• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nurmawulansari Rahadian

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 73-81)

H

ari ini Kamis tanggal 12 Maret 2012. Besok siswa SD Plus BBS, sekolahku, akan melaksanakan Perjusami di Hutan Cifor. Kelas 4 akan dilantik menjadi Penggalang Ramu. Sementara kelas 5 dan 6 hanya ikut berpartisipasi.

***

Mataku terbelalak demi membaca denah penjelajahanku sore ini. Ih..., rutenya melalui hutan yang sangat panjang. Belok kanan menuju Setu Gede, perumahan rakyat, baru kembali ke Lapangan Kuntum tempat kami berkemah.

“Eh, di Hutan Cifor itu konon tempat pembuangan mayat di masa penjajahan Belanda, loh!” kata Zulfa, teman satu reguku.

“Hush, tahu dari mana? Gak boleh nakut- nakutin orang kayak gitu, dong! Lagipula orang yang sudah meninggal tak mungkin hidup kembali. Jadi buat apa ditakuti,” kataku menasihati.

“Kalau jin aku percaya memang ada. Mereka itu tinggalnya di hutan, di danau, sungai, laut, batu besar, ataupun di rumah yang kosong,” Ifa menimpali.

“Ya, betul. Jangan lupa berdoa kepada Allah mohon perlindungan agar tidak diganggu oleh makhluk jin. Rute yang akan kita lalui akan melewati tempat-tempat yang tadi Ifa sebutkan,” Tasya ikut menasihati.

“Siap, Bos...!” kata kami hampir serempak. ***

Langit Cifor pukul 16.00 dipenuhi oleh awan. Itu adalah jenis awan berwarna putih, tipis, dan merata di semua sisi langit. Sungguh menakjubkan!. Subhanallah. Sepuluh regu telah diberangkatkan. Setiap regu diberi jarak keberangkatan. Aku bersama kelima kawanku berkonsentrasi pada denah dan tanda jejak yang telah dibuat oleh kakak pembina.

Memasuki Hutan Cifor, udara terasa sejuk. Cifor adalah singkatan dari Center for Internasional Foresty Research atau Pusat Penelitian Kehutanan Indonesia, salah satu dari 15 pusat penelitian perhutanan internasional. Luasnya 5 hektar. Menurut Pak Wendy, guru PLH-ku, kantor Cifor yang berada di dalam lokasi hutan ini didirikan pada tahun 1993. Tujuannya untuk melestarikan lingkungan di samping sebagai pusat penelitian dunia. Itulah sebabnya hutan ini tetap terjaga

kelestariannya, sehingga menjadi paru-paru kota Bogor Barat.

Keluar dari wilayah hutan, ada jalan bercabang yang harus kami pilih. Tanda jejak di atas batu menunjukkan kami harus berbelok ke kiri, ke arah Danau Situ Gede. Aku sempat melihat Regu Banteng berbelok ke arah kanan. Degg..., jantungku berdetak sangat kencang. Kucoba berteriak sekeras-kerasnya untuk memangil mereka. Tapi mereka malah melambaikan tangan. Sayup-sayup terdengar jawaban, “Waktunya masih lama...! Jalan-jalan dulu...!” Astagirullahaladzdziim..., alamat gawat!

***

Senja semakin mengabur dalam bayangku. Diam-diam bulan yang pucat mulai mengintip dari langit yang semakin kelam. Semakin pucat pula wajah kami berlima ketika kami melangkah semakin jauh dari arah yang tertera dalam denah. Kami dihadapkan pada buah simalakama. Ikut terus mengikuti Regu Banteng, semakin tak jelas arah. Mau kembali, juga sudah tak hafal lagi jalan yang telah dilalui. Sementara orang-orang sudah menutup pintunya rapat-rapat masuk ke dalam rumah masing- masing.

“Kamu sih, Wulan, sok pahlawan. Tahu mereka itu pada keras kepala, masih saja kamu mau mengingatkan.” sungut Zulfa padaku.

“Bukannya aku ingin jadi pahlawan, tapi sebagai teman, kita harus saling mengingatkan.” sahutku membela diri.

“Iya, tapi kalau gara-gara menolong teman, kita jadi celaka. Kan berabe juga jadinya,” kali ini Tasya yang pendiam ikut menimpali.

Kini kami berhasil mengejar Regu Banteng, setelah sekian jarak yang kami lalui. Mereka sudah tampak kelelahan. Terlebih karena kaki Lubab cedera, kuku kakinya berdarah, entah kenapa.

“Kataku juga apa..., kalian duluan aja! Kita gak bakal kenapa-napa kok. Masalahnya, rintangan yang diberikan gak asiyk. Laki-laki kan perlu tantangan.” Naufal memarahi kami.

“Eh, mau ditolong kok malah marah. Kita tuh cuma mau ngasih tahu, kalian itu gak amanah terhadap perintah guru, gak disiplin! Aku tuh takut kalian celaka kalau kalian membangkang perintah guru!” sahutku tak kalah sengit.

“ Alaah..., simpan dulu tuh dakwahmu buat ntar di masjid!!” Bilal mengejek kami.

“Sudah, sudah...! Bilal mahgak usah didengerin, anggap saja radio butut!” ujarku sambil melenggang meninggalkan Regu Banteng.

“Huh, nambah susah! Di mana-mana cewek bikin berabe...!” sungut Bilal.

“Yeee...!” lawan aku dan teman-teman Regu Teratai serempak. Mau gak mau, kami akhirnya ikut juga dengan mereka.

***

Rumah penduduk terakhir sudah kami lewati. Kini di kanan-kiri kami hanyalah hutan-hutan kecil yang gelap. Segalanya pun semakin gelap. Suara jangkrik terdengar saling bersahutan. Belum lagi suara tongeret yang semakin memekakkan telinga. Bunyinya, “tongereeettt..., tongereeettt...!” Ih..., rasa takut menyusup ke dalam rongga-rongga hatiku. Seluruh tubuhku menggigil. Kurasa, teman-temanku pun merasakan hal yang sama.

“Hei..., tahu gak, katanya kalau ada suara tongeret, suka ada....” “Ajiiii....!!! Nyebut..., nyebut...! Ini Maghrib, tahu!“ Zulfa menutup kedua telinganya.

“Ya Allah...! Hantunya buat Aji aja, ya Allah...! Kami mah anak baik- baik...” Ilham komat-kamit. Sementara Aji hanya cengar-cengir. Kami melanjutkan perjalanan. Gemericik air Setu menambah keangkeran suasana. Tiba-tiba....

“Bruuuukkkkk....!”

“Tasyaaaaaa...!” kami berteriak. Tubuh Tasya terkulai lemas di tangan Ifa. Bibirnya membiru, begitu pula dengan jari-jari tangannya.

“Duh, gimana, nih. Gara-gara kalian, sih...!“ Ifa berusaha menahan tubuh Tasya. Matanya yang gusar menatap tajam kepada Naufal dan teman-temannya.

“Lho, kok aku sih yang disalahin? Salah sendiri ngikutin kita. Sekarang giliran gini, aku yang disalahin,” Naufal mengelak. Tapi kegusaran yang ada tak bisa dihalaunya.

“Naufal...! Cepat minta pertolongan!“ ujar Zulfa sambil mengoleskan minyak angin ke hidung Tasya.

“Ke mana...?” Naufal semakin panik, tak tahu apa yang harus dilakukan.

“Jadi, sekarang gimana nih? Kita teruskan atau balik lagi ke kampung?” tanya Rifki.

“Emmm..., gimana, ya? Kembali ke kampung yang tadi sudah jauh, ke kampus juga masih jauh. Sekarang kita tepat berada di lokasi Situ Burung,” kata Naufal menimbang-nimbang.

“Aduh, mana gerimis lagi...!” keluh Zulfa tertahan.

“Tasya belum sadar-sadar, lagi,” kata Hana semakin memperkalut suasana.

Sejenak hening melingkupi kami. Kabut pun mulai turun, menyelimuti keheningan di Situ Burung. Kami duduk termenung memikirkan apa yang harus diperbuat. Sementara itu, ketakutan semakin mencekik. Belum lagi kebingungan menghadapi Tasya yang tak bergerak sedikit pun. Segala upaya sudah dilakukan. Rupanya Tasya kelelahan, kemudian ditambah dengan ketakutan yang tak tertahankan. Di tengah keheningan....

“Bagaimana kalau sekarang kita shalat Maghrib dulu, waktunya sudah masuk. Setelah itu kita shalat hajat, memohon pertolongan Allah supaya diberikan jalan keluar!” tiba-tiba Rifky memecah keheningan yang kami ciptakan.

“Astaghirullah, ya benar! Ketakutan telah membuat kita lupa. Ayo, kita ambil air wudlu! Tasya tidak boleh ditinggalkan, kita bergantian saja menjaganya,” tak sadar aku ambil perintah. Teman-teman pun seakan baru ingat dengan kewajiban muslim yang tidak boleh ditinggalkan tersebut. Rupanya syetan telah mengganggu kami melalui kekalutan.

Akhirnya, kami shalat maghrib berjamaah, diimami oleh Rifky. Selesai shalat maghrib, kami shalat hajat, memanjatkan pertolongan kepada Sang Khalik agar kami terlepas dari masalah yang sedang dihadapi.

Allah memang tidak pernah tidur dan lelah dalam mendengarkan permintaan manusia. Sesaat setelah kami menyelesai shalat, tiba-tiba..., sebuah cahaya menyilaukan pandangan kami. “Kuntilanaaakkk...!!!” teriak Aji sembari lari tunggang langgang. Kami baru saja bersiap mengambil langkah seribu ketika kemudian sadar bahwa itu adalah cahaya dari sebuah mobil bak terbuka...!!!

“Ajii..., jangan lari...! Ada mobil, Ji...!”

“Hah, mobil..?” Aji berbalik arah dan serta-merta menyetop mobil yang sudah tepat berada di hadapannya. Kami berbincang-bincang dengan pak sopir, yang akhirnya mau mengantar kami ke Lapangan Kuntum Cifor.

“Allahu Akbar! Allah menjawab doa kita,” kataku bersemangat. Hana dan Ifa segera membopong Tasya ke dalam mobil. Kami pun segera duduk di dalam mobil bak terbuka itu. Setelah semua naik, kami bersujud syukur karena Allah SWT telah bermurah hati menolong kami, sehingga kami tidak perlu bermalam di Situ Burung yang mencekam.

***

Hiruk-pikuk di Lapangan Kuntum serentak berhenti ketika melihat kedatangan kami. Segera kami berlutut memohon maaf kepada kakak pembina yang ada di dekat kami.

“ Maafkan kami, Kak. Kami sudah mengkhianati amanat yang telah diberikan kakak-kakak. Maafkan kami yang sok jago ini, kak. Tadinya kami ingin mencari tantangan, tahunya, kami malah tersesat. Kami menyesal, telah mengabaikan perintah dan nasihat dari semuanya.” Naufal, pentolan regu yang banyak gaya itu menangis di pelukan Kak Bagus.

“Sebenarnya, kakak hanya ingin kalian mencintai alam, bukan untuk mencari tantangan. Mencintai alam membuat kita lebih menghargai penciptanya,” jelas Kak Bagus.

“Apakah Kakak memaafkan kami semua?” suaraku tertahan. Sejenak kemudian..., kulihat Kak Bagus mengangguk. Serentak kami bersorak riang.

“Ya Allah...! Anak-anak..! Kalian kemana saja? Ibu khawatir dengan kalian...” Bu Selvi menghambur memeluk kami sambil menangis.

“Maafkan kami, Bu..., kami sudah melalaikan amanat dari Ibu.” kataku sambil menangis sesenggukan. Pak Wendy pun menghampiri kami.

“Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran bagi kalian. Hidup itu perlu aturan. Sudah menjadi kewajiban bahwa setiap anak harus patuh pada perintah orangtuanya. Allah yang memerintahkan seperti itu. Aturan dibuat untuk keselamatan kita semua.” Bu Selvi membelai kepala kami dengan lembut.

“Kruyyuuuukkk...,” terdengar suara aneh di dekat kami. “Suara apa itu?” tanya Bu Selvi sambil tersenyum penuh arti. “Perut aku, Bu. Hehehe...,” ujar Tasya.

“Hahahaha..., Ibu tahu kalian lapar. Seharian berjalan kaki dan bergelut dengan ketakutan, membuat kalian lapar dan haus, bukan?

Kemarilah, ada kentang kukus dan ayam bakar untuk kalian..!” Bu Selvi tertawa. Tak lama, Bu Arya datang sambil membawakan senampan besar makanan dan minuman pada kami. Hey..., dimanja, nih! Itulah orangtua. Meski anak-anaknya berbuat salah, kasih sayangnya tidak pernah luntur. Guru-guru kami sudah seperti orangtua kami sendiri.

“Assyikkkkk...! Ayo kita makan... !” teriak kami serempak. “Serbuuuuuuuuuuu...!” Kami segera melibas makanan di hadapan kami. Pokoknya, ini adalah pengalaman yang paling menegangkan, mengasyikkan, sekaligus mengharukan di dalam hidupku. [*]

Mengenal Lebih Dekat

Nurmawulansari Rahadian

Aku lahir di Sumedang, 27 Maret 2002. Tapi kini aku menetap di sebuah tempat yang sejuk dan asri di Perumahan Darmaga Pratama Blok G 1 Nomor 27 Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Meskipun sekarang aku tinggal di Bogor, tapi tetanggaku bukan berasal dari Bogor saja, melainkan dari berbagai pelosok di Indonesia. Selain dari berbagai tempat di Jawa Barat, ada juga yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Batak, Padang, Sulawesi , bahkan Kalimatan.

Aku bersekolah di SD Plus Bina Bangsa Sejahtera Bogor. Ini adalah sekolah swasta dengan tambahan pelajaran Al Quran-Hadits, bahasa Arab, komputer, dan outbound. Aku senang bersekolah di sini. Selain tempatnya yang nyaman, guru-gurunya pun sabar-sabar dan santun. Aku belajar banyak hal di sini.

Aku jarang sekali bermain di rumah. Paling kalau ada acara RT, biasanya bapak-bapak, ibu-ibu, beserta anak-anak, berkumpul di mushola Al Muhajirin, mushola kebanggaan kami. Misalnya pada acara Halal Bihalal, 17 Agustusan, Idul Qurban, dan lain-lain. Namun, walaupun jarang bertemu di rumah, di sekolah aku sudah “kenyang” bermain dengan mereka. Kebetulan teman-temanku di perumahan banyak yang satu sekolah denganku di SD Plus BBS.

Biasanya, aku menghabiskan waktuku di sekolah. Berangkat dari rumah pukul 06.00 WIB. Aku beruntung, semua anggota keluargaku satu arah denganku menuju kota Bogor dalam menjalankan rutinitas kesehariannya. Pulang pun bersama-sama lagi, pukul 15.00 WIB. Sampai di rumah lelahtentu tak terhitung lelahnya. Tapi karena sudah biasa, semua ini kunikmati saja.

Ayah ibuku adalah pendidik. Ayahku guru tetap Yayasan SMA

Plus BBS. Sementara ibuku seorang pendidik di salah satu SMP di kota

Bogor. Beberapa kali ibu diminta oleh sekolahku sebagai guru tamu. Guru tamu adalah orangtua murid yang diundang pihak sekolah untuk memberikan materi sesuai keahliannya. Ini bisanya diadakan tiap hari Jumat secara bergiliran. Ibu kerap menyajikan materi sastra. Kakakku Teh Lita, juga suka sastra. Dia menulis banyak cerpen. Sebagian sudah diikutkan dalam lomba. Sementara itu, adik bungsuku Nizami, saat ini duduk di kelas B TK Plus Al-hikmah BBS. Selain membaca, Nizami sudah bisa menulis cerpen juga. Cerpennya yang sedang digarap berjudul “Asyiknya Berkemah di Sekolahku”. Bahasanya lucu sekali.

Keluargaku senang membaca dan menulis. Aku sudah menulis sejak kelas 2 Sekolah Dasar. Tapi, baru diikutsertakan dalam lomba pada tahun 2011. Alhamdulillah, cerpenku yang berjudul “Kuda Renggong Chika “ menjadi 20 cerpen terbaik di KKPK Mizan. Kebahagiaanku pun bertambah pada saat cerpenku yang berjudul “Kutemukan Sebuah Pelajaran dalam Perjalanan“ lolos dalam seleksi Lomba Menulis Cerpen (LMC ) bagi SD/MI Tahun 2012 ini. Cerpen yang berhasil kutulis ada sekitar enam buah. Aku mendapatkan idenya dari pengalamanku sendiri, atau dari membaca pengalaman orang lain. Selain cerpen, aku juga menulis puisi. Tulisanku ada ditulis di buku harian, ada juga yang kutulis di laptopku.

Sudah banyak buku yang kubaca, terdiri dari buku-buku ilmu pengetahuan maupun cerita. Terkadang majalah Ummi langganan ibu pun “kugarap”. Buku KKPK menjadi favoritku. Majalah Sastra Horison yang kupinjam di perpustakaan sekolah pun aku suka, meskipun cerpen-cerpennya agak sulit kupahami. Novel best seller kepunyaan kakak-kakak penulis pun sudah kubaca semua: Sepatu Dahlan, Hafalan Shalat Delisa, Laskar Pelangi, Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas- nya Andrea Hirata, Negeri Lima menara, dan lain-lain.

Biar Kuno Tapi

Dalam dokumen e book LMC SD MI 2012 (Halaman 73-81)