• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDONESIA (Hektar)

Rencana Perluasan oleh Pemerintah untuk Perkebuan Kelapa Sawit

Perkebuan Kelapa Sawit Tertanam

Berbagai kecenderungan, perencanaan dan proyeksi yang telah teruraikan di atas berpotensi memberikan dampak yang luar biasa terhadap kawasan hutan Indonesia serta masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung pada sumber-sumber penghidupan di hutan. Misalnya kemungkinan peningkatan laju perusakkan hutan akibat penggundulan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang secara historis memang disinyalir sebagai pemicu utama degradasi hutan. Lalu bagaimana implikasi hal-hal tersebut di atas pada komunitas lokal dan masyarakat adat? Memprediksikan dampak yang mungkin timbul terhadap komunitas lokal dan masyarakat adat tentulah tidak semudah menggambarkan rencana dan target pemerintah. Seperti yang akan dijelaskan secara rinci pada pada bab 3, hukum Indonesia mewajibkan para pengembang perkebunan kelapa sawit yang mencari tanah untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk menjalani prosedur hukum yang kompleks, meliputi serangkaian proses perencanaan dan negosiasi dengan pemerintah pusat dan daerah (untuk menjamin akses ke lahan calon lokasi perkebunan dan keabsahan konversi hutan menjadi perkebunan) serta dengan komunitas lokal (untuk mendapatkan persetujuan yang dibutuhkan dalam proses pembebasan tanah).

Pada bab berikutnya, buku ini akan menjelaskan berbagai upaya telah dilakukan oleh industri kelapa sawit dan organisasi masyarakat sipil dalam pembentukan sejumlah standar yang mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit yang lebih terencana dan menghormati hukum, hak asasi manusia, prinsip-prinsip lingkungan dan pengelolaan yang lebih baik. Jika standard-standar tersebut dipatuhi, maka pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak boleh lagi dilakukan pada lahan yang berada di kawasan hutan serta kawasan di mana ekosistemnya memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun harus dilakukan di lahan yang sudah terdegradasi dan nilai keanekaragaman hayati yang rendah serta mendapatkan persetujuan tanpa paksaan dari komunitas lokal.

Mungkin banyak orang mempertanyakan keinginan pemerintah daerah mengkonversi 20 juta hektar lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, sementara kebutuhan global terhadap kelapa sawit Indonesia dalam jangka waktu dua puluh tahun ke depan (baik dalam bentuk minyak makanan maupun bio-diesel) dapat tercukupi jika Indonesia mengalokasikan hanya 5 hingga 10 juta hektar lahannya sebagai perkebunan kelapa sawit produktif? Jawabannya adalah penyusunan usulan konversi lahan untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit tersebut kemungkinan besar tidak mengacu ataupun berkaitan langsung dengan kebutuhan pasar global. Hal ini dibuktikan oleh data yang menunjukkan bahwa selama 25 tahun terakhir, tidak kurang dari 18 juta hektar hutan telah ditebang atas nama pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Namun hanya sekitar 6 juta hektar lahan yang ditanami kelapa sawit.33 Sementara 12 milyar hektar hutan sisanya, ternyata

hanya ditebangi pohonnya oleh para pengembang perkebunan kelapa sawit tidak bermoral yang hanya ingin mengakses kayu tanpa ada niatan untuk menanam kelapa sawit sama sekali.

Penyebab utama penggundulan lahan di suatu negara adalah tingginya permintaan kayu sehingga proses pengolahan kayu di negara tersebut melebihi 6 sampai 8 kali lipat dari batas tebang tahunan yang diperbolehkan di hutan alam dan perkebunan. Pada tahun 2001, Bank Dunia memperkirakan sekitar 40% persediaan kayu ’legal’ Indonesia berasal dari konversi hutan untuk perkebunan.34 Berdasarkan perspektif ekonomi, penggundulan

hutan atas nama pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut dapat mendatangkan keuntungan sekitar 2,100 Dolar Amerika per hektar. Melihat besarnya nilai kayu tebangan hasil pembukaan lahan ini, wajar bila timbul pertanyaan di benak kita; apakah nilai ekonomi ini akan dimaknai oleh pihak pengembang perkebunan kelapa sawit sebagai suatu insentif ekonomi yang dapat digunakan sebagai biaya untuk memulai pengembangan perkebunan baru?35 atau akan dimaknai sebagai jalan pintas mendapatkan keuntungan bagi para oknum

pengembang tertentu yang memang sejak awal tidak berniat melakukan penanaman kelapa sawit? Sejumlah pengamat menyatakan bahwa usulan perkebunan kelapa sawit di jantung Kalimantan sebenarnya hanyalah upaya beberapa pihak tertentu untuk mendapatkan kayu tebangan karena karakter tanah di wilayah tersebut sangat terjal, curam dan terlalu jauh sangat tidak cocok untuk dijadikan wilayah perkebunan kelapa sawit yang menguntungkan, namun memiliki persediaan kayu yang cukup banyak.

Bagaimanapun, perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya adalah: apakah perluasan tersebut sejalan dengan ‘pembangunan berkelanjutan’? Pertanyaan ini akan dibedah secara rinci pada bab selanjutnya.

Catatan Kaki:

1 Foe 2004; Wakker 2004. 2 WRM 2004.

3 ILO ref

4 Clay 2004: 204. Jenis minyak sayur yang diperdagangkan yang lain adalah kanola (oil see rape),

minyak bunga matahari dan minyak zaitun. Kanola dan bunga matahari mengungguli kelapa sawit dalam hal luas lahan yang dibutuhkan dalam proses penanaman, namun tidak dalam hal keuntungan dan produktifi tas dalam perdagangan.

5 Menurut Minyak Oil World kebutuhan global atas minyak makanan diperkirakan akan mengalami

peningkatan, dari 22.5 juta ton yang berlaku pada saat ini, menjadi 43 juta ton pada tahun 2020.

6 Termasuk minyak inti sawit.

7 BBC Radio 2, 10 Januari 2006. Hampir seluruh label yang ada menggunakan istilah generik yaitu

‘minyak sayuran’ pada semua produk yang mengandung kelapa sawit.

8 Clay 2004:206. 9 NESDB 2005.

10 Data yang dimiliki oleh pemerintah cukup beragam. Angka yang ditampilkan di buku ini berasal dari

berbagai sumber di pemerintahan, yang selanjutnya dirata-rata oleh Sawit Watch dan lihat juga Greenpeace 2000, PT Data Consult 2004 dan Harian Kompas, Jum’at, Agustus 27 2004, Areal

Kelapa Sawit Naik Dua Kali Lipat Per Tahun 2003 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/27/

ekonomi/1232706.htm

11 Ekologi, 1986.

12 http://www.deptan.go.id/perkebunan/ks_indo_tahunan.htm 13 Lihat juga PT Capricorn 2004.

14 FoE 2004; Wakker 2004.

15 Dihitung sebagai laju penanaman rata-rata kelapa sawit selama lima tahun dengan asumsi bahwa

pertumbuhan perkebunan dimulai 3 juta hektar pada tahun 1999 (Greenpeace Netherlands 2000), meningkat menjadi 4.11 juta hektar pada tahun 2002 (PT Data Consult Inc. 2004), dan 5.06 juta hektar pada tahun 2004 (Harian Kompas, Jum’at, 27 Agustus, 2004).

16 Dikompilasi oleh Sawit Watch dari berbagai sumber.

17 Perbedaan yang terlihat antara gambar ini dengan gambar 2 adalah gambar ini meliputi penanaman

baru sebelum membangun kelapa sawit yang produktif. Kelapa sawit yang sudah ditanam akan memakan waktu 3-5 tahun untuk berproduksi.

18 Indonesian Commercial Newsletter, diunduh pada tanggal 8 April 2005

19 Kenyataannya, mengacu pada pernyataan pemerintah, Indonesia telah mengungguli Malaysia dalam

total produksi tahun 2006 (reference to latest news as on NGO Relay)

20 Departemen Pertanian 2005. Menurut CIFOR (1999:15) pada tahun 1997, tingkat produksi kelapa

sawit di Indonesia rata-rata 3.37 ton per hektar, sedikit dibawah Malaysian yang rata-ratanya mencapai 3.68 ton per hektar namun diatas rata-rata dunia yang mencapai 3.21 ton per hektar (Oil

World).

21 PT Capricorn 2004.

22 Suara Pembaruan, 27 Juta Ha Hutan Tak Produktif Bisa untuk Usaha Perkebunan, Jum’at, 18 Maret

2004

23 EC/ Departmen Kehutanan 2001.

24 Presentasi dari Peatlands International pada Perundingan Meja Bundar RSPO yang ketiga, November

2005.

25 Dikompilasi dari berbagai sumber oleh Sawit Watch 2005.

26 The Jakarta Post, 18 July 2005, Pemerintah merencanakan perkebunan terbesar di dunia

(Government plans world’s largest oil palm plantations) http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail. asp?fi leid=20050718.L02 dan lihat http://www.kabar-irian.com/news/msg03392.html,.

27 Menteri Kehutanan mengeluarkan sebuah memo untuk semua bupati dan gubernur mengenai usulan

pembangunan (S.50 dan S 51/Menhut/2005) dikutip dari Kalimantan Review Desember 2005.

28 Manurung 2002. 29 http://www.bappenas.go.id

30 DPD menolak rencana pembangunan perkebunan di daerah perbatasan Kalimantan Jakarta Post 3

Maret 2006.

32 ADB 2004. Proyek ini didanai oleh Bank Pembangunan Asia dan (ADB) dan Canadian Cooperation

Fund yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia melalui skema bantuanADB. Tujuan dari proyek ini adalah mengevaluasi efektifi tas energi alternatif dari CPO dan Penggilingan Kelapa Sawit (Palm Oil Mills/POMs) dan lihat http://www.investorindonesia.com/koraninvestor/news. php?Content=22667

33 Para investor/atau perusahaan dapat mengajukan ijin IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) apabila wilayah

hutan yang diinginkan berada dibawah wewenang Menteri Kehutanan, karena Menteri tersebut memiliki kewenangan untuk merubah status hutan atau bahkan hutan lindung dan taman nasional. Ketidakberesan ini diungkapkan oleh investigasi WALHI Kalteng yang menemukan wilayah tiga konsesi perkebunan kelapa sawit ternyata tumpang tindih dengan area Taman Nasional Tanjung Putting, Kabupaten Barito dan masyarakat desa yang merekam posisi wilayah yang ditebang oleh perusahaan kelapa sawit untuk mengembangkan perkebunan. Analisis satelit yang dilakukan oleh Sawit Watch pada tahun 2003 menemukan bahwa terdapat 12 konsesi perkebunan kelapa sawit di dalam Taman Nasional Danau Sentarum, sementara Pegunungan Meratus juga terancam aksi penebangan lebih lanjut oleh perkebunan kelapa sawit. Di Kabupaten Bengkayang, masyarakat desa memaksa PT AMP untuk menghentikan aktivitas penebangan di wilayah hutan yang tersisa. Pada umumnya para pemegang konsesi penebangan hutan akan segera mendaftarkan ijin pembangunan perkebunan kelapa sawit setelah stok kayunya turun secara signifi kan dan kesempatan untuk menangguk keuntungan hanya dengan tindakan penggundulan lahan.

34 World Bank 2001. 35 Casson 2000.

Bab 2

Menuju Produksi Minyak Sawit yang