• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ramadhani Ayu Wiguna

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 53-64)

M

alam ini sangat mencekam. Suara rintik hujan makin deras membasahi dedaunan. Entah sudah berapa jam hujan membasahi bumi. Biasanya jika hujan deras begini, banjir pun tak dapat dielakkan lagi. Jika banjir datang maka akan ada korban yang ikut bersama derasnya arus sungai. Hal ini sangat dikhawatirkan si Betung. Ia takut tubuhnya yang kecil terbawa arus sungai yang deras.

Betung adalah salah satu jenis bambu yang hidup di tepi sungai Mentari. Masih banyak jenis bambu lainnya yang tinggal di tepi sungai itu. Ada bambu Apus, bambu Ater, bambu Andong, dan masih banyak jenis yang lainnya.

“Betung..., ayo bangun! Fajar sudah menyingsing, sebentar lagi matahari pasti bersinar. Kau tidak mau melewatkan itu, kan?”suara Ibu membangunkan si Betung.

“Iya Bu, aku tak akan melewatkan sehari pun cerahnya mentari. Tapi hujan semalam membuatku takut, Bu,” jawab Betung.

“Hujan itu adalah berkah bagi semua isi alam. Lihatlah sayuran pak Tani itu, terlihat segar berkat hujan semalam,” jelas Ibu.

“Iya Bu, tapi jika hujannya deras kita bisa hanyut terbawa arus sungai. Ah, tanaman padi dan sayuran itu enak ya Bu, mereka ditanam jauh dari sungai. Jadi pasti terhindar dari banjir. Mengapa kita justru ditanam di dekat sungai?” protes si Betung tak mengerti.

“Betung anakku, kita harus belajar menerima. Karena setiap tumbuhan punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Coba kamu lihat sayuran dan tanaman padi itu. Tubuh mereka kecil dan lemah. Demikian juga dengan akar mereka, pasti juga sangat lemah. Coba lihat dirimu, tubuhmu yang kuat, batangmu yang lentur, serta akarmu. Kita lebih kuat jika ditiup angin. Tubuhmu tak akan patah, karena lentur,” Ibu memberi penjelasan.

“Wah, berarti aku hebat ya, Bu?” sahut Betung.

“Oh, bukan begitu, Betung. Tubuh kita memang memiliki kelebihan dibandingkan sayuran. Tapi bukan utuk sombong. Kita memiliki tugas berat, yaitu membantu menahan erosi dari pengikisan arus sungai. Jika terjadi banjir, tugas kitalah untuk menahan arus sungai. Akar kita mampu mengawetkan tanah, dan menahan longsor.”

“Tentu saja. Setiap makhluk yang diciptakan Tuhan, pasti ada gunanya,” lanjut Ibu.

“Selamat pagi Betung,” tiba-tiba paman Bambu Apus yang tubuhnya lebih kecil dari Betung, turut berbicara. Orang sering menyebutnya paman Bambu Apus dengan sebutan bambu tali.

“Eh iya, Paman, Selamat pagi juga. Pagi ini cerah sekali ya, Paman?” kata si Betung.

“Mana si Pipit sahabatmu? Biasanya pagi-pagi seperti ini sudah ada di rumpunmu. Si Pipit selalu membawa berita yang menarik,” lanjut Paman.

Dari kejauhan terlihat Pipit terbang menuju rumpun Betung. Hati Betung bahagia sekali melihat sahabatnya, si Pipit, datang menghampiri.

“Selamat pagi sahabatku, Betung,” sapa Pipit mendahului Betung. “Pagi juga. Mengapa engkau agak siang mengunjungiku? Biasanya pagi-pagi sudah menikmati mentari bersamaku. Aku rindu suaramu,” rengek Betung.

“Maaf Betung, tadi malam tidurku agak terganggu. Sarangku basah, jadi aku tidak bisa tidur,” jawab Pipit sedih.

“Wah, pasti sarangmu ada yang bocor. Segera perbaiki sarangmu, ambilah daun dan rantingku yang kering,” usul Betung.

“He he..., aku jadi malu. Dulu saat aku membuat sarang pertama kali, juga minta daun dan rantingmu. Sekarang minta daun dan rantingmu lagi,” jawab Pipit.

“Kita kan sahabat, sudah seharusnya kita saling tolong menolong. Kamu selalu membantuku dengan berita-berita yang tak mungkin aku ketahui,” jawab Betung.

“Ya, itu karena aku bisa terbang ke mana-mana. Aku bisa menceriterakan semua yang aku lihat. Lagi pula, hanya itu yang bisa aku lakukan untukmu, Betung,” jawab Pipit merendah.

“Bagiku itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Setiap hari kamu selalu membawa cerita yang istimewa. Sama halnya dengan sahabat kita si Tikus Tanah. O ya, di mana dia ya? Belakangan aku sangat khawatir, sebab dia seringkali melakukan hal-hal yang berbahaya. Aku khawatir suatu ketika ia akan masuk perangkap Pak Tani,” lanjut Betung.

“Mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dengan sahabat kita si Tikus,” jawab Pipit.

Tiba-tiba pembicaraan mereka berhenti saat melihat dari kejauhan seorang petani berjalan ke arah rumpun si Betung. Betung dengan cepat menyarankan Pipit untuk segera pergi demi keamanannya.

Ketika petani sampai di rumpun si Betung, betapa kagetnya ia. Pak Tani itu membawa golok, dan tanpa belas kasih memotong tubuh si Betung. Kemudian potongan tubuh si Betung dibawa ke pondoknya. Ibunya Betung tak kalah kagetnya melihat Si Betung dibawa Pak Tani. Hatinya sedih, mengapa bukan aku saja yang diambil. Bukankah umurku lebih tua dari Betung? Kenapa harus si Betung yang sedemikian muda yang diambil? Demikian jeritan ibu si Betung.

Pipit tak kalah sedihnya melihat semua itu. Pipit merasa sangat kehilangan sahabat yang selama ini menemaninya. Menjadi pendengar setianya, dan kini entah di mana. Pipit kemudian berusaha mencari si Tikus Tanah dan menceritakan nasib yang dialami si Betung.

“Tikus...!” jerit pipit di depan sarang si Tikus Tanah.

“Ada apa?” si Tikus Tanah muncul di hadapan pipit yang terlihat sangat sedih.

“Sahabat kita Si Betung telah dipotong Pak Tani. Aduh, bagaimana ini. Aku tak rela sahabatku ditebang dan di belah-belah oleh Pak Tani,” protes Pipit dengan nafas masih terengah-engah.

“Kamu ini lucu, itu kan memang sudah suratannya si Betung. Ia adalah seruas bambu yang manfaatnya untuk kebutuhan para petani. Mereka menggunakan bambu untuk untuk membuat pagar, dinding rumah, penopang tanaman dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu wajar,” jawab si Tikus Tanah dengan santai.

“Jadi kamu senang melihat teman kita ditebang petani itu? Keterlaluan sekali engkau, sahabatku,” hardik Pipit kecewa.

“ He he, bukan begitu maksudku. Aku hanya menjelaskan bahwa itulah hal yang sebenarnya. Aku juga sedih kalau kehilangan sahabat. Tapi jangan lupa, bahwa hidup kita punya jalan masing-masing. Si Betung juga mempunyai jalan hidupnya sendiri, dan jalan hidupnya yakni dimanfaatkan oleh petani. Baiklah, begini saja, bagaimana kalau kita cari si Betung, untuk melihat keadaannya?” usul tikus.

sangat berbahaya bagimu berkeliaran,” nasihat Pipit. “Tentu, tentu dong,” jawab Tikus.

Akhirnya Pipit dan si Tikus Tanah sepakat untuk mencari si Betung ke pondok Pak Tani. Mereka ingin memastikan keadaan si Betung. Pipit terbang berputar-putar di sekitar pondok Pak Tani. Tapi tak ia temukan tubuh si Betung yang selama ini menjadi sahabatnya. Demikian juga si Tikus Tanah. Ia berkeliling di sekitar dapur dan halaman Pak Tani. Tapi seperti halnya Pipit, si Tikus Tanah pun tak menemukan apa-apa. Akhirnya Pipit menghampiri si Tikus Tanah di pojok halaman Pak Tani, menanyakan hasil pencariannya. Si Tikus Tanah menggeleng.

“Hai..., teman-teman, kalian sedang apa siang-siang begini berkeliaran di sekitar pondok Pak Tani? Ini berbahaya!!” terdengar suara yang selama ini sangat mereka kenal. Suara si Betung! Tapi di mana? Si Tikus Tanah dan Pipit mencari-cari asal suara itu. Tapi alangkah terkejutnya si Tikus dan Pipit, saat mengetahui suara itu berasal dari seruas bambu jelek dan pendek yang ada di tumpukan sampah Pak Tani. Tampaknya tumpukan sampah itu siap dibakar oleh Pak Tani.

“Betung? Kau kah itu?” si Tikus Tanah dan Pipit berteriak hampir bersamaan.

“Kalian tidak mengenalku lagi ya? Memang beginilah nasibku, setelah bagian tubuhku yang bagus dimanfaatkan Pak Tani. Kini bagian tubuhku yang jelek ini akan berakhir di pembakaran sampah. Tapi aku tak kecewa, sahabat, karena aku bermaanfaat bagi manusia. Karena aku sadar memang untuk itulah kami, bangsa Bambu, diciptakan,” jelas Betung. Pipit meneteskan air mata melihat keikhlasan Betung.

“Andai saja manusia tahu, bahwa setiap makhluk Tuhan punya perasaan,” bisik Pipit.

“Ada apa Pipit? Kamu jadi ingat keluargamu ya? Engkau sering bercerita bahwa keluargamu banyak diburu anak-anak manusia yang nakal. Bahkan bibi Putih dan adikmu mati terkena ketapel mereka,” tebak si Tikus Tanah.

“Iya, aku jadi ingat mereka. Padahal kami, burung-burung, sangat bermanfaat bagi petani. Bangsa kami memakan ulat-ulat yang menjadi hama bagi tanaman mereka. Memang sih, burung jenis pipit sepertiku kadangkala memakan padi Pak Tani. Tapi jumlahnya tidak terlalu banyak, dibandingkan kamu, Tikus. Kamu yang selalu saja mencuri di kebun Pak

Tani. Bahkan makanan di dapur mereka pun kamu curi,” protes Pipit. “Eh, jangan begitu,” si Tikus Tanah membela diri. “Tadi si Betung mengatakan, bahwa setiap makhluk Tuhan diciptakan ada manfaatnya. Termasuk juga aku.”

“Terus manfaatmu apa? Bukankah kamu hanya bisa mencuri?” tanya Pipit selanjutnya.

“Dengarkan baik-baik ya, kami diciptakan memang untuk tugas seperti itu. Nah, dengan adanya sifat-sifat kami yang suka mencuri, maka para petani itu akan selalu waspada. Teliti dalam segala hal, serta ulet dalam berusaha. Juga memaksa mereka untuk disiplin. Sebab kalau ceroboh, maka akan kami serang. Mereka harus menyimpan makanan dengan rapi, bersih dan tertutup rapat. Sebab kalau tidak, maka akan kami habisi, hehe,” jelas si Tikus Tanah bangga.

“Uh, dasar Tikus. Tapi itu ada benarnya juga sih,” jawab Pipit mengalah.

“Aduh, sebenarnya kalian ke sini mau berdebat, atau melihat keadaanku?” Betung mengingatkan.

“Iya Betung, kami merindukanmu. Kami juga tidak ingin berpisah dengan sahabat sebaik engkau. Tapi apa yang bisa kami lakukan, jika ternyata tubuhmu itu hanya tinggal seruas saja. Itu pun bagian yang terjelek darimu,” kata Pipit.

“Bagaimana caranya agar aku malam ini tidak dibakar Pak Tani, itulah yang harus kalian pikirkan. Aku tak ingin nasibku berakhir di pembakaran. Tolonglah Tikus, percayalah, jika kalian bisa menolongku maka kita akan tetap bersama lagi. Walaupun tubuhku tinggal seruas,” pinta Betung pada sahabatnya.

“Maksudmu kamu akan kembali hidup? Bagaimana caranya? Tubuhmu sekecil ini?” tanya Tikus heran bercampur bahagia.

“Sudahlah, ayo pikirkan saja bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini,” pinta Betung meyakinkan.

Mereka terdiam. Bersama-sama memikirkan bagaimana cara menyelamatkan Betung agar tidak terbakar bersama sampah Pak Tani. Dengan badan sekecil tikus dan burung pipit, rasanya tak mungkin mengangkat bambu walaupun hanya seruas.

Hari beranjak sore, tapi mereka tampaknya belum mendapat cara untuk menolong Betung. Pipit tak dapat berbuat apa-apa, padahal ia

harus segera pulang ke sarangnya. Karena jika hari terlanjur malam, mata Pipit tak dapat melihat dengan jelas. Tapi ia tak bisa meninggalkan Betung. Maka ia pun bersembunyi di balik pepohonan.

Betung mulai cemas, karena tikuspun tiba-tiba pergi setelah melihat petani pulang dari ladang. Ia hanya bisa berdoa pada yang kuasa, agar terbebas dari pembakaran.

“Ya, Tuhan, tolong selamatkan aku. Aku tidak mau dibakar,” Betung berdoa dengan lirih berulang-ulang.

Dari jauh Pipit terus mengawasi Betung. Hatinya terasa perih. Ia tidak dapat melakukan apa-apa untuk sahabatnya itu. Ia hanya bisa berdoa agar keajaiban tiba-tiba datang.

“Apa yang akan terjadi? Pasti sebentar lagi Pak Tani membawa obor dan membakar sampah itu. Lalu aku akan kehilangan sahabat setiaku, untuk selamanya,” Pipit semakin cemas.

Saat hari mulai gelap, tiba-tiba datanglah berpuluh-puluh tikus menghampiri Si Betung. Mereka beramai-ramai menggeser tubuh si Betung secara perlahan, tapi pasti. Pipit berteriak kegirangan hingga jatuh dari ranting yang ia hinggapi. Ia bangun sambil meringis kesakitan, dan berusaha mencari jalan pulang karena matannya tak mampu melihat dengan jelas.

“Aku serahkan nasib sahabatku Betung padamu, hai sahabat- sahabatku tikus yang baik,” bisik Pipit dalam hati.

Perlahan tubuh Betung menjauh dari pondok Pak Tani, dengan bantuan Tikus dan teman-temannya.

“Terima kasih sahabatku, pertolonganmu akan aku kenang selamanya,” ucap Betung bahagia.

“Ah, itu biasa saja, bukankah antar sahabat harus saling membantu? O ya, tapi engkau mau kami bawa ke mana?” tanya Tikus.

“Oh iya, tolong bawa aku ke dekat rumpun ibuku. Nanti setibanya di sana, akan aku jelaskan permintaanku selanjutnya,” jawab Betung.

“Baiklah, ayo kita lanjutkan perjalanan, dan tetap waspada,” si Tikus Tanah memberi komando agar teman-temannya menyelesaikan pekerjaan mereka.

Setibanya di tepi sungai betapa kagetnya keluarga Si Betung. Mereka sangat senang melihat Betung kembali, walaupun hanya seruas saja. Kemudian atas permintaan Betung dan ibunya, Tikus dan teman-

temannya malam itu menggali lubang tak jauh dari rumpun ibunya. Kemudian Betung yang tinggal seruas itu, ditanam di sana. Mereka berharap Betung akan kembali tumbuh dengan tunas yang baru. Memiliki hidup baru, dengan rumpun yang baru. Karena sifat bambu, meskipun hanya seruas, selagi masih ada mata tunas di ruasnya, maka ia akan hidup jika ditanam.

Hari demi hari pun berlalu. Kini Betung telah tumbuh menjadi batang baru. Pipit dan Tikus selalu mengunjungi si Betung. Pipit hingga sekarang masih selalu tak bosan-bosan membawa berita baru untuk si Betung. Tikus pun tak mau ketinggalan, sehingga ketiganya semakin akrab saja.

Perahabatan alam yang tiada batas. Hidup ini memang sangat indah. Apalagi bersama sahabat-sahabat yang selalu memberikan hatinya untuk berbagi kepada sesama. [*]

Mengenal Lebih Dekat

Ramadhani Ayu Wiguna

Beruntunglah aku tinggal di daerah perumahan yang tidak terlalu padat, sehingga masih banyak kujumpai tanaman di sana. Suasananya pun tenang, lingkungannya bersih, dengan penghuni yang rata-rata ramah. Jika sahabat pergi ke Surabaya, mampirlah ke rumahku. Aku tinggal di jalan Gumuk Galeng Nomor 97 A Simo Rukun gang 9, Surabaya. Di sini rumah-rumah tertata rapi, jalannya lebar sehingga asyik untuk bermain bersama adik dan kakak.

Rumahku letaknya sangat strategis. Terletak di perempatan jalan, dekat dengan SMPN 25, dekat dengan Kelurahan, dan terdapat Alpamidi, Indomaret, serta tidak terlalu jauh dari pasar. Nah, menarik bukan?

Aku sekolah di SDN Banyu Urip III/364, Surabaya. Ini dia kebalikannya, sekolahku agak berisik, soalnya sekolah komplek dengan tiga sekolah sekaligus ada di sana. Ada SDN IV, ada SDN VIII, dan ada

sekolahku. Bisa dibayangkan riuhnya, kalau lagi istirahat, wow, rame…. Ramai sekali, apalagi kalau ada kegiatan bersama.

Tapi aku cukup senang dengan lingkungan sekolahku, soalnya juga dekat pasar... jadi… bisa cuci mata deh. Wow. Senang di rumah yang sunyi, senang juga di sekolah yang ramai. Kedua-duanya saling melengkapi.

Di sekolahku kegiatannya sangat banyak. Ada drumband, teater, seni lukis, atletik, tari dan sanggar menulis.Pokoknya sangat menyenangkan. Satu sisi lain yang belum kusebutkan, yakni, meskipun ramai tapi sekolahku mempunyai halaman yang luas. Banyak bunga- bunga ditanam dalam pot yang berjejer rapi, dan ada juga pohon mangga , nangka, serta beberapa pohon perdu yang besar.

Teman-teman bermainku hanyalah teman-teman sekolah. Karena waktuku lebih banyak di sekolah daripada di rumah. Di rumah, aku hanya bermain bersama saudara-saudaraku. Dari jam 06.00 WIB aku sudah berangkat sekolah bersama ibuku, padahal aku masuk pukul 12.00 WIB. Kenapa? Karena jarak rumahku dan sekolah agak jauh, dan tak ada yang mengantarkan aku ke sekolah. Akhirnya aku ikut ibu yang mengajar di sekolahku pada pagi hari.

Sebenarnya sangatlah melelahkan, tapi aku tidak punya pilihan lain. Itulah sebabnya aku tidak punya teman bermain di rumah. Begitu pulang sekolah sore hari, langsung sholat magrib, belajar, kemudian tidur.

Selain teman-teman sekelas aku juga punya teman lain yaitu teman-teman teaterku. Kami sangat akrab, sering berlatih bersama, yang membuat kami seperti keluarga. Suka dan duka kami hadapi bersama, begitulah aku menikmati keindahan persahabatan..Hampir semua teman-temanku sangat menyenangkan. Jika ada masalah, kami segera menyelesaikannya. Jadi kami tidak pernah bermusuhan.

Setiap hari ibu membangunkanku pukul 04.00 WIB, dan kami langsung sholat subuh bersama-sama di masjid. Setelah sholat subuh aku membantu ibu menyapu lantai. Jika masih pagi kadang aku sempatkan main sepeda bersama adikku, lalu mandi bareng, berpakaian, sarapan pagi, kemudian pergi.

Sambil menunggu jam masuk sekolah, biasanya aku belajar sendiri. Terkadang ibu menemani di waktu senggangnya mengajar. Saat itulah

aku memiliki banyak waktu untuk membaca buku cerita yang aku suka. Sudah banyak buku yang aku baca, karena waktu senggang menunggu jam masuk sekolah sangat lama.

Ayahku adalah seorang yang sangat disiplin, karena ayahku adalah seorang tentara. Setiap pagi setelah sholat subuh ayahku selalu lari pagi, lalu mandi, berpakaian dan sarapan pagi bersama keluarga. Jam 06.00 WIB ayahku juga berangkat ke kantor bersama kakak tertuaku dan adikku yang paling kecil. Karena sekolah kakak dan adikku satu arah dengan kantor ayahku.

Aku memiliki tiga saudara. Kakak tertuaku laki-laki, saat ini kelas satu SMA, kakak keduaku juga laki-laki, saat ini kelas satu SMP, dan aku punya satu adik yang sangat lucu. Saat ini adikku kelas satu SD. Adiku bersekolah di SD Muhammadiyah Kreatif 20 Surabaya.

Sudah aku katakan di awal, bahwa ibuku seorang guru. Perlu diketahui, bahwa ,ibuku juga sangat disiplin. Ia selalu bangun pagi dan menyiapkan sarapan untuk kami, walaupun kegiatan ibuku sangat padat. Ibu selalu memperhatikan kami dengan teliti. Pakaian, makanan, dan hal-hal kecil sekali pun selalu menjadi perhatiannya. Oh iya, selain guru SD, ibuku juga seorang penulis lho.Dari ibulah aku banyak belajar menulis. Ibuku pernah menjuarai beberapa lomba tingkat nasional.

Yang paling lucu adalah adikku, namanya Qoriatul Jannah. Ia sangat lincah, tingkahnya selalu saja membuat heboh, apalagi jika ia dapat jurus-jurus baru pencak silat di sekolahnya (ia mengikuti ekstrakurikuler pencak silat). Selalu saja, begitu mendapat jurus baru, ia mempraktekkan padaku: buk, buk, buk, hiyaaat!Tapi ada kebiasaan jelek yang tidak terpisahkan dari adikku ini, ssst... ia masih belum bisa terpisah dari dot…. Lucu ya? Sudah besar kok masih ngedot.

Itulah cerita tentang keluargaku. Aku sangat bangga pada mereka, dan aku ingin selalu membahagiakan mereka. Bersama mereka aku merasa sangat berharga. Keluargaku adalah jiwaku.

O ya, Aku belajar menulis dari ibuku. Jika aku mendapat ide, aku mengajak ibu untuk berdiskusi. Dia selalu memberi masukan-masukan yang sangat berharga, termasuk, mengoreksi ejaan ketika tulisan itu jadi.

Aku mulai menulis sejak kelas dua, tapi hanya cerita sederhana. Sejak kelas tiga aku sudah mulai mengikuti lomba, meskipun belum

pernah meraih juara. Baru di kelas empat aku mengikuti lomba menulis cerita yang diadakan oleh Taperware, dan aku mendapat hadiah hibura berupa produk-produk dari Tapperware. Horeee....

Diantara tulisanku berjudul Lestari Hutanku Lestari Alamku, Jika Aku Menjadi, Ketika Bulan Tabot Tiba, Jika Aku Jadi Pohon, dan yang terakhir Persahabatan Si Betung, yang menceritakan persahabatan antara bambu betung dengan burung pipit dan tikus tanah.

Dari tulisan-tulisan yang aku tulis belum ada yang diterbitkan. Aku berharap suatu saat nanti, tulisan-tulisanku bisa dinikmati oleh teman- temanku yang ada di seluruh tanah air. Amin.

Pengorbanan

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 53-64)