, Fira,” Bu Ilma mengulurkan sebuah kertas bertuliskan angka 19 padanya.

Fira menerima kertas itu. Dalam hati ia merasa lega karena tidak mendapat giliran pertama.

“Sebaiknya nomor itu kamu sematkan di bajumu, agar tidak hilang,” nasehat Bu Ilma. “Kamu tidak lupa membawa peniti seperti pesan Ibu kemarin, kan?”

Wajah Fira mendadak pucat. Ia lupa memasukkan penitinya ke dalam tas. Padahal tadi pagi ibunya juga sudah mengingatkan. Mungkin karena terlalu gugup ia sampai melupakan peniti yang tergeletak di atas meja.

“Ma... maaf. Sa... saya lupa tidak membawanya,” beritahu Fira terbata-bata

“Sebentar,” Bu Ilma lalu mengaduk-aduk isi tasnya “Aduh, sayang sekali Ibu juga lupa,” sambungnya kecewa. “Kalau begitu Ibu beli ke toko itu dulu, ya,” Bu Ilma menunjuk sebuah toko yang ada di seberang jalan.

“Maafkan saya, Bu,” ungkapnya lagi.

“Tidak apa-apa, Fira” balas Bu Ilma lembut. “Kamu tunggu di sini saja, ya.”

Fira berdiri di halaman Gedung Serba Guna sambil memperhatikan Bu Ilma yang menyeberang dengan hati-hati. Sebentar saja gurunya itu sudah keluar dari toko yang tadi di tunjuknya. Rupanya di situ tidak menjual peniti. Bu Ilma lalu berjalan mencari toko yang lain. Sementara Fira hanya bisa menunggu dengan perasaan bersalah.

Tiba-tiba terdengar panggilan untuk para peserta lomba. Fira menjadi cemas karena Bu Ilma masih belum kembali. Ia mondar- mandir sendirian karena peserta lain sudah mulai memasuki gedung. Tapi kemudian ia melihat Bu Ilma. Wajahnya tampak cerah. Rupanya peniti yang dicari sudah didapat. Fira menunggu dengan tidak sabar. Ia berusaha memberitahu Bu Ilma. Tangannya sibuk menunjuk-nunjuk ke arah Gedung Serba Guna. Rupanya gurunya itu mengerti. Sebab Bu Ilma buru-buru menyeberang jalan sambil berlari.

CITTT....BRAKKKK!

Tiba-tiba sebuah motor yang melaju kencang menghantam tubuh Bu Ilma. Fira hanya bisa terganga.

“Tidaaaakkk...!!!” teriak Fira nyaring sambil berlari mendekati Bu Ilma yang tergeletak di jalan raya. “Bu Ilma! Bu Ilma!” jeritnya panik.

Bu Ilma hanya diam. Hingga membuat Fira ketakutan. Ia lalu menggoyang-goyangkan tubuh gurunya itu. “Bu Ilma!” panggilnya lagi.

Perlahan-lahan Bu Ilma membuka matanya, “Fi...ra,” bisiknya parau.

Airmata Fira menetes, “Bu Ilma, apa yang sakit, Bu?”

Bu Ilma menggeleng lemah. Beliau lalu mengulurkan sebelah tangannya yang masih menggenggam peniti. Sementara itu orang- orang mulai berlarian dan mengerumuni mereka berdua.

“Ini, penitinya. Kamu harus mengikuti lomba dengan baik, ya,” pesan Bu Ilma.

“Tidak!” seru Fira. “Saya mau ikut Bu Ilma ke Rumah Sakit,” tolak Fira sedih.

pinta Bu Ilma lembut.

“Tidak, Bu,” sahut Fira sambil terisak. “Saya ingin menemani Ibu,” sambung Fira. “Ini semua salah saya.”

“Bukan, Fira. Ini bukan salahmu,” bisik Bu Ilma sambil menahan sakit. “Ibu yang tidak hati-hati saat menyeberang.”

Tangis Fira semakin keras. Ia merasa sangat bersalah. Gara-gara keteledorannya Bu Ilma kecelakaan. Sementara itu dari kejauhan terdengar suara sirine ambulan. Rupanya ada yang sudah memanggilnya. Akhirnya Fira hanya dapat melihat gurunya itu diangkut dan dibawa pergi. Ia masih terus berdiri di tepi jalan meskipun ambulan itu telah lenyap dari pandangan matanya.

“Fira!” panggil seseorang.

Fira menoleh. Di belakangnya berdiri Bu Sinta, wali kelasnya. Fira tidak tahu siapa yang sudah memberitahu Bu Sinta. Ia berlari mendekati gurunya itu.

“Saya yang salah, Bu. Semua salah saya. Gara-gara saya Bu Ilma kecelakaan,” isak Fira berulang-ulang.

Bu Sinta menggeleng, “Itu musibah, Nak,” kata Bu Sinta penuh pengertian. “Sekarang kita masuk, ya. Karena lombanya sudah dimulai,” ajak Bu Sinta sambil menghapus airmata Fira dengan sapu tangan yang sejak tadi dipegangnya.

Fira hanya menurut ketika Bu Sinta membawanya masuk ke dalam Gedung Serba Guna. Saat itu peserta pertama sudah mulai berpidato. Tapi ia tidak memperhatikan. Pikirannya masih tertuju pada Bu Ilma. Dan airmatanya kembali menetes.

“Sudah, Fira. Jangan terus bersedih,” bujuk Bu Sinta saat melihat wajah Fira kembali basah. “Sekarang Bu Ilma pasti sudah dirawat. Jadi kamu tidak perlu khawatir,” sambungnya lagi. “Kita berdoa saja agar beliau cepat sembuh.”

Fira mengangguk. Tapi airmatanya tak bisa berhenti mengalir. Kesedihan masih memenuhi dadanya. Ia tidak sanggup ikut lomba. Bahkan Fira sudah lupa dengan semua isi pidatonya. Ia tak tahu harus mulai dari mana.

Satu-persatu peserta lomba pidato sudah maju. Tak lama lagi giliran Fira akan tiba. Fira merasa tak bisa ikut. Ia hanya ingin melihat dan mengetahui keadaan Bu Ilma.

“Bu Sinta,” panggil Fira pelan.

“Ada apa, Fira,” jawab Bu Sinta sambil menatap wajah Fira yang masih penuh airmata.

“Sa...saya tidak ingin maju, Bu. Saya tidak bisa,” bisik Fira.

“Fira,” kata Bu Sinta menenangkan. “Bu Ilma pasti akan kecewa kalau sampai Fira tidak ikut lomba. Dan Fira pasti tidak ingin membuat beliau sedih, kan,” sambungnya sambil menggenggam erat tangan Fira. “Sepulang lomba nanti Ibu akan mengajakmu menjenguk Bu Ilma. Kamu pasti ingin memberi beliau kabar yang menggembirakan, bukan?”

Fira terdiam. Ia sibuk merenungkan kata-kata gurunya itu. Fira teringat besarnya kasih sayang Bu Ilma padanya sampai beliau hampir mengorbankan nyawanya. Fira lalu menghapus airmatanya.

“Iya, betul. Aku tidak boleh mengecewakan Bu Ilma. Aku harus bisa tampil dengan baik,” gumamnya dalam hati. ”Bu Ilma,” bisik Fira. “Aku tidak akan menyia-nyiakan semua pengorbanan Ibu. Lihatlah, aku pasti bisa!” lanjutnya penuh tekad.

Beberapa saat kemudian namanya dipanggil. Dan Fira melangkah dengan mantap ke atas panggung. Sisa-sisa airmata masih menghiasi wajahnya yang pucat. Tapi matanya penuh tekad dan semangat.

***

Aroma obat-obatan menusuk hidung Fira. Dari tempat ia duduk, Fira mencium pialanya berulang-ulang. Ada sinar haru di matanya. Ia sangat bahagia karena bisa mempersembahkan yang terbaik untuk Bu Ilma.

“Bu Ilma,” Fira menyodorkan pialanya sebagai juara pertama lomba pidato pada gurunya yang masih terbaring dengan wajah pucat itu. “Terima kasih. Berkat bimbingan, kasih sayang juga pengorbanan Ibu, akhirnya saya bisa menjadi juara.”

“Selamat ya, nak. Ibu bangga sekali padamu,” jawab Bu Ilma sambil tersenyum lembut.

Fira menggenggam erat tangan Bu Ilma. Ia tak ingin melepasnya. Fira menatap guru yang sangat disayanginya itu dengan mata berkaca- kaca. Guru yang membimbingnya dengan tekun. Guru yang berjuang keras bahkan rela berkorban untuknya. Seumur hidup ia tidak akan pernah melupakan jasa Bu Ilma.

“Saya juga bangga pada Ibu,” balas Fira. “Dan saya tidak akan melupakan semua kebaikan Ibu. Cepat sembuh, Bu Ilma. Agar Ibu bisa mengajar lagi.”

Bu Ilma mengangguk sambil tersenyum bahagia. Dan Fira akan terus mengenang hari ini selamanya. [*]

Mengenal Lebih Dekat

Laksita Judith Tabina

Singgahlah di Wonosobo, kota dingin di kaki gunung Dieng. Sebab aku tinggal di sana, di salah satu kampung yang bernama Mulyosari. Aku sebetulnya lahir di Semarang, 19 Juni 2001, di sebuah kota yang betul- betul panas. Beruntunglah kemudian kedua orangtuaku pindah ke kampung yang berhawa dingin, tempat aku tinggal sekarang ini. Sebab aku lebih menyukai gunung daripada kota.

Kampungku selalu tampak bersih, udaranya segar, dan jauh dari polusi serta hiruk-pikuk keramaian. Sayang di kampung ini aku tidak mempunyai teman bermain. Sebab tidak ada anak-anak yang sebaya denganku.

Sekolahku terletak di tepi sebuah jalan raya. Halamannya luas dan banyak pohon-pohonnya. Samping kanan dan kiri sekolah ada perkampungan penduduk. Seperti lingkungan rumahku, lingkungan sekolahku juga selalu terjaga kebersihannya.

Karena aku tidak mempunyai teman dari lingkungan sekitar rumah, jadi aku biasa bermain dengan teman-teman sekolah, dan juga teman mengaji. Mereka biasanya bermain di halaman rumahku.

Setiap hari sehabis pulang sekolah dan les, aku lebih suka di rumah. Biasanya aku menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku cerita dan komik kesukaanku, kemudian menulis, juga bermain komputer. Tetapi setiap hari Jumat, Sabtu atau Minggu, teman-teman suka bermain ke rumahku. Dan seminggu sekali aku pergi ke perpustakaan umum

yang ada di kotaku bersama mama.

Aku tinggal bersama mama dan nenek, karena papa bekerja di luar Jawa. Sehari-harinya mama sibuk memasak, membereskan rumah, dan membaca.

Aku sudah suka menulis sejak TK B. Tetapi waktu itu baru menulis di buku harian saja. Kemudian saat kelas 1 SD ketika ceritaku diterbitkan di sebuah buku bersama teman-teman lain, aku jadi suka menulis cerita, sampai sekarang.

Buku atau majalah yang memuat karyaku, adalah sebagai berikut: 1.Ibadahku Seru (Al-Fath 2007) berisi 50 cerita pengalaman anak-anak selama bulan Ramadhan. Karyaku berjudul “Membuat Perpustakaan Pribadi” dan “Tidak Mengikuti Nasehat Mama”

2.Manik-Manik Seindah Pelangi (Penerbit Erlangga – 2010) merupakan kumpulan cerpen pemenang lomba Tupperware Children Helping Children tahun 2009. Karyaku berjudul “Semua Karena Yana”

3.Majalah Beeanglala edisi Sahabat dan Imajinasi tahun 2012 dengan judul “Kisah Sebatang Pohon Cemara”

4.Kisah Sebuah Pohon Apel (Penerbit Erlangga – 2012) merupakan kumpulan cerpen pemenang lomba Tupperware Children Helping Children tahun 2011. Karyaku berjudul “Pasukan Tangan-Tangan Mungil”.

5.Guru Kehidupan (Tirto Utomo – 2012) karyaku berjudul “Sebuah Pelajaran”

6.KKPK Luks Hidung Penokio Niko (Penerbit Dar! Mizan – 2012) karyaku berjudul “Sahabat Dalam Duka”

Aku juga pernah diundang untuk mengikuti konferensi dan festival bertaraf nasional dengan peserta para penulis dari berbagai daerah, bahkan manca negara. Di antara pertemuan yang pernah kuhadiri adalah, Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI) tahun 2011 di Jakarta, dan Ubud Writers & Readers Festival Oktober 2012 di Bali.

Aku juga seringkali mendapat penghargaan atas karya-karyaku. Di antaranya kemenangan yang pernah kuraih adalah:

Juara harapan 3 lomba menulis “Pengalaman Selama Bulan Ramadhan” oleh Al-Fath tahun 2007

Juara 3 lomba menulis cerita anak Kompas Gramedia Fair di Jogjakarta tahun 2008

1. 2.

Juara 1 lomba menulis cerita anak TRANS TV tahun 2008

Juara 3 lomba mengarang Tupperware Children Helping Children tahun 2009

Juara favorit lomba mengarang Tupperware Children Helping Children tahun 2010

Juara 1 lomba mengarang “Beasiswa Untuk Sahabatku” oleh BNI tahun 2010

Juara 3 lomba mengarang Tupperware Children Helping Children tahun 2011

Juara harapan 2 lomba menulis cerita pendek tingkat nasional oleh Penerbit Mizan dan Mendiknas tahun 2011

Juara 2 lomba menulis oleh Perpustakaan Daerah Wonosobo tahun 2012

Juara 2 lomba mengarang Tupperware Children Helping Children tahun 2012

Juara utama lomba menulis Kebudayaan Indonesia oleh Penerbit Mizan 2012

Demikianlah sekilas perkenalanku. Sekali lagi jangan lupa, jika suatu ketika para sahabat benar-benar datang ke Wonosobo, maka singgahlah di rumahku. Aku tinggal di sebuah kampung yang sungguh- sungguh tenang dan berhawa sangat dingin.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Kutemukan

Pelajaran dalam

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 64-73)