• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai Pengalaman Indonesia termasuk HAM dalam Sertifi kasi dan Verifi kasi Legalitas

Menuju Produksi Minyak Sawit yang Bertanggung Jawab

2.2 Berbagai Pengalaman Indonesia termasuk HAM dalam Sertifi kasi dan Verifi kasi Legalitas

Wacana mengenai standarisasi kehutanan yang harus memperhatikan hak masyarakat adat dan komunitas lokal bukanlah suatu ide baru di Indonesia. Wacana tersebut

hingga kini masih terus bergulir di kalangan pemerhati kehutanan khususnya pada isu metode penebangan di Indonesia dan Malaysia yang disinyalir kerapkali dilakukan tanpa menghiraukan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Praktek penebangan kayu di Indonesia ini selanjutnya mendorong pengadopsian kriteria sosial dalam pembuatan standar Forest Stewardship Council (FSC). Prinsip dan kriteria FSC mensyaratkan operasi penebangan kayu dengan beberapa ketentuan: menghormati hukum adat dan hak ulayat atas atas tanah; memastikan kewenangan masyarakat lokal atas pengelolaan tanah; penguasaan atas tanah dapat didelegasikan kepada pihak lain apabila ada persetujuan tanpa paksaan dari masyarakat; memastikan adanya mekanisme yang efektif untuk menyelesaikan konfl ik; melindungi tempat-tempat yang memiliki nilai secara sosial, kultural dan ekonomi; memberikan kompensasi kepada masyarakat adat atas pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka; menghormati hak-hak para pekerja sesuai dengan standar organisasi buruh internasional (International Labour Organisation/ILO).4

Praktek penebangan hutan di Indonesia seringkali menemui berbagai kesulitan untuk memenuhi standar-standar tersebut karena kebijakan pemerintah mengenai pengalokasian konsesi HPH diterbitkan tanpa memperhatikan hak masyarakat lokal maupun masyarakat adat.

Sebuah penelitian mengenai penerapan prinsip dan kriteria yang terkait dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat di Indonesia, yang kemudian diterima oleh Dewan FSC, menemukan bahwa kerangka acuan hukum dan kebijakan di Indonesia merupakan salah satu akar permasalahan mengapa pematuhan standar FSC menjadi sangat sulit di Indonesia. Kebiasaan dan hukum adat adalah konsep hukum yang mendasar di Indonesia dan diakui dalam Undang-Undang Dasar Indonesia serta peraturan-peraturan lainnya. Namun demikian, peraturan-peraturan tersebut kerapkali bertentangan antara satu dengan yang lain dan hanya sedikit dimengerti oleh kebanyakan pegawai pemerintah. Penelitian mencatat bahwa:

Negara Indonesia tidak memiliki ukuran yang jelas dalam mengamankan hak adat atas tanah dan hutan. Terlebih lagi, hanya sedikit peraturan dan ketentuan hukum di Indonesia yang mampu memfasilitasi penerapan persetujuan tanpa paksaan. Sebaliknya, model pembangunan, sistem administrasi maupun hukum di Indonesia tidak menghormati hak adat, memandulkan lembaga adat dan mendorong pengelolaan hutan yang top down yang melanggar norma-norma yang diakui secara internasional. Kebijakan kehutanan di Indonesia saat ini juga sangat sulit untuk memenuhi, atau bahkan bertentangan dengan standar FSC.5

Menindaklanjuti sebuah riset yang dilakukan oleh ICRAF, tim peneliti mengkompilasi data-data dari Departemen Kehutanan dan menemukan hanya 12% hutan di Indonesia telah ditebang secara sah. Wilayah hutan telah ditetapkan sebagai Wilayah Hutan Negara dan dialokasikan pada perusahaan-perusahaan tanpa melalui prosedur yang sah yang

seharusnya mengecualikan wilayah masyarakat adat.6 Penelitian tersebut juga menunjukan

bahwa meskipun hutan telah ditebang, ketentuan hukum untuk mendapat persetujuan dari masyarakat atas tata batas lahan belum terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas penebangan tersebut sangat diragukan keabsahannya.7 Penelitian selanjutnya yang

dilakukan oleh ICRAF menunjukkan bahwa berdasarkan data Menteri Kehutanan, hanya 8% konsesi kayu di Indonesia yang lokasi konsesinya telah selesai ditata batas. Artinya, sebagian besar konsesi kayu secara tekhnis tidak sah. Prinsip FSC juga sulit diaplikasikan di Indonesia karena negara ini belum mengembangkan interpretasi nasional atas standar asli FSC. Artinya, belum ada verifi kasi tertentu yang disepakati dan dikembangkan secara bersama untuk mengklarifi kasi beberapa kriteria yang FSC yang belum jelas dan cukup riskan diterapkan dalam konteks Indonesia.

Organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia juga telah mengembangkan sistem nasional untuk sertifi kasi kayu dengan bantuan sebuah LSM berbasis konstituen, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Sistem LEI telah memasukkan kriteria sosial pada skema pelabelannya. Namun, dengan alasan yang sama seperti prosedur FSC, pemberi sertifi kat ekolabel tersebut baru bisa mengidentifi kasi satu dari ribuan konsesi kehutanan yang pantas untuk mendapatkan sertifi kat. Terlebih lagi, pemberian serti kat LEI tersebut memicu konfl ik horisontal di antara beberapa pemegang konsesi kehutanan, karena kegagalan beberapa operator yang mendapatkan sertifi kasi LEI mengenai penghormatan hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka.

Tingginya transaksi perdagangan kayu ilegal di pasar internasional telah meningkatkan kepedulian dan tuntutan masyarakat internasional terhadap efektifi tas penegakan hukum di bidang kehutanan baik di negara penghasil ataupun negara pembeli kayu. Perbandingan data tentang jumlah perdagangan kayu menunjukkan bahwa jumlah kayu yang ditebang dan diproses di Indonesia tiga kali lebih besar dari jumlah kayu yang seharusnya boleh ditebang. Hal ini berarti bahwa sekitar 60% dari jumlah kayu tebang yang terpantau ditebang secara ilegal.8

Sebagai bagian dari Nota Kesepahaman antara pemerintah Inggris dan Indonesia mengenai dukungan pemerintah Inggris terhadap upaya penegakan peraturan kehutanan dan pemberantasan pembalakan liar di Indonesia, Pemerintah Inggirs memberikan dana melalui Departemen Pemerintah di Inggris untuk Pembangunan Internasional (DFID) kepada The Nature Conservancy (TNC) untuk mengembangkan sebuah standar hukum untuk produksi kayu di Indonesia.9 Berdasarkan hasil review sekitar 900 peraturan hukum

di Indonesia yang terkait dengan kehutanan, standar hukum tersebut mengharuskan kepatuhan pada beberapa prosedur yang dirancang untuk menghargai hak-hak masyarakat atas tanah, hutan dan sumberdaya alam didalamnya serta mendapatkan persetujuan tanpa paksaan dari masyarakat dalam proses penebangan hutan, tata batas lahan hutan serta perencanaan tata ruang wilayah provinsi. Peraturan hukum tersebut juga mensyaratkan penerapan analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan pengembangan rencana

pengelolaan untuk mengeksploitasi wilayah konsesi serta menerapkan perhitungan bagi hasil sesuai dengan peraturan yang berlaku.10 Sejauh ini, belum ada satupun konsesi hutan

yang teridentifi kasi memenuhi standar-standar tersebut.

Saat ini, sebuah versi sederhana dari Standar Hukum TNC/DfID sedang diterapkan oleh WWF-Indonesia pada sebuah proyek unggulan (pilot project), sebagai langkah awal untuk mempromosikan sertifi kasi berkala (Phased Certi cation) yang dilakukan oleh the Global Forests and Trade Network melalui kantor perwakilannya di Indonesia, Nusa Hijau. Sejauh ini, Nusa Hijau baru berhasi merekrut satu anggota karena kebanyakan pemegang konsesi kehutanan tidak mampu menunjukkan bahwa lahan konsesi mereka telah selesai ditata batas dan ditebang dengan benar, dan bahwa masyarakat lokal telah menyepakati tata batas tersebut.11

Singkatnya, prosedur sertifi kasi di Indonesia umumnya telah berusaha melindungi hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat atas tanah dan hutan mereka.12 Namun demikian,

permasalahan yang terdapat pada hukum dan kebijakan di Indonesia menyebabkan hanya sebagian kecil dari jumlah produksi kayu di Indonesia yang telah disertifi kasi. Sebagian besar operasi penebangan kayu di Indonesia ternyata ilegal dan memerlukan reformasi hukum besar-besaran di bidang kehutanan, baik terhadap peraturan maupun institusi kehutanan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pemerintah Indonesia mencoba menjawab kebutuhan tersebut melalui penyusunan dan penerbitan revisi Undang-Undang Kehutanan (UU 41/1999) yang merupakan bagian dari program reformasi hukum (PROLEGNAS 2005-2009).

Pengalaman Indonesia di bidang sertifi kasi kayu dan veri kasi hukum memiliki implikasi besar pada berbagai pihak yang pada saat ini sedang menyusun standar untuk sektor perkebunan kelapa sawit. Agar konsisten dengan syarat-syarat Undang-Undang Dasar di Indonesia dan kewajiban-kewajiban Indonesia dibawah hukum internasional, standar yang disusun harus mengakui hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Namun dalam kenyataannya, hanya sedikit kinerja konsesi yang sesuai dengan standar-standar dan peraturan yang berlaku karena kurangnya ketaatan pegawai pemerintah pada peraturan serta kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan.

2.3 Permasalahan dalam Kriteria Ramah Petani Sawit (smallholder friendly