• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai salah satu bagian dari investigasi penelitian ini, tim peneliti melakukan kunjungan lapangan ke tiga propinsi untuk memahami bagaimana proses pembebasan tanah dipraktekkan dan melihat akibat-akibat yang ditimbulkan dari proses ini dalam perspektif masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Pada penelitian pertama, tim peneliti melakukan investigasi situasi masyarakat ‘Pesisir’ di bagian selatan Lampung, Sumatra yang merupakan wilayah perluasan perkebunan PT KCMU. Empat penelitian lainnya menginvestigasi beroperasinya empat perusahaan (PT MAS, PTP XIII, PT CNIS dan PT SIA) yang telah memperoleh tanah di berbagai wilayah suku Dayak di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Empat perusahaan tersebut telah terlibat dalam pengembangan kelapa sawit cukup lama. Kasus terakhir yang diteliti adalah wilayah beroperasinya PT PHP di tanah Minangkabau, Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat.

Rincian data dan analisis enam penelitian tersebut diatas cukup bervariasi. Hal ini terjadi karena jumlah informasi mengenai setiap kasus studi yang diperoleh tim peneliti berbeda- beda. Pada beberapa kasus, perusahaan dan pegawai pemerintah memiliki informasi dan dokumentasi yang cukup bagus mengenai operasi perusahaan-perusahaan tersebut. Didalam kasus lain, mereka tidak memiliki informasi dan dokumentasi yang cukup memadai. Beberapa pegawai pemerintah juga sangat terbuka ketika diwawancarai meski pengawai pemerintah lainnya menolak untuk diwawancarai. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kedalaman investigasi yang dilakukan oleh tim peneliti. Alasan lain mengapa kedalaman investigasi dari kasus-kasus studi penelitian ini berbeda karena beberapa anggota tim peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian pada lokasi-lokasi studi tersebut. Di beberapa wilayah, anggota tim telah memiliki detil pengetahuan mengenai situasi lokal. Di wilayah lain, tim peneliti benar-benar baru melakukan penelitan mengenai perusahaan- perusahan tersebut.

Namun, kasus-kasus studi tersebut memiliki beberapa persamaan, diantaranya perusahaan- perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut telah beroperasi diatas tanah ulayat. Penelitian ini juga memperlihatkan tindakan-tindakan masyarakat dalam menghadapi perusahaan- perusahaan tersebut. Ditambah lagi, prosedur hukum yang digunakan oleh perusahaan untuk memperoleh tanah juga sangat bisa diperdebatkan.

4.1 PT KCMU

4.1.1 Orang Pesisir dan Perkebunan Kelapa Sawit:

Masyarakat Adat Pesisir tinggal di sebelah Barat Propinsi Lampung yang membentang dari utara di Pagar Bukit (Kecamatan Pesisir Utara) sampai dengan Pesisir Selatan (sekarang Kecamatan Bengkunat). Wilayah ini berada diantara pegunungan Bukit Barisan dan Samudra Hindia. Daerah ini sejak lama dianggap sebagai wilayah yang dibebani hak adat, terdiri dari 16 wilayah adat yang disebut marga dan dikepalai oleh seorang Sai Batin yang diwariskan secara turun temurun. Beberapa tahun lalu, wilayah adat pesisir dibagi secara administratif menjadi lima daerah kecamatan.1

Masyarakat adat disini mempraktekkan kebun campuran dengan menanam lada, dan damar (shores javanica) serta juga memiliki sawah irigasi yang luas di sekitar kampung. Budidaya damar sudah dipraktekkan sejak 100-200 tahun yang lalu, setelah getah damar dari hutan alam dirasa sulit didapat dari hutan, padahal permintaan atas getah damar cukup banyak. Getah damar telah menjadi komoditas ekspor penting sejak abad ke 17.2

Pada tahun 1930-an, masyarakat adat sepakat untuk menyerahkan sebagian tanah marga mereka yang berada di punggung Bukit Barisan kepada Pemerintah Belanda guna dijadikan kawasan perburuan dengan nama Cagar Alam Ratu Wilhemina. Kesepakatan ini dilakukan melalui proses yang panjang dengan memberikan beberapa pengecualian dan hak-hak khusus pada masyarakat adat untuk tetap dapat mengumpulkan damar batu serta hak khusus atas sarang burung di beberapa wilayah yang menjadi kawasan konservasi. Batas tersebut ditata batas dan diberi patok batas yang dikenal sampai saat ini sebagai batas BW (Bosswessen atau kawasan hutan pada masa itu).

Sekitar tahun 1980-an, gelombang migrasi penduduk ke wilayah marga Tenumbang dan marga Ngambur cukup besar. Dimulai dengan kehadiran tiga keluarga Bali yang diundang untuk membantu mengendalikan hama babi yang sering mengganggu kebun dan sawah. Gelombang pertama tersebut diikuti oleh gelombang migrasi selanjutnya yang terdiri dari keluarga Suku Jawa, Sunda Batak, Semendo dan Bugis, sehingga populasi pendatang mencapai 60% dari jumlah penduduk setempat. Para migran tersebut mendapat tanah tersebut melalui proses jual beli dan dilegalkan dengan penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) oleh kepala desa namun tanpa melibatkan kepala adat/marga (Sai Batin). Tidak seperti di Marga Tenumbang dan Marga Ngambur, masyarakat pesisir Marga Bengkunat masih lebih terikat dengan sistem adat. Sai Batin masih memegang peran penting dalam penyelesaian konfl ik tanah. Secara umum sistem ini berjalan tanpa kejelasan status formal tanah masing-masing pemiliknya, dan dilaksanakan atas dasar rasa saling percaya.

Pada tahun 1990, masyarakat adat tersebut dikejutkan dengan penunjukan perluasan Kawasan Hutan (kelompok hutan pesisir seluas 40.000 hektar). Pemerintah menjadikan wilayah tersebut sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Hak pengusahaannya diberikan kepada HPH PT. Bina Lestari dan tugas rehabilitasi diserahkan kepada PT Inhutani V. Kegiatan penebangan hanya dapat dilakukan pada wilayah yang masih berhutan sedangkan pada wilayah yang sudah menjadi repong damar tidak dapat dimasuki oleh HPH tersebut. Rehabilitasi hutan secara praktis dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan bibit damar dari PT Inhutani V.

Perubahan besar atas pengelolaan sumberdaya di wilayah masyarakat pesisir terjadi pada tahun 1994/1995. Pemerintah Indonesia mengeluarkan ijin prinsip pada dua perusahaan besar kelapa sawit di luar wilayah hutan yang telah diperluas. PT. Panji Padma Lestari Limited (PT PPL) diberi konsesi diatas tanah adat dari marga Malaya, sementara PT Karya Canggih Mandiri Utama (PT KCMU) diberi konsesi yang tumpang tindih dengan wilayah tanah adat Marga Tenumbang, Marga Ngambur dan Marga Bengkunat. Namun, hampir seluruh wilayah konsesi yang diusulkan telah dikelola secara intensif oleh masyarakat sebagai repong damar, kebun kelapa dan juga sawah.3

Menanggapi aspirasi dari masyarakat lokal dan LSM, Menteri Kehutanan membuat kompromi dimana hampir seluruh wilayah repong damar yang dijadikan Hutan Negara (walaupun kenyataannya dikelola oleh masyarakat), kemudian dijadikan sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI) melalui sebuah SK Gubernur. SK ini menghentikan seluruh operasi penebangan kayu diwilayah tersebut dan mengakui hak-hak komunitas untuk melanjutkan repong damar mereka dalam waktu yang tidak terbatas. SK ini dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah terobosan dalam kebijakan kehutanan karena memberikan akses publik ke hutan dan mengakui manfaat dari pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang berbasis masyarakat.4

Pada saat yang sama, terjadi penolakan terus-menerus dari masyarakat adat terhadap ijin yang dikeluarkan untuk perkebunan kelapa sawit. Hal ini kemudian direspon oleh pemerintah lokal dengan mencabut ijin tersebut. Meskipun terdapat berbagai masalah di wilayah PT KCMU, ijin kedua perusahaan tidak dicabut. Hal ini membuat perwakilan masyarakat memandang bahwa pemerintah daerah tuli karena tidak mendengarkan penolakan mereka.

4.1.2 Perspektif Masyarakat:

Kenyataannya, sejak tahun 1984 PT KCMU sudah mulai mendekati masyarakat Desa Pekon Marang yang berada di perbatasan wilayah antara Marga Ngambur dan Marga Tenumbang. Bersama dengan camat (kelapa kecamatan), wakil dari perusahaan mengunjungi masyarakat adat. Mereka menjelaskan rencana mereka untuk membuat

wilayah tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit. Menurut wakil perusahaan, setiap peserta akan mendapat kredit uang untuk membeli bibit, peralatan dan pupuk. Wakil perusahaan juga mencoba membujuk masyarakat untuk berpartisipasi dalam rencana perkebunan ini dengan menjanjikan keuntungan yang cukup signifi kan.

Penjelasan tersebut menumbuhkan harapan masyarakat Pesisir untuk dapat meningkatkan pendapatan dari tanah mereka yang terbatas. Akibatnya, banyak anggota masyarakat mendaftarkan diri dalam skema tersebut dan rata-rata mengtransfer 1 hektar tanah/ keluarga – sekitar sepertiga dari luas tanah mereka– untuk perkebunan. Data tersebut juga memperlihatkan bahwa masyarakat adat telah mendaftar dan melimpahkan sebagian tanah mereka kepada perusahaan. Luasan tanah tersebut lebih luas dari tanah yang dilimpahkan kepada perusahaan oleh pendatang, meskipun perusahaan tersebut menghargai tanah pendatang lebih tinggi daripada tanah masyarakat adat.

Pada tahun 1985, bupati mengeluarkan SK mengenai alokasi tanah untuk perkebunan inti untuk para petani dari PT KCMU. SK tersebut mensyaratkan perusahaan untuk mengalokasikan tanah yang mereka peroleh dengan perbandingan 40 persen untuk lahan perkebunan inti dan 60 persen untuk anggota masyarakat yang telah mendaftarkan tanah mereka melalui skema plasma. SK tersebut juga mengatur secara rinci pembayaran kredit petani, dengan perhitungann sebagai berikut: kredit merupakan hutang dengan jumlah Rp 7,4 Juta/ha, cicilan 30% dari hasil kebun mulai tahun ke 7 yang disalurkan melalui koperasi, hasil dipetik perusahaan dan dibayarkan setiap 3 bulan sekali. Sertifi kat tanah plasma akan diberikan kepada petani (konversi) setelah utang lunas dibayarkan. Akan tetapi, keberhasilan kredit sangat rendah dan perusahaan ternyata beminat menguasai tanah-tanah tersebut melalui proses pembelian tanah.

Ketika masyarakat kemudian mengetahui peraturan tersebut, mereka melakukan perlawanan dengan mengajukan keberatan dan melakukan demonstrasi. Akibatnya, 9 pemimpin masyarakat ditahan dan diadili, serta dijatuhi hukuman penjara selama 3 bulan 20 hari. Saat itulah YLBHI terlibat untuk melakukan pembelaan terhadap masyarakat serta berhasil membatalkan sistem 40/60 pada tahun 2000. Karena tidak mendapatkan lahan inti dengan sistem 40/60, perusahaan saat ini merubah strategi mereka dengan membeli tanah masyarakat secara langsung.

Pada masa orde baru, masyarakat hampir tidak pernah bernegosiasi dengan perusahaan. Pemerintah selalu berada di depan dalam proses negosiasi, sementara perusahaan berada di belakang mereka. Secara aktif pemerintah dan militer memberi tekanan terhadap masyarakat untuk menyetujui kehadiran perusahaan tersebut. Setelah reformasi, keadaannya terbalik dimana perusahaan aktif melakukan negosiasi dan pemerintah berada di belakang. Tetapi hubungan antara pemerintah dan perusahaan masih meninggalkan tanda tanya di benak masyarakat yang merasa tidak dilindungi oleh pemerintah dalam mempertahankan hak- haknya di masa orde baru maupun pasca reformasi.

Testimoni Amrullah