• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tiara Indah Permata Hat

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 118-128)

Huh!” keluh Annisa dengan kesal karena Bunda tidak mau membantunya.

“Annisa, ada apa, kok marah-marah seperti itu?” tanya Bunda.

“Bunda sih, tidak mau membantu,” kata Annisa merajuk.

“Bantu apa, Sayang? Kok sampai seperti itu? Kenapa Nisa uring- uringan begitu?” tanya Bunda lagi.

Annisa yang lagi sewot tidak menjawab lagi pertanyaan Bunda. Dengan hati yang dongkol dan air mata yang hampir tumpah, setengah berlari ia menuju kamarnya. Daarr...!!! Terdengar suara pintu kamar yang dibanting Nisa, disusul suara musik yang diputar keras-keras.

“Nisa, kok pakai acara banting pintu segala?” kata Bunda. Beberapa saat tak ada jawaban dari Nisa. Akkhirnya Bunda pergi ke dapur untuk memasak lagi.

Beberapa lama menangis dan kesal di kamar, ternyata membuat Nisa lapar. Nisa akhirnya memutuskan untuk mencari makanan di dapur. Baru saja ia membuka pintu kamar, tercium bau hangus dan asap dari arah dapur. Annisa bergegas menuju dapur dan melihat pemandangan yang sontak membuatnya kaget.

“Aaaaaaaa... tolooooong.... Bunda, Bunda, bangun Bunda... kebakaran...” teriak Annisa heboh. Bunda yang tengah terlelap pun terperanjat bangun.

“Hah? Apa, Nis? Api? Mana api?” tanya Bunda panik.

“Nisa, segera matikan .... matikan apinya ...” lanjut Bunda yang masih panik.

“Ma... ma... matikan apinya? Aku, Bun? Pakai apa?” jawab Nisa bingung.

Bunda segera beranjak menarik tangan Nisa untuk membantunya. Diambilnya beberapa lap dari samping mesin cuci lalu dibasahi. Nisa yang masih bingung pun ikut saja apa yang dikerjakan bundanya. Beberapa menit berjibaku memadamkan api, membuat Bunda dan Nisa cukup lelah.

“Bunda kok sampai tertidur di dapur, sih?” tanya Nisa.

“Bunda lelah sekali, Nak. Bunda bikin kue pesanan Bu Santi sejak pulang kerja tadi,” jawab Bunda.

Nisa lalu pergi ke kamar meninggalkan Bunda sendirian di dapur dengan seabrek pekerjaan.

*** Keesokan harinya....

Tet... tet... tet... bel sekolah berbunyi. Anak-anak berhamburan berebut keluar dari kelas dengan riangnya. Namun tidak dengan Nisa siang itu.

“Kenapa, Nis? Kok mukanya lecek begitu?” tanya Fita, sahabatnya. “Gak papa, Fit. Hehe...,” jawab Nisa meringis, menyembunyikan kekesalannya.

Hingga sampai di rumah. Dengan langkah gontai ia masuk, dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Berkali-kali ia menarik napas panjang, sambil menggerutu, “Huft.... Kenapa sih Bu Heni harus ngasih tugas keterampilan segala? Sudah tahu kalau Nisa paling gak suka mendapat tugas seperti ini!”

“Ada apa lagi, Nis? Kok datang-datang langsung pasang muka jengkel seperti itu?” tanya Bunda sambil mengelus kepala Nisa.

“Bu Heni itu lho. Lagi-lagi ngasih tugas membuat keterampilan,” jawab Nisa pelan.

“Ow...” kata Bunda.

“Kok cuma ow sih, Bun?” balas Nisa sewot.

“He he he.... iya, iya, Nak. Jangan sewot begitu ah. Nanti anak bunda cantiknya hilang lho...,” gurau Bunda.

“Habisnya..., Bunda sih... Nisa kan lagi bingung, Bunda malah gitu ...” kata Nisa manja.

“Iya, ntar Bunda bantu. Sekarang Nisa ganti baju, terus makan siang ya? Bunda masak makanan kesukaan Nisa lho...” kata Bunda.

Mendengar jawaban Bunda yang mau membantunya, wajah Nisa mulai cerah. Ia bergegas ganti baju dan makan siang. Dari tadi perutnya sudah keroncongan. Perasaan kesal dan jengkel memang sudah menguras sisa energinya sepulang sekolah.

Hari-hari setelah itu semua berjalan seperti biasanya. Nisa dengan rutinitas sekolahnya, dan Bunda dengan seabrek tugas kantor, juga pesanan kue-kue kering. Nisa tenang-tenang saja dengan tugas keterampilan Bu Heni. Toh, pikirnya waktu itu, tenggangnya masih

lama. Nisa masih ingat janji Bunda yang akan membantu membuat tugas keterampilan itu. Bunda yang super sibuk dengan pekerjaannya, juga tak sempat menanyakan tugas keterampilan Nisa. Sampai saatnya tiba, dan besok adalah deadline tugas keterampilan Bu Heni harus dikumpulkan.

***

Hari itu hari Minggu. Seperti Minggu biasanya, setelah sholat subuh Nisa pasti tidur lagi. Jam di dinding kamar Nisa sudah menunjukkan pukul 08.00. Sinar matahari yang silau sudah menerobos jendela kaca di kamar Nisa. Nisa terbangun dan seketika teringat tugas keterampilannya. Nisa bergegas turun dari tempat tidur dan mencari Bunda.

“Bunda... Bunda...” teriak Nisa mencari Bunda.

Nisa mencari Bunda ke dapur, ternyata Bunda tidak ada di sana. Bunda juga tidak ada di kamarnya. Nisa mulai panik. Saat ia melewati ruang makan, ia melihat memo yang tertempel di kulkas. Diambilnya memo itu. Ternyata dari Bunda.

Nisa, Bunda sudah berangkat ke luar kota. Bunda ada tugas mendadak dari kantor. Tadi Bunda udah bangunin Nisa, tapi Nisa gak mau bangun. Kalau Nisa lapar, ada makanan di kulkas tinggal dihangatkan saja. Maaf ya, Sayang ... Bunda sayang Nisa (Bunda)

“Hah? Bunda ke luar kota? Gimana nih tugas dari Bu Heni?” gumam Nisa sambil menangis.

Nisa mengangkat gagang telepon dan memencet nomor 557278 ... Tuuut... tuuuut... terdengar bunyi nada sambung dari seberang.

“Halo?” kata orang yang di seberang. “Halo, Fita?” sambut Nisa.

“Iya, ini Fita. Ada apa, Nis?” kata Fita.

“Fit, tugas dari Bu Heni udah jadi?” tanya Nisa. “Udah. Kamu udah, Nis? kata Fita.

“Mmmmmm...., ya gitu deh,” sambung Nisa.

tapi Mama mau ngajak aku belanja ke swalayan. Nanti malam ada acara keluarga. Maaf ya, Nis...” kata Fita mengakhiri pembicaraan.

“Ow, ya udah,” tutup Nisa dengan lemas.

Nisa meletakkan gagang telepon, lalu merebahkan badannya di sofa. Ia menangis sejadi-jadinya. Sebel dan bingung bercampur jadi satu. Nisa merasa Bunda dan sahabat karibnya tidak ada waktu untuk membantunya. Ia juga takut jika besok tidak mengumpulkan tugas, Bu Heni akan marah padanya.

Setelah puas menumpahkan perasaannya, Nisa bergegas bangkit. Ia segera mandi. Setelah berganti pakaian dan makan, Nisa segera menyalakan komputer di ruang tengah. Dicoba dicarinya di internet keterampilan apa yang kira-kira bisa dibuatnya. Beberapa hasil kerajinan terlihat sulit untuk dibuat. Lama sekali Nisa berkutat di depan komputer. Akhirnya ia menemukan kerajinan apa yang akan dibuatnya.

Segera disambarnya selembar kertas dan pulpen di meja samping komputer. Selesai mencatat bahan-bahan yang dibutuhkan dan cara membuatnya, Nisa langsung mematikan komputer. Nisa berpikir sejenak di mana ia dapat membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Setelah ia ingat, segera diambilnya sepeda di garasi dan memacu menuju ke sebuah toko di dekat alun-alun. Sesampainya di sana ternyata toko tersebut tutup. Betapa kecewanya hati Nisa. Padahal jarak rumahnya dengan toko tersebut lumayan jauh.

Hari semakin siang. Matahari semakin menyengat saja panasnya. Nisa mengayuh sepedanya menuju pasar. Sesampainya di pasar, Nisa menitipkan sepedanya ke tempat parkir. Tanpa ia tahu kios mana yang harus ditujunya, Nisa mulai berkeliling pasar. Lantai satu ia jelajahi. Kios demi kios ia lihat. Namun, tak ada satupun kios di lantai satu yang menjual benda yang dicarinya. Hanya kebutuhan rumah tanggalah yang ia temui di lantai satu. Terpaksa Nisa naik lantai dua. Dalam hatinya ada sedikit penyesalan mengapa ia sering menolak jika Bunda mengajak berbelanja ke pasar. Kalau saja ia membuang jauh- jauh anggapan negatifnya tentang pasar, pasti sekarang ia tidak perlu bingung mencari mana kios yang menjual barang yang dibutuhkannya. Huuuuh..., memang penyesalan datangnya selalu belakangan. Tetap saja yang sudah berlalu tidak bisa diubah lagi.

Di lantai dua yang Nisa lakukan tak ada bedanya saat ia di lantai satu. Ya, berkeliling dan mengamati kios satu persatu. Ketika suatu waktu ia tiba di satu kios yang bertuliskan “Kios Yana menjual berbagai asesoris dan pernak-pernik”, hati Nisa sedikit lega. Dimasukinya kios tersebut.

“Mbak, ada stik es krim?” tanya Nisa pada pelayan kios. “Wah, Dek, lagi kosong.” jawab pelayan kios dengan ramah. “Mmmm.... kalau lem tembak ada?” tanya Nisa lagi.

“Ada, Dek.Alatnya atau isinya?” kata sang pelayan. “Dua-duanya, Mbak. Berapa?” tanya Nisa.

“Alatnya Rp30.000,00 kalau isinya Rp 800,00 per batang.” jawab pelayan.

Nisa mengambil uang di kantong jaketnya. Diletakkan di telapak tangan dan dihitungnya. Tiga puluh lima ribu dan ada sekitar delapan keping koin Rp 100,00. Cukuplah untuk membeli keduanya bahkan lebih, pikir Nisa.

“Iya Mbak, alatnya dan isinya satu.” kata Nisa.

Saat pelayan kios memberikan kantong plastik, Nisa memberikan uangnya, Rp 35.000,00. Setelah menerima kembalian Nisa langsung meninggalkan kios tersebut. Nisa melanjutkan pencariannya menyusuri kios-kios di lantai dua. Lama sekali Nisa berkeliling, akhirnya ia menemukan kios yang dicarinya. Ia dapatkan pula apa yang dicarinya. Segera Nisa pulang karena hari telah sore. Sesampainya di rumah Nisa langsung merebahkan diri di sofa. Lelah sekali rasanya hari ini. Seharian ia bersepeda dan menjelajah hampir seluruh isi pasar. Akhirnya ia tertidur pulas di atas sofa. Ia lupa akan tugas keterampilannya, padahal tugas itu dikumpulkan esok hari. Nisa tertidur lelap sekali karena terlalu lelah.

Esok paginya Nisa bangun. Ternyata ia masih berada di sofa. Berarti sudah lama sekali ia tidur sejak pulang dari pasar sore kemarin. Nisa terhuyung-huyung menuju kamar mandi. Badannya kini telah segar setelah mandi pagi. Baju seragamnya juga sudah dipakai.

“Aduh ... tugas Bu Heni!!!” teriak Nisa histeris.

Karena terlalu lelah dan akhirnya tertidur, tugas keterampilan pun urung dikerjakan. Apa mau dikata, jam sudah menunjukkan pukul 06.30.

Sudah tidak ada waktu lagi untuk mengerjakan tugas Bu Heni. Akhirnya dengan perasaan kalut Nisa berangkat sekolah.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah sudah terbayang di kepala Nisa, betapa marahnya Bu Heni nanti. Sepanjang hari itu ia tidak dapat berkonsentrasi mengikuti pelajaran. Nisa lebih banyak melamun di kelas. Bahkan tadi Pak Badrun sempat menegurnya saat pelajaran Matematika.

Teeeeeeet.... teeeeet.... bel tanda istirahat kedua berbunyi. Nisa masih di kelas. Pelajaran terakhir bersama Bu Heni. Makin terbayang bagaimana Bu Heni nanti akan marah kepadanya. Tiba-tiba Pak Joko, wali kelas Nisa, datang membuyarkan lamunan Nisa.

“Nisa, ke tempat guru piket sekarang, ya...” kata Pak Joko. “Ada apa, Pak?” jawab Nisa pelan.

“Ada Bunda Nisa.” kata Pak Joko.

Nisa mengikuti Pak Joko menuju tempat guru piket. Di sana sudah ada Bunda.

“Bapak tinggal ya, Nis.” kata Pak Joko. “Iya, Pak.” jawab Nisa.

“Terima kasih, Pak.” timpal Bunda.

Pak Joko meninggalkan Nisa dengan Bunda di tempat guru piket. Bunda memberikan dua buah bungkusan pada Nisa. Tanpa melihat pun Nisa sudah tahu isi bungkusan itu. Bungkusan yang ini pasti berisi mie pangsit spesial dari warung mie di dekat kantor Bunda. Baunya sangat Nisa hafal karena Bunda sering membelikan untuk Nisa sepulang dari kantor. Bungkusan yang satunya pasti jus alpukat yang dingin favoritnya.

“Maaf ya, Nak. Bunda baru sampai rumah dan langsung beli makanan kesukaan Nisa. Bunda khawatir Nisa pagi tadi belum makan,” kata Bunda sambil mengelus kepala Nisa.

“Iya,” jawab Nisa singkat.

“Nisa marah sama Bunda?” tanya Bunda. “Nggak,” jawab Nisa ketus.

“Ya udah, Bunda minta maaf ya, Sayang. Bunda balik ke kantor dulu, ya,” kata Bunda sambil mencium kepala Nisa dan pergi.

Bunda. Pelajaran terakhir dimulai. Pak Joko masuk kelas. “Assalamu’alaikum, anak-anak,” kata Pak Joko.

“Wa’alaikum salam, Pak,” jawab anak-anak serempak.

“Kok Pak Joko? Kan sekarang bukan pelajaran Bahasa Inggris?” tanya Boni.

“Anak-anak, hari ini Bu Heni tidak dapat mengajar. Ini ada tugas disuruh menggambar. Tugas yang dikumpulkan hari ini dikumpulkan minggu depan,” kata Pak Joko.

Horeeeeeeeee... teriak anak-anak hampir bersamaan. Betapa leganya hati Nisa saat itu. Sepeninggal Pak Joko, anak-anak segera mengambil buku gambar masing-masing.

Saat bel tanda pelajaran berakhir, anak-anak mengemasi buku dan alat tulis. Setelah berdoa mereka segera berhamburan keluar kelas. Nisa keluar kelas dengan wajah sumringah. Ia lega sekali.

Akhirnya Nisa sampai di ujung gang rumahnya. Di situ ia berpisah dengan Fita, karena rumah Fita masih kira-kira 200 meter lagi.

“Duluan ya, Fit,” kata Nisa saat berpisah. “Iya. Salam ya buat Bunda,” jawab Fita. “Ok. Hati-hati, ya.... Daaaa...” balas Nisa.

Nisa berjalan memasuki gang rumahnya. Rumah Nisa sudah terlihat. Tinggal melewati beberapa rumah tetangga. Saat hampir sampai, dari depan rumah tetangga terlihat banyak orang keluar masuk rumahnya. Nisa bertanya-tanya apa gerangan yang dilakukan orang- orang itu di rumahnya. Saat memasuki halaman, terlihat beberapa bapak-bapak yang duduk mengobrol di halaman. Nisa hanya bingung dengan tatapan mata bapak-bapak itu. Saat sampai di depan pintu, Bu Emi, Bu RT-nya, menyambut dengan pelukan.

“Sabar ya, Nduk,” kata Bu Emi. “Kenapa sih, Bu?” tanya Nisa heran.

“Bunda tadi kecelakaan di jalan dari arah sekolah Nisa. Ayah sedang dalam perjalanan pulang,” kata Bu Emi sambil membawa Nisa masuk.

Alangkah terkejut Nisa. Sampai di tengah ruangan ia melihat sesosok tubuh terbujur ditutup kain batik panjang. Pelan-pelan Nisa mendekatinya. Nisa membuka sebagian kain itu, dan serentak menjerit.

“Bundaaaaaaa.... Kenapa Bunda tinggalin Nisa...” teriak Nisa histeris. Seketika Nisa menangis sejadi-jadinya. Para tetangga yang mencoba menenangkan tidak berhasil membuat Nisa berhenti menangis. Saat Ayah datang masih terdengar sesenggukan tangis Nisa. Saat jenazah Bunda akan dibawa ke makam, Nisa histeris kembali.

“Jangan... jangan bawa Bunda.... Jangan bawa Bunda... hu, hu, hu...” teriak Nisa sambil terus meronta dan menangis histeris.

***

Hari ini belum genap tujuh hari meninggalnya Bunda. Nisa masih dalam suasana berkabung. Ia masih belum mau masuk sekolah. Ia masih sering terlihat melamun. Kadang juga tiba-tiba ia menangis.

Nisa masih merasa menyesal. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam kepada Bunda. Apalagi jika merunut kejadian yang sudah-sudah. Mengapa ia harus marah pada Bunda. Mengapa saat Bunda berpayah- payah mengantar makan siang padahal Bunda baru sampai dan masih capek, ia malah ketus. Mengapa ia tidak pernah sabaran kalau minta bantuan Bunda, padahal saat itu Bunda masih sibuk. Mengapa ia tidak pernah mau tahu betapa capeknya Bunda kalau ia sedang menginginkan sesuatu. Terlalu banyak pertanyaan dan penyesalan. Apalagi setelah Bunda tiada, semua pekerjaan rumah dan keperluan pribadi harus Nisa kerjakan hanya dengan Ayah.

Makin terasa penyesalan Nisa. Nisa kini tahu rasanya jadi Bunda. Kini ia tahu bagaimana dulu capeknya Bunda. Baru saja pulang kantor, masih harus mengurus rumah, mengurus Nisa, dan mengurus berbagai kebutuhan. Apalagi kalau ada pesanan kue kering. Walaupun begitu Bunda tidak pernah mengeluh dan menampakkan capeknya di depan Nisa. Bunda selalu tersenyum walau Nisa suka sewot. Nisa jadi ingat apa yang pernah Ayah katakan, “Kadang kita baru menyadari betapa berharganya seseorang untuk kita kalau kita sudah kehilangan orang itu.”

Nisa menarik nafas panjang. Ia bangkit. Nisa tidak ingin berlarut- larut lagi. Nisa ingin Bunda bahagia dan bangga melihat Nisa, walaupun tidak secara langsung. Nisa berjanji akan merubah sikapnya. Nisa berjanji akan menjadi anak yang lebih baik dan mandiri, yang membahagiakan dan bisa dibanggakan. Nisa sayang Bunda. [*]

Mengenal Lebih Dekat

Tiara Indah Permata Hati

Rumahku sederhana, tapi aku menyukainya. Aku lahir di Pasuruan, 19 Januari 2002. Di rumah kecil sederhana itulah aku belajar segalanya. Aku suka membaca dan menulis. Awal kesukaanku menulis karena aku suka bercerita. Ketika mendapat ide, maka pertama kali yang kulakukan adalah bercerita di hadapan teman-teman. Dari sanalah aku bisa menilai, apakah ceritaku menarik atau tidak. Jika mereka tertarik, maka aku lanjutkan dengan menuliskannya.

Buku-buku bacaan banyak sekali membantu. Dari sanalah aku belajar bagaimana caranya orang lain menuliskan cerita.

O ya, aku bersekolah di SD Unggulan Al-Ya’lu/5. Di sekolahku menerapkan sistem belajar satu hari penuh, sehingga tidak banyak waktuku untuk bermalas-malasan. Setiap waktu yang kumiliki, aku selalu memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Satu Hari Bersama

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 118-128)